Disukai
0
Dilihat
3,825
Zoon Politicon
Misteri

Sebuah Cerpen

ZOON POLITICON

Penulis Teguh Santoso

Konon dikenal keajaiban, kini manusia menyebutnya fenomena. Beberapa pakar belum mampu memecahkan enigma yang ku alami. Wanita secantik diri ini tumbuh ekor kucing yang panjang. Begitu pun telingaku berbentuk telinga kucing. Suamiku dengan dalih sangat mencintaiku ingin kesehatan yang wajar pada istrinya yang malang ini. Vicuum Dokter ahli yang ditemui menyimpulkan, operasi tidak akan memberhentikan pertumbuhan ekor dan telinga kucing ditubuhku. Justru akan selalu tumbuh selesai operasi. Akarnya sudah menjalar ke syarat. Dia menganjurkan konseling dengan Pakar Psikolog. Analisa Dokter bahwa ekor kucing itu tumbuh akibat obesesi motivasi psikologis. Jadi terdapat gangguan syaraf yang dianulir konseling dulu dengan psikolog.

“Medis tak selalu mampu menjawab kita”

“Apa pengetahuan terbiasa menyerah Dok? Fenomena hanyalah jalan buntu yang terabaikan.” 

“Fenomena itu ibarat pintu. Tak semua pintu bisa diketuk berpenghuni penjelasan. Kalau pintu itu dipaksa dibuka tanpa ijin hanya chaos yang terjadi. Waktu dan proses sangat kami butuhkan. Kami tidak bisa berasumsi diluar logika pengetahuan yang anda maksud”

“Itu sama saja menganggap Tuhan akan bangkrut atas penciptaan otak”

Dokter itu menghela nafas

Suamiku langsung menggandengku melangkah pergi dari tempat itu. Sebegitu cepatnya langkah kami dari lift tak terasa sampai parkiran. Kami memburu masuk kedalam mobil. Suamiku tanpa basa-basi lagi langsung tancap gas. Di kepala suamiku penuh pemikiran ingin memecahkan masalahku. Kegelisahannya menyiratkan betapa istimewanya diriku didalam hidupnya. Kasih sayangnya terasa mendalam. Suamiku sibuk menelfon relasinya. Minta alamat dimana Pakar Psikolog yang terdekat yang bisa kami kunjungi.

Berbeda dengan anjuran Dokter, ditempat konseling, Psikolog merespon peristiwaku ini diluar daya medis maupun psikis. Namun dia tidak tegas mengarahkan untuk menemui paranormal. Beberapa paranormal ulung yang ditemui. Mereka mengakui baru pertama kali menjumpai supra natural semacam ini. Nisbi. Suamiku suntuk sejurus tidak punya tujuan mesti kemana lagi.

Selama perjalanan itu kami hanya terdiam. Suasana diluar mobil kami pun terasa beku dalam hening. Seakan semua membisu. Tak terdengar apapun sekalipun telinga kami masih bekerja. Di dalam benak kami sejurus memikirkan sesuatu tanpa pangkal. Kehidupan yang sedang kami alami hanyalah tetap harus berjalan. Memutar otak. Menghela nafas. Sedikit mengerdipkan mata. Mungkin seperti traffic light. Merah untuk sejenak berhenti. Kuning siap-siap harus berhenti. Hijau meneruskan perjalanan kembali. Dan di traffic light dekat arah jalan tol itu lampu menyala hijau. Mobil masih terus melaju. Lalu linta lumayan tidak padat sore itu. Namun hidup ini penuh kejutan. Brakkk dyarrr.... Seketika sebuah mobil sport menabrak mobil kami. Pas mengenai dimana aku duduk. Blank. Gelap pekat. Spectrum memori gundah. Tak terdengar suara apapun. Tak tergambar pengelihatan apapun. Inikah kematianku?

Back Flashes 

Tiba-tiba dalam gelap itu aku mendengar berbagai suara. Entah apa kok jadi begini. Semua omongan orang bisa aku mengerti. Kurang lebih yang kudengar begini

“Kasihan banget tuh kucing, mati terbuang seperti sampah”

Seketika ada yang mengangkat tubuhku. 

“Kucing perempuan secantik kamu, kalau masih hidup bisa aku jodohkan sama kucingku di rumah.”

Beberapa saat kemudian tubuhku diletakan ditanah. Terdengar suara-suara dug.. dug.. dug... sepertinya menggali tanah.

“Kemalangan apa yang terjadi padamu Puss” 

Tubuhku juga diangkat dan direbahkan di tanah lagi. Kali ini tubuhku ditimbuni dengan tanah-tanah. Hingga semua semakin gempita. Untung rintik hujan semakin deras. Terdengar suara berkecipak orang itu lari meninggalkanku. Rintik hujan kian deras. Dalam sekejap membanjiri sekitar kuburku juga tubuhku. Air yang bergumal itu menyibak tanah. Airpun sedari tadi meresap ke tanah membasahi tubuhku. Kini air itu mengaliri mulutku. Mengaliri telingaku. Seketika membangunkanku dari mati suri itu. Perlahan kubangkitkan tubuhku. Badan lunglai ini menyibak sisa tanah yang menimbun. Basah dan kotor tubuhku bangkit dari kuburku itu. Baru kurasakan ternyata diriku ini memang seekor kucing malang. Terbuang di tempat sampah. Dikira telah mati. Dikuburkan sekenanya. Tangan dan kakiku sekuat tenaga kugerakkan. Langkah demi langkah ku coba ayun. Semoga memang tidak ada yang retak atau patah tulangku. Dan benar saja. Aku masih hidup. Masih utuh. Puji Tuhan. Kontrak hidupku masih berlangsung. 

