Disukai
20
Dilihat
5,042
Warteg Cinta
Drama

Kadangkala ia hanya termenung sambil menatap gawai di gengamannya, keningnya mengerut, tak jarang serapahnya keluar dalam bisikan. Tapi aku mendengarnya dengan jelas. 

“Peyek udang satu, sayur tahu, nasinya setengah,” ucapnya tanpa menengok ke arahku. Bahkan saat aku memberinya uang kembalian, ia masih abai akan keberadaanku.

Pukul 12.25, ia pasti sudah berdiri dengan tangan mengantongi saku, atau dilipat di dada sambil mengamati rak kaca. Sebelum menunjuk menu hari ini, ia akan memesan minuman lebih dulu. “Es teh tawar satu.” 

Setiap hari jenis makanannya berubah, aku bisa melihatnya dari tanggalan kapan ia gajian. Kadang cukup nasi putih diguyur kuah nangka, dan diberi bakwan jagung. Atau jika harinya sedang beruntung, ia akan memesan ayam goreng panas, lengkap dengan bubuk serundeng dan sambal terasi. Tetap dengan minuman yang sama, “es teh tawar satu.”

Suatu hari, Abah memberikan amanat untuk menjaga warung sedari pagi, karena hari ini ia harus mengurus Kartu Indonesia Sehat-nya yang bermasalah. Sebagai cucu yang patuh, tentu aku sudah tahu harus menyiapkan apa saja, selain wajah ketus dan konsentrasi hitung menghitung uang kembalian agar tak mudah ditipu.

“Neng, nasi uduk ada?”

Kali ini ia tak datang saat makan siang, karena sebelum jam masuk kantor, wajahnya sudah merengut di hadapan rak penjaja. Aku mengangguk.

“Pakai semuanya kecuali sambal,” ucapnya sambil memainkan gawai di genggamannya. “Lagi diare.” Ia tak menoleh barang sekejap pun.

“Kalau sakit perut, bagusnya makan nasi kuning.” Aku menanggapi. 

Ia mengernyit, masih tak menggubris keberadaanku. “Kenapa?”

“Nasi kuning kan jelas ada kunyitnya, bisa bantu meredakan asam lambung naik.” 

Dahinya belum kembali licin, ia masih mencureng. Tapi kemudian mengangguk-angguk. “Oke juga pendapat kamu.”

“Jadi… nasi kuning?”

Ia merenung. “Nasi uduk aja, deh.”

Kampret! umpatku dalam batin.  

“Bapak mana?” Ia makan sambil memainkan gawai seperti biasanya. Kebetulan warung masih sepi. Baru saja buka.

“Pergi.”

“Kemana?”

Serius? rutukku. Aku cuma mengangkat bahu.

Tapi ia tak menengok ke arahku. Masih sibuk dengan gawai di genggamannya, sambil melahap nasi uduk tanpa sambal yang hampir tandas.

“Nggak es teh tawar?” tanyaku, saat menghitung tagihan.

Akhirnya ia menoleh. Entah kenapa –aku melihat binar di matanya– ia menyeringai, lalu menggeleng. “Nggak, masih pagi.”

“Juga lagi diare.” Aku menambahkan ucapannya.

Ia kembali mempertontonkan deret gigi rapi, dan bibir atasnya yang keriting. “Udah lama bantu Bapak?”

Aku mengangguk. 

“Kok, baru lihat?”

“Mungkin karena Mas sibuk dengan henpon.” Aku berlalu sambil menyampirkan lap di bahuku. Mendengar ia terkekeh dari jauh.

***

Abah memberikan lagi amanat untukku. Kali ini tak hanya menjaga warung, tapi juga menyiapkan beberapa puluh nasi bungkus yang harus dikemas, sebelum waktu makan siang tiba. Sejak Abah sering pergi-pergi, aku menjadi andalannya. Kata Abah, caraku berdagang persis seperti almarhum ibu, selalu teliti dan nyaris tak pernah salah dalam mencentong porsi. Mungkin darah penjaja warteg mengalir bening dalam darahku.

“Alam suka kemari?” Suatu waktu Abah menilik para pelanggannya.

“Alam siapa?” tanyaku.

“Yang putih, kayak bule.” 

Sungguh, di pikiranku tak ada nama Alam, apalagi wajah indo berkeliaran membeli telur balado atau sayur nangka.

“Yang main henpon terus.”

“Ooh, ya ya, ada.” Aku baru ingat wajah itu. Laki-laki dengan bibir keriting dan gigi rapi.

“Kamu layani dengan baik?”

“Memangnya aku harus pilih-pilih?”

Abah terkekeh, lalu menyambit pahaku dengan lap. Ia diam, menoleh ke kanan dan ke kiri. “Alam itu langganan sedari warung ini baru buka.”

“Terus, memangnya kenapa?”

Abah termenung. Dia menepuk kursi di sebelahnya. “Duduk sini.”

“Mau cerita apa, Bah?” Decakku gemas.

