Di satu ruang tamu dalam rumah yang tidak terlalu berukuran besar, hanya saja cukup untuk mereka ber 5 dijadikan tempat tinggal.
Rumah yang dari luar tampak biasa saja tetapi di dalam isinya furniture dengan desain aestetic jadi bukti nyata untuk mewakili karakter asli dari si pemilik.
Rumah ini tempat habitat makhluk-makhluk unik seperti...
Alfa "Heh! Na, lo masuk aja ke band, penggemar lo pasti membludak!"
Bara "wahh gila sih tadi, cewek cewek pada neriakin lo di cafe pas lo nyanyi." Bara menonton vidio perform mereka pas tadi mengisi acara di cafe tempat biasa mereka manggung.
Arin "Mana gue lihat bar!" Arin mendekat ke arah Bara, bara sedikit menyodorkan hp nya.
Gibran yang sedari tadi diam tidak bergeming kemudian nyeletuk "kalian tau kalo Krisna masuk band kita julukannya apa?"
Mereka serempak menoleh penasaran "apa?!"
"Si cakeup, si gemes, oppa oppa Bandung" sahut Gibran
"HAHAHAHA!!!!" mereka tertawa
"Ogah!!!!" Tolak Krisna.
Terdengar suara sandi pintu terbuka, artinya ada seseorang yang masuk.
"Putri es sudah pulang" sahut Krisna.
Perempuan itu masuk kedalam rumah, membuka dan menyimpan sepatunya terlebih dahulu di rak dekat lorong pintu masuk rumah, ia kemudian berjalan lurus ke arah ruang tamu, dengan santai dan anggun melewati mereka begitu saja yang sedang berkumpul.
"Gue sama Alfa udah belanja makanan tadi, lo bersih-bersih aja dulu, ntar gue panggil" kata Arin.
Orang itu adalah Jeje, ia orang paling introvert diantara mereka, seperti pada novelnya yang alurnya susah ditebak, penulisnya pun memiliki sifat misterius yang membuat orang penasaran.
Jeje melihat sekilas ke arah keresek yang tergeletak di atas meja sebelum ia menaiki tangga menuju ke kamarnya.
Mereka ber 5 kembali berisik masih mengoceh ngalor ngidul.
'BLUG' ia menutup pintu kamarnya, kini tidak terdengar lagi suara ocehan teman temannya ditelinga perempuan berambut pirang tebal itu, tak langsung berganti pakaian ia malah bergegas menghampiri meja kerjanya, membuka komputer dan fokus mengerjakan pekerjaan seperti biasanya.
Di ruang tamu, masih perkara band.
"Krisna, kalo lo masuk band, lu pasti terkenal!" ucap Alfa masih keukeuh membujuk Krisna.
"Bener, itu akan jadi keuntungan buat lo" timpal Bara.
"Ogah, lagian nih kalo gue masuk band, band yang terkenal karena ada guenya! Yang ada lo semua yang gue untungin!" tolak Krisna mentah - mentah.
"Bener juga" Arin ngangguk - ngangguk.
"Begini saja, biarin Jeje yang nentuin, kita tanya pendapat dia" Bara memberi solusi.
"Dia gak peduli apapun, dia cuma fokus ke karyanya" pungkas Arin.
"Cewek misterius!" ucap Bara memicingkan matanya, bak sedang berdrama.
30 menit berlalu.
"JE TURUN" teriak Arin dari bawah.
Mereka menyantap makanan bersama, "Je gimana tadi bedah bukunya?" tanya Alfa membuka obrolan.
"Yah seperti biasa" ucap Jeje.
"Gue heran, lu gak pernah jatuh cinta, tapi novel romance lu selalu laku" ucap Arin memandangnya penasaran.
"Yang lebih herannya lagi novel dia semuanya realistis, kayak kisah nyata, padahal lo kan belum pernah ngalamin itu semua" Arin meneruskan.
"Lu pesugihan karya ya! Makanya selalu best seller terus!" celoteh Bara.
Plakk!!! Krisna memukul kepala Bara.
"HEIII!! Sakit bangsat!" Bara meringis kesakitan.
"Lu tiap hari tinggal disini emg lo pernah liat BABI disini?!" Kata Krisna, ia menekankan intonasinya pada kata BABI sehingga terdengar jenaka.
"Kalo Jeje miara babi ngapain dia capek capek bikin karya, udah aja babinya yang suruh buka warung!" timpal Gibran.
"Sorry sorry je" Ucap Bara.
"Semua itu tentang imajinasi!" Krisna si paling menemukan titik terang.
"Gue beli rumah ini, karena salah satu impian gue ingin ngedekorasi isinya sesuai selera gue, ini rumah Korean vintage style, kenapa jadi sarang badut kayak gini!" Jeje tidak tahan melihat isi rumahnya yang jauh dari dream housenya.
"Wah parah!! Lu semua membunuh keidealismean Jeje!" ucap Krisna, merasa benar.
"Halah gue tau lo gak seperfeksionis itu" ucap Bara pada Jeje.
Jeje adalah pemilik resmi dari rumah ini, mereka tinggal disini sudah pasti atas seizin Jeje, oleh karena diantara mereka Jeje-lah yang pertama mencapai kesuksesan, sehingga ia berhasil membeli huniannya sendiri. Mereka ber5 kecuali Krisna, adalah teman dekat sejak SMA sudah pasti akan saling tolong menolong.
"Besok, lo jadi berangkat liburan ke Pulau Peju Je?" tanya Arin.
Jeje mengangguk sambil menatap layar laptopnya. "Jadi"
"Bagus, penulis butuh tempat tenang biar dapat inspirasi" ucap Gibran
"Iya karena disini ada lo pada! jadi Jeje gak bisa fokus!" celetuk Krisna, yang disambut tatapan tajam mereka berempat.
"Oke guys gue cabut, gue harus menyiapkan buat acara kampus besok, sebagai penanggung jawab acara" ucap Krisna buru buru mengemas sebelum teman temannya membunuhnya.
"Masih inget rumah lu?!" ucap Gibran
Krisna tidak menggubris ucapan Gibran, ia segera beranjak.
Jeje melangkah untuk kembali naik ke kamarnya, baru selangkah menuju tangga pertama, ia berkata "Heh. Agem kunci mobil lo ketinggalan." Jeje melempar kunci mobil Krisna.
"Ah iya" ucap Krisna.
"Agem apaan?" Tanyanya.
Mereka serempak menjawab "AA GEMES HAHAHAHAH!!!!" mereka sangat senang melihat ekspresi kesal Krisna.
"Sialan!!" Krisna.
Jeje tersenyum melanjutkan langkahnya naik tangga.
Krisna berjalan menuju pintu, sebelum itu dia menengok kembali ke arah mereka dan berkata
"Lu semua mening jaga lilin!!! Dari pada terus ngerepotin yang punya rumah!"
"HAHAHHAA" Krisna selalu tidak kehabisan ide buat memojokkan mereka. Setelah itu dia benar benar pergi.
Di kamar Jeje, dia duduk santai melamun di atas kasur.
"Imajinasi?" Jeje kembali mengingat perkataan Krisna tadi.
"Gue rasa imajinasi gue masih kurang kuat untuk dibuat novel romance"
"Kenapa setiap gue membuat karakter pria, gue merasa ada bagian kosong yang tak terisi."
"Dimana letak bagian yang kosong itu?" Jeje bermonolog.
Di pulau Peju.
Jeje sudah menghabiskan beberapa hari disini, kini ia ingin berkunjung ke toko eskrim yang beberapa waktu jadi perbincangan di internet.
Melihat seberapa banyak pelanggan yang antri panjang tak heran jika toko eskrim ini mendapat jutaan pengikut di Instagram, sepertinya tidak hanya penduduk Pulau Peju saja tapi banyak turis luar kota yang sengaja ke Peju hanya untuk memenuhi rasa penasaran dengan rasa eskrimnya, seperti dirinya.
Jeje berdiam diri termenung menatap langit mendung, memilih menunggu diluar toko untuk menghindari berdesak desakan.
'tak banyak orang tau ada hal lain yang bisa dinikmati selain eskrim'
"Aku kira kita akan tidak sengaja bertemu di perpustakaan atau toko buku, bukan di toko eskrim"
Jeje melirik bingung kepada pria asing disampingnya ini,
Dia tersenyum, menyodorkan satu eskrim yang digenggamnya "antriannya masih panjang"
Jeje refleks menerima eskrim itu, meski bingung harus bereskpresi bagaimana sampai lupa mengucapkan terimakasih, dengan santainya ia menikmati eskrim itu, tak sadar pria disampingnya masih ada.
"Boleh tau namamu" ucap pria itu
Jeje melihat langit yang mulai menghitam, pertanda akan hujan.
"Hujan" ucapnya kepada pria itu dengan muka serius.
"Tidak percaya?" Jeje menengadah agar bisa melihat pria yang lebih tinggi darinya itu.
"Percaya" ucap pria itu menunjukkan ekspresi ketertarikan.
"Namamu?" Tanya Jeje.
"Sastra" ucap sastra
"Tidak percaya?" Tanya sastra.
"Tidak" Jeje tegas.
"Aku lebih percaya kalo kamu kurir eskrim" lanjutnya.
Pria itu sama sekali tidak mengalihkan pandangannya dari wajah Jeje.
"Jangan dulu beranjak masih hujan" ucap sastra.
Jeje memandang kedepan, tidak tertarik pada pria ini.
"Hai, aku tahu kamu, aku salah satu penggemar karya karya kamu, boleh minta tanda tangan?" ia mengeluarkan novelnya.
Jeje menoleh, ia sungguh tidak peduli apapun yang pria ini lakukan. Yang ada dibenaknya sekarang 'dia tau nama gue'
"Aku tertarik dengan kamu, aku jatuh cinta pada saat pertama kali novelmu membawaku untuk mencari lebih tahu kamu di internet, dan sekarang kita bertemu." Tuturnya.
"Aku suka caramu bermain perasaan lewat tulisan." Sastra
Kali ini perempuan bertopi baret coklat itu menatap Sastra, mata mereka beradu semakin dalam.
"Kamu orang yang aku cari, Sarah." ucapnya, sarah menangkap bola mata itu dengan perasaan yang berbeda.
Seperti ada sesuatu keterikatan yang ia rasakan dengan pria ini, ketika Sastra berbicara.