Ada yang menyentak dari jantungku. Memulihkan diri ini secara berangsur.

Ah yang tadi kurasa hanya kejadian yang pernah kualami. Yang ku rasakan barusan hanya penggalan memoriku yang berceceran dari tumpukan lama. Ku coba merasai lagi apa yang sebenarnya. Aku mendengar kembali suara teriakan dan tangisan suamiku. 

“Selamatkan istri saya Dok”

“Iya pasti. Kami lakukan yang terbaik”

“Jangan tinggalkan aku Sayang”

Suara suamiku menghilang. Suara-suara lain kudengar. Tak bisa kupahami semua omongan itu. 

Flashes back to

Yang ku ingat saat mengejar tikus. Begitu cepatnya dia naik ke atap loteng susun dua. Laparku seperti kerasukan energi naluriah yang menggebu. Mengejar tikus itu secepat mungkin. 

Sore itu mendung gelap pekat. Lari dan terus berlari untuk hasrat mencengkram santapan lezat itu. Dan cetarrr. Kilat yang menyambarku. Tubuhku terpental. Terguling-guling dari genting atap rumah. Whuzzzsss. Braakk. Jatuh terbanting. Tumpukan batu kolam ikan itu menerimaku apa adanya. Tidak ada yang bisa kurasakan. Bukan seperti tidur. Tak juga pingsan. Blank. Gelap. Hanya gelap sekali. Malaikat seksi perhewananpun tak kunjung menjemput. Mati tidak hidup masih tanda tanya. Ini hanya salah satu dari kesekian resiko lapar yang pernah kualami.

Lapar kadang memperbudak makhluk hidup. Nekat mendapatkan apapun yang diinginkan. Tidak perduli resiko yang harus dihadapi. Kadang mengorbankan hakikat apapun. Ujungnya hanya kenyang untuk sekedar diam. Oh hidup tersambung lagi. 

Sepertinya semakin jelas kuingat. Siapa diriku sebenarnya. Aku hanyalah seekor kucing. Coba ku ingat kembali bagaimana seekor kucing seperti diriku bisa menjadi manusia. Menjelma wanita cantik. Apa benar ini keajaiban? Atau ini fenomena?

Kembalinya Memori

Sudah seminggu lebih rumah unik terpencil itu tidak memberiku makan. Itu sebabnya membuatku nekat. Kembali menjadi pemburu makanan. Sebelumnya hidupku cukup termanjakan dari keluarga rumah unik itu. Anak perempuan dan istrinya tidak hanya selalu memberiku makan. Mereka suka mengelus-elus bulu-buluku. Memandikanku. Sekalipun itu hal tidak begitu kusuka. Mereka bahkan menyiapkan tempat pup ku. Mengajari berbagai hal yang hanya bisa coba aku tirukan. Kasih sayang terhadap binatang seperti diriku ini adalah anugrah. Entah kenapa hal itu tidak pernah kualami lagi. Sirna begitu saja. Bagiku sebagai makhluk jalanan. Bertahan hidup sesuatu yang biasa kuandalkan. Dan hal itu yang membuatku terkapar saat ini. Memoriku mengingat jatuh dari atap loteng gara-gara mengejar tikus. 

Memori yang mengantarkanku terbuang ke tempat pembuangan sampah hingga aku terkuburkan. Nah hujan deras itu yang menyelamatkanku sampai aku bangkit kembali. 

Langkahku mengantar diriku sampai di rumah unik itu lagi. Untuk kesekian kali kukibaskan kotoran dari tubuhku. Aku berteduh dibawah pot-pot tanaman didekat pintu samping rumah unik itu. Disitu air hujan hanya tampias sedikit. Anehnya yang kutatap itu bisa aku baca. Tertulis angka 31 di rumah unik itu. Tulisan Soul of Music terpampang di sebelahnya. Terbuat dari apa entah kurang tahu tapi indah sekali. 

Rintik hujan mulai mereda. Haus rasanya. Ku bangkit. Melangkah ke tepi keramik. Menjilati air yang menggenang dibawah. Dahagaku terlunasi. Dilengkapi udara yang sejuk. Indah sekali senja itu. 

Lamat-lamat kudengar suara dari dalam rumah. Alunan denting piano dari dalam rumah unik itu mengiringi senjakuku. Dari tempo suara yang kudengar menyiratkan kesedihan. Ku toleh kearah jendela. Dimana suara musik itu berasal. Korden jendela itu tersibak. Rasa ingin tahuku menggerakkanku mengintip kesitu. Di dalam kulihat seorang lelaki memainkan piano kesayangannya. Oh itu yang jadi suamiku tadi. Yang membawaku konseling ke psikolog. Membawaku ke dokter-dokter dan paranormal. Oh tidak. Sekalipun hanya memori yang kembali. Tapi sungguh membuatku terkejut. Aku melihat suamiku di masa lalu. Bagaimana aku bisa dinikahi dia. Bagaimana aku bisa menjadi manusia. Tunggu-tunggu. Dalam dunia manusia ada istilah mimpi dan de ja vu. Ah tapi tidak. Ini benaran perjalanan memoriku berputar kembali. Baiklah kuikuti dulu memoriku 

Tidak biasa sosok tubuhnya tampak tanpa semangat. Bisa jadi menghayati lagu yang dimainkannya. Dalam sekejap tolehan kepalanya kearahku. Dia menghentikan permainannya. Menoleh kearahku. Tatapannya tidak jelas. Senang atau tidak senang. Dia bangkit dari tempat duduknya. Berjalan menuju belakang. Aku hengkang dari jendela itu. Mungkin kehadiranku merusak moodnya. Lebih baik aku segera cari makan dulu. Langkahku bersamaan derit pintu kayu rumah unik itu dibuka. 

