ULAT bulu itu bernama Benji. Ia hidup di pohon kersen yang tumbuh di sudut halaman sebuah rumah. Rumah itu memiliki halaman yang luas, dikelilingi pagar yang memisahkan pekarangan dari halaman terbuka di mana pohon kersen itu tumbuh. Walaupun bisa ke mana-mana, Benji lebih banyak menghabiskan waktunya di pohon. Tubuhnya memiliki corak dan warna yang sama dengan batang pohon, yang membuatnya merasa aman karena tersamar dari manusia. Tetapi kadang-kadang bila suasana sedang lengang, ia akan turun ke tanah untuk menjelajah. Ia memiliki minat yang besar terhadap tempat-tempat baru dan hal-hal yang belum pernah dilihatnya. Ia merasa masih ada banyak hal yang belum ia ketahui tentang kehidupan. Ia bahkan tidak ingat kapan dan bagaimana ia hadir di dunia.
Di pertengahan September itu tanaman-tanaman di sisi dalam pagar memekarkan bunga serentak. Warna-warna yang cerah menyemarakan pekarangan. Kuning, merah, ungu, putih… Bagaimana bisa sesuatu yang tampak begitu biasa seperti tanaman dapat menghasilkan bunga yang begitu indah? pikir si ulat. Itu pertama kali Benji melihat tanaman berbunga serentak. Itu pula pertama kali ia melihat begitu banyak warna. Ia terkagum-kagum akan kecantikan mereka, namun tak mengetahui satu pun nama.
SUATU hari untuk pertama kali Benji meninggalkan pohon kersen selama berhari-hari. Ia mengambil risiko menyeberang halaman menuju pekarangan tempat tanaman-tanaman yang sedang berbunga itu tumbuh. Ia menyelip di antara jerjak pagar, di mana dia tersembunyi dari para penghuni rumah (ulat punya naluri bersembunyi yang sangat baik, tahu diri mereka dibenci). Tetapi ada saat-saat ia merayap di permukaan salah satu ruji pagar dan menempel pada ketinggian tertentu, dari mana ia mendapat pemandangan terbaik terhadap bunga-bunga itu. Kebetulan tanaman terdekat darinya adalah rumpun berduri yang sepintas mirip semak. Dari jauh semak itu terlihat gelap dan tidak menarik sama sekali. Tetapi kini bunga-bunganya…
Benji menyerukan sapaan pertamanya ke arah bunga-bunga itu, “Makhluk indah berwarna merah, boleh kutahu apa nama kalian?”
Kuntum mawar terdekat menoleh dengan malas ke arah datangnya suara. “Kami bunga.”
“Tentu saja kalian bunga. Tapi bunga apa kalian?”
“Nama kami tidak penting.”
“Aku ingin tahu namamu,” kata si Ulat.
“Ada yang bilang apalah arti sebuah nama,” kata sang Mawar.
“Tapi menurutku nama itu penting. Kalau aku tidak bisa lagi mengingat wujudmu, setidaknya aku masih bisa menyebut namamu.”
Sang Mawar menatapnya dengan cara terusik, berkata, “Kalau kamu tidak bisa lagi mengingat wujud kami, maka kemungkinan kamu juga tak akan bisa mengingat nama kami. Ulat, ulat… logikamu payah.”
Benji si Ulat merasa malu. Wajahnya bersemu.
Kemudian sang Mawar berdehem dengan tegas seolah hendak memberikan pengumuman penting, “Tidak ada makhluk di muka bumi ini yang tidak tahu nama kami. Kami mawar. Kami simbol keindahan dan kecantikan yang paling klasik. Kami sangat populer di kalangan pujangga, orang-orang yang jatuh cinta, sampai penyihir. Kalau ada yang tidak mengenal kami, pastilah dia makhluk paling bodoh dan rendah di muka bumi.”