“Dulu sekali, waktu ibumu masih ada.” Tatapannya mulai menerawang. “Alam hampir keracunan.”

Aku terbelalak. “Makanan dari sini?”

“Masakan ibumu.”

Aku menepuk dahi, lalu mengumpat pelan. “Ibu masak apa?”

“Sayur rebung,” jawabnya. “Ibumu masak lodeh rebung, tapi kurang matang. Jadi, getahnya masih mengandung racun.”

“Terus bagaimana? Dia sakit perut?”

“Muntah-muntah, keringat deras, dan hampir pingsan.” Abah meringis. “Nyaris lewat.”

“Waduh!”

Abah mengangguk. “Iya, waduh,” ulangnya. “Untung dia nggak menuntut warung ini. Malah sejak saat itu, Alam nyaris nggak pernah bolos datang kemari.” 

“Lho, kenapa?”

“Entahlah, manusia aneh.” Abah geleng-geleng kepala.

“Dia kerja di mana?”

Telunjuknya mengarah ke gedung tinggi seberang warung miliknya. “Bank.”

Aku manggut-manggut. “Bukannya di sana ada kantin, Bah?”

Kini Abah yang mengangkat bahu. “Gara-gara lodeh rebung ibumu, dia kecanduan datang kemari.” 

“Manusia aneh,” bisikku sambil geleng kepala, lalu melirik jam di dinding. Pukul 12: 15. Sepuluh menit lagi, manusia aneh itu datang kemari.

Tepat 12:25, ia menyilangkan tangannya di dada sambil mengamati rak pajang warung. Kali ini, bola matanya bergerak-gerak mencari sesuatu, hingga ia menemukan wajahku. Deret giginya rapi, dan bibir keritingnya menyunggingkan senyum lebar. Lalu, jarinya mengarah ke telur balado di piring. “Neng!” Ia memanggil. “Yang ini,” tunjuknya.

“Pakai apa lagi?”

“Nasinya setengah, sambalnya satu sendok.”

“Telur balado-nya udah pedas,” sergahku. “Kalau ditambah sambal, nanti diare lagi.”

Ia mengamati sesuatu di wajahku, lalu tersenyum dan mengangguk. “Kalo gitu, es teh tawar satu, kerupuk dua.”

“Kerupuk ambil sendiri di toples,” ucapku sambil mengedikkan dagu. Tak berani melihat ke arahnya.

Sambil melahap nasinya yang masih mengepul, sesekali ia memindai gerakku. Entah kenapa, kali ini ia tak memainkan gawainya.

“Jadi… kapan kawin, Lam?” Tiba-tiba Abah melempar pertanyaan, sambil duduk di kursinya menghadap para langganan.

Lelaki itu mesem-mesem, mulutnya masih penuh. “Nggak jadi, Pak.”

“Lho, kok?”

Ia lalu menggeleng, sambil melirik aku yang sedang mengelap meja di belakang. “Ketemu yang lebih ayu.”

Hoalah, mudah banget berubahnya.”

Ia terkekeh. “Baru sadar sesuatu, Pak.”

“Apa itu?”

“Selama ini, yang ayu ada di depan mata.”

“Orang mana memangnya?” Telisik Abah.

Ia mengusap telapak tangannya ke celana. “Orang dekat.”

Abah hanya tertawa. Sementara wajahku memanas, entah kenapa.

***

Jalur lalu lintas depan warung selalu macet menjelang tengah hari, karena area perkantoran sepanjang jalan ini, padat oleh karyawan yang mencari penganan makan siang. Belakangan, dadaku sering berdebar menjelang bada dzuhur, 12:25 lebih tepatnya. Menunggu seseorang dari seberang datang, dan menyuruhku memilihkan menu makan siang untuknya. Hal sederhana yang membuatku semangat menghadapi pelanggan sepanjang hari, demi melihatnya tersenyum atau mengucap pujian atas hasil masakanku.

“Nggak es teh tawar?” tanyaku malu-malu.

Ia menggeleng. “Lagi batuk.”

“Jangan makan kerupuk kalau begitu,” cibirku. “Apalagi sambal.”

Ia terkekeh. “Besok kalo gitu, sekarang ini aja. Telur balado dan kerupuk,” ucapnya sambil melahap nasinya dengan rakus. “Favoritku.”

Aku tersenyum lebar. Cukup beberapa patah kata, sanggup membuat hatiku lumer dipanggang terik matahari.

“Neng….”

“Ya?” Sungguh ia tak pernah repot-repot menanyakan namaku. Cukup memanggilku, dengan nama yang Abah sematkan.

“Nggak masak lodeh rebung?” ucapnya hati-hati.

Aku menggeleng. “Nggak bisa bikinnya.”

“Ya, belajar,” suruhnya sambil menyerahkan selembar lima puluhan ke atas meja. “Gara-gara lodeh rebung, saya jadi keranjingan warteg ini.”

Aku tersenyum. “Eh, kembaliannya?”

“Ambil aja.” 