“Puss.. Puss... nih ada ikan kesukaanmu”

Aku menoleh kearahnya. Dia meletakkan piring plastik pink berisi ikan. Aroma ikan yang terhirup di hidungku begitu lezat dirasa. Aku menghampirinya. Piring yang biasa digunakan memberiku makan itu ditaruh di depan pintu. Aku menghambur. Segera melahap ikan itu. Laki-laki itu masih jongkok didekat aku menghabisi ikan itu. 

“Lahap bener makannya. Berapa hari kamu belum makan Puss? Biasanya Livi sama Mamanya suka ngasih makan kamu ya... Selagi mereka ada... “

Dalam sekejab ikan itu sudah pindah ke perutku. Meow.. Meow... pintaku lagi. 

“Sebentar...”

Aku hanya berdiri di depan pintu yang masih terbuka. Laki-laki itu kulihat berjalan masuk ke arah belakang. Aku hanya melongok kedalam. Semua barang berantakan. Berjatuhan sendiri itu tidak mungkin. Tidak ada gempa seminggu ini. Ruangan itu berhamburan kertas-kertas. Perabotan disana-sini saling tindih tak beraturan. Abu rokok menumpuk dimanapun asbak berada. Foto keluarga nya sengaja dirusak. Gambar istrinya yang cantik itu tertancap obeng. Kaca pelapisnya retak-retak pecah. Tak bisa kelihatan cantik lagi foto istrinya itu. Sobek-sobekan gaun disana-sini berceceran. Belum selesai ku amati semua.

“Puss...sini masuk... makan sama aku sini....” panggilnya sambil memamerkan ikan 

Aku melangkah kedalam perlahan. Melewati segala kekacauan itu. Bungkus makanan yang berserakan ku endus-endus. Di foto keluarga itu terdapat goresan lipstik bertuliskan: PENGKHIANAT! Laki-laki itu meletakkan ikan diatas bungkus mie instan. Aku berlari menghampiri santapan lezat itu. 

“Wen... Wenasss...”

Dari luar rumah terdengar seseorang memanggilnya. Aku hanya menoleh sejenak lalu makan lagi. Wenas nama lelaki itu. Dia melangkah ke ruang tengah.

“Kalian sama saja dengan binatang”

“Live never expect unexpected, sama dengan aku. Tidak penah menyangka jadinya begini”

“Air yang kau lemparkan itu pasti bikin basah. Kamu tahu itu. Tapi kamu lakukan juga”

“Kamu tidak bisa begini terus Wen. Dunia selalu berkembang. Hadapi sesuai keadaan”

“Omonganmu hanya membuat setan tertawa”

“Oh oke, aku telah membiarkan Tuhan sinis terhadapku”

“Percuma, ”

“Semua boleh berantakan, tapi harus satu per satu diberesin”

Tinton, temennya itu mengeluarkan sebotol wine. Dan membukanya. Seteguk diminumnya. Lalu botol itu diserahkan ke Wenas. Aku memperhatikan saja. Perutku sudah aman. Mendengarkan pembicaraan mereka. Aku jadi sedih. Ternyata Mamanya Levi ketahuan selingkuh sama temannya Tinton. Fatalnya kepergok melakukan seks di rumah unik ini. 

“Levi sekarang dimana Wen?”

“Kutitipin ibuku di Jokja”

Semua yang berantakan seperti kapal pecah ini rupanya amarah yang tak terbendungkan lagi. Perselingkuhan itu kalau tidak salah tangkap, berujung juga karena lapar. Lapar memang ujung pangkal masalah. Arransement Wenas selama 3 bulan tidak menghasilkan uang. Sampai istrinya harus berhutang sana sini untuk bertahan hidup. Berakhir dengan semua hutang ditutup temannya Tinton yang pengusaha itu. Sedangkan hubungannya dengan suami dipenuhi percekcokan selama dua bulan belakangan ini. Pantas saja mereka jarang ngasih aku makan.

Botol wine itu hampir habis dibiarkan tergeletak di meja dekat piano. Keduanya telah stone. Seperti es batu. Sumber aslinya lunak tapi mekar memerah seperti pembekuan. Ujung pembicaraan kedua sahabat itu mengurai hati untuk saling menerima kesalahpahamannya. Tinton mengakui kesalahannya dengan ungkapan dead end mistake. Tinton juga cerita, telah berantem dengan temannya gara-gara ingin menghalangi terjadinya khilaf. Demikian juga dengan Mamanya Levi yang apatis dengan segala nasehat Tinton. Jadi khilaf milik pelaku perselingkuhan itu, yang membawa mereka kabur ke Eropa. Yang tersisa hanya persahabatan di ujung dermaga kekecewaan. 

Malam itu Tinton pamit pulang dengan sedikit sempoyongan. Wenas masih duduk terpaku di sofa. Tinton berjalan keluar sendiri. Pintu ditutupnya lagi, setelah aku menyeruak diantara kedua kakinya. 