BENJI bertengger di pagar itu selama berhari-hari, berpindah dari satu ruji ke ruji lain. Jarak dirinya dengan kuntum mawar terdekat sekitar dua atau tiga jengkal di udara. Benji tahu aroma sedap yang dihidunya setiap malam berasal dari kuntum mawar terdekat. Dari pagar itu, keindahan mawar-mawar kian dipertegas oleh jarak dan cahaya. Pagi hari adalah waktu terbaik bagi kuntum-kuntum mawar, yaitu ketika butir-butir embun melekat pada sekujur kelopak (si ulat selalu merasa dahaga melihat embun membalut kelopak-kelopak merah itu) dan sentuhan cahaya matahari pertama membuat butir-butir embun berpendar seperti kristal, membuat bunga-bunga itu seolah bernapas. Menjelang siang sinar matahari akan melelehkan butiran-butiran embun dan lelehannya memenuhi celah di antara kelopak-kelopak yang segar.
Pada sore hari, kelopak-kelopak mawar terlihat seperti terbuat dari beludru. Di bawah cahaya matahari yang memudar, kembang-kembang itu memancarkan keteduhan dan kehangatan dari sisa hari yang panjang. Mereka menyimpan pesona keagungan dan keanggunan yang hampir-hampir magis atau hanya berasal dari ilusi optik, tak dapat ditandingi oleh keindahan manapun—setidaknya ini pikir si Ulat. Saat-saat seperti itu mendatangkan perasaan sentimental di hati siapa pun yang memandang mereka. Bahkan seekor ulat bulu bisa merasa tersentuh dan terharu, pun terpantik untuk merenung tentang kehidupan. Wahai. Ketahuilah tak ada yang seindah kuntum mawar di bawah langit senja.
Pada malam hari, kuntum-kuntum mawar tampak serupa kepalan-kepalan merah pekat yang menyimpan sisa pesonanya. Cahaya bulan menghidupkan kembali warna dan keindahan mereka. Di bawah cahaya temaran bulan, mereka terlihat seperti darah yang membeku. Tetapi seluruh kesan mengerikan itu tertutup oleh aroma sedap yang mereka kuarkan ke udara. Aroma itu membuat Benji betah berlama-lama di sana, mabuk kepayang. Kadang-kadang dia membayangkan apa jadinya kalau dia memanjat salah satu tangkai mawar terdekat lalu merayap di antara duri-durinya menuju salah satu kuntum? Dia bisa membayangkan dirinya menyusup di antara kelopak-kelopak merah itu—namun tak dapat membayangkan reaksi mereka atas tindakannya.
Merasa tak berdaya, yang dapat ia lakukan hanya melamun.
Seandainya ia seekor semut, ia akan merayap naik melalui tangkai dan menyelip di antara pangkal-pangkal duri dan daun tanpa yang bersangkutan menyadari keberadaannya. Ia juga melamun menjadi embun pagi yang membaluri kuntum-kuntum mawar seperti kristal dingin. Ia juga ingin menjadi hujan. Seandainya ia hujan, ia bebas menetes ke atas kuntum-kuntum itu dan memberi mereka cukup persediaan air selama beberapa minggu—ia membayangkan semakin banyak air, semakin merona warna kelopak bunga. Seandainya ia angin, ia bisa mengelus dan mendekap seluruh bagian tanaman itu tanpa kenal waktu. Bahkan seandainya ia cuma sebutir debu, ia bisa meminta angin menerbangkannya ke dalam salah satu kuntum, dan ia akan melebur bersama serbuk sari, tersesat di sela-sela kelopak yang rumit dan rapat. Mabuk aroma sedap. Selamanya.
Bagaimanapun menjadi semut, embun, hujan, angin, dan debu jauh lebih baik daripada menjadi seekor ulat bulu yang hanya bisa memandang kembang- kembang itu dari atas salah satu jerjak pagar.
Kenapa ia hadir di dunia yang penuh keindahan justru sebagai simbol keburukan? Bagaimana bisa ia yang tidak dapat mengambil bagian dalam keindahan, mengenali esensi keindahan dengan perasaannya yang begitu dalam?
SUATU pagi suara jeritan dari sisi dalam pagar membuat Benji terjaga dengan kaget. Suara itu melengking tajam seperti suara anak-anak, berasal dari kuntum mawar paling muda. Kuntum muda itu merasa terancam dan ketakutan oleh kehadiran makhluk panjang berbulu yang menempel di atas pagar. Karena keluar dari dahan yang masih sangat muda, kuntum kecil itu belum pernah melihat ulat bulu.