"Aku seorang seniman juga, aku bisa menyentuh dan merasakan hati seseorang lewat karyanya, kamu satu satunya penulis yang menurutku adalah org yang aku cari." ucap pria asing yang membuat Sarah mulai tertarik siapa Sastra.
"Tapi aku tidak tahu karyamu" ucap Sarah
"Aku bukan penyanyi tapi aku musisi, aku menciptakan lagu untuk aku jual kepada penyanyi." Tuturnya.
Musim hujan yang membentuk energi sejuk akhir akhir ini menyelimuti langit dan elemen yang ada di bawahnya, mencipta sensasi rasa tak-biasa kepada setiap makhluk, seperti saat ini dorongan mencipta puisi dan karya sastra dikepala Sarah.
"Aku tinggal disini, mau aku antar ketempat yang bagus?" tanya Sastra.
"Aku rasa pulau ini punya daya yang kuat untuk membangun inspirasi buat karyamu selanjutnya"
"Iya memang, aku beberapa kali ke sini, itu juga yang aku rasakan" ucap Sarah.
Kemudian mereka saling bercengkrama, berjalan diatas genangan air yang membasahi dua pasang sepatu yang tengah berjalan santai, air hujan yang masih sedikit menetes tak mereka hiraukan, keduanya sangat menikmati aroma tanah sehabis hujan, mereka terlihat seperti 2 orang yang sudah menjadi teman berbincang dari waktu yang lama.
"Datang ke rumahku besok, jika kamu tertarik" Sastra tersenyum ramah.
"Aku tidak bisa" Sarah
Sastra terdiam.
"Aku harus pulang besok."
Terlihat diraut wajahnya sedikit kecewa.
"Oke"
*****
'ting tong' suara bel berbunyi, lantas pemilik rumah segera membuka pintu agar dapat mengetahui siapa yang bertandang saat ini.
Ia tersenyum, sangat senang.
Rumah Sastra didominasi warna hitam campur abu, suhu pada ruangannya sejuk karena sekeliling rumah ini adalah pohon dan kebun, seperti villa pada umumnya.
Yang membuat ini menarik dimata Sarah adalah cara Sastra menata dan memilih furniture, sehingga terlihat mencerminkan gabungan sisi seni dengan seorang pria muda.
Sastra tersenyum.
"Rumahmu cantik" tulus Sarah.
"Kamu tidak bertanya, kenapa aku datang?" Sarah.
"Emmm, kenapa?" Sastra bertanya walau dirinya tidak penasaran, kini yang terpenting Sarah sudah disini.
"Jadwal keretaku berangkat sore" Sarah.
"Mau coffee?" Sastra menawarkan
"Boleh"
Mata Jeje menyapu semua sudut ruangan rumah ini.
"Aku kira ini lebih tepat disebut villa daripada rumah"
"Sama sama tempat tinggal" Sastra
Sarah mengangguk ngangguk.
"Rumah yang sangat mencerminkan bahwa penghuninya seniman." Katanya.
"Terimakasih" Sastra.
Sarah duduk sambil terus memperhatikan kedua tangan Sastra yang lihai menggunakan mesin kopi.
'Ini apa,'
perasaan deg degan yang membuat Sarah betah melihat pria ini, apa dia jatuh cinta?
Sarah menelusuri pria ini dari ujung kepala hingga ke telapak kakinya yang langsung bersentuhan dengan lantai karena tidak beralas apapun,
Sarah terpaku.
Sastra mengingatkan dirinya pada semua tokoh pria yang ia ciptakan, ia-pun menyadari Sastra adalah kesimpulan dari semua karakter yang ia buat. Ini yang Sarah cari, ini yang Sarah inginkan, itu ada pada Sastra.
Sastra menjadi jawaban atas semua yang selama ini Sarah pertanyakan, kenapa ia merasa karyanya tidak sempurna?
Karakter dari tokoh pria yang ia buat selalu serasa ada yang kurang, tapi ia tidak dapat menemukan celahnya dimana.
Coffee tiba dimeja.
"Aku hendak membayar eskrim kemarin, aku mampir ke toko eskrim, sebelum datang kesini" Sarah menyodorkan tas plastik berisi eskrim yang dibawanya.
Sastra tidak bisa berkata, terlalu senang, ia hanya ingin menikmati waktu bersama perempuan yang ia yakin cintanya ada pada wanita ini.
"Berkaryalah denganku Sarah." ucapnya memandang Sarah lekat.
"Aku memang mencintai karya sastra ku, aku tidak akan berhenti membuat karya" ucap Sarah.
"Disini denganku" ucap Sastra lembut.
Sastra dan Sarah berjarak sangat dekat, ada perasaan betah yang tak bisa Sarah sangkal.
"Aku ingin menjadi Sastra yang tertulis dalam karyamu" ucapnya sungguh-sungguh. Sangat dekat dengan wajah Sarah.
"Aku hanya hidup untuk cinta dan karya, Sarah." Sastra.
"Karena itulah aku adalah orang yang kamu cari?" ucap Sarah menangkap pemikiran Sastra.
"Iya, karena dari pertama kali aku membaca tulisanmu aku merasa memiliki cara pandang yang sama denganmu perihal cinta dan karya." Sastra.
"Rasa adalah bahan bakar utama dari sebuah karya, karna karya yang sesungguhnya tercipta dari perasaan yang murni, itu adalah prinsipku sebagai seorang penulis." ucap Sarah.
"Benar sekali Sarah," ucap Sastra
"Kecocokan dari cara kita berkarya dengan meramu perasaan, yang membuat kita pada akhirnya saling mencari, bertemu dan...." ucapan Sarah bergantung.
"Dan saling jatuh cinta" ucap Sastra melanjutkan.
"Ketika kita saling mencintai karya akan terlahir dari itu" Sastra
Mereka saling bertatapan.
"Aku jatuh cinta padamu, apa kamu tidak merasakan perasaan yang sama?" Sastra to the point.
"Aku harap kamu bisa merasakan apa yang aku rasakan saat ini" ia sangat berharap Sarah mengerti perasaanya.
"Perasaan seperti apa?" Sarah
"Cinta" Sastra
"Seperti apa cinta yang kamu maksud?" tanya Sarah.
"Lebih dari kebahagiaan yang pernah aku punya." tuturnya serius.
Jam yang terus berputar menjadi saksi bisu kemesraan mereka yang masih disembunyikan dalam hati masing-masing.
Kini mereka ada di depan pintu, saling berhadapan.
"Aku harus pulang." ucap Sarah.
"Silahkan, enjoy diperjalanan Sarah" ucap Sastra hangat.
Sastra tersenyum kepada Sarah.
Rasa menggelitik ditubuh Sarah.
"Datang kesini lagi Sarah" pesan Sastra.
"Tentu Sastra" jawab Sarah.
"Aku selalu mengundangmu" Sastra
*****
Sampai di rumah, perasaan Sarah campur aduk, senang, rindu dan penasaran beradu padan, ia terus memikirkan Sastra.
Ia turun untuk menuju teman temannya, Sarah masih tak percaya ia jatuh cinta pada pria yang pertama kali ia temui.
Mereka seperti biasa sedang berkumpul.
"Je minggu depan kita akan ngadain reuni, kalo diluar pasti lo gak akan ikut lagi, jadi gue suruh kesini aja." ucap Alfa.
"Gue gak tau ini ide bagus atau buruk!" celoteh Gibran dengan raut wajah seperti membayangkan hal mengerikan.
"Mengingat temen temen lo kan pada rakus!" ucap Arin nyengir, sambil memakan cemilan.
"Temen lo juga. Bunga bangke!" Bara.
Terdengar grusak grusuk disebrang pintu menuju ke arah mereka, siapa lagi kalo bukan Krisna yang nampak selalu rusuh, ia kemudian melemparkan badannya ke sofa, duduk disamping Bara.
"Heh Krisna, lu kan bukan peserta reuni jadi lu kebagian jatah beres-beres." suruh Gibran.
Krisna yang baru saja datang tidak tau apa - apa.
"Meskipun gue belum lulus, gue gak tertarik magang jadi babu lo!" ucap Krisna yang sedang merasa lelah pulang ngampus dan Gibran mulai berulah.
"Lagian lu mau reuni? Sekelas? Gila Lo? Gak akan muat disini!" Krisna.
"Bukan, ini geng kita" Arin.
"Iya, Icha udah nelpon gue" ucap Jeje bersuara, setelah menunggu mereka lumayan reda.
Setelah Jeje bersua mereka berhenti berucap untuk beberapa menit, sebelum kemudian
"Heh Je apasih yang lo cari?" ucap Alfa tiba - tiba, setelah keheningan beberapa saat.
"Maksud lo?" malah Bara yang menjawab, Jeje hanya menyimak dengan anggun dan tenang.
"Gue hanya penasaran dengan cara berfikir manusia luar biasa kayak lo" Alfa
"Langsung ke intinya aja cepet!!" Krisna penasaran.
"Lo gak pernah merasa jatuh cinta selama 27 tahun hidup lo?" Alfa benar benar penasaran.
"Gue tau gue bertanya seperti ini akan sia-sia" ucapnya.
"Udah gue bilang Jeje gak tertarik apapun kecuali cintanya terhadap karya sastra!" Arin.
"Seenggaknya dari salah satu tokoh yang lo ciptakan adalah tipe cowok yang lo suka gitu" Alfa memperinci.
"Nothing" ucap Jeje.
"Gue perhatiin lo berkarya seperti sedang menggali sesuatu, apa yang lo ingin temukan dikarya lo? tanya Gibran serius.
"Gue sedang mencari bagian puzzle yang kosong" ucap Jeje
"Semua tokoh pria yang gue ciptakan gak utuh, karakter pria yang gue buat masih teka-teki seperti puzzle yang udah gue susun rapih tapi ada satu bagian yang kosong, gue harus bisa isi bagian yang kosong itu" tuturnya.
"Dimana bagian yang kosong itu?" Gibran.
"Gue gak tau"
"Menurut gue novel romance lu sangat sempurna, makanya laku." Arin
Jeje menggeleng "no, romance gue belum sempurna, belum semua terisi, masih ada bagian yang hilang"
"Penulis pasti memiliki feeling yang berbeda" Krisna
"Berarti kelemahan lu di fiksi romance, dan karena itu semua tokoh pria yang dia buat gak ada yang sesuai kriteria dia karena Jeje masih belum menemukan Karakter yang utuh." Gibran.
Jeje mengangguk, mengiyakan. "Iya, semua tokoh pria dalam fiksi romance gua, belum ada yang utuh."