Piano mulai berbunyi lagi. Suaranya tidak melodius. Seperti Jazz yang ori. Lebih tidak ada batasan irama sama sekali. Tidak mengenal aturan. Mengalun sesuai emosinya. Badai galau yang tersirat dari alunan pianonya, membuatku ikut merasakan sedih perih yang telah melintahi hatinya. Merasakan derita yang sama dengan Wenas. Tidak tahu tiba-tiba begitu. Aku jadi sensitif. Bisa membaca. Bisa mengerti bahasa manusia. Bisa merasakan hatinya. Semua perasaan seperti manusia ini kudapat sejak bangkit dari kubur. Apa mungkin sejak kesambar petir diatas loteng. Persisnya tidak bisa ku pahami. Hanya begini jadinya aku; sosok kucing berisi arwah setengah manusia. Sekarang hatiku sangat iba pada Wenas. Mungkin inikah yang dinamakan cinta seperti yang diungkapkan temennya Tinton sama Mamanya Levi. Atau ini khilafnya manusia binatang yang tak tau diri. 

Seandainya Tuhan mengizinkan, aku jadi perempuan, yang bisa memenuhi kebutuhan Wenas untuk berkarya, aku rela. Aku salut sama manusia yang punya aturan hubungan seks hanya sama pasangan. Tidak seperti kehidupanku. Kucing tidak punya aturan seperti manusia. Kucing sudah biasa berganti-ganti pasangan seks. Ah aku hanya kucing. Semua khayalanku sekarang tidaklah mungkin terjadi. Instingku sebagai kucing berkembang macam-macam sampai bisa berkhayal, merasa dan sepertinya ini yang disebut manusia jatuh hati. 

Wenas ? Ah malang betul lelaki itu. Setahuku Wenas juga bukan tipe suka ganti-ganti pasangan. Dalam bahasa manusia disebut setia. Mereka bilang mudah ngomongnya tapi ngelakuinnya susah. Hanya iman yang bisa menjaganya. Begitu kata Tinton. Iman itu siapa aku belum tahu. Aku hanya menirukan Tinton. Setia juga kata favoritku dari Tinton. Duh Tuhan kenapa otak kucingku berubah begini. Terasa aneh kalau seekor kucing jadi sok manusia begini. 

Ku tinggalkan rumah unik Wenas itu. Ingin ku buang semua keganjilan yang aku rasakan. Sialnya jalanan masih saja basah. Aku hanya terus berjalan. Keluar dari perumahan terbatas itu. Ingin kubuang jauh-jauh keanehan yang kualami dalam diri ini. Menghindar dari ketidakmungkinan harapan. Membenci diriku sendiri yang tidak bisa melakukan apa-apa untuk manusia malang yang kutemui. Kenapa ada pertemuan kisah sebegini rupa. Siksaan didalam hati ini terus kubawa berlari. Lupakanlah semua itu. 

Langkahku terhenti di sudut tikungan jalan. Terlihat sebuah mobil berhenti. Kulihat seorang laki-laki dan perempuan didalam mobil itu. Ingin aku menghangatkan badanku dibawah mobil itu. Seperti mobil Wenas setiap parkir memberi kehangatan tidurku. Urung niatku melangkah saat ku perhatikan sesuatu yang berbeda. Sepertinya mereka bertengkar entah apa. Si perempuan membentak-bentak. Seperti dalam dunia kucing saja mereka cakar-cakaran. Si perempuan terantuk kaca jendela mobil. Dia keluar dari mobil sambil menangis. Laki-laki itu turut keluar mengejarnya. Ditariknya kembali perempuan itu. Tangan lelaki dihempaskannya. Perempuan itu berhasil berlari lagi. Lelaki mengejarnya kembali. Secara mengejutkan sebuah pick up yang melaju cepat dari tikungan spontan menabrak kedua manusia itu. Pick up itu terus saja melaju. Menggilas keduanya. Mereka terpental terkapar dijalanan. Ingin ku lihat wajah wanita itu. Kakiku membawaku berlari kearahnya. Namun Pick up itu oleng panik melihatku lari. Dan Brakkk...Jedarrr... Tiba-tiba aku hilang pengelihatan. Blank. Gelap semua. Namun seketika itu, wajah perempuan malang itu bisa ku lihat sangat dekat. Darah yang membasuh seluruh paras anggunnya itu mengelabui kecantikannya. Ingin ku tukar diriku dengan perempuan itu jika Tuhan mengijinkan. Tapi beberapa orang telah berlari kearahnya. Menggotong kedua manusia itu ditepikan. Tempat itu jadi ramai dipenuhi orang-orang. Aku masih mencoba menyeruak diantara kerumunan orang-orang. Terdengar riuh rendah suara-suara... Telfon ambulance... Seseorang mengambil handphonenya mendial salah satu nomor Rumah Sakit. Diantara keriuhan suara-suara itu kudengar seseorang teriak... Pick up setan itu juga nabrak kucing... Tuh itu kucingnya... aku baru sadar memandangi diriku sendiri tergeletak di tepi jalan. Kakiku patah kepalaku remuk. Aku hanya bisa pasrah. Mungkin Tuhan tidak membiarkan kucing sepertiku, bisa bahasa dan indera bathin manusia. Mustahil in karma bagiku. Bagi binatang sepertiku hidupnya tersurat sangat standar. Lahir, bertahan hidup, berkembang biak dan mati. Inilah fase terakhirku melalui semua.

“Mak itu kucingnya dikubur dekat gumuk saja... kasihan...”

