Disukai
11
Dilihat
2,849
Topeng di Kamar Bapak
Horor

Topeng itu sebenarnya sederhana. Menggantung di dinding kamar Bapak persis di seberang pintu masuk. Siapa pun yang masuk ke sana, mustahil tidak melihatnya. Kamar Bapak juga bukanlah kamar pribadi yang terhalangi tabu atau sungkan untuk dikunjungi. Aku cukup sering memasukinya, terlebih lagi kalau disuruh Bapak ambilkan kacamata atau buku atau HP. Mungkin, rambu tabu dan sungkan itu memudar setelah Ibu meninggal dunia. 

Topeng itu juga sebenarnya sudah ada dari dulu. Konon jauh sebelum aku lahir, sudah menggantung di sana. Bahkan mungkin topeng itu menyaksikan Bapak dan Ibu memadu kasih hingga aku bisa terlahir. Ah, jangan bahas bagian itu! Bukan tabu, ya! Tapi ... agak menyeramkan.

 Ya ..., agak menyeramkan. Karena topeng itu seperti tidak berupa. Maksudku, sejak aku kecil melihatnya sebagai raut wajah seorang tua yang tersenyum lebar dan ramah, tapi ... sepertinya dari pandangan orang lain topeng itu berbeda rupa.

 Aku pernah ajak seorang teman SD main ke rumah dan aku ajak dia masuk kamar Bapak untuk cari buku bacaan di rak koleksi buku novelnya. Tentu saja aku minta izin dulu. Lalu, ketika kami masuk kamar Bapak dan temanku melihat topeng itu, dia berkomentar, "Topeng yang menyeramkan. Tanduknya kayak setan."

 Aku merasa heran saat itu, karena aku tidak pernah melihat ada tanduk di topeng itu. Tapi aku abaikan komentarnya karena tidak mau menodai niat ajak main dia ke rumahku. Hanya saja, ketika aku bicarakan hal itu ke Bapak, Bapak memberiku saran, "Mungkin ada baiknya kamu tidak terlalu akrab dengan temanmu itu."

 "Kenapa, Pak?" tanyaku kala itu.

 "Nggak apa-apa, sih. Cuma kayaknya agak angkuh anaknya. Terserah kamu sebenarnya. Kamu boleh berteman sama siapa saja, asalkan punya pengaruh baik sama kamu."

 Pernah pula aku mengajak seorang temanku yang lain, seorang perempuan pemalu yang sering kali menjadi bahkan ledekan temen sekelas, bahkan oleh para guru. Kala itu dia justru terus memandangi topeng sembari tersenyum, cukup lama, hingga kemudian berkata, "Topeng yang lucu. Matanya sejuk, pipinya rona, dan senyumnya menawan."

 Sekali lagi aku merasa heran, yang dia katakan berbeda dengan apa yang kulihat. Bahkan jauh lebih berbeda dengan apa yang temanku sebelumnya lihat. Dan ketika aku ceritakan hal ini kepada Bapak, beliau kembali memberiku saran, "Jadikan dia temanmu sampai kapan pun."

 Aku lantas memberanikan diri bertanya kepada Bapak perihal asal usul topeng tersebut. Namun sepertinya, Bapak seperti enggan menyampaikan kebenaran. Bapak hanya bilang kalau topeng itu sudah ada semenjak kakeknya masih hidup, yakni kakek buyutku. Jujur, aku kurang puas dengan jawaban tersebut karena konteks yang kutanyakan bukanlah mengenai kapan waktu topeng itu ada, tetapi darimana dan bagaimana topeng itu bisa dimiliki keluarga kami.

 Aku menyesal kenapa tidak sedari dulu bertanya kepada mendiang ibu sebelum beliau kembali ke hadirat Tuhan. Mendiang ibu pasti mengetahui sesuatu tentang topeng ini. Aku kembali memandangi topeng itu, tetap sama, orang tua yang tersenyum lebar dan ramah, hanya sedikit berbeda dengan kerutan di wajahnya. Kali ini kerutannya lebih banyak. Sayup-sayup kudengar suara seseorang dari ruang tamu. Aku ingin melihat siapa tamu yang datang.

