Disukai
2
Dilihat
192
Wani Wedi
Thriller
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

MATA Wani terus membelalak jeli, menyapu setiap sudut jalanan. Ia melangkah pasti, menyusuri selasar kampung. Mengabaikan kumandang azan yang saling bersahutan, seiring langit jingga yang beranjak petang.

“Farhanah! Di mana kau, Nak?” Mulutnya tak henti berteriak.

Namun, hingga kegelapan menyelimuti seluruh kampung, orang yang dicari tak kunjung datang. Para warga pun seolah tak peduli, mereka sibuk melakukan aktivitas masing-masing. Ada yang buru-buru mengangkat jemuran, memasukkan motor ke ruang tamu, membakar sampah, atau menjewer anaknya agar lekas pulang.

Wani lantas mengikuti anak-anak yang melajukan pedal, berlomba ke musala. Meski laju kaki Wani kalah cepat, ia bisa mengikuti bekas ban sepeda di jalanan yang becek, sisa hujan tadi siang. Wani melongok dari jendela, barangkali ada Farhanah di sana.

Nihil.

Tak ada Farhanah di musala. Akhirnya, Wani pulang hanya berbekal cemas dan duka.

Begitu membuka pintu rumah, aroma tembakau seketika menyeruak. Membikin amarahnya kian memuncak.

“Astaga, Mas Dipa!” Dipa hanya melirik sekilas, kembali mengisap sebat dengan khidmat. “Farhanah hilang loh, Mas! Kok kamu malah santai duduk di sini sambil ngudud? Bapak macam apa kamu!”

Dipa tak menjawab. Api itu tak hanya membakar rokok dan paru-paru Dipa, tetapi juga menyulut amarah Wani.

Wani lantas menghentakkan kaki, meninggalkan ruang tamu. Ia membuka pintu kamar tengah, berharap ada petunjuk keberadaan Farhanah. Hati Wani seketika mencelos tatkala melihat Farhanah terbaring di tengah dipan.

Diusapnya ubun-ubun putri semata wayangnya itu. Lembut dan penuh kasih. “Kau ini, Ibu sudah mencarimu ke seluruh kampung, ternyata tidur. Tidak baik tidur saat surup, Nak.”

Kelopak Farhanah terbuka perlahan. Menampilkan bola matanya yang kuning dan kering.

“Bu, Hana haus.”

Wani tersenyum hangat, dikecupnya dahi Farhanah yang dingin. “Tunggu sebentar, ya.”

Wani menuju dapur dengan langkah ringan. Persetan dengan Dipa yang masih bersila di sofa, yang penting Farhanah sudah aman. Ia segera mengambil segelas air dan lekas ke kamar.

Sesampainya di ambang pintu, gelas di tangan Wani sekonyong-konyong terjatuh. Basah menjalar di telapak kaki, seiring bising dentum gelas membentur jubin.

“Farhanah!”

Wani menyibak selimut, mengangkat kasur yang sudah setipis kulitnya; nihil. Di kolong dipan, di dalam lemari; semuanya nihil. Dicarinya Farhanah ke kamar depan, dapur, dan kamar mandi; nihil.

“Farhanah!”

Tak ada tanda-tanda keberadaannya. Wani kembali kalut. Tak ada Farhanah di segala penjuru rumah.

Saat Wani melewati ruang tamu, Dipa buru-buru memegang erat tangan Wani.

“Lepas, Mas!” Wani terus mencoba melepaskan diri. “Mas! Kalau kamu tidak peduli dengan anakmu, setidaknya biarkan aku mencarinya sendiri!”

Tenaga Wani memang tak sebanding dengan Dipa. Namun, jika sudah menyangkut keselamatan anak, segala yang tak mungkin akan menjadi mungkin. Setelah berupaya keras, ia berhasil melepaskan diri dari cengkeraman Dipa. Sayangnya hanya sementara, sebab Dipa buru-buru memeluknya. Menenggelamkan kepala Wani di tengah ketiaknya yang lebat dan apak. Wani terus memberontak.

Melihat Wani yang semakin liar, Dipa tak punya pilihan lain. Dipegangnya kedua bahu Wani kuat-kuat.

Eling, Ni! Eling!”

“Apa maksudmu?” Dipa hanya diam. “Aku harus mencari Farhanah, Mas.”

Cakram di bahu kiri Wani mengendur. Tangan kanan Dipa beralih mengusap pipi istrinya.

“Farhanah sudah meninggal!”

Pergerakan Wani berhenti, termasuk air matanya. Ia menerawang jauh, melintasi dimensi waktu. Wani tersenyum getir. Lantas menjatuhkan diri di jubin yang dingin.

“Farhanah sudah meninggal?” Suaranya lirih, menguap begitu saja tanpa jawaban. “Farhanahku sudah pergi?”

Senyum di bibir Wani perlahan berubah isak pilu. Menyayat indera siapa pun yang mendengarnya.