Emak-emak tua itu pun langsung membungkus tubuh naas ku itu dengan kain gombal bekas. Dibawanya tubuhku ke dekat gundukan tanah yang tinggi. Konon gumuk itu bekas kuburan orang-orang kuno asli daerah ini. Tapi sejak tidak ada yang merawat semakin tidak terurus dan tanahnya semakin meninggi. Orang-orang sekitar masih menganggap gumuk itu keramat. Namun sekarang sering digunakan mengubur segala macam binatang yang disekitar daerah ini ditemukan mati. Dari Ayam, Tikus, Ular, Garangan, Blacan termasuk kucing seperti diriku. Tubuhku sudah tertutupi tanah. Arwahku duduk termangu disebelahnya. Tapi belum ada malaikat menjemputku. 

Tak jauh dari tempatku meratapi nasib, jasad tubuh perempuan itu sudah diangkat dibawa masuk kedalam mobil ambulance. Dan dibawanya ke RS. Petir menyambar-nyambar seketika. Satu per satu kerumunan orang pun pudar. Tinggal diriku sendiri termangu di gumuk itu. Terlintas di ingatanku terhadap Wenas yang pasti juga disekap oleh keheningan seperti diriku. Gemuruh guntur terus menerus begitu menggelegar. Seperti gemetar nya rasaku terhadap Wenas. Makhluk-makhluk yang mengambang dalam hampa kesendiriannya. Ibarat kanvas yang hanya dipandangi calon pelukisnya, torehan apa yang akan terlukis selanjutnya.

Di dalam benderang terasa pekat. Pandangan dikabuti pilunya pikir dan rasa. Hanyutnya nyawa dalam partikel udara yang terkucil di alam semesta. Lamat-lamat alunan semesta bak dentingan piano Wenas. Mengalun tak beraturan dari desis angin, gemerak dedaunan, riuh gemericik air. Musikalisasi alam yang menyayat hati. Seakan hidup selalu dibumbui kepedihan sebagai rambu-rambu pengingat seberapa renggang Tuhan dengan kita. Dan musikalisasi lara dalam hidup itu semata dekapan Tuhan atas kasih sayangnya yang melebihi segalanya. Seperti saat ini, tidak banyak yang bisa dilakukan makhluk seperti diriku. Hari-hariku hanyalah sebatas insting tentang lapar harus cari makan, kenyang letih mesti tidur, bangun buang kotoran dan sesekali sua kenikmatan seks yang kutemukan dijalan. Begitu seterusnya. Ibadah binatang seperti diriku hanyalah tugas keseimbangan yang naluriah; makan untuk hidup dengan makanan yang dipertemukan. Imankah lanturanku ini seperti yang dikatakan Tinton. Entah apa ukurannya. Yang kusadari perlahan, apa aku ini sebagian mandat keajaiban dari Tuhan.

Flashes Memori 

Tiba-tiba terdengar suara. Suara apakah itu. Seperti kukenal. Apakah telah datang malaikat menjemputku dengan iringan musik. Menghampiri telingaku semakin dekat. Semakin jelas suara-suara itu mengkristal jadi alunan yang kukenal. Semakin hingar ditelinga. Oh tuhan itu suara musik kesayanganku Air on G string. Darimana suara itu menghampiri. Oh Tuhan itu suara handphone suamiku. Dia telah meletakkan handphonenya diatas bantal berdekatan dengan telingaku. Benar-benar membangkitkan jiwaku kembali. Dimanakah aku. Terbaring di tempat tidur yang bau aroma obat-obatan. Mungkin aku dalam perawatan ditunggui suamiku tercinta. Tapi tak bisa kulihat apa-apa. Hanya kurasakan sentuhan tangan suamiku memegangi jemariku. Membelai rambutku. Mengecup punggung tanganku dan sesuatu meleleh di kulit tanganku. Butiran air matanya mengalun sendu, tanda cinta terdalam kuatir akan kehilangan diriku.

Kesadaran yang kurasa saat ini, kembalinya nyawa kucingku pada jasadku manusia kini. Hanya saja, belum memulihkan seluruhnya. Sekedar kurasakan nyawaku masih kembali ke jasad ini. Yang sedari tadi nyawaku mengarungi dimensi-dimensi memory yang pernah ku lalui. Saat-saat aku masih kucing dengan segala musibah yang kuhadapi. Untuk kesekian kali musibah itupun tetap kualami disaat aku menjelma manusia. Musibah sudah menjadi kenakalan dalam takdir yang mengurai pengetahuan hidup dengan bahasa yang sulit diterjemahkan kedalam segala buku.

Melalui ilmu Tuhan yang jilid berapa seekor kucing sepertiku menjelma wanita cantik dengan sebuah keinginan mulia; menjadi istri sempurna untuk seorang pria sempurna. Kelangkaan bertemu kepunahan dalam dunia. Serupa impian-impian dalam karya picisan yang diciptakan manusia dengan dalih bisnis. 

Huft berotak manusia membuatku melantur menjelajah bahasa pikiran yang tak kunjung berhenti. Sementara hidupku sedang koma terbaring di kamar VVIP sebuah Rumah Sakit mewah. Beberapa kuntum bunga menghiasi ruangan seperti pengunjung favoritku yang menemani. Apakah bunga-bunga itu pengantar kematianku atau kelangsungan hidupku selanjutnya. 