"Pantes lu akhir-akhir ini lebih banyak nulis romance, bukan karena lu hebat di genre itu tapi sebaliknya, lu ingin terus menggali sampai menemukan letak bagian yang kosong itu" ucap Bara.
"Lo harus punya pacar Je, cinta gak akan bisa dimengerti kalo cuma sebatas teori dan imajinasi lo" saran Alfa.
"Iya lo harus ngerasain nyata" Arin
"Lu kayak yang udah bener aja kisah cintanya. Perlu gue ingetin lagi kenapa lo berdua putus?" Gibran pasang badan untuk Jeje, membuat Arin dan Alfa tidak berkutik.
"Lu juga sama aja!! terjebak dihubungan toxic! Putus nyambung gak kelar kelar!" ucap Krisna pedas.
Bara diam, dia yakin sekarang gilirannya.
"ELLU JUGA! Gampang baper sama cewe sekalinya ditinggalin galaunya udah ngalahin AADC!" tunjuk Krisna kepada Bara.
"Lu pada manusia si yang paling paham cintakan, nikah gih terus hidup berdua, biar rumah gue gak penuh!" ucap Jeje tegas, jelas dan cepat.
"Gak, gue masih ingin jadi relawan yang membantu Jeje sebatang kara, agar tidak kesepian" Bara bak sedang berpidato.
"Lo bukan relawan, lebih ke musyafir!" Gibran.
"Di rumah ini emang cuma gue yang normal! GWS." Krisna bergidik ngeri.
"Gue penasaran pria macam apa yang bisa bikin Jeje kita ini jatuh cinta" Arin bermonolog dengan wajah so mikir.
"Omong kosong, mending gue lanjut nulis!" Jeje pergi ke kamarnya.
"Apalagi si manusia penuh misteri itu, ih" Krisna kepada Jeje yang sudah melenggang pergi.
Arin tersenyum penuh arti.
POV ARIN
Disini gue akan mengungkapkan tabir rahasia dalam rumah ini, fakta yang disembunyikan oleh masing masing pemilik rahasia. Tapi gue akan kasih tau satu persatu sesuatu yang tidak pernah diungkapkan.
Dimulai dari Alfa, dia orang yang tegas, keinginannya jelas dan perhatian. Alfa, dia orang yang paling dekat dengan Jeje sebelum akhirnya Jeje memperkenalkan Alfa ke gue, dan kami pacaran. Gue bisa langsung tau dari pertama kali bertemu dengan Alfa, dia punya perasaan kepada Jeje sebagai sesama perempuan gue tau gerak gerik cowo yang diam diam suka. Setelah gue dan Alfa pdkt, Alfa jujur sama gue bahwa dia mencintai sahabatnya sendiri yaitu Jeje, tapi Alfa sadar yang Jeje butuhkan adalah sosok sahabat, dan dia memutuskan untuk melupakan perasaan cintanya ke Jeje, dan mulai membuka hati untuk gue.
Bara, dia orang yang bucin dan sensitif, mudah jatuh cinta selayaknya zodiak Pisces, sudah pasti dia pernah terbawa perasaan ketika ia mulai dekat dengan Jeje, hal ini pasti membuat dirinya merasakan patah hati mengingat Jeje tidak memiliki perasaan cinta kepada siapapun, dan untungnya suatu hari ia bisa jatuh cinta lagi sama perempuan lain dan sangat bucin, begitulah akhirnya dia bisa melihat Jeje hanya sebatas teman.
Krisna, sudah jelas dia suka dengan Jeje, sebagai orang termuda diantara kita, gue bisa melihat bocah itu nyaman didekat Jeje, dia suka dengan karakter Jeje yang dingin dan misterius, gue paham perasaan seperti itu, perasaan wajar dimiliki anak muda seumuran dia yang lebih suka tipe cewek anti-mainstream seperti Jeje. Sebagai orang yang pernah melewati masa masa pencarian jati diri yang ingin serba keren, termasuk memiliki pacar. Walau begitu Krisna cukup dewasa dan bisa mengendalikan dirinya, dia tau batasan, dia senang memposisikan dirinya sebagai adik Jeje.
Ohhiya gue lupa bagian terpenting dari dia, selain dia paling muda diantara kita, dia adalah anak tunggal kaya raya, dia manusia so ganteng, banyak digandrungi mahasiswi di kampusnya, tapi dia so jaga image dengan pura-pura tidak tertarik kepada mereka padahal dia menikmati ke famousan itu, dia pasti tidak memacari salah satu dari mereka karena kemungkinan dia mematok standar tipe cewek kayak Jeje.
Dan yang terakhir Gibran, si rawan, kenapa rawan, karena jika suatu saat dia memilih untuk confess ke Jeje, tidak tau lagi kita akan jadi secanggung apa nanti setelah sekian lama kita bareng bareng sudah seperti keluarga, meski begitu perasaan tetaplah perasaan bisa dimiliki siapapun dan untuk siapapun. Mereka, termasuk gue tau kalo Gibran menyimpan rasa ke Jeje, dia orang yang paling mulut racun, sarkas dan susah direm tapi dia tidak berani melakukan itu pada orang yang dia suka, begitulah kita bisa tau Gibran memiliki perasaan terhadap Jeje, karena perlakuannya kepada Jeje berbeda. Dia memiliki satu mantan yang masih aktif berhubungan, entah kenapa Gibran dan mantannya yang bernama Karin itu tidak ingin berstatus pacaran, sampai sekarang kita masih tidak tau perasaan mana yang lebih besar yang dimiliki Gibran. Kita semua hanyalah penonton barisan terdepan yang cuma bisa membiarkan saja dan hanya menyaksikan dengan tetap apastis komentar, masalahnya pergerakan Jeje yang tidak bisa ditebak membuat kita bungkam, sampai sekarang kita tidak tau apakah Jeje mengetahui tentang perasaan mereka semua termasuk perasaan Gibran saat ini dan berpura pura seolah olah tidak tau atau memang dia benar benar tidak tau?
Yapp!!! Semuanya, berpusat pada Jeje. Rumah ini menyimpan banyak misteri, tapi gue tau semuanya! Gue tau semua rahasia di rumah ini! 'Arin tersenyum bangga'
Hanya satu teka-teki yang masih belum terpecahkan... Rahasia yang paling rahasia
"Gue penasaran pria seperti yang akhirnya akan Jeje pilih"
AUTHOR
Di kamar Jeje.
Pikiran Jeje masih berkutat seputar sastra.
Sangat jelas ia rasakan sekarang,
Aroma seniman yang kuat dalam rumah itu, bayangan tubuh Sastra yang seperti ilustrasi nyata. Rambut gondrongnya, Sarah seperti terhipnotis pada sensasi yang membentuk Renjana yang hebat dengan sastra.
"Dia manusia?" Jeje
Dia kemudian mengetik nama 'Sastra Dwi Andhika' dilaptopnya, nama yang ia lihat tertera pada gitar di rumah itu.
Kemudian ia menemuka yang ia cari, beberapa lagu bermunculan dari musisi bernama Sastra itu, Jeje mulai mendengarkan lagu lagu yang diciptakan oleh sastra.
'liriknya manis sekali'
"Sastra, aku merasakan sesuatu yang sama denganmu seperti ketika kamu pertama kali membaca tulisanku, beginikah rasanya?"
Rasa rindu yang manis dan hebat hinggap bagai badai serotonin dalam diri Jeje, sensasi tak biasa yang ia rasakan, wajah Sastra yang tergambar jelas dibenaknya, dengan rasa ingin segera bertemu dengannya.
"Apa dia orang yang gue cari? Apa dia bagian puzzle yang hilang itu?"
Jeje dengan cepat duduk tegak kemudian ia mengetik naskah tanpa henti dengan senyum senyum penuh arti, inspirasi menulisnya mengalir sangat lancar.
Beberapa hari kemudian, hari reuni.
Semua telah berkumpul dirumah Jeje lengkap termasuk Krisna, reuni geng yang hanya dihadiri oleh geng mereka sendiri yaitu Shafa, Sofi, Icha dan Sinta.
Mereka baru saja sampai dan tengah duduk berkumpul.
"Ohhh ini Krisna" ucap Bara menangkap ekspresi mereka seolah mempertanyakan siapa gerangan pria asing tidak dikenal ini.
"Hai! kenalin gue Krisna" Krisna memperkenalkan diri kepada mereka, mereka memperkenalkan diri mereka masing-masing.
Gofood satu persatu mulai berdatangan dari berbagai jenis makanan dan minuman yang mereka pesan.
Mereka duduk berkumpul dan tertawa terbahak-bahak bersama.
"Ehh btw! kita udah lama juga ya gak ketemu ngerumpi kek gini!! kangen banget kumpul bareng kayak dulu!!" ucap sofi terharu alay.
"Gue sih udah bosen ya!! ketemu mereka tiap hari!!" ucap Gibran males.
"Sama" Alfa males.
"Sama" Arin males.
"Sama" Bara males.
"Kalian udah kayak formasi Ceribel ya ber 9" ucap Krisna,
"Eh Krisna kenapa lo bisa gabung sama mereka?!" ucap Icha kepada Krisna.
"Ya apalagi alasannya kalo bukan karena kita Keren." Alfa PD.
"Karena gue kira mereka grup komedi" jujur Krisna.
Sofi, Shafa, Icha dan Sinta berusaha menahan tawa, sedangkan mereka merasa image yang selama ini bagus dijatuhkan.
"Sorry sorry gue matahin ekspektasi kalian hehehe" Krisna
"Terus terus dari semenjak kapan?? dan kenapa lo bisa betah temenan sama manusia aneh kek mereka?!" ucap shafa yang memvalidasi teman temannya memang rada-rada setengah mateng otaknya.
"Dia yang lebih aneh! Asal lo tau!" ucapan shafa terdengar lucu ditelinga Gibran, mengingat Krisnalah yang menurutnya paling aneh.
"Gue awal ketemu mereka di kampus waktu mereka masih jadi mahasiswa semester akhir dan gue baru jadi maba" tutur Krisna.
"Di hari pertama ketemu ni bocah terus ngintil-ngintil kemanapun kita pergi, aneh banget pokoknya dia!" sikat Bara langsung menjelaskan.
"Gue heran waktu itu kok lo gak tau malu sih?!" Gibran pedas.
"Dia emg gak tau malu!" serangan balik untuk Krisna dari Arin.
"Ya emang sih" Gibran
"Padahal kita gak kenal sama sekali, tapi ni orang asing so asik banget!" Arin.