 

Langkahku terhenti sebelum sempat melihat tamu yang sedang berbincang dengan Bapak. Aku mendekat ke sisi dinding yang berpunggungan dengan dinding ruang tamu. Cukup jelas terdengar. Mereka sedang membicarakan topeng itu. Suara Bapak dan dua orang tamu yang belum kuketahui siapa mereka.

 “Seperti yang sudah saya sampaikan sebelumnya. Saya tidak akan menjualnya, berapa pun harganya.” Suara Bapak terdengar tegas. Yang aku tahu, jika Bapak telah berkata tidak, artinya tidak. Beliau tidak pernah mengubah jawaban atau pernyataannya. Namun, sepertinya dua orang tamu itu tetap memaksa Bapak.

 “Ayolah, Pak. Kami sangat membutuhkannya.” Kali ini suara rendah lelaki yang bicara, terdengar memelas.

 “Bapak minta berapa? Kami akan berikan!” Suara wanita diiringi debam benda berat nyaris membuatku melompat dalam persembunyian. “Ini hanya uang muka saja. Sisanya kami transfer.”

 Bapak tertawa. Bisa kubayangkan ekspresi Bapak saat itu. Sepertinya mereka mencari masalah dengan orang yang salah. Aku sangat tahu, Bapak bukan orang yang mudah tergiur oleh uang.Suasana di luar hening. Kemudian, suara kursi digeser dan kalimat Bapak berikutnya membuatku melongo.

 “Maaf, saya perlu ke dalam sebentar.”

 Kok Bapak membiarkan dua orang itu? Nanti mereka akan …. Belum sempat aku menuntaskan isi kepalaku, Bapak tiba-tiba muncul di hadapanku.

 Aku melonjak kaget, tapi beliau justru tersenyum. Tepukan di bahuku mengisyaratkan agar aku mengikutinya menjauh dari sana. Aku merasa Bapak telah mengambil keputusan yang salah dengan membiarkan mereka berdua di sana. Kamar Bapak ada di sana. Dengan pintu yang agak terbuka, siapa pun bisa dengan mudah masuk dan melihat topeng, juga … mengambil topeng itu.

 Tiba-tiba teriakan histeris terdengar dari kamar Bapak. Seperti dugaanku, mereka berniat masuk dan mengambil topeng itu. Entah apa yang mereka lihat sampai lari kalang kabut seperti itu.

 Kulihat Bapak tersenyum. Senyum yang sedikit, ya sedikit … menakutkan. Tapi aku tidak berkata apa-apa lagi selain terdiam melihat tas besar berisi uang yang tergeletak di meja ruang tamu.Sampai esok hari pun aku masih tidak habis pikir tentang kejadian kemarin. Dan di hari-hari berikutnya, semakin banyak tamu asing yang datang dan berulang hal yang sama.

 Demi menjawab rasa penasaranku, sampai-sampai aku sengaja mengajak temanku yang terkenal badung dan susah diatur. Aku hanya ingin tahu wujud apa yang akan dia lihat pada topeng itu.

 “Coba lihat topeng itu. Bagus, ‘kan?” kataku sambil menunjuk ke arah topeng. Aku sangat menantikan reaksinya. Jika tebakanku benar, pasti dia akan melihat sesuatu yang sangat menyeramkan, mengingat seburuk apa perangainya. Namun, aku terkejut karena dia malah menitikkan air mata. "Kamu kenapa?" tanyaku heran.

 Dia menatapku, kemudian sekali lagi melihat topeng itu, kemudian berkata, "Kenapa topeng itu menangis? Juga kenapa bapakmu menaruh topeng itu di kamar? Itu sangat menyedihkan. Astaga, aku bahkan bisa melihat topeng itu meneteskan air mata."

 Aku benar-benar tertegun.

 "Apa kamu sengaja mengajakku ke sini untuk membuatku menangis? Begitu? Tidak berguna sekali!” gerutunya.

 "Bu-bukan begitu," sangkalku bingung.

 "Sudahlah, aku pergi saja." Dia pun pergi meninggalkanku yang bingung.