Tunggu, masih belum kuingat bagaimana kucing malang seperti aku menjelma wanita cantik. Transisi alam nyata dan gaib, dimana aku termangu diatas gumuk itu sungguh berbeda. Tidak seperti sore, tidak juga gelap seperti malam, seakan sudah selarut dini hari namun tersinari cahaya yang dikenal manusia dengan bahasa misteri. Ku saksikan beberapa kawanan binatang menumpang kereta kencana. Pengendaranya berkuda setengah manusia dengan kain tudung putih-putih. Seketika suara aneh mengejutkanku.

“Tuhan telah mendengar permohonanmu, apa benar-benar ingin menjadi manusia berkelamin wanita, jika diijinkan hidup kembali?”

“Iya,” jawabku singkat

Diriku yang berupa partikel-partikel menyerupai udara berbalut asap hangus maupun bening bergerak-gerak. Perlahan menjelma bauran cahaya. Dengan kecepatan super, melesat kedalam gelap tanpa pengelihatan. Ku alami kembali masa-masa kelahiranku dulu. Hampir sama. Dalam dimensi benih gaib. Dalam bahasa manusia mungkin ini yang dimaksud pertumbuhan sel-sel. Terus ku arungi kegelapan itu sampai meresap di dinding. Perlahan membersit memasuki dimensi putih yang bukan udara, bukan asap. Mungkin bisa kukatakan sebagai kedalaman cahaya. Dari cahaya berangsur-angsur mengkristal inti nyawa. Tidak gelap tidak terang lebih lembut dari udara. Mungkin inilah prosesku dari nyawa kucing, bermutasi menjadi nyawa manusia wanita. Seketika seperti tertiup, memasuki kepompong yang penuh dengan segala kepadatan ragawi. Aku seperti bersemayam didalam yang disebut jasad manusia. Detik demi detik, menit demi menit, hingga berjam-jam baru bisa kurasai secara komplit. Dari merasai mempunyai jemari lentik dan kaki jenjang, rambut lembut juga tubuh semampai. Genap satu hari aku baru merasakan siuman. Nafas dan detak jantungku bekerja normal. Mulai merasakan jarum infus, juga nafas oxygen yang berkungkung dihidung dan mulutku. Dan suara-suara manusia dikejauhan. Hingga derit pintu terbuka serta langkah-langkah menghampiri diriku.

“Dia sebatang kara, Dok dan tidak ditemukan identitas apa-apa” jelas suara perempuan

“Yang penting dia sudah mulai membaik, tolong bantu akomodir dia kalau sudah pulih. Kalau Bapak ini....”

“Bapak Wenas Dok,” 

“Iya Bapak Wenas yang baru masuk semalam ya”

“Iya Dok, over dosis percobaan bunuh diri, untung segera dibawa temannya kemari”

Wenas? Aku ingat sesuatu yang disebut Wenas. Ah dia pianis itu bukan? Over dosis? Percobaan bunuh diri? Apakah dia masih hidup? Tidak. Jangan engkau mati setelah ku dihidupkan kembali menjadi manusia wanita. Tuhan tolong sembuhkan Wenas. Tolong jangan ambil Wenas setelah Engkau kabulkan diriku menjadi manusia wanita. 

“Wanita ini menangis Dok, keluar air matanya”

Suara langkah Dokter menghampiriku.

“Kedua matanya mengeluarkan air mata Dok”

Dan sekonyong-konyong ruh yang menghuni jasad wanita itu bangkit

“Auonggg.. Meoooonnggg......Arkrkrkrkhhhhh.....”

Hah aku masih bersuara kucing. Oh tubuhku benar-benar menjelma wanita

“Tenang Bu... Ibu minum dulu”

Suster itu menyodorkan air putih dan membimbingku meminumnya. Ku minum air di gelas dengan kebiasaanku menjilat. Tapi perempuan yang disebut Suster itu mengajariku minum seperti manusia. Ku minum dua tiga teguk, sambil kulirik disebelahku. Wenas terbaring dalam penanganan.

“Eee.....Sa...sa...sa-ya... di..ma..ma..ma-na...”

 “Ibu di Rumah Sakit.... dibawa ambulance kesini.....ibu kecelakaan...”

“Ibu tenang dulu... “ kata Dokter itu penuh kesabaran

Mendengar itu aku berusaha menyesuaikan diri. Oh begini jadi manusia. Bisa ngomong dengan bahasa. Aku masih tampak kebingungan tapi aku coba menenangkan diri untuk menutupi kejanggalan yang kurasa. Aku meminum air putih lagi dan sekali lagi melirik kearah lelaki disebelahku. 

“Ibu kenal Bapak Wenas?”

Aku Cuma menggeleng kemudian rebahan lagi. Memejamkan mata menghindari pertanyaan-pertanyaan yang belum bisa kujawab. Karena suara dari mulutku masih kuatir bahasa kucing yang keluar.