Beberapa saat kemudian.
Icha yang hendak mengambil laptop di kamar Arin yang posisinya disamping kamar Jeje, otomatis dia melewati kamar dari gadis yang sedari tadi belum terlihat batang hidungnya dari saat mereka tiba di rumah ini, nampak terlihat Jelas dari pintu sliding kaca kamarnya, Jeje tengah fokus pada laptopnya. Icha sebagai teman Jeje yang sudah mengerti betul dengan karakter perempuan itu, ia tidak akan menghampirinya karena ia mengerti begitulah hidupnya butuh ruang untuk dia dengan dunianya.
Icha telah kembali bergabung dengan yang lain.
"Kapan waktunya dia makan?" wajahnya mengisyaratkan ke arah atas.
"Bentar lagi" kata Arin menjawab pertanyaan Icha.
"gue tadi liat dia masih kerja"
"Meskipun dia gak bersuara dia pasti sudah tau kalian sudah datang" Arin
"Jeje masihlah Jeje, lu gak culture shock kan tinggal disini?" ucap sofi.
"Mereka pasti sudah terbiasa" timpal Sinta.
"Lu kan yang tinggal sama dia, jadwal keseharian dia apa aja?" tanya Shafa.
"Selain dia kebawah hanya untuk makan dan ngobrol sebentar dia masih ngomong seperlunya dan akan angkat bicara untuk hal-hal penting doang, terus kita malah lebih seringnya ngelihat dia pulang kerja melintas dihadapan kita dan pasti selalu aja ketika kita lagi kumpul." Arin terbayang jelas kejadian itu.
"Itu sih kejadian yang paling gue hafal banget, udah terjadwal, Itu udah jadi fenomena memorable, kalo dalam film, gambaran Jeje ketika melintas dihadapan muka kita, itu udah jadi teaser, saking keseringannya muncul." ucap Bara.
Alfa "Rin panggil Jeje"
Disaat Arin hendak beranjak, Jeje sudah terlihat turun dengan santai dengan muka tanpa ekspresi.
Mereka yang melihat bak seperti melihat orang yang keluar dari goa.
"Hai guys" sapa Jeje, kemudian mengambil gelas berisikan air putih.
Dan kemudian ikut duduk makan cemilan bersama, tanpa banyak bicara seperti yang lain.
Reuni berakhir dengan kembalinya Sinta, Icha, shafa dan Sofi pulang di hari kedua, mereka menginap dan tinggal di rumah ini selama 2 hari.
*****
Arin melihat Jeje yang sedang berpikir keras, terlihat sedang bingung dalam mengambil keputusan.
"Hei, lo belum tidur kan Je?" Arin masuk ke kamar Jeje.
"Belom, kenapa?" Jeje
Arin duduk santai di atas kasur Jeje.
"Gue kira di rumah ini cuma lo yang gak punya kelemahan, ternyata seorang Jeje juga punya" Arin.
"Emang ada manusia yang gak punya kelemahan kelemahan? Gue juga gak sempurna, gue juga punya titik kelemahan." Jeje.
"Gue gak tau apa yang sedang lo pikirkan sekarang, tapi sebagai sesama perempuan kadang kita bisa mengerti perasaan satu sama lain." ucap Arin.
"Apa lo sekarang pindah profesi jadi cenayang?" Jeje becanda.
"Kalo lo pasiennya gue ikhlas jadi orang pinter" Arin membalas.
"Berati gue orang bodonya" Jeje. Mereka tertawa.
"Baikalah, gue akan mendengarkan nasehat dari orang pinter, pasti lo kesini mau bicara sesuatukan?" ucapnya.
"Bagian yang kosong itu cinta, dan yang perlu lo cari hanya bagian puzzle yang hilang itu." kata Arin serius.
Jeje terdiam.
"Cari bagian yang hilang itu dengan begitu lo bisa mengisi bagian yang kosong"
"Puzzle itu sama kayak hati lo sekarang." Arin memperjelas.
"Arin..."
"Ha??"
"Gue akan ke Pulau Peju besok!" Jeje.
"Hah?!" refleks Arin.
*****
Di Pulau Peju.
Sarah tiba dirumah itu.
"Aku datang untuk berkarya di rumah ini" ucapnya.
Mereka saling bertatapan dan tersenyum.
Dirumah itu, mereka menghabiskan sepenuh waktu bersama dengan cinta dan karya, cinta semakin kuat tumbuh dalam hati mereka masing masing. Semakin banyak karya yang mereka ciptakan semakin besar pula perasaan yang akan tumbuh.
Selama mereka saling mencintai, inspirasi tidak akan pernah mati.
Sarah terus memandangi kekasihnya yang pandai bermain alat musik, bak terpesona oleh Pria yang kini telah resmi membuatnya jatuh hati.
Sarah menghampiri Sastra yang sedang memangku gitar listriknya, ia duduk tepat dihadapan sastra. Sastra yang menyadari segera ia simpan gitarnya untuk lebih membuat akses mereka berdua semakin dekat.
Kini tidak ada yang menghalangi mereka berdua, mereka duduk dekat saling berhadapan, Sarah menatap lekat paras yang selalu membuat dirinya rindu itu, Sastra membelai wajah Sarah lembut.
"Suara kamu bagus" ucap Sarah
"Terimakasih, Sarah" Sastra
"Aku ingin bertanya" ucap Sarah.
"Silahkan" Sastra
"Waktu kita bertemu di toko eskrim, apa kamu tau aku akan datang?" Sarah penasaran.
"Tidak, semua itu kebetulan" Sastra mengingat.
"Aku tidak sengaja melihat kamu diluar sedang menengadah menatap langit mendung, aku langsung membeli eskrim untuk mu dan untuk ku." tuturnya
"Novelnya?" Sarah.
"Selalu aku bawa, salah satu novelmu selalu aku bawa."
"Waktu pertama kali aku mendengarkan lagu yang kamu ciptakan, saat itu aku mengerti seperti apa yang kamu rasakan waktu pertama kali membaca novelku." ucapnya.
"lirikmu banyak diksi yang cantik dan analogi yang unik, kamu memang Sastra" Sarah memandang kekasihnya kagum.
"Aku lebih dulu mengenal karyamu, lalu karyamu sendirilah yang menuntunku mengenal wanita cantik dihadapanku ini." ucapnya.
"Ceritakan ketika kamu pertama kali merasa jatuh cinta" pinta Sarah.
"Ketika pertama kali membaca tulisanmu, yang semakin aku baca semakin aku larut dalam emosi yang kamu tuangkan disana, karya karyamu itu sangat kuat dan menakjubkan Sarah, saat itu aku menyadari aku telah jatuh cinta dengan penulisnya."
"Aku yakin diluar sana banyak orang yang memiliki opini yang sama denganku tentang karyamu, hanya saja aku yang paling beruntung" Sastra tersenyum bersyukur.
"Aku sangat menanti karyamu selanjutnya" kata Sastra.
Setiap hari mereka menjalani hidup dengan penuh kebahagiaan, cinta dan karya sudah lekat di rumah ini.
Inilah dunia mereka berdua, yang susah untuk dimengerti sebagian orang. Sastra dan Sarah memiliki frekuensi yang sama.
Sarah menggeliat terbangun karena mendengar musik yang mengalun indah di pagi hari ini, ia perlahan membuka matanya menangkap cahaya yang masuk dari celah jendela yang terbuka.
Sarah tersenyum, melihat Sastra yang sedang memandanginya.
Sastra sangat menikmati pemandangan wajah putih Sarah khas bangun tidur, ia masih terdiam menunggu Sarah benar-benar terbangun.
Sastra mengusap rambut Sarah perlahan.
"Sarapan" ucap Sastra. Sarah begitu bahagia.
Di meja makan.
"Aku tidak pernah mendengar lagu ini sebelumnya, ini kamu yang nyanyikan?"
Sastra mengangguk "ini lagu baru yang aku ciptakan, ini hanya seperti demo saja"
"Untuk mengetes saja?" tanya Sarah.
"Iya, ketika aku sudah yakin lagunya sesuai yang aku inginkan, baru siap untuk dijual atau diberikan kepada penyanyinya"
"Lagu ini sudah ada yang minat?"
"Ada, seorang penyanyi yang sudah lama mempercayakan lagu-lagunya kepadaku." ungkap Sastra.
"Aku tidak mengerti musik hanya saja aku tau kamu memang musisi hebat Sastra, siang malam kamu menghabiskan waktu di studio musikmu" Sarah yang mengakui setelah sedikit lama dia tinggal dirumah ini Sastra memang kreatif dan pekerjaan keras.
"Mainkan satu lagu untukku Sastra" pinta Sarah.
Sastra beranjak dari duduknya, untuk mulai memainkan piano. Lagu khusus untuk sang kekasih.
*****
Setelah Sarah berada di pulau itu imajinasinya terus berputar aktif, bukunya semakin laris karena dianggap sangat menyentuh hati. Perasaan yang kuat yang tertuang dalam setiap karyanya.
"Jeje sekarang rutin bulak balik pulau Peju" Alfa
"Dan setiap dia pulang dari pulau itu, dia langsung ngeluarin karya baru." Arin
"Imajinasinya ada disana kali" ucap Krisna.
"Gue yakin Jeje punya pacar" asumsi Arin.
"Gue gak yakin, gak ada yang berubah dari dia selain bulak balik pulau Peju, dia masih terlihat sama dan dia gak pernah keliatan sering megang hp." ucap Bara.
"Emangnya semua orang kayak lo! Yang harus 24/7 bucin di handphone." sewot Gibran.
Jeje terlihat menuruni tangga terburu-buru.
"Je, lo mau ke pulau itu lagi?" tanya Arin ketika Jeje terlihat tengah memakai sepatunya.
"Lo butuh bantuan buat angkat koper lagi gak?" Krisna menawarkan diri.
"Iya gue minta tolong" Jeje.
"Dengan senang hati tuan rumah" Krisna.
"Tengkyu"
"Gue penasaran emgnya disana ada apa?" Arin kepo
Jeje tersenyum tipis
"Untuk mengisi puzzle yang kosong hehe"
Arin masih tidak beranjak dari tempatnya.
"Apa ini tentang rahasia yang belum berhasil gue pecahkan itu?" Arin bermonolog.
*****
Di pulau Peju.
Sarah hendak menghampiri Sastra di studio musiknya, setelah seharian bekerja menyelesaikan karyanya. Sarah membuka pintu studio terlihat yang ingin ia temui tersenyum manis menatap ke arahnya.
