WRAPPED IN DEBT
“Ampun dah, bagus banget ni baju. Cocok banget keknya di gue. Kalo gue pake pasti cowok-cowok akan ngelirik nih ke gue.” Gumam Citra sembari melirik dirinya di depan cermin dalam ruang ganti di sebuah butik di Jakarta.
Hari ini Citra sedang memilih-milih baju baru dan segala aksesoris wanita lain untuk dia gunakan sehari-hari ke kantor. Akhir-akhir ini memang Citra sangat senang berbelanja. Terhitung sudah lima kali dalam seminggu dia menghabiskan waktunya ke mall dan butik-butik untuk berbelanja baju dan aksesoris wanita. Citra mengeluarkan uang banyak untuk meng-upgrade penampilannya. Citra bertekat harus mampu memikat laki-laki minimal seperti Sony tingkat ketampanannya. Kalau pun bisa, dia harus mendapatkan laki-laki yang mapan agar dapat membiayai kehidupan sehari-harinya. Namun agar dapat memikat laki-laki tampan dan tajir, maka hal pertama yang harus Citra lakukan yaitu Citra harus merubah penampilannya agar lebih menarik.
“Silakan masukkan pin kartunya, ya, mbak.” Kata salah seorang wanita, petugas kasir di butik tempat Citra berbelanja.
Citra kemudian menggosokkan kartu kreditnya sebelum akhirnya mengetikkan enam digit angka rahasia agar dapat memiliki baju yang telah dia coba di ruang ganti tadi.
Selesai urusan di butik yang baru saja dia datangi, saat berjalan keluar dari butik, telepon genggam milik Citra berdering nyaring di dalam tasnya. Citra merogoh tas hitam miliknya. Mencari benda kecil yang tengah berbunyi nyaring di dalam tasnya itu. “Halo..” Sapa Citra duluan saat mengangkat telepon. “Selamat pagi, ibu. Apa benar saya telah berbicara dengan Citra Kurnia Sari?” Jawab seoranh tersebut dari seberang telpon.
“Iya, benar. Dengan saya sendiri. Ada apa, ya?” Langkah Citra berhenti sebentar menjawab pertanyaan orang diseberang telpon. Ternyata yang menelpon Citra adalah seorang Debt Collector yang sedang mengingatkan Citra tentang utangnya dan menagih Citra agar segera melunasinya. Citra panik dan ketakutan karena merasa tak lagi memiliki uang yang cukup untuk membayar nominal yang telah disebutkan oleh Debt Collector di telpon. Sebab akhir-akhir ini Citra memang sangat kalap membelanjakan uangnya untuk membeli baju baru. Tidak hanya baju, namun Citra juga menghabiskannya untuk membeli segudang skincare dan aksesoris untuk dirinya sendiri. Sehingga dapat disimpulkan bahwa uang Citra kini telah habis. Menyisakan tunggakkan utang yang tidak mampu dibayarnya. Citra menjadi sangat bingung harus berbuat apa. Citra tidak tahu harus membayar dengan apa. Sebab Citra memang sangat bertekad untuk mengubah penampilannya dengan seluruh uang yang dia miliki.
Bagaimana Citra tidak mau bertambah bingung jika ternyata Debt Collector tersebut kebetulan sedang berada di butik yang sama. Hanya hitungan menit Debt Collector tersebut bisa menemukan Citra. Sebab saat Citra keluar dari butik, Debt Collector tersebut sedang berada dipintu keluar butik.
Jadilah Citra sekarang benar-benar panik karena tak bisa langsung melunasi utang-utangnya. Citra berusaha mengelabui Debt Collector tersebut dan berhasil kabur darinya. Sebab takut dan kebingungan harus bagaimana, Citra langsung memesan taksi online menuju rumah Dina. Rumah bos di salah satu perusahaan tempatnya bekerja sekaligus sahabatnya. Sebab dia tidak tahu lagi harus bagaimana dan harus meminta tolong kepada siapa. Dina adalah satu-satunya orang yang dipikirkan oleh Citra untuk didatangi.
Sesampainya dirumah Dina, Citra langsung membabi buta mengetuk pintu rumah Dina. “Apaansih lo gabisa banget biasa aja ngetukin pintu rum-..” Belum rampung kalimat Dina keluar saat membukakan pintu, Citra langsung menerobos masuk ke rumah Dina. Membuat Dina sekali lagi heran dengan kelakuan temannya. “Heiii, lo kenapa sih, aneh banget. Udah ngetuk pintu ga sopan banget, eh main nerobos aja lo.” Tegur Dina marah kepada Citra sembari berbalik badan untuk segera kembali menutup pintu rumah.
“Din, maaf banget gue bingung mau kemana.”