Rupanya pertemuanku dengan Wenas di Rumah Sakit ini. Mungkin ini memang keberuntungan doaku. Beberapa hari Wenas pun pulih. Dan kami saling kenal. Kian hari kian akrab. Bahkan Wenas memperkenalkanku dengan Tinton, setelah kami semakin intens bersua di Rumah Sakit. Berhubung aku tidak punya keluarga yang kukenal, aku ditawari tinggal di rumah Wenas. Banyak yang diajarkan oleh Wenas dari kebiasaan dan tata cara manusia. Bagiku hanya cukup ribet tapi dalam bahasa Tinton itu disebut peradaban. Yang bagiku cukup significant dari kutipan Tinton. Akal harus mengendalikan segala perilaku. Tidak seperti duniaku. Sempat Wenas curiga siapa aku sebenarnya. Namun Wenas memaklumi kecelakaan membuatku tak ingat apa-apa. Aku hanya menuruti dan melayani saya selama ikut di rumah Wenas. Katanya kehilangan itu ternyata untuk menemukan dirinya sendiri terlebih dahulu, untuk kemudian dipertemukan seseorang yang menjadi sawang sinawange urip (saling bercermin dalam hidup). Begitu rayu Wenas terhadapku. Sesuai penantianku akan kebersamaan kami selama ini. Gelisahku juga gelisahnya dalam harapan masing-masing yang terpendam. Selang beberapa hari Wenas pun melamarku. Dan kami menikah. Kehidupan semakin intim dengan manusia sungguh berbeda dengan kualami hidup jadi kucing.

Oh Tuhan, aku baru ingat, setelah pernikahan itu. Setelah rejeki Wenas kembali lancar. Dan karier musiknya memperoleh jalan bisnis yang membanggakan. Oh tidak. Aku baru menyesali. Saat itu Wenas sedang keluar kota. Ijin tiga hari untuk show. Rupanya tidak mudah menjadi manusia seperti yang kubayangkan. Didalam diriku masih terbelah kepribadian. Sebagian naluri kucing tidak kusadari masih terselip. Malam itu. Sebelum kepulangan suamiku Wenas. Persediaan yang Wenas siapkan habis. Aku belum belanja. Dan aku tidak berani keluar belanja sendiri sekalipun sudah diajari suamiku. Lapar sekali perutku. Duduk berdiam diri di meja makan. Saat itu seekor tikus menyusup di ruang makan. Spontan tanpa kusadari. Antara akal ruh manusia dan naluri pemburu seekor kucing menyatu menjadi adrenaline supra surealis. Dan hap maooongg..!!!! Tikus itu kukejar dengan secepat kilat tercengkram dalam tanganku. Lapar memburu nafsuku untuk menyantapnya. Herannya kali ini dengan beringas kulumat makhluk kecil itu ku giring ke perutku. Dan setelah aku merasakan kenyang. Aku jadi seperti keracunan. Mual-mual. Mengejang perut dan kepalaku. Aku meronta menahan siksaan itu. Dan untuk kesekian kali kemalanganku, membuat diriku terpeleset darah tikus yang berceceran itu dan terbanting di dekat toilet. 

Keesokan harinya aku terkeriap siuman. Aku jadi panik takut ketahuan Wenas. Bergegas aku bersihkan tempat itu. Ku lap. Ku pel. Bersih-bersih sampai tidak terdapat hal yang mencurigakan. Sesegera setelah semua beres, aku mandi dan berdandan cantik menunggu suamiku. Segala rupa tabiatku semalam berhasil aku sembunyikan dari suamiku. Tapi dalam agama manusia itu disebut dosa karena telah berbohong. Kebohongan dalam dunia manusia dapat ditutupi. Tapi pemahaman baru ini bagiku menumbuhkan ciri atau mungkin tanda keburukan. Tumbuhnya ekor kucing dan telinga kucing ditubuh cantikku ini. Aku masih belum bisa berterus terang. Jiwaku penuh teror diri sendiri akan ketahuan tabiat burukku. Hal ini baru kusadari kodrat dan watak makhluk ternyata tidak bisa menipu. Tapi mengenali kodrat dan watak diriku sendiri sering terlupakan. Kalau kodratku memang seekor karniovora. Watakku terbentuk dari naluri kebinatangan. Repot juga berdoa sama Tuhan kalau permintaan itu tidak komplit dipanjatkan. Kadang jadi ingin tertawa sendiri. Jadi manusia itu kebiasaan wataknya komplen dan ingin merasa paling benar. Ego selalu dipelihara manusia. Itu yang ku alami menjadi dan mengamati manusia. 

Aku tidak selingkuh seperti Mamanya Livi. Aku setia dan memperlancar kehidupan Wenas. Itu yang membahagiakan suamiku. Justru ketika hidup manusia terhindar konflik, menurut suamiku suatu ketegangan akankah sesuatu yang makin buruk akan terjadi. Dari pengalaman pahitnya dia selalu menjaga kewaspadaan diri, bahwa hidup selalu menemui yang tidak diharapkan datang. Traumatik Wenas membuatnya bekerja semakin keras dan berkualitas. Hingga pernah aku diajak ke Berlin untuk event arransement exchange culture. Disana kami bertemu pasangan yang sudah tiga kali berganti pasangan. Dari pembicaraan dengan mereka, Wenas banyak merenung. Semakin waspada menjaga hubungan denganku. Berusaha mengendalikan segala perilaku. Karena dia tertarik dengan peribahasa yang di ungkapkan pasangan Berlin itu. Sampai dicatatnya dalam status handphonenya. Mungkin supaya tidak terlupakan. Moto orang Jerman itu ditulisnya, dibingkai dan dipajang di kamar kami ; Angfangen ist leich, beharen eine Kunst (memulai itu sesuatu yang mudah, mempertahankan itu seni). Moto itu juga menjadi bumerang bagiku. Bagaimana aku mempertahankan hubungan dengan manusia dari sisa kepribadianku yang terbelah naluri binatang. Dan ketakutanku itu pun tak terelakkan dengan tumbuhnya ekor kucing dan telinga kucing pertanda karma ketidakpatuhanku. 