"Waw kamu membuat lagu sebanyak ini dalam sehari?" Sarah terpukau.
Sastra mengangguk
"Itu karena ada kamu Sarah"
Sarah menatap Sastra. 'ada apa dengan pria ini? Perasaan mengikat yang selalu aku rasakan setiap dekat dengannya'
"Aku tidak berbohong, Itu lagu terbanyak yang pernah aku buat dalam sehari, sebelumnya tidak pernah lebih dari 3 setiap cari nada" Sastra.
"Itu berarti aku sangat berpengaruh besar dalam karyamu?" Sarah menanyakannya dengan suara pelan, karena merasa sedang terawang Awang.
"Sangat sayang" ucap sastra
Sarah tidak bisa menyembunyikan wajahnya yang tersipu malu malu.
Sementara keadaan di rumah Jeje.
"Gue ngerti kenapa Jeje bulak balik pulau Peju" ucap Bara.
"Dia lagi belajar hidup kayak kita" Bara serius.
"Maksud lo?!" tanya Gibran.
"Belajar jadi musyafir!" tegas Bara.
"Gak mungkin Jeje betah tinggal dirumah orang lain." Arin sangat yakin.
"Tapi dia sekarang udah bisa disebut kategori makhluk nomaden sih." Krisna.
Rumah Sastra.
"Baik pak, terimakasih semoga kerjasama kita tetap berjalan dengan baik, selamat malam, Pak Heru, Pak Hendro dan Kharisma. Saya undur diri." Sarah menutup zoomnya.
Sarah melirik kesampingnya, ada Sastra setia menunggu Sarah selesai meeting.
"Selesai" Sarah.
"Karyamu selesai lebih cepat dari yang kukira" Sastra.
"Itu juga karna musik-musikmu yang aku dengarkan setiap hari, aku bisa membentuk satu tokoh dari mendengarkan satu lagu" jujur Sarah.
"Musikmu banyak memberiku inspirasi" katanya lagi.
"Kita seperti sama sama memberi pengaruh untuk karya kita, aku menuangkan perasaanku pada banyak lagu dan kamu membuatkannya menjadi sebuah buku."
Sastra membuat musik tentang cara dia mencintai Sarah, dan Sarah membuat karya tulis dari kisah cintanya dengan Sastra.
"Sekarang musikku hanya tentang kamu, Sarah"
"Kamu tokoh favorit dalam karyaku, Sastra."
"Teman temanku selalu bilang bahwa aku tidak pernah jatuh cinta tapi kenapa tulisanku bisa seromantis itu, menurut kamu gimana?" tanya Sarah.
"Itu artinya kamu punya perasaan" jawab Sastra.
"Kamu hanya tidak lagi merasa jatuh cinta, bukan berarti kamu buta dengan perasaan cintanya"
"Sekarang aku sedang jatuh cinta" Sarah
Senyuman mereka saling merekah satu sama lain.
"Mengenai teman temanmu, kamu tidak bisa memperkenalkan aku kepada mereka" ucap Sastra hati-hati.
"Kita hanya ada untuk karya masing masing" Sarah yang mengerti.
"Aku mengerti Sastra."
"Sarah"
"Aku tidak akan menikah" Sastra.
"Cinta yang kupunya tidak bisa terikat tali pernikahan tetapi dengan karya"
"Aku punya pemahaman sendiri mengenai cinta, yang menurutku lebih agung dan indah." Sastra menjelaskan.
"Iya, Pernikahan memang banyak dimimpikan oleh banyak orang, tapi menikah bukan satu satunya bukti perwujudan cinta, cinta itu bebas, ekspresif dan lebih luas dari pernikahan." Sarah setuju.
"Tenang aja aku gak bakal selingkuh, aku tahu cara mencintai, aku hidup untuk karya dan cinta."
Sastra bercanda.
Mereka sama sama membuat karya untuk mengungkapkan perasaan mereka masing masing.
Mereka berharap cinta mereka akan abadi dalam karya, dan orang yang membaca atau mendengar karya mereka akan tergugah dan paham dengan maknanya.
Dari musik dan tokoh dalam novel, disanalah tempat mereka hidup, di dalam karya indah yang mereka ciptakan masing masing, cinta yang lebih abadi dan indah hanya ada dalam karya, bukan kehidupan nyata.
2 tahun sudah berjalan perjalanan cinta dan karya dari Sastra dan Sarah, mereka hidup sebagai pasangan kekasih yang romantis dan kreatif. Mereka berjalan berdampingan mengikat perasaan cinta mereka kedalam karya yang terus dikagumi banyak orang.
Diluar sana, banyak orang yang tidak tau bahwa musik yang mereka dengarkan dan cerita yang mereka baca terlahir dari perasaan sepasang kekasih yang saling mencintai dalam rumah ini.
Di atas kasur, setelah berhenti dari aktivitasnya menulis naskah, Sarah menutup laptopnya, ia termenung melihat ke arah jendela, dilihatnya rintik gerimis yang mulai memenuhi seluruh kaca jendela.
"Sastra dan rumah ini seperti sudah menjadi bagian dari diriku, apalagi kamar ini sudah seperti milikku" Sarah bergumam.
"kamu tidak menulis?" ucap Sastra yang datang tiba-tiba.
"Sudah aku susun kerangka yang nanti akan ku jadikan buku" Sarah.
"Kenapa tidak sekarang?" tanya Sastra.
"Penulis beda dengan musisi tidak harus langsung diselaraskan dengan nada jika sudah punya ide lirik, aku bekerja dengan santai, dengan begitu perasaan akan mengalir pada setiap kata yang kutulis." Sarah menjelaskan.
"Ohh begitu baiklah, mau liat hujan lebih dekat?" ajak Sastra.
"Mau!!!!" Sarah semangat.
"Ayo ke taman, kita buka partisi kaca belakang agar bisa lebih dekat menikmati hujan" Ajaknya
Mereka menikmati udara sore hari ini ditaman rumah Sastra, berdua saling berpelukan dimanjakan suara hujan dan udara sejuk.
Mereka masih memperhatikan air hujan yang turun.
"Aku teringat pertama kali kita bertemu ditoko eskrim cuacanya sama seperti sekarang, dejavu." Sarah.
"Mau ke toko eskrim setelah hujan reda?" Ajak Sastra.
"Ayo Sastra" Sarah mengangguk
"Berada di rumah ini seperti masuk kedunia lain, dunia sastra yang sebenarnya, aku dan kamu adalah tokoh yang saling mencintai, tak ada pintu ending untuk kita karena disini tempatnya cinta" kata Sarah.
"Itulah kenapa aku hanya ingin menjadi tokoh dalam novelmu, aku hanya ingin ada terus dalam imajinasi mu." Sastra.
"Kita akan berpisah untuk beberapa waktukan? Aku harus pulang untuk bertemu penerbit dan editorku untuk membicarakan karya baru yang sedang aku garap dan yang sudah siap untuk dipublikasikan, ditambah rencana untuk proyek literasi." Sarah mengungkapkan kesibukan yang akan dilaluinya.
"Iya, akupun harus pergi ke kota untuk waktu yang sedikit lebih lama, ada yang harus aku urus disana, untuk mengurus beberapa kontrak dan sepertinya aku sudah lama tidak bertemu dengan timku di label." Sastra.
"Sepertinya aku akan sibuk" kata Sastra.
"Berapa lama?" tanya Sarah.
"Tidak tau, tapi aku bisa pastikan aku tidak betah berlama lama dengan kesibukan, aku pasti kembali ke rumah ini" ucap Sastra.
'Ada rasa takut yang tiba tiba muncul dikepalaku, entah ini murni naluriku sebagai kekasihnya atau hanya keegoisanku yang ingin memiliki Sastra seutuhnya, tapi aku merasa takut ditinggal pergi sastra.'
"Sastra bagaimana jika suatu hari kita tidak bisa sama sama" tanya Sarah.
"Cinta itu gak berwujud Sarah, bertemu atau tidak, kita masih bisa saling mencintai karena memiliki perasaan yang sama" Sastra.
"Cinta bukan tentang dua orang yang hidup bersama, karena cinta akan terus tumbuh selama perasaan kita tidak berubah" katanya.
"Iya, aku mengerti Sastra, seperti kita masih bisa mencintai seseorang meskipun orang itu sudah tiada, cinta gak akan hilang hanya karena kita tidak berdiri didunia yang sama." Sarah mengerti.
"Itu kenapa aku hidup untuk karya dan cinta, karna dengan karyalah cinta bisa tersimpan abadi" Sastra menatap Sarah.
"Seperti perasaanku padamu yang terus tertuang pada lirik lirik lagu yang ku ciptakan" Sastra menyentuh hidung Sarah.
"Kamu akan tetap menjadi inspirasiku dalam berkarya, karena selama itu berarti aku mencintaimu" terang Sastra.
"Sekarang hujannya sudah reda, jadi ayo kita membeli eskrim sepuasnya, sebelum nanti kita berada didalam kesibukan" Sarah.
Mereka tiba ditoko eskrim tempat pertama kali mereka bertemu,
"Sastra!!!" Seseorang memanggil Sastra.
Sastra meninggalkan dirinya, dan pergi menghampiri laki-laki itu.
Sarah tidak mengenali laki laki yang memanggil Sastra itu, tapi dari penampilannya seperti pemilik tempat ini.
"Sas lo besok jadikan ke solo?" ucap laki-laki itu.
"Iya iya gue kesana besok, kok lo ada disini bukannya....."
Itulah perbincangan yang bisa Sarah tangkap, dari raut muka Sastra Sarah bisa menangkap Sastra terkejut dan tidak menduga pertemuan ini.
'aku bahkan tidak tau Sastra mengenal pemilik toko eskrim ini'
POV SARAH
Dari setelah kejadian di toko eskrim tadi, kami tidak banyak mengobrol, dan disini, di dalam mobil pun baik aku atau sastra tidak ada yang berbicara, Sastra fokus nyetir dan aku yang bingung dengan sikap Sastra.
Kami berdua tidak jadi makan eskrim ditempatnya, padahal itu rencana kami dari awal, tiba-tiba Sastra bilang dia ingin dirumah saja.
Disini aku tidak begitu menghiraukan sikap Sastra, dia hanya terlihat bingung dan kaku tidak ada raut marah atau benci.
Mobil berhenti di gerai Indomaret, aku masih dengan eskrim yang sedang kunikmati.