 Aku masih tak percaya dengan ucapannya tentang topeng itu. Apa yang dia lihat pada topeng itu, sangat melenceng jauh dari perkiraanku.

 Tanda tanya di kepalaku semakin besar. Aku lalu menceritakan perihal temanku itu pada Bapak, berharap mendapat penjelasan lebih.

 "Jangan biarkan dia seorang diri. Temani dia, ajak bicara dia. Sesungguhnya di balik perangai buruknya, dia membutuhkan uluran tangan teman-temannya." Jawaban Bapak sama sekali tidak memuaskan. Misteri topeng itu masih belum terjawab, malah semakin tersembunyi kebenarannya.

 Aku memberanikan diri untuk melihat topeng itu lebih dekat. Di mataku, wujud topeng itu masih sama. Tanpa sadar, tanganku terulur meraih topeng. Namun, tepukan di pundakku, membuatku terperanjat.

 Spontan aku menoleh karena mengira itu Bapak. Nyatanya, tidak ada seorang pun yang ada di belakang maupun di sampingku. Aku masih sendirian di kamar Bapak.

 Mendadak bulu kudukku meremang. Aku mulai merasakan ada energi lain di kamar itu. Seakan penuh, tapi tidak ada siapa-siapa di sana. Menyadari bahwa keanehan itu hanya berasal dari satu sumber, aku pun kembali mematrikan tatapanku pada topeng itu.

 Topeng itu masih menampakkan wujud yang sama padaku. Hanya saja ada tatap lain dari kedua matanya. Jauh lebih melebar, seakan tak sekadar ingin mengulas senyum ramah, tapi juga menyampaikan sebuah kabar.

 "Kamu sudah terlalu lama membuatku penasaran," gumamku, seraya kembali menjulurkan tangan ke arah topeng itu. Berharap sesuatu akan benar-benar terjadi setelah ini dan mampu menjawab segala bentuk tanya dari rasa penasaran.

 Aku menyentuhnya, tapi tidak terjadi apa-apa. Beberapa detik kemudian, barulah muncul keanehan. Setidaknya dalam pandanganku sendiri. Kedua mata topeng itu melebar, begitu juga dengan mulutnya.

 Karena terkejut, tanpa sadar aku melakukan hal yang sama. Mata membelalak dan mulut menganga. Tubuhku menjadi goyah dan limbung untuk sejenak, kemudian kaku dan terjatuh ke belakang seumpama patung.

 Aku belum bisa berteriak kala itu. Namun, aku bisa melihat kalau topeng itu meluncur ke arahku. Kemudian memasang dengan sendirinya ke wajahku. Berbagai potongan ingatan yang tumpang tindih pun bermain. Samar-samar pada dunia nyata, aku mendengar Bapak berteriak. Seingatku, baru kali ini Bapak terdengar sepanik itu.

 Di tengah kesadaran yang setengah hilang, perlahan namun pasti, serpihan kenangan yang pernah bersentuhan dengan topeng itu bergulir, seperti adegan sebuah film yang silih berganti. Seolah aku adalah mereka, melihat melalui mata yang sama, merasakan denyut jantung serupa, dan tarikan napas yang seirama. Pun semua kegembiraan dan bahagia yang meluap, ketakutan yang mencekam, kebingungan, juga kesedihan yang menyakitkan, seakan-akan semuanya milikku.

 Benakku tersesat seperti benang kusut dan jiwaku terjebak dalam cahaya warna-warni kaledioskop yang menyilaukan. Semua berputar-putar mengelilingiku, menarikku dalam hubungan tak kasat mata.

 Lalu, aku menyadari sesuatu. Rasa asing yang mulai merayapi hati, membuatku bertanya-tanya, “Siapakah aku di antara mereka?”

 Ketika satu per satu ingatan asing itu lenyap, aku dikejutkan oleh kenangan yang familier. Aku sedang memandang diriku sendiri, juga mendengar pertanyaan yang dulu pernah aku ajukan pada Bapak.

 Ini ingatan Bapak!

 Aku melihat diriku—melihat Bapak yang masih berusaha keras melepas topeng yang seperti dilem dengan lem super kuat. Aku bisa merasakan keputusasaan menggerogoti hatinya.