Oh Tuhan, itu yang membuatku kembali di Rumah Sakit yang sama dengan pertemuan kami dahulu. Sementara ini aku lebih nyaman dalam keadaan koma seperti ini. Tidak tahu apalagi yang harus aku lakukan. Tapi hidup memang penuh kejutan. 

“Pak Wenas”

Aku dengar suara Dokter itu lagi. 

“Keadaan istri Bapak semakin membaik. Ekor dan telinganya yang seperti kucing juga sudah berangsur menghilang. Rupanya semua itu gejala kehamilan yang ganjil. Tapi, selamat ya”

“Terima kasih Dokter, Syukurlah...”

Oh Tuhan. Aku hamil. Anakku kelak lahir berupa manusia atau kucing. Atau manusia setengah kucing. Kabar kehamilan ini justru membuatku tidak ingin bangun dari koma. Selama menjadi manusia hidupku selalu diteror diriku sendiri apakah tabiat kucingku bisa benar-benar terbuang. Segala sosialisasi dengan tetangga juga kenalan suamiku telah menguras tenagaku untuk bisa beradab. Kini fase baru yang kualami lebih mengejutkan. Kehamilan. 

Beberapa hari kemudian aku sudah diperbolehkan pulang. Kehamilanku kini sudah mau genap 2 bulan. Lapar dan haus bertubi-tubi mendorongku memakan ikan kesukaanku. Sampai saatnya dalam kehidupan manusia bahwa wanita hamil itu pasti akan ngidam. Suamiku selalu menanyakan apa makanan yang kuinginkan. Hanya ikan dan ikan. Berbagai macam species ikan sudah pernah aku cicipin. Hingga hinggaplah sifat manusia akan kebosanan. Sudah tidak ingin lagi aku makan ikan. Malam itu hujan cukup deras. Suamiku capek pulang kerja langsung tidur dan lupa membelikanku makanan. Lapar mulai menghantuiku. Aku pun dirundung ngeri akan diriku sendiri. Aku tahan berkali-kali. Tapi suara itu semakin jelas di telingaku. Penciumanku juga memantau. Tengah malam masih belum bisa tidur karena lapar. Ingin kuusir laparku dengan banyak minum. Aku ke dapur untuk memenuhi niatku. Ku tuang air. Ku teguk beberapa. Ketika hendak berbalik kearah kamar ku lihat tikus disudut ruangan menatapku was was. Dengan reflek langsung ku intai dan kuterkam. Sempat beberapa kali meleset. Terkamanku terakhir sangat cepat membuatnya tak bisa berlari lagi. Ku lahap tikus itu dengan rakus. 

“Mey... Memey...dimana kamu?”

Mendengar suara suamiku itu seperti mendengar hantu yang menakutkan. Aku menghambur ke belakang rumah. Taman mungil yang ditanaman bunga-bunga kesukaan suamiku membasah kuyuh. Aku berusaha sembunyi disemak-semak tanaman di pojok taman. Pintu dapur dibuka suamiku. Aku menyembunyikan wajahku dan mengusap mulutku berkali-kali supaya bersih.

“Mey... Memey.... kamu dimana?” 

 Secara mengejutkan tubuhku diangkat suamiku. Oh tidak aku sudah kembali menjadi kucing. 

“Ngapain kamu disitu Pus...Oh my God kamu lagi hamil... Levi pasti senang kalau tahu kamu hamil”

Tanya suamiku yang mengenaliku makhluk berbulu kesayangannya. 

“Kamu tahu dimana Memey... istriku yang baru... malam-malam begini kemana dia ya... padahal dia juga lagi hamil seperti kamu...”

Aku dibawa masuk ke dapur rumahnya. Diletakkan di sudut rumah kucing tempat biasa aku dikasih makan dulu. Wenas suamiku itu semakin cemas setelah mencari-cari istrinya yang berwujud manusia itu sudah tiada. Sampai dia keluar dari rumah mencari-carinya. 

Rupanya untuk menjadi manusia tidak seperti yang kubayangkan. Godaan demi godaan dalam jiwa begitu menggebu. Manusia selalu membutuhkan manusia lain yang sejalan. Bahkan sepaham. Zoon Politicon kata Tinton. Apakah ini zoon politicon era baru, manusia perlu eksplorasi makhluk mutan untuk hubungan sepaham. Seperti Mama Levi sepaham dengan manusia lelaki yang menjanjikan jaminan hidup alias tidak akan pernah kelaparan. Disitu manusia berkembang untuk urusan kenyang bersama secara aman. 

Kucing sepertiku tak mungkin memenuhinya. Hanya karena berubah manusia jenisku hilang. Sifat dasarku karniovora tidak mungkin kuhindari karena itu takdirku. Sifar dasar makhluk yang terkontrak dari Tuhan sampai ajalnya. Meskipun sudah terkabulkan menjadi manusia aku tak bisa pungkiri sifat dasarku. Aku hanya menambah kepedihan manusia. Sedang manusia dengan manusia sendiri tidak selamanya, tidak semuanya bisa saling memenuhi hati. 

Suamiku pernah merayuku begini; kamu itu wanita yang tidak pernah punya ego dalam hidupmu, tidak seperti manusia lain, kamu selalu bisa mengimbangi hidupku, apapun mauku kamu memenuhi. Hanya saja kamu itu perilakunya sangat insting sekali. Itulah ungkapan atau rayuan yang tidak bisa membedakan mana kucing dan mana manusia. 

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Misteri
Rekomendasi