"Aku mau beli rokok dulu, kamu tunggu aja di mobil, ada yang kamu inginkan?" Tanyanya.
"Emmm tidak, apa aja terserah kamu" oke jawaban yang ambigu kembali keluar dari mulutku.
"Baiklah, tunggu ya Sarah." dia keluar dari mobil.
Aku mengangguk, selang beberapa menit Sastra tak kunjung keluar juga dari indomart.
'drrrtttt' 'drtttttt' 'drrrrrt'
Terdengar suara handphone berdering, yang ternyata milik Sastra, ia pasti tidak mementingkan hp, hanya untuk pergi ke Indomaret saja.
Kulihat nama yang tertera 'dr. Adhitya'
'siapa dr.Adhitya?' aku tidak berani untuk mengangkat telpon dari orang yang bernama dr.adhitya itu. Kemudian tak lama handphonenya mulai berhenti berdering.
Tetapi tiba-tiba 2 pesan masuk, kulihat masih dari orang yang sama.
"Bang!! Angkat telponnya penting!"
"Bang!! Kapan lo ke Solo? Sorry gue nyuruh lo pulang padahal lo udah jelasin, gue hanya ingin beri kabar Orang tua kita butuh ...."
Lagi lagi aku tidak dapat info yang pentingnya, tidak terlihat kata selanjutnya, hanya sampai situ yang bisa kubaca.
Aku sangat penasaran dengan ini, hendak aku menyentuh layar depan hpnya, ingin mengintip agar terlihat sedikit lagi, tapi ku urungkan, Sastra sudah kembali.
Ia masuk ke dalam mobil, dengan rokok dan beberapa cemilan, Sastra memang perokok aktif tapi tidak sesering itu, selama aku dirumah Sastra hanya beberapa kali aku lihat dia merokok dan saat kita berbincang dia pernah memberitahukan aku bahwa dia memang tidak secandu itu dengan nikotin.
"Sastra ada telpon masuk dari dr.Adhitya" kataku.
Ia mengambil handphonenya kemudian dia simpan kembali seolah bukan sesuatu yang penting, tapi Sastra tidak menjelaskan apapun kepadaku.
"Ini cemilan yang aku beli tadi, coba lihat, kamu suka?" Suruhnya.
Aku melihatnya. "Tidak masalah, semua cemilan ini aku suka, terimakasih Sastra."
"Sama-Sama"
Aku membuka cemilan yang telah Sastra beli untukku, untuk mencoba mengalihkan rasa penasaranku, aku tidak ingin ambil pusing atau menaruh prasangka apapun terhadap Sastra, aku hanya ingin melihat Sastra hanyalah Sastra yang pertama kali aku kenal.
Kita tiba di rumah, Sastra tidak banyak bergeming, sedangkan pikiranku mulai kemana-mana,
Banyaknya pemikiran dikepalaku yang membuat emosi menguasai diriku.
Rasa takut yang selama ini aku rasakan mulai muncul lagi disaat seperti ini, pertanyaan tentang kenapa Sastra hari ini, dan keingintahuanku mengenai kehidupannya dan lagi kami yang akan berpisah untuk waktu yang lama, apa ini tidak menggangguku?
"Sastra, tadi aku melihat pesan dari dr.Adhitya, ada apa? orang tua kamu kenapa?" tanyaku.
"Kalo kamu mencoba mencari tahu tentang keluargaku berarti kamu tidak memahamiku, aku salah milih org" ucap Sastra yang terlihat sudah tau kebingunganku.
"Aku hanya khawatir dengan orang tuamu, tidak apapa jika kamu tidak mengenalkan aku kepada yang lain, aku hanya ingin tahu orang tuamu" kataku.
"aku sudah menjelaskan tentang keberadaan kita dirumah ini kepadamu" kata Sastra.
"Sastra, aku mengerti kamu dan keadaan kita sekarang, tetapi aku bukan sandraan yang kamu sembunyikan di rumah ini" kataku.
"Aku tau Sarah, maafkan aku, aku berbeda." terlihat diraut wajah Sastra seperti orang yang merasa bersalah.
"Aku mencintaimu Sarah, aku harap kamu mengerti"
Aku masih percaya dengan Sastra, aku tidak ingin hanya karena ini, jalan yang selama ini kita lalui bersama ternyata adalah jalan yang berbeda, aku tidak mau ada perdebatan yang akan membuktikan salah satu diantara kita ada yang merasa cara pandang kita berbeda. Cara pandang kita terhadap cinta dan karya ternyata berbeda sejak awal.
'aku akan ikut cara mainmu Sastra.'
Kami memang hidup bersama dirumah ini, tapi aku tidak pernah tau soal kehidupan pribadi Sastra, aku tidak pernah melihat foto keluarganya dirumah ini, atau mengenal salah satu dari teman atau clientnya. sastra memang benar benar hanya ingin kita ada didunia imajinasi yang kita buat masing masing, aku bahkan tidak memiliki nomer ponselnya, tidak pernah ada percakapan mengenai kehidupan pribadi di rumah ini, tidak lebih dari hanya sebatas karya dan rasa saling mencintai.
Kadang aku merasa mencinta orang asing yang tidak aku kenali, hidup dengannya tapi seolah ada pembatas diantara kita yang tidak boleh dilewati.
Kami sangat memutus akses untuk masuk ke dunia nyata. Karena itulah tujuan kami dari awal, kami abadi hidup dalam dunia imajinasi.
Tidak mencampurkan kehidupan pribadi dengan dunia imaji, untuk itulah kami tinggal berdua di rumah ini.
Tapi itu tidak masalah bagiku, aku sudah terbiasa dengan cara Sastra mencintaiku.
Akupun senang, hanya aku yang tau mengenai tokoh yang kubuat dalam buku. Hanya aku yang tau sastra, ketika teman temanku mengira aku tidak mencintai siapapun, tetapi sebenarnya aku memiliki Sastra, kekasihku.
*****
AUTHOR
Beberapa hari ini, setelah pulang dari Pulau Peju Jeje langsung sibuk mengurus pekerjaannya, sehari hari ia hampir menghabiskan waktunya untuk bekerja. Ia haru fokus menyelesaikan pekerjaannya supaya lebih cepat selesai, agar ia bisa santai kembali.
Kini hari hari melelahkan itu sudah terlewati, Jeje sudah kembali dengan aktivitasnya sehari-hari di rumah.
Jeje melihat teman temannya, sebenarnya ia tidak ingin ikut campur dengan urusan band mereka, tetapi jiwa kesolidan sebagai teman yang memanggil dia untuk menyuarakan pendapatnya.
Jeje pikir di rumah ini ia tidak meraskan ada aura seorang musisi atau penyanyi.
"Kalian lebih cocok jadi grup komedi daripada grup musik" kata Jeje.
"Lu sendiri yang takjub, kita sangat bagus nge-band" kata Bara.
"Iya lo semua emang Bakat dimusik, tapi ada satu yang kurang. Bumbu paling utama dalam bermusik." Jeje
"Apaan?" Mereka semua penasaran.
"Perasaan." Jeje.
"Hah???"
"Hah?"
"Pikir sendiri" Jeje menepuk jidatnya tidak habis pikir dengan teman temannya.
Dia semakin yakin kalo mereka lebih cocok di grup komedi.
*****
Jeje tidak benar-benar bisa menghilangkan Sastra dipikirannya, setiap kali ia sedang sendiri ia teringat akan pria muda di rumah itu.
Jeje benar-benar dilanda kegalauan, kebingungan.
"Sastra benar-benar bisa memisahkan kehidupan pribadinya dengan cintanya." Sarah
"Yang sempurna emang susah untuk dimiliki seutuhnya" katanya lagi.
Sarah sangat amat mengerti dengan sastra, dengan semua perasaan yang sastra miliki, hanya saja satu sisi dia juga memiliki sifat yang umum perempuan miliki, yaitu kepastian dan ingin tahu lebih dalam kehidupan pribadi org yang dicintainya.
Sarah sadar semua itu tidak akan pernah terpenuhi jika ia memilih untuk mencintai sastra.
Di hari yang lain.
"kita ngadain reuni lagi taun ini" alfa
"Je taun ini lo ikutkan? taun kemaren lo gak ikut karena di pulau Peju." Arin.
"Si paling reuni." cibir Krisna.
"Lu juga reuni Sono! kan udah lulus!" titah Gibran.
"Baru juga lulus setaon ngapain?" Krisna.
"Kan ada temen SMA SMP SD TK Lo!" Arin.
"lu kayak yang gak punya temen waktu sekolah." prihatin Bara.
"Gue udah pada lupa, lagian gue bukan org yang nostaljik." pungkasnya.
"Jadi kita fix ya reuni lagi." Arin.
"Ikut ya Sarah." Arin bernada gemas.
Ucapan Arin membuatnya langsung teringat Sastra.
"Selama gue hidup dirumah ini gue baru pertama kali denger orang manggil Jeje Sarah." Krisna bawel.
"Gue kira waktu itu, lo semua manggil dia Jeje karena nama panggilan dari keluarga dia, ternyata temen-temen SMA lo juga pada manggil dengan sebutan Jeje, emang siapa sih yang mencetuskan pertama kali nama itu, Sarah lebih bagus." Krisna yang sudah penasaran.
'Sastra bahkan tidak tau Jeje' gumamnya dalam hati.
"Nohhhh" semua orang nunjuk ke Arah Gibran.
"Lo?! Kenapa?! Why?" Krisna tidak habis pikir.
"Dulu waktu SMA Sarah gak PD buat bikin cerpen buat dipajang di mading jadi gue saranin aja pake nama samaran." Gibran yang terlihat merasa bersalah.
"Tadinya bukan Jeje, Lo mau tau apa?!" Arin bernada gadis gosip.
"JOJO! Dia emg rada rada!" ucap Arin.
"Yah yang terlintas di otak gue waktu itu cuma nama itu." jujur Gibran.
"Dan Jeje waktu itu nolak saran itu, karena jelek." Bara mengungkapkan.
"Yaiyalah gue aja kalo jadi jeje gak mau." Krisna
"Tapi dia kepaksan dan akhirnya sampe sekarang dia dipanggil Jeje." Alfa dengan nada kasihan.
"Pantes kalian semua dijuluki band komedi karena memang pada kenyataannya iya." Krisna
"Yaudah, mulai sekarang gue mau manggil Jeje, Sarah!" tutur Kriana
"Jangan!! Gue suka nama Jeje, awas lo ya jangan pernah manggil gue Sarah!!!" Sarah langsung bereaksi.