Tanpa bisa kucegah, mataku berkaca-kaca dan akhirnya menangis sesenggukan. Merasa tak berdaya dan pasrah.

 Aku lupa kapan persisnya kejadian itu. Yang aku ingat hanya topeng–berhubungan dengan topeng misterius milik Bapak yang selalu membuatku bertanya-tanya. Aku yakin ingat betul betapa paniknya wajah Bapak saat itu. Meski setelah itu aku tidak ingat apa-apa lagi karena pandanganku seakan gelap. Dan ketika tersadar, hal pertama yang aku lakukan adalah meraba wajahku. Normal. Namun, aku harus memastikannya. Maka, aku pun menatap cermin. Dan … tidak ada yang salah dengan wajahku. Artinya, topeng itu tidak ada di wajahku. Aku normal.

 Namun, sikap Bapak yang malah berubah. Bapak tidak pernah lagi mau membahas tentang topeng setiap kali aku menanyakannya. Bahkan, Bapak menyangkal keberadaan topeng tersebut. Dia bersikeras tidak tahu apa-apa soal topeng dan tidak mengerti yang aku tanyakan.

 Awalnya, aku merasa karena waktu itu Bapak begitu shock, sama shock-nya denganku. Namun, lama-lama aku merasa Bapak menyembunyikan sesuatu. Setiap kali aku menanyakannya, dia selalu marah.

 Lama-lama, aku pun hilang kesabaran. Aku juga marah kepada Bapak. Karena bagaimanapun juga, dia nyaris mencelakakanku–setidaknya begitu menurutku berdasarkan ingatanku pada peristiwa itu. Tapi yang jelas, hubunganku dengan Bapak memburuk. Hingga akhirnya aku tidak pernah lagi bertegur sapa dengannya. Aku dan Bapak jadi seolah punya dunia masing-masing. Aku tidak tahu apa yang dilakukan Bapak. Namun, aku sering menghabiskan waktu di kamar sendirian.

 Tentu saja aku tidak benar-benar sendirian. Aku punya telepon seluler. Dan tentu saja aku bisa merambah dunia melaluinya. Tak terkecuali untuk urusan topeng. Biarlah Bapak menyangkal terus. Toh, aku bisa “bertanya” kepada internet. Meski bukan hal yang mudah, akhirnya aku seakan mendapatkan titik terang ketika suatu waktu aku menemukan kasus serupa di salah satu forum percakapan.

 Entah bagaimana, dia menyambar saja ketika aku menyerocos panjang curhat tentang peristiwa aneh terkait topeng. Sejak itu, aku mulai akrab dengannya meski belum pernah bertemu. Tak jarang kami bertukar pesan di grup hingga isi grup penuh hanya oleh percakapan kami. Kami begitu nyambung. Siapa sangka juga jika ternyata dia tinggal di kota yang sama denganku.

 Maka, untuk menuntaskan rasa penasaranku, aku pun memutuskan bertemu dengannya. Hari ini, di sebuah taman kota tak jauh dari rumah sakit kami janjian. Bilangnya, sih, dia bekerja di sana. Mungkin sebagai dokter, atau perawat, aku tak tahu.

 Aku tengah celingukan mencari sosoknya ketika tiba-tiba pundakku ditepuk. Sontak aku menoleh. Harusnya aku senang akhirnya bertemu juga dengan orang yang punya pengalaman sama denganku. Namun, aku justru ingin terlonjak begitu melihatnya. Sepasang mata dan senyum yang melebar, yang kemudian berubah membelalak.

 “Kau?” Nyaris menjerit ketika suaraku keluar juga.

 “Tak perlu terkejut seperti itu!”

 Dia melengkungkan bibirnya ke bawah seolah mengejek reaksiku saat melihat kehadirannya. Lalu tanpa mengacuhkan perasaanku, dia mengambil tempat duduk pada bangku panjang yang ada di taman.

 “Kau harus membuang topeng itu jauh-jauh dari kehidupanmu jika ingin selamat!” ujarnya tanpa menatap ke arahku. Pandangannya lurus ke arah bangunan rumah sakit yang berada persis di seberang tempat kami berada saat ini.