Aku merenggut, lalu mengejarnya yang nyaris berlalu. “Nggak ada yang semahal itu di sini.”

“Harusnya mahal, dilayani kamu harusnya lebih dari segini,” ucapnya keras kepala. “Ambil aja. Mumpung baru gajian.”

Aku melongo, sambil menatap punggungnya, menyeberang jalan protokol yang memisahkan tempat kerjaku dan tempat kerjanya.

***

Sudah hampir puluhan 12:25 siang, ia tak pernah datang lagi. Sudah berkali-kali aku nyaris menanyakan keberadaannya ke satpam seberang sana, tapi nyaliku lagi-lagi ciut.

Sampai satu waktu, Abah menemukan seseorang yang dikenalnya.

“Tumben jajan ke sini, Mbak?”

Beberapa perempuan berpoles make-up tebal tersenyum padanya. “Kantin kantor sedang renovasi, Pak. Makanya kita makan siang di sini.”

Hoalah, pantas dari kemarin warung kita ramai. Kedatangan tamu dari seberang.” Abah terkekeh. “Tumben, yang langganan malah nggak pernah datang lagi.”

Satu orang di antara lima karyawati yang sibuk menunjuk rak makanan pun menyahut. “Siapa, Pak?”

“Alam. Langganan warteg sini.”

“Lho?” Ia mengerling ke arah temannya yang lain. Lalu kembali mengamati wajah Abah. “Alam sudah pindah Pak, mutasi.”

“Waduh….” Cuma itu yang keluar dari mulut Abah, sambil melirikku.

Udara panas yang berhembus dari luar tirai, membuat tengkukku ikutan gerah. Keringat meleleh membasahi kening dan leherku. Setelah menghitung harga makanan yang mereka pesan, seseorang menghampiriku. “Ada salam dari Alam,” ucapnya.

Aku tersenyum, agak kecut. Namun tetap mengangguk dan menjawab. “Waalaikumsalam.”

Perempuan itu tak melanjutkan ucapannya. Lantas ia berlalu. 

Abah menatapku dengan raut yang tak bisa ku tebak, ia berdehem, lalu mengibaskan tangannya. “Sana, tanya!”

Sontak aku beranjak dan melangkah cepat, keluar dari bilik dagangku, dan mengejar rombongan karyawati bank itu. “Mbak, maaf numpang tanya,” ucapku memberanikan diri pada salah satu karyawati, yang memberikan titipan salam untukku tadi. “Alam mutasi ke mana, ya?” 

“Ke Palembang.” Ia tersenyum. “Alam bilang, masakan Neng warteg seberang enak. Makanya kita semua pengen mencoba.”

Aku tersenyum sambil memilin kemejaku. “Makasih.”

“Alam nggak pamitan?” tanyanya.

Aku menggeleng pelan. Degup kecewa di dadaku mulai bersahutan. “Pindahnya sudah lama?”

Perempuan dengan gincu merah di bibirnya itu menilik wajahku, ia tampak mengasihani. “Alam mutasi setelah menikah, Neng.”

Aku melongo menatapnya. Terik matahari di atas ubun-ubunku, rasanya dua kali lebih beringsang dari biasanya. Peluh yang meleleh di tengkukku, merembes membasahi punggung hingga ketiak. 

Tanpa banyak berbasa-basi, aku melangkah mundur dan berjalan gontai menuju warung Abah, menatapnya yang masih tersenyum lebar hendak menggoda. Namun aku sedang tak berselera menanggapi ocehan Abah. 

Aku diam di dapur belakang warung, kembali menekuri sebonggol rebung yang sedang kuiris untuk dimasak esok hari, menjadi lodeh rebung ala ibuku. Memasak menu yang laki-laki itu minta, tapi ia malah menguap dan menghilang ke seberang sana, bersama belahan hatinya.

 

  

  

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
@caba2000 : 😁😁😁
PHP ini namanya. Alam di tokohnya Laut Bercerita tuh baik, kok ini jahat ya? 😁
@lirinkw : iya nyebelin yak Mba. Duh, Mba Lirin dari semua jenis pertanyaan, dirimu memilih yang nggak bisa kujawab... speechles :D Itu loh, Mba, bibir atasnya yang agak berombak kayak Nicholas Saputra gitu loooh :D
Ampun deh endingnya 😳 btw, masih ngebayangin bibir keriting itu kayak gimana ya? 😅
@channa96 : kadang hidup memang gitu... nyebelin wkwkwk
agak nyebelin ya endingnya... wkwkwk
@ariyyy : hehehe akhirnya ke Palembang, buat ngulik resep pempek 😄🙏
sebenernya ke Palembang pun mungkin bakal nekat disusul. Tapi begitu diikuti kata nikah, batal deh ke Palembang.
@pawsen : Wah, makasih ya udah dibaca. Warteg memang selalu punya cerita ☺️
Duh inget suka ke warteg, enak, murah dan mengenyangkan
Rekomendasi dari Drama
Rekomendasi