'gak boleh ada yang manggil gue Sarah kecuali Sastra'
Mereka terheran heran.
Gibran yang paling terlihat menampakkan perubah ekspresi dari rasa tidak enak jadi merasa tersanjung karena yg mencetuskan nama itu adalah dia.
"Nama sebagus Sarah dia ganti, aneh." Krisna.
*****
Sarah akan mengambil keputusan hari ini, dia tidak ingin berlama lama terjebak dalam kegundahan yang membuat dirinya susah tidur. Adakalanya kita kalah dengan ego sendiri, menginginkan suatu hal dengan serakah, termasuk cinta. Pertahanan yang selama ini Sarah buat untuk bisa terus menjaga hubungannya dengan Sastra agar tetap utuh akhirnya runtuh,
Di Rumah Sastra, Sastra ternyata sudah tiba terlebih dahulu.
"Aku ingin tinggal bersama mu" Sarah Sedikit meninggikan suaranya untuk mengungkapkan keinginannya yang terpendam. Matanya mulai memerah menahan cairan yang mungkin akan keluar.
"Aku ingin kamu bukan hanya untuk karyaku tapi juga untuk hidupku, aku ingin kamu ada di hidupku bukan hanya di dalam novelku, Sastra." Jelasnya.
"Aku lupa saat pertama kali aku ke rumah ini, kamu bilang kamu akan selalu mengundangku, itu berarti aku hanya tamu bagimu." Air matanya mulai tak terbendung.
"Rumah ini memang bukan tempatmu pulang, Sarah" Sastra dengan suara parau berusaha menenangkan Sarah.
"Aku tidak bisa ada ditengah tengah kehidupanmu" kata Sastra.
"Aku hanya ada disini Sarah, di rumah ini dan mencintaimu" itu adalah sebuah ketulusan Sastra.
"Aku ingin kamu menganggapku sebagai Sastra yang tak pernah datang dari kehidupanmu tapi yang lahir dari karyamu." pintanya.
"Ini gila! Aku hanya mencintai imajinasi ku!" Sarah mengacak ngacak rambutnya merasa frustasi dengan semuanya.
"Begitulah kamu akan terus bisa menemukan dan merawat perasaan dengan utuh" Sastra mencoba menjelaskan.
"Sehingga kita tidak perlu merasa takut kehilangan, karena kita tidak pernah bertemu dikehidupan, dan tak pernah terikat."
"Aku mohon singkirkan rasa takutmu, Sarah" wajah Sastra terlihat pucat.
"Aku punya cara sendiri untuk mengenalkan mu pada dunia, melalui karyaku yang terputar dipenjuru kota dan desa, kamu akan selalu merasakan cintaku setiap kali mendengar lagu ciptaanku, Sarah." jelas Sastra
"Aku tidak bisa dimiliki dihidupmu."
"Tapi aku selamanya adalah Sastra milikmu dalam karyamu."
"Dengan itu ketika nanti suatu hari aku mati, kamu tidak akan terlalu larut dalam kesedihan dan tidak akan pernah merasa kesepian, aku hidup dalam imajinasi yang kamu buat." Sastra
"Lalu aku harus bagaimana dengan perasaanku?" ucap Sarah sesak.
"Cintai aku dengan caramu sendiri"
"Sastra, jawabannya akan segera aku tunjukan. Dengan caraku." Sarah.
Sarah merilis bab cerbung terakhirnya yang berjudul 'im sorry goodbye' itu sebagai jawaban untuk Sastra. Ia tak mengira Cerbung yang ia tulis dari kisahnya dengan Sastra berakhir dengan sad ending.
Dan Sarah akan rehat menulis untuk beberapa waktu. 'Im sorry goodbye' menjadi karya tulis terakhir darinya, ia akan istirahat.
*****
POV ARIN
Dia tidak pernah lagi pergi ke Pulau Peju dari sejak hari itu. Jeje menjadi lebih pemurung, Jeje semakin jarang berinteraksi dengan kami, ketika kami sedang berkumpul, dia hanya sesekali bergabung dengan wajah yang lebih lesu, dan tidak berbicara apapun.
Mungkin hanya lima menit dia duduk diantara kami dan kemudian dia kembali lagi ke kamarnya, seperti itu terus pola yang terjadi.
"Kalo ada kategori orang terkonsisten dalam hal merawat keterpurukan, Jeje pantas dapet rekor Muri" Bara.
Ini sudah enam bulan berlalu.
Jeje tidak pernah cerita apapun kepada kami tentang alasan yang membuat dirinya menjadi seperti ini.
Kami sering mendengar tangisan Jeje dikamarnya, yang membuat kami semakin khawatir dengan Jeje. Kadang ketika Jeje sedang bersama kami, matanya terlihat sembab dan sering melamun.
Tidak ada dari kami yang berani bertanya lebih dulu, sebelum Jeje sendiri yang memulai.
*****
untuk SASTRA
Aku harap surat ini sampai kepadamu,
sebuah tulisan yang menyampaikan rasa rinduku.
SASTRA. Terimakasih untuk lagunya 'topi baret coklat'.
untuk SASTRA
Sastra aku tau kamu memang membiarkan aku untuk merasa marah hari itu,
karena itu bagian dari cinta.
Akuu tau kamu memahamiku. Terimakasih untuk selalu mencintaiku dengan caramu.
untuk SASTRA
Aku sudah terbiasa berkomunikasi dengan Sastra yang tak terlihat,
seperti cinta yang hanya bisa dirasa dan tak berbentuk,
aku sangat lega, aku merasa kamu hadir ditengah tengah kekosongan.
untuk SASTRA
Berkatmu, hari dimana aku menemukan rumah Sastra aku bisa menemukan bagian puzzle yang hilang. Kini Sastraku sudah sempurna,
tokoh Pria dalam romance fiksiku berkarakter utuh.
Dan terimakasih karenamu aku menemukan letak yang kosong dan bisa kuisi. Sekarang aku sedang mengisi kekosongan itu, dengan menulis surat untuk Sastra.
untuk SASTRA
Terimakasih telah menuntunku menemukan Sastra yang sesungguhnya.
AUTHOR
Sarah mengirimkan surat untuk Sastra, sedangkan Sastra tak henti hentinya membuat lagu yang terinspirasi dari Sarah, semua lagu yang ia ciptakan adalah tentang Sarah.
"Selama aku tidak pernah kehabisan ide untuk menulis lirik tentangmu,
selama itu aku masih mencintaimu."
Selama masa masa dia tidak lagi ke rumah Sastra. Sarah ingin sekali mengetahui kabar Sastra. Sastra tidak pernah membalas satupun surat yang ia kirim.
Selama ini Sarah hanya mendengarkan lagu-lagu yang Sastra ciptakan untuk mengobati rasa rindunya.
Lagu-lagu yang dinyanyikan oleh penyanyi yang bernama Bagas, penyanyi muda yang akhir-akhir ini sedang populer ternyata lagunya diciptakan dari musisi yang bernama Sastra yang adalah kekasihnya. Sarah sangat yakin itu Sastra, karena beberapa lagu ciptaan Sastra, Sarah tau, dari selama ia tinggal di rumah Sastra.
Lirik yang sastra buat, memang tentang kisah mereka, Perkataan Sastra yang berjanji akan mencintai Sarah melalui lagu-lagunya. Memang terbukti. Sarah mampu merasakan cinta yang begitu mendalam dari seorang Sastra ketika mendengar lagunya.
Seperti sekarang, penyanyi yang bernama Bagas itu, merilis lagu baru hari ini.
Sarah sedang menangis sesegukan, karena lagu yang Sarah sedang putar ini adalah lagu yang pernah Sastra nyanyikan untuknya di rumah itu.
Ia mengingat momen-momen itu kembali, seperti terputar jelas dikepalanya.
"Aku sangat merindukanmu, kukira kamu akan menulis lirik yang menggambarkan ending dari kisah kita, tapi kamu malah terus membuatku tersanjung seolah-olah, aku adalah perempuan yang selalu membuatmu bahagia" Sarah tidak berhenti menangis.
"Maafkan aku Sastra, aku malah memberimu luka" Sarah yang merasa bersalah karena tulisannya di bab im sorry goodbye sangat menyakitkan dan menyedihkan, tetapi Sastra membalasnya dengan keindahan lirik yang selalu menyanjungnya.
"Aku telah menorehkan duka di karyaku sendiri yang tidak seharusnya aku lakukan" Sarah tangisnya semakin menjadi.
*****
Mereka sedang berkumpul di ruang tengah, sedang membicarakan liburan.
"Gibran lo udah pesen tiket pesawatnya kan?" Alfa.
"Sudah"
"Di cek sekali lagi." Bara mengingatkan mencegah supaya tidak ada kendala yang terjadi.
"Udah, kita berangkat hari Sabtu" Gibran
Jeje sedang mengupas jeruk dengan tatapan tidak bergairah melakukan apapun.
"Berarti fix ya, Sabtu kita pergi liburan" Krisna.
Semua mata tertuju pada Jeje.
"Gue gak ikut, kalian aja" ucapnya sembari merebahkan badannya ke sofa, memainkan cangkang jeruk.
"Sar yang bener aja, lo paling seneng Kemping kan, kita akan kemping dipinggir pantai" Bara.
Jeje tak menggubris.
"Je, Gibran udah pesen tiket" ucap Alfa
"Gue gak akannnn." Jeje yang mulai terlihat bergegas pergi.
"Males"
Mereka semua melihat perbedaan dari diri Jeje, pasalnya Jeje paling suka rekreasi, paling suka nginep di villa, paling suka kemping, pokoknya Jeje sangat menyukai hal hal yang menurutnya menyenangkan dilakukan bersama. Itulah ciri khas dari seorang Jeje, dia berjiwa introvert tapi tau cara bersenang-senang. Tapi kali ini ia berbeda, semua yang ia sukai, ia abaikan karena terlalu larut dalam kesedihan.
Jeje bergegas mencuci muka kemudian ia naik ke atas kasur, merebahkan seluruh badannya, menutup mata, membungkus seluruh tubuhnya dengan selimut.
Gibran menghampirinya, mengetuk pintu kamar Jeje dan masuk.
"Sar...." Gibran.
Jeje tidak menjawab, malah membuat pertahanan dengan mengeratkan selimut yang membungkus badannya seperti anak kecil. Untuk mencegah Gibran yang mungkin tiba tiba menyibakkan selimutnya.