 “Kenapa kau tiba-tiba langsung membicarakan ....”

 “Karena kita semua mengalami hal sama!” Dia memotong pertanyaanku sambil menolehkan kepala. “Kita semua menjadi orang yang kehilangan jati diri kita karena topeng itu. Coba kau hitung, sudah berapa banyak orang yang menjadi korban dari topeng itu?”

 Ucapannya benar-benar seperti cambuk yang memicuh kesadaranku yang selama ini tertidur. Aku menafikan korban-korban yang berjatuhan setelah mencoba mengusai topeng itu dan menganggapnya sebagai suatu musibah yang wajar. Orang-orang asing yang berani membayar mahal, teman-temanku yang aku paksa melihat topeng itu, semua berakhir dengan kondisi yang tragis. Kalau tidak meninggal dalam kecelakaan, paling mujur mereka kehilangan akal dan dianggap gila. Mungkin hanya dia satu-satunya yang masih selamat.

 “Topeng itu memilih dan menentukan sendiri sukma mana yang akan dia ambil. Dia akan menguasai sukma itu dan memenjarakannya ke dalam dunia yang ... Ah mungkin kau juga pasti pernah melihatnya.”

 Aku terbungkam dengan semua penuturannya. Sekeras apa pun aku menampik kenyataan itu, hati nuraniku semakin membenarkan ucapannya. Tidak ada yang tahu atau mengatakan bahwa topeng itu ada di rumahku. Namun, mengapa banyak orang dari luar sana yang mencarinya ke rumah, bahkan sampai rela membayar mahal. Kalau tidak ada petunjuk yang tak kasat mata, hal itu sangat mustahil bisa terjadi.

 “Apakah teman-teman yang aku paksa melihat topeng itu termasuk orang yang jiwanya sudah dipilih?” Pertanyaan ini keluar begitu saja dari mulutku. Aku masih ingat kalau dia adalah salah satu yang aku paksa untuk melihat topeng itu.

 Dia memalingkan muka sambil menghela napas panjang. Lalu dengan suara berat, dia berusaha menjawab pertanyaanku, “Di dunia ini tidak ada yang kebetulan. Meski jalannya berbeda-beda, jika sudah ditakdirkan untuk bertemu benda sialan itu, mereka pasti akan datang bagaimana pun caranya.”

 “Apakah bapakku tahu akan hal ini?”

 Dia terkekeh mendengar pertanyaanku. “Dasar bodoh. Justru bapakmu yang mengendalikan semuanya. Sekarang aku tanya, dari mana bapakmu yang pengangguran itu punya banyak uang? Dari mana biaya kuliahmu yang selangit bisa dijangkau oleh ekonomi keluargamu yang sulit?”

 Aku kembali terdiam. Benarkah topeng itu menjadi media pesugihan bapakku dalam mendapatkan rezeki yang tak halal? Benarkah korban-korban yang meninggal setelah melihat topeng itu sengaja Bapak tumbalkan?

 “Sebentar …! Sebentar! Bukankah kau bilang siapa pun yang melihat topeng itu karena sudah ditargetkan? Dan hampir semuanya berakhir dengan mengenaskan. Lalu kenapa sampai sekarang kau masih baik-baik saja? Padahal kau juga pernah melihat topeng itu. Kau juga menangis setelah melihatnya!”

 Dia tak menjawab pertanyaanku dan malah tertawa terbahak-bahak, seolah mentertawakanku. Dia tampak bahagia melihatku yang terkejut.

 Aku hanya bisa diam karena sangat kesal dan merasa dipermainkan. Ingin rasanya kubekap pakai lakban saja mulutnya agar dia berhenti tertawa dan tak menganggap hidup sebercanda ini.

 Otakku berpikir keras mencari cara untuk menghentikan tawanya. Namun, belum sempat menemukan hal itu, tawanya mendadak reda. Senyap seketika.

 Dia menunduk dalam. Raut wajahnya yang tadi gembira dengan sinar mata yang berkilat-kilat bak gemintang, pipi bersemu merah muda, dalam waktu singkat, langsung berubah sendu. Cahaya matanya meredup dan mulai berkaca-kaca. Punggungnya berguncang hebat. Ada isak yang aku dengar keluar bersama rembesan air mata.