Dalam sekejap Benji mendapati seluruh kuntum mawar sedang memelototi dirinya. Kelopak mereka menjadi semakin merah ketika mereka sedang marah. Duri-duri mencuat lebih panjang dan terlihat semakin banyak, daun-daun meregang, ada yang membentuk pose bersedekap, yang lain berkacak pinggang seperti ibu-ibu galak. Benji tidak tahu bunga-bunga ternyata bisa juga marah. Tetapi perhatiannya segera teralihkan pada kuntum mawar muda yang mulai menangis. Ketika menangis, bulir-bulir air matanya jatuh menetes-tetes dari bagian tengah kelopak, seperti lelehan embun yang tumpah ke tanah.
“Aku tidak akan menyakitimu,” kata Benji, mencoba menghibur.
“Tapi kamu menakutkan. Dan menjijikan. Makhluk apa kamu ini?” kata kuntum muda itu.
“Aku hanya ulat bulu.” kata Benji. “Aku bukan monster.”
“Kenapa kamu tidak pergi saja dari sini?” kata mawar yang lebih tua.
Suaranya parau dan dalam, seperti suara nenek-nenek di film Disney Land.
“Kamu membuat kami tidak nyaman. Kamu akan membuat kami layu kalau tidak angkat kaki dari sana,” kata mawar yang lain.
“Kenapa aku akan membuat kalian layu?”
“Bunga yang menangis terlalu lama akan kehilangan banyak persediaan air dan jadi layu.”
“Seperti apa kalian kalau layu?”
“Kami akan berkerut, kelopak kami akan berguguran, sampai akhirnya kuntum kami jatuh dari tangkai.”
Benji tak dapat membayangkan keadaan mengerikan itu, seperti ia tak dapat membayangkan melalui satu hari tanpa memandangi kuntum-kuntum mawar itu dari atas pagar. Tetapi bila mereka layu hingga tak ada yang tersisa, maka tak akan ada lagi yang bisa ia kagumi. Jadi ia buru-buru meminta maaf dan pamit pada mawar-mawar itu.
SEJAK kembali di pohon kersen, Benji hampir tidak melakukan apa-apa selain hanya bertengger di ujung salah satu dahan, memandang jauh ke seberang halaman pada rumpun mawar. Sorot matanya teduh dan sesekali menerawang jauh. Dari ujung dahan kersen, warna mawar-mawarlah yang paling mencolok di antara semua bunga yang tumbuh di pekarangan. Berjam-jam yang ia lakukan hanya memandangi mawar-mawar itu seperti elang malam merindukan bulan purnama.
Sebutir buah kersen yang masih mengkal meluruhkan lamunannya. “Dari mana saja? Baru kelihatan.”
Benji mengabaikan pernyataan itu. “Kamu pernah melihat mawar layu?” katanya tanpa mengalihkan tatapan dari seberang halaman.
Buah kersen mengkal belum hidup terlalu lama untuk melihat banyak hal. Lagipula buah itu tidak pernah ke mana-mana. “Ah, biarkan saja mereka layu,” katanya.
Benji menatap si Buah. “Kenapa kamu ingin mereka layu?” “Keindahan mereka tidak berguna.”
“Keindahan mereka berguna buatku yang mengagumi mereka.”
“Aku benci keindahan. Kenapa harus ada yang indah dan ada yang buruk,” keluh si Buah.
Pada saat yang sama salah seorang penghuni rumah keluar ke teras. Itu seorang wanita tua yang berjalan tertatih-tatih sambil membungkuk. Rambutnya telah memutih seluruhnya dan kulitnya yang keriput memiliki bercak-bercak kecokelatan. Punggungnya melengkung ke depan seperti busur dan ada punuk di dekat tengkuknya. Sekujur tubuhnya tampak gemetar ketika dia berjalan, seolah dia bisa goyah kapan saja.
“Lihat manusia itu,” kata Benji, “minta ampun jeleknya.”
“Ya. Dia tidak seperti penghuni lain yang muda, kuat, dan cantik.” “Menurutmu kenapa dia jelek?”