“Iya, lo kenapa tiba-tiba dateng? Mana dalam keadaan panik gini lagi. Ada apasih?” Tanya Dina masih dengan keheranannya melihat tingkah Citra.
“Gue..”
Belum sempat Citra menjelaskan kejadian yang baru saja menimpanya, seorang perempuan dengan tinggi semampai dan berpakaian rapi mengetuk pintu rumah Dina. Citra spontan saja melongok ke arah jendela dan menyadari bahwa yang berada di balik pintu rumah Dina adalah Debt Collector yang tadi dia temui di butik. Seketika Citra kembali panik ketakutan. Ternyata Debt Collector itu diam-diam telah mengikutinya sampai kerumah Dina.
“Iya sebentar..” Dina yang belum mengetahui apa yang sedang terjadi terhadap Citra berjalan perlahan ke arah pintu berniat untuk kembali membukanya.
Tanpa berpikir panjang, Citra langsung saja lari kebelakang rumah Dina. Citra kabur melalui pintu belakang. Dina yang tidak menyadari ketidakadaan Citra dirumahnya, enteng saja membuka pintu dan bertanya kepada perempuan itu, “Nyari siapa ya mbak?”
Debt Collector tersebut menjawab dan menjelaskan maksud kedatangannya kerumah Dina apa. Seketika Dina paham masalah apa yang sedang dihadapi oleh Citra. Dina juga kebingungan harus apa dan bagaimana. Sebab Citra menghilang tiba-tiba sementara perempuan di depannya sangat memaksa agar Citra segera melunasi utang-utangnya yang sudah sangat menunggak. Jadilah dia dengan sangat terpaksa mengambil sebagian dari uangnya untuk melunasi utang-utang Citra. Dina juga menjadi takut karena perempuan di depannya seperti sangat marah kepada Citra sebab utangnya yang sangat banyak.
“Pokoknya saya gak mau tahu, mbak, temen mbak harus segera melunasi seluruh utang-utangnya sebab sudah sangat menunggak dan melewati batas pelunasan.” Perempuan itu menjelaskan dengan emosi tertahan. Masih berusaha mengontrol amarahnya sebab telah dikelabui dua kali oleh Citra. Dina yang tidak tahan ditagih seperti ini akhirnya terpaksa menggunakan uangnya dulu untuk melunasi sebagian utang-utang milik Citra.
Setelah membayar sebagian utang Citra, Debt Collector tadi akhirnya pergi juga meninggalkan Dina sendirian. Dina kemudian menghubungi Citra. Mengabarinya bahwa perempuan tadi telah pergi. Jadi sudah aman untuk Citra datang kembali ke rumah Dina.
“Aduh, maaf banget, Din. Gue gatau harus ngapain lagi kalau si perempuan penagih tuh dateng ke gue marah-marah.” Jelas Citra berusaha membela diri saat kembali tiba di rumah Dina.
Dengan segala emosi yang telah disimpan sejak si Debt Collector tadi datang sampai Citra yang tega meninggalkannya sendirian, Dina membalas, “Lo pikir gue juga ga kebingungan apa menghadapi orang yang lagi kalap gitu nagih utang? Lagian lo uda ga waras ye bisa-bisanya belanja ga nyadar diri sampe numpukin utang sebanyak itu.” Dina menegur marah.
“Lo tuh ya kok bisa-bisanya ga bilang-bilang gitu kalau mau pergi? Malah ninggalin gue sendirian disini.” Dina masih melanjutkan amarahnya.
“Yaampun, Dina.. Kok lo jadi ikutan marahin gue sih? Gue masih takut bakal di datengin lagi ama tuh rentenir.” Citra kembali berusaha membela diri.
“Gimana gue gamau marah kalo lo aja ninggalin gue sendirian disini dengan masalah yang harusnya lo tangani sampai selesai tapi jadi gue yang harus apes nih gara-gara utang lo.” Dina masih marah-marah tak terima.
“Sekali-kali bantuin sahabat lo napa, Din.” Citra menunduk memelas belas kasih Dina yang masih emosi dengan kelakuan Citra.
“Tapi ga gitu juga. Masa lo lari dari masalah. Parahnya lagi lo ninggalin masalah lo buat orang lain dan elo-nya malah kabur. Berani berbuat, berani bertanggung jawab, Citra Kurnia Sari.” Dina berkata serius kepada Citra.
Citra yang menyadari perubahan gaya bicara Dina akhirnya pasrah mengaku salah. “Iya deh, Din. Maafin gue yaa. Gue salah banget udah ninggalin lo sendirian disini tadi.” Citra menundukkan pandangannya. Seolah sadar bahwa yang dia lakukan barusan sangat salah dan telah membuat Dina marah.