 “Kenapa kau menangis?” Aku bertanya heran.

 Dia menggeleng pelan. “Harusnya dulu aku menolak ajakanmu untuk melihat topeng di kamar itu, sehingga aku tak akan pernah menyaksikan banyak kematian,” jawabnya.

 Untuk kedua kalinya aku melihat temanku yang badung itu menangis sesenggukan, bahkan sampai meremas-remas kepalanya. Kalimat-kalimat penyesalan pun terus dia ucapkan. Aku menjadi serba salah.

 “Maafkan aku. Kupikir apa yang kau lihat akan sama dengan apa yang kulihat selama ini tentang topeng itu. Sungguh aku tak menyangka kalau kau akan menangis melihat topeng itu.” Aku berusaha menghibur, tapi sepertinya sia-sia. Jadi, aku membiarkannya saja sampai perasaan sedihnya reda. Entah mengapa, ada kepuasaan ketika aku bisa melihat bergantian ekspresi wajahnya.

 Tak lama, dia mengangkat kepala menghadapku. Sambil tersenyum dia bertanya, “Kau tahu kenapa aku tidak bernasib sama seperti yang lain?”

 Refleks aku menggeleng. “Itu yang aku tanyakan dari tadi!” Aku melengos sedikit kesal. Bukankah dari tadi aku bertanya seperti itu, eh, dia malah menangis. Dengkusan napasku malah membuatnya kembali tertawa.

 “Aku masih baik-baik saja sampai hari ini karena topeng itu memang tidak memilih untuk mengakhiri hidupku. Tapi dia sengaja membiarkanku hidup agar bisa menjadi saksi semua kesadisanmu!”

 Jari telunjuknya tiba-tiba mengarah tepat di keningku. Tawanya yang ramah dan hangat langsung berubah dingin. Suaranya berganti lebih berat dan penuh tekanan saat dia mengucapkan kalimat itu. Ekspresinya berubah lagi.

 Aku tersentak dan sontak berdiri, melangkah mundur ketika melihat matanya yang tadinya sendu, berubah merah dan mengandung banyak lava panas. Kelopak matanya yang dalam itu terbuka lebar, sehingga seluruh bola matanya terlihat menonjol seakan-akan ingin keluar dari rongganya.

 Dia bergerak maju mendekatiku, tak sesenti pun membiarkan aku lolos dari tatapannya. Sepasang tanduk runcing muncul di atas kepalanya. Senyumnya berubah menjadi seringai menyeramkan dengan darah yang mengalir di sela-sela giginya. Dia terus mendekatiku dan hingga membuatku terdesak. Tak dapat melangkah mundur lagi, sebab punggungku telah membentur batang pohon yang ada di taman.

 “Kau ... jangan asal bicara!” bantahku gugup.

 Seringainya semakin lebar saat kedua tangannya terulur dan mencengkeram kuat pipiku. “Beginilah caramu menghabisi teman-temanmu, dan juga bapakmu.”

 Aku bisa melihat matanya menyala bak api unggun dan gigi taringnya yang tajam. Kemudian dia menahan kepalaku dan menancapkan sepasang taringnya pada leherku.

 Spontan aku berteriak ketakutan. Ingatan lama berkelebat di depan mata. Dulu Bapak juga berteriak seperti ini saat aku menggigit lehernya dan menyedot habis darah melalui nadinya, sampai Bapak rebah di lantai kamar. Aku ingat juga saat itu aku tertawa terbahak-bahak sambil mengusap perut yang telah kenyang sambil berserdawa puas.

 Di tengah kesakitan yang luar biasa, samar-samar aku melihat ada bayangan yang datang mendekat. Dia bergegas melepas gigitannya dari leherku dan meninggalkanku yang tengah meregang nyawa.

 Seorang perempuan cantik dan dua orang laki-laki berpakaian putih-putih menghampiriku. Aku mengamati lekat-lekat wajah perempuan yang kini berada tepat dihadapanku. Ingatanku kembali menyusut ke masa lalu sambil memegangi leherku yang terus mengeluarkan darah. Aku seperti mengenal perempuan ini.