“Farhanah.…” Wani terus menangis. Sesak di dadanya kian terasa tatkala Dipa memeluknya erat. Lebih sesak lagi karena Wani diselimuti perasaan bersalah, bahwa ia telah gagal menjadi orang tua. Ia tak berhasil menyelamatkan nyawa putrinya.

“Farhanah!”

Wani melengking kencang. Teramat kencang hingga membangunkannya ke alam sadar. Seluruh tubuhnya telah basah diguyur keringat. Jantungnya berdentum tak beraturan.

“Ternyata hanya mimpi.” Sejenak, Wani dapat bernapas lega.

Dipa turut terbangun, menyaksikan istrinya dengan napas tersengal. Dipa tampak lebih tenang, barangkali sebab telah terbiasa mendapati pemandangan yang demikian.

“Mimpi buruk lagi?” Wani mengangguk lemah, lalu bersiap meninggalkan ranjang. “Mau ke mana?”

“Ke kamar Farhanah.”

“Farhanah?”

“Aku mau memastikan Farhanah masih ada di kamarnya.”

“Farhanah siapa?”

Wani terduduk kaku, memandang tajam suaminya.

“Aku tahu kamu terpuruk, Ni, tapi jangan begini, dong. Mau sampai kapan begini terus? Kamu kan sudah janji bahwa kita akan melalui ini bersama-sama?”

Kedua alis Wani tetap berkerut, meminta penjelasan lebih lanjut.

“Wani, manusia hanya bisa berencana, tapi Gusti yang menentukan semuanya. Kalau Gusti belum berkehendak, mau bagaimana lagi? Kita harus ikhlas, Ni.”

“Mas Dipa ngomong apa sih?”

Dipa menatap sendu istrinya, yang malah membuat Wani semakin bertanya-tanya. Wani terus mendesak; membikin Dipa kewalahan mencari cara menghaluskan kenyataan.

“Dokter kan sudah bilang.…”

“Kalau Farhanah meninggal? Jadi, mimpiku itu benar?”

“Wani….”

“Farhanah betulan meninggal, Mas?” Suara Wani nyaris bergetar.

“Dokter bilang ada masalah di rahimmu, tapi Dokter juga bilang kalau kita masih bisa berusaha. Syaratnya satu, kamu tidak boleh stres.”

Mendengar jawaban Dipa, segera Wani menyandarkan tubuh ke dinding sembari memijat pelipisnya sendiri.

“Bagaimana aku tidak stres kalau semua orang bertanya ‘kapan punya anak?’, Mas? Bagaimana aku tidak stres kalau selalu dihantui mimpi bahwa anakku akan mati?”

Wani kembali terisak, nyaris tanpa suara. Wani menenggelamkan kepalanya di antara kedua lutut, duduk terkulai sembari memeluk dirinya sendiri. Meratapi nasib yang begitu kejam menghunusnya dari berbagai sisi.

“Apa mungkin Gusti tidak memberiku anak karena tidak mau melihatku semakin stres ya, Mas?”

Hening. Tak ada jawaban.

“Mas?” Wani mendongak, tak ada siapa pun di sana. “Mas Dipa?”

Wani terus mencari. Matanya menelisik ke setiap sudut kamar. Cupingnya mengendus feromon khas Dipa, tapi wujudnya tak terdeteksi radar penciumannya. Saat Wani akan meninggalkan kamar demi mencari Dipa, matanya tertuju pada kertas yang tertancap di belakang pintu.

Wani terpaku sesaat, hingga tak menyadari pipinya telah banjir didera duka. Kertas itu memeluk sang kekasih rapat-rapat. Mas Dipa-nya terbujur rapi di antara abjad yang mewartakan kecelakaan maut bulan lalu.

“Apa-apaan ini semua!” Wani menjambak rambutnya yang masih berantakan. Ia menjerit lantang, meluapkan amarah sebab dipermainkan oleh kenyataan.

Entah apa yang sebenarnya terjadi hingga ia terus-menerus dilanda mimpi dan halusinasi.

“Jangan-jangan ini juga mimpi!” Ditamparnya kedua pipi berkali-kali untuk melampiaskan rasa sakit hati. Demi memastikan ia benar-benar berada dalam ruang sadar.

Tak berselang lama, Wani berlari ke kamar mandi. Ia hendak menyegarkan diri dan pikiran. Diraihnya gayung di tepi bak, menangkup air seperlunya, lantas mengguyurkan air ke seluruh wajah. Alih-alih kesegaran, cuping Wani menangkap aroma anyir dan busuk.

Bak di kamar mandinya dipenuhi air keruh. Di permukaan, terkulai segumpal daging yang mengembang. Kulitnya putih pucat, berkeriput dan lebam. Dengan sisa tenaga, tangan Wani membalik sosok itu.

Getar tangan Wani mendadak terhenti ketika melihat ia sendiri telah mati menenggelamkan diri.

***

Kendal, April–Mei 2024

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
@mega : Terima kasih, Kak Mega.
❤️❤️❤️