Dina menoleh sebentar ke arah Citra, “Nevermind.” Jawab Dina dingin dan singkat.
“Hmm Dinaa..” Citra menyadari bahwa Dina masih marah.
“Apa?”
“Gue minta maaf ya, lo masih marah ga?” Citra bertanya ragu.
“Ga.”
“Yakin?” Citra bertanya memastikan.
“Iya.”
“Yakin banget nih?” Sekali lagi Citra bertanya memastikan.
“Iyaaaaa, Citraa.” Balas Dina geram.
“Lagian sekarang yang harus kita pikiran itu gimana caranya agar lo bisa segera lunasin sisa-sia utang-utang lo dan lo gaperlu ketakutan lagi bakal dikejar-kejar ama debt collector itu.” Dina melanjutkan ocehannya yang terhenti.
“Sisa-sisa maksudnya?” Citra bertanya kebingungan. Bingung dengan kalimat Dina barusan yang bilang bahwa ada sisa-sisa utang Citra yang harus dibayar.
“Iya, sisa.” Dina memperjelas.
Namun Citra masih tidak paham dengan kata “Sisa” yang disebut Dina berulang kali. “Maksudnya sisa apaansih? Kok bisa lo ngomong ‘Sisa-sisa utang‘ gue?”
“Ya jelas sisa lah. Utang lo tuh masih ada sisanya. DIH GUE PECAT LO LAMA-LAMA.” Jelas Dina dengan sedikit ngegas.
“IYA ADUH MAKSUDNYA SISA APAANSI? OTAK GUE GA NYAMPE TAU GA?!!” Citra bertanya geram. Kesal dengan Dina yang tidak menjawab pertanyaannya dengan lengkap. Membuat Citra masih terus dilanda kebingungan dengan maksud Dina.
Dina memperbaiki posisi duduknya di sofa kemudian mulai menjelaskan lagi kepada Citra yang ternyata belum menyadari bahwa Dina telah melunasi sebagian utang Citra. Yang berarti masih ada sisa utang Citra yang belum terlunasi.
“Jadi gue tuh tadi udah bayarin utang lo sebagian.”
“Gue muak banget dengan tuh perempuan yang marah-marah mulu depan gue. Gue gamau pusing berurusan dengan orang kek gitu, jadilah gue bayarin tuh setengah dari utang lo ke dia.” Dina memberi penjelasan panjang. Berhenti sejenak menunggu respon Citra.
Bergeming.
Citra masih berusaha memproses penjelasan Dina. Masih tidak menyangka ternyata Dina sebaik ini padanya.
“Helooo lo kenapa diem aja dah?” Dina melambaikan tangannya ke wajah Citra yang bengong tidak percaya dengan kalimat Dina barusan.
“Lo masih sudi buat ngejelasin lagi ga?” Citra bertanya dengan polosnya. “Otak gue masih belum nyampe. Maksud lo apaan?”
Namun Dina dengan sabar kembali menjelaskan bahwa dia memang telah membayar sebagian dari utang Citra.
“Jadi gue emang udah bayar utang lo. Tapi cuman sebagian. Gue males banget berurusan dengan tu Debt Collector. Lagian juga gue kasian sama lo. Pasti lo masih bingung kan mau bayar pake apa tuh utang-utang lo. Jadi yaudah gue bayarin aja tadi sebagian. Nah kan tuh masih ada sisanya yang belum kebayar, tinggal lo pikirin dah bayarnya mo pake apa lagi.” Dina menjelaskan panjang lebar.
“Yaampuun baik banget sih lo masih mikirin gue. Guee sampe speechless banget.” Citra memandang takjub ke arah Dina.
“Jelas dong, emang lo yang tega ninggalin sahabat sendiri dalam masalah? Gue nih masih ikutan pusing dengan masalah yang lo buat sendiri tapi malah lo tinggalin.” Dina kembali bersungut-sungut. Teringat dengan kejadian beberapa menit yang lalu.
“Jadi terharu nih gue.” Citra membalas penuh drama.
“Dih lebay lo.”
“Hehehe.”
“Jadi gimana nih, ada usul ga?” Dina bertanya.
“Hm gimana ya, gue juga bingung.”
Citra dan Dina terdiam sejenak saling memirkan cara terbaik untuk menangani masalah yang sedang dihadapi Citra. Seperti jalan buntu karena keduanya juga tidak tahu mau meminjam uang kemana.
Sampai akhirnya Citra membuka suara, “Din, gimana kalau lo ngambil kasbon aja di kantor?”
“Apa? Gila lo nyuruh gue ambil kasbon di kantor?” Dina menoleh kaget ke arah Citra. Masih tidak menyangka dengan usulan Citra barusan.