“Mungkin dia tidak begitu dulunya. Mungkin dia sial saja.” “Hei, menurutmu tampangku menakutkan?”
Buah kersen menatapnya dengan saksama. “Kamu tidak menakutkan. Kamu hanya jelek.”
Itu terakhir kali Benji berbicara dengan si buah kersen mengkal. Keesokan hari dia melihat temannya itu sudah teronggok di tanah bersama buah-buah lain yang sudah merah dan bonyok. “Hey, kamu kan masih mengkal!”
Ia bertanya-tanya bagaimana buah yang masih hijau bisa luruh juga. Mungkin terbawa angin. Mungkin terserempet tangan anak-anak yang usil. Ia bersedih setiap kali ada buah kersen yang jatuh. Ia merasa ditinggalkan dan sendirian, tak peduli masih ada banyak buah lain di sekitar. Saat yang sama, ia menyadari ulat-ulat lain juga berkurang setiap hari. Hari-hari terasa lebih panjang dan waktu berjalan lambat. Mawar adalah satu-satunya semangat hidupnya; namun kini ia jauh dari mereka. Ia semakin sering merasa bosan dan hidup terasa kehilangan makna, hampa. Kadang-kadang ia berpikir apakah kehidupan memiliki tujuan bagi makhluk buruk rupa seperti dirinya dan apakah ada bentuk kehidupan lain selain yang sedang dijalaninya saat ini? Ia tidak tahu sudah berapa lama ia hidup sebagai seekor ulat di pohon kersen itu. Ia merasa telah hidup begitu lama, cukup lama untuk tahu apalah artinya hidup tanpa ada sesuatu untuk dicintai. Tiada hari tanpa ia bertanya-tanya di manakah ujung dari rasa sepi yang menggerogoti jiwanya.
Suatu hari ia melayangkan pandangan terakhir ke arah kuntum-kuntum mawar di sisi pagar itu sebelum merayap mencari dahan tertinggi untuk memulai tidur panjang.
MAWAR-MAWAR itu berseru seretak sambil menunjuk-tunjuk dengan daun mereka ke udara pada seekor kupu-kupu yang terbang di atas mereka. Mereka menyapa makhluk indah itu dan berebutan menarik perhatiannya.
“Hingaplah pada kuntumku. Aku punya banyak nektar.”
“Nektarku lebih banyak. Aku menyimpan maduku untuk kupu-kupu pertama yang datang bulan ini.”
“Jadilah teman kami. Kamu boleh menghisap madu kami setiap hari.”
“Bagaimana kau bisa seindah ini, Kupu-kupu?”
Lalu ada yang bertanya, “Siapa namamu, Kupu-kupu?”
“Nama? Apa itu penting?” kata si Kupu-kupu, berbicara untuk pertama kali.
“Tentu saja. Nama sangat penting.”
Untung baginya dia seekor kupu-kupu. Bila dia seekor semut, dia tentu masih harus bersusah payah menaiki tangkai mawar dengan risiko tersesat di antara duri-duri; Bila dia embun, dia harus meminta matahari tidak muncul terlalu cepat agar dirinya tidak menguap dari sela-sela kelopak. Bila dia hujan, dia masih harus memohon pada awan agar dicurahkan ke bumi. Bila dia angin, dia hanya bisa mengelus mawar-mawar itu namun tanpa terlihat oleh mereka—bagaimana mereka yakin dia ada? Dan bila dia sebutir debu, dia akan mengotori kelopak-kelopak mawar dengan kehadirannya. Namun karena dia seekor kupu-kupu, dia bisa hinggap di atas kuntum manapun dengan bebas, menyesap aroma dan madu termanis dari pusat bunga dan dia bisa kembali kapan saja untuk mengulang semua itu.
Semua itu jauh melampaui lamunannya dulu. Kupu-kupu itu bersyukur bahwa dia memiliki sepasang sayap yang memungkinkannya menjelajah ke mana pun. Tetapi tak ada yang paling disyukurinya selain kenyataan dia pernah hidup sebagai seekor ulat bulu, dengan mana dia memandang kehidupan secara naif sementara kehidupan menelanjangi topeng-topeng keindahan di depannya.