Jeje kini seperti bayi yang terbungkus rapat oleh selimut.
"Sarah" Gibran.
Jeje menggeleng "gue gak ikut"
Mereka tidak bersuara sudah hampir 30 menit, tetapi Gibran masih ada setia disampingnya menunggunya luluh. Jeje yang tak kuat menahan pengap, karena kehabisan oksigen akhirnya menyerah.
Gibran selalu saja bisa membuatnya kalah, seperti sekarang ia menunggunya dengan sabar dan tidak memaksa Jeje berbicara.
Jeje duduk, ia dengan kesal ngos-ngosan sendiri, keringat terlihat memenuhi keningnya.
Jeje melihat raut wajah Gibran yang santai.
Gibran memandangnya.
"Gak" kata Jeje.
Jeje menggeleng, sekarang raut wajahnya tiba tiba berubah sedih.
"Sarah" kata Gibran.
"Trus lo pengen apa?" tanya Gibran.
"Tidur"
"Gue mohon lo ikut ya, lu Cuma pindah tempat tidur dan melamun doang, lu gak perlu berusaha memaksakan diri lo bahagia, kalo hati lo emang terluka" dia Serius.
"Gue ingin lo ikut, bukan buat ngubah apa yang lo rasain sekarang. Gapapa lo sedih aja, sedihnya pindah di villa pinggir pantai"
"Ya?" bujuknya.
"Gue emg gak mau melakukan apapun" air mata tiba tiba jatuh dipipi, Jeje langsung menyekanya.
Gibran akhirnya berhasil membujuk Jeje, mereka semua pergi berlibur.
Mereka menghabiskan waktu bersama tetapi Jeje benar-benar hanya pindah tempat saja, ia lebih banyak menyendiri. Tapi mereka tidak memaksa Jeje jika itu yang Jeje inginkan, seenggaknya Jeje bisa menghirup udara pantai.
Ketika mereka sedang asik di ruang tv, Jeje lebih banyak menghabiskan waktunya membaca buku di kamar, dan ketika mereka menghampirinya, ia menyalakan televisi dan duduk didepan tv. Sungguh Jeje seperti anak kecil yang dipaksa liburan.
Meski begitu sesekali Jeje keluar untuk melihat sunset tenggelam di pantai.
Pukul 04.35 dini hari.
Jeje sengaja bangun disaat teman temannya masih terlelap, ia mengendap endap supaya ia tidak menggangu tidur teman-temannya. Ia pergi ke kamar mandi untuk segera bersiap siap mengganti baju dengan outfit lari, ia akan lari sendiri subuh ini. Ia ingin menikmati udara pagi dan merecharge energi dalam tubuhnya.
Ia sangat semangat, ia kemudian keluar villa dan jogging dipinggir pantai, pandangan yang indah Jeje rasakan, ia mampu melihat Sunrise hari ini.
Jeje tidak berhenti berlari, dan sesekali berjalan santai, ini hal yang menyenangkan yang kembali ia rasakan setelah ia terlalu lama berada dalam kesedihan.
Jeje memberi senyuman pada pagi hari ini.
Pukul 08.00 Sarah kembali ke villa, membawakan bubur untuk teman-temannya.
Semua orang di villa sudah terbangun, dan menyadari Jeje tidak ada.
"Kemana tu orang, ngilang" Bara.
"Lu coba telpon" kata Arin
"Dia gak bawa hp, ini handphonenya nya" ucap Gibran, ia yakin Jeje tidak pergi jauh.
"Semua orang disini gak ada yang tau kapan dia pergi?" tanya Alfa.
"Enggak, kita gak ada yang nyadar." Krisna
Jeje membuka pintu, mereka semua serempak menoleh kearahnya.
Mereka melihat Jeje dan mengerti dari outfit dan keringatnya, apa yang sudah Jeje lakukan.
"Wahh emang si paling misterius, pergerakannya gak bakal orang nyangka. Oke deh lu" kata Krisna yang tidak habis pikir, kemarin Jeje terlihat tidak bergairah apapun dan tiba-tiba sekarang ia jogging sendirian.
Jeje menaruh bubur itu di meja, mereka langsung mengerumuninya seperti semut.
"Lu dah sarapan?" tanya Arin.
"Udah, gue makan langsung disana, gue beli buat sarapan lu semua." Jeje
"Tengkyu, gue emang udah laper dari semalam." ucap Bara.
"Lu emang paling ada saat dibutuhkan." Alfa mengacungi jempol.
Gibran memandang Jeje, Jeje pergi ke toilet untuk mandi.
Setelah wangi, bersih dan sedikit memiliki semangat Jeje keluar untuk melihat ombak pantai.
Gibran melihat Jeje begitu cantik dengan dress pantai bermotif bunga ditambah rambutnya yang tertiup angin.
"Lu tadi lari pagi?" tanyanya.
"Iya" Jeje mengangguk, dengan masih menatap pantai.
"Lain kali ajak gue." Gibran yang ingin lari pagi juga.
"Gue gak tau lu mau lari juga" kata Jeje, melirik Gibran.
*****
Satu tahun berlalu.
Mereka seperti biasa sedang berkumpul di ruang tengah, Gibran sedang mengetes gitar listrik barunya yang ia dapat dari hasil lelang tadi sore.
"Ini pasti gitar yang sangat berharga dari pemiliknya, keliatan dari cara dia merawatnya." ucap Alfa yang melihat gitar itu.
"Iya, banyak yang berani ngambil harga gede tadi" ucap Bara.
"Dia bilang, musisi dari pemilik gitar ini punya histori berharga." ucap Gibran, maksudnya yang lelang tadi berkata demikian.
"Jeje" Arin membaca tulisan kecil yang ada pada gitar itu.
"Eh ada nama Jeje tertulis disitu." kata Arin, Jeje mulai tertarik dengan pembahasan mereka, ia melirik pada gitar itu. Sontak ia terkejut, gitar yang tidak asing dipenglihatannya. Ia mendekat ke arah Gibran untuk lebih seksama melihat gitarnya.
'Sastra Dwi Andhika'
Sarah kaget, ada nama dirinya dan Sastra pada gitar ini. Jeje yakin ini milik Sastra.
"Kebetulan banget ada nama Jeje." Arin. Gibran tersenyum kecil, karena itu alasannya ia ingin memenangkan gitar ini.
"Lo dapet lelang dari mana?" tanya Jeje.
"Pemilik kafe dan penyanyi juga, namanya Bagas." tutur Gibran. Jeje sangat menyesal tadi tidak ikut mereka pergi.
"Dia juga bakal ngadain acara Minggu ini, pemilik kafe itu mengundang semua para pelaku seni di industri musik, semuanya di undang dari musisi, komposer, band, solois semuanya akan datang." Kata Alfa.
"Kita juga akan datang" Arin.
"Gue ikut!" Kata Jeje.
Semua mata disana terkejut, tumben Jeje ingin ikut.
*****
Pukul 8 malam hari, mereka tiba di cafe milik penyanyi yang bernama Bagas itu, cafe ini terletak di sisi pantai.
Mereka duduk dan menikmati hiburan dari siapa saja yang bersedia menyumbangkan suaranya.
Terkecuali gadis yang sedari tadi sibuk mondar mandir menelusuri seluruh isi cafe ini seperti sedang mencari seseorang, Sarah setibanya disana tidak sama sekali duduk dan hanya fokus mencari Sastra, Ia yakin Sastra akan datang, ia berharap bertemu dengannya hari ini. Tapi nihil sudah setengah jam ia mencari keberadaannya, pria itu belum juga ditemukan.
Tiba-tiba ia mendengar alunan musik, yang akrab ditelinganya. Itu adalah lagu sastra, terdengar seorang pria menyanyikan lagu itu.
Dengan hati yang mulai berdegup tak karuan, Ia sedikit sedikit berjalan, mendekati stage, agar lebih dekat dengannya. Dan ternyata itu bukan Sastra.
Ia kembali untuk menjauhi keramaian, tiba tiba seseorang dengan perawakan mirip Sastra berjalan naik tangga menuju rooftop kafe. Sarah mengikuti pria itu naik ke atas.
Ia menggigit bibir bawahnya, saking senang dan tidak percaya yang dihadapannya adalah Sastra.
Sarah menghampiri kekasihnya.
"Hai apa kabar Sarah?" tanyanya masih dengan tatapan yang sama.
"Merindukanmu" Sarah menangis.
"Akupun merasakan hal yang sama" ucapnya tulus.
"Kamu sangat cantik sayang" katanya
"Aku mencintaimu Sastra" ucap Sarah
"Terimakasih suratnya, aku senang mendapatkan hal berharga itu, semua suratmu selalu aku baca dan aku simpan." Katanya.
"Terimakasih juga untuk lagunya, kamu benar Sastra. Kita abadi." Kata Sarah.
Sastra tersenyum.
"Maafkan aku selama ini" Sarah
"Terimakasih Sarah, telah membawaku pada perasaan yang luar biasa ini." Mereka berdua berpelukan memandang pantai bersama.
"Kami tetap saling mencintai dengan cara kami sendiri"
Sastra pergi dari tempat itu, meninggalkan Sarah. Sarah dapat melihat dari atas Sastra berjalan menjauh darinya.
Sastra berbalik dan tersenyum manis ke arahku, aku sungguh tidak sanggup mendapat perasaan berat seperti ini, merasa dicintai sekaligus dengan keindahan perpisahannya.
Rasa senang telah mengenal Sastra, dan rasa takut untuk menghadapi hari hari penuh rindu tanpanya nanti.
Aku tidak akan pernah tau, aku akan bertemu dengan dia lagi atau dia akan meninggalkanku selamanya. Yang kutahu aku akan selalu merindukan SASTRA.
Aku tidak merasa takut karena dia yang sesungguhnya dan yang selalu ada adalah SASTRA yang kubuat.
"SASTRA adalah bagian dari hidupku. Tanpanya aku tidak akan pernah merasa jatuh cinta."
POV SARAH. END.
Teman-temanku menemukanku di rooftop, terlihat dari ekspresinya pasti mereka merasa cemas karena aku tiba tiba menghilang.
Aku berbalik, menghampiri mereka yang masih memandangku dari dekat pintu masuk rooftop.
"Mau gue kasih tau rahasia gak? supaya band lo sukses" kataku dengan tersenyum.
Epilog
Kemudian suatu hari saat bedah buku seorang remaja bertanya kepadaku.
"Dari kapan kamu suka SASTRA?"
"dari kecil" kataku.