“Iya, emang apa salahnya dah? Orang semuanya juga bisa ngambil kasbon di kantor, masa lo gaboleh sih?” Citra bertanya heran.
“Dih, ga nyadar diri banget lo. Gimana gue mau ambil kasbon dikantor sementara gue bosnya? Sehat lo? Gila kali yee. Gaji lo aja noh gue potong bulan depan.” Dina tidak terima dengan usulan Citra.
Dengan cepat Citra menyaut tak terima,”Yah, yah, yah.. Jangan dong. Gaji gue juga mau dipake bayarin cicilan yang lain.”
“Buseeet dah anak buah gue banyak banget utangnya.” Dina merespon kaget. Terkejut dengan fakta lain bahwa Citra masih memiliki cicilan yang lain.
“Kenapa ga lo aja yang ambil kasbon? Emang ye lo ga sehat nyuruh atasan lo ngambil kasbon. Padahal mah yang pantes dan bisa ambil kasbon tu elo.” Dina mengusulkan balik usulan Citra sebelumnya.
“Yeee ogah gue. Entar gue malah kena julidan Winda dan Lana. Masa seorang Citra ngambil kasbon si di kantor. Nggak, ah.” Tolak Citra mentah-mentah. Citra jelas tidak mau.
“Yaelah mereka doang lagi. Gausah dipikirin kali. Santai aja.” Dina menanggapi. Berusaha membujuk Citra bahwa Lana dan Winda bukanlah siapa-siapa yang patut ditakuti nyinyirannya.
“IH MULUT LO TUH YA. Lo enak aja si ngomongnya soalnya bukannya lo yang naro nama buat ambil kasbon, tapi gue ya jelas aja gue yang malu. Diih, mikir lo.” Citra ngegas tidak terima dengan Dina yang seolah memandang remeh persoalan ambil-mengambil kasbon di kantor. Padahal Citra gengsi dan takut kena nyinyiran Winda dan Lana.
“Yaelah Citra, come on, sekali ini aja. Itung-itung ngilangin gengsi sekali buat hidup lo sendiri.” Dina menatap lurus ke arah Citra. Berusaha membujuk agar mau menghilangkan gengsi.
“Kok lo gitu sih. Harusnya bantuin gue kek. Bukan malah nambahin gengsi gue buat ambil kasbon di kantor.” Ucap Citra sedih. Merasa Dina tidak memihak dengannya.
“Ini juga gue uda bantuin lo, curut.” Balas Dina dengan nada sewot.
“Ya tapi kan belum tuntas gini masalahnya. Ayolah jangan nyuruh gue ambil kasbon di kantor. Malu ih sama yang lain.” Citra masih memohon kepada Dina.
“Kalo lo ga ambil kasbon, lo mau dapet duit dari mana lagi dengan cepat, Cit? Nunggu gaji lo? Kelamaan. Lo juga mau pake buat bayar cicilan lainnya kan.” Dina masih dengan bijak menjelaskan. Berusaha membantu dan memberi saran kepada Citra.
“Tapi Din, gue malu entar kena nyinyiran anak kantor. Bisa aja Lana ama Winda bakal nyinyirin gue di belakang. Masa seorang Citra ngambil kasbon sih.” Citra melipat tangan. Masih gengsi dengan usulan Dina yang tidak masuk akal menurut Citra.
“Hadu, gausah dipikirin. Lagian yang nanti bayarin tuh kasbon kan tetep lo, bukan mereka. Jadi buat apa lo malu?” Dina masih berusaha membujuk walaupun sudah jelas Citra menolak mentah-mentah usulan Dina untuk mengambil kasbon.
Hingga pada akhirnya Citra mengiyakan usulan Dina. “Yaudah deh nanti gue coba ngambil kasbon aja di kantor.” Citra mengangguk pasrah dan setuju akan mengambil kasbon di kantor.
“Asyik banget dahhh, temen gue pinter bener.” Dina bersorak riang karena akhirnya Citra menyetujui usulannya dan mencoba untuk menghilangkan gengsinya untuk mengambil kasbon di kantor.
“Dih.” Citra melirik sinis.
“Apaan sih? Harusnya lo tuh makasih bos lo tu udah baik banget mau nolongin lo.”
“Hehehehe. Din, thanks banget ya udah mau nolongin gue lagi. Kalo gaada lo, gue bener-bener gatau dah harus minta tolong ke siapa lagi. Asli thanks banget ya. Apalagi soal yang tadi. Thank you.” Ucap Citra dengan tulus sembari memeluk Dina sahabatnya.
“Iya sama-sama. Lagian lo temen baik gue, ya terpaksa deh gue harus nolong lo.” Jawab Dina bergurau.
“Dih jahat banget lo, Din.”
“Biarin dah ahhaahaha..”