 “Dia tak berhenti berhalusinasi bersama topengnya. Dia menganggap topeng itu adalah teman-temannya yang menjelma dengan berbagai ekspresi.” Salah satu lelaki itu menjelaskan sambil membenarkan letak kacamatanya.

 “Apakah dia mengalami halusinasi penglihatan, Dok?” tanya laki-laki lain yang ikut mengamati di belakangnya.

 “Betul sekali. Orang yang mengalami halusinasi penglihatan akan melihat sesuatu yang sebenarnya tidak ada. Objek yang dilihat bisa manusia, benda, atau cahaya. Misalnya, penderita melihat seseorang di dalam suatu ruangan, padahal sebenarnya tidak ada,” jawab lelaki berkacamata.

 “Aku sangat puas. Penelitianku berhasil. Saat pandemi baru datang nanti, obat ini bukan hanya merusak otak, tetapi dapat menghancurkan peradaban. Aku akan mempercepat para penguasa itu mencapai tujuan yang mereka inginkan, tanpa dihalangi oleh anak-anak muda yang kritis sepertinya!” Perempuan itu menunjuk diriku. Senyumnya licik saat berkata, “Dan aku akan kaya raya!”

 Ah, aku ingat. Dia itu adalah teman perempuanku yang dulu sangat pemalu. Dulu Bapak menyuruhku agar mempertahankannya sebagai teman, tapi ternyata dia mengkhianatiku. Dia mengambil semua uang hasil penjualan topeng lalu pergi. Dia kembali datang saat aku sedang terpuruk karena kehilangan Bapak. Dia juga memberiku obat, katanya agar aku bisa tenang dan bebas dari perasaan bersalah.

 Ternyata … hah!

 Aku mendengkus keras. Emosiku meluap seperti gunung meletus. Aku berteriak marah seperti orang kesetanan. Kumaki-maki dia dan menyumpahinya agar nasib buruk mendatanginya. Paling tidak, aku ingin dia merasakan apa yang aku rasakan dan alami sekarang karena perbuatannya.

 “Berikan lagi dia suntikan ini agar mulutnya diam!” Dia memerintahkan kedua teman laki-lakinya.

 “Lepaskan aku! Jangan sentuh aku! Kalian semua berengsek! Kalian gila!” umpatku saat mereka berdua mendekat dan menangkapku.

 Aku terus memberontak dan berusaha melepaskan diri, hingga akhirnya semua gelap dan senyap.

------------------


Catatan penulis:

Cerpen ini adalah hasil game sambung cerita (samcer) yang diadakan oleh Komunitas Warkop Kwikkita di Facebook, ditulis oleh 9 orang, yaitu:

1.    Donny M Ramdhan

2.    Lirin Kartini

3.    Nadya Wijanarko

4.    Nrs Rassa Shienta Azzahra

5.    Nur C

6.    Rudie Chakil

7.    Teh Manis

8.    Wiji Lestari

9.    Yutanis


Urutan nama ini bukan urutan penulis cerita, biar kalian para pembaca yang menebak siapa menulis apa hehehehe. Nantikan cerita-cerita dari kami selanjutnya ya ....


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
@semangat123 : Ciluuukk ... Ba! Harusnya baca pas kamis malam sih, pasti lebih terkejut 😄
Kejutan di hari Jumat...
Pengennya komen yg lebih mindblowing, tapi ya itu ... Gelap dan senyap. 😂
@donnymr : Krik krik krik ... *Eh ga jadi senyap deh
@yutanis : Heheh ambil napas dulu, kak, terus buang, ulangi terus. Terima kasih juga sudah menuang ide di sini 😊
@nimasrassa : Terima kasih, apik berkat kerjasama yang epik 😍
@nadyawijanarko : Mindblowing yg mindblowing 😳
Gelap dan senyap ....
Ya Allah, membacanya terlalu fokus, saya ngos-ngosan. Keren, menyatu begitu apik, rasa penasaran, marah, dan ketakutan menjadi satu. Berakhir dengan twist yang tidak terduga. Terima kasih sudah menyatukan pemikiran kami ini, dan menjadikan bacaan yang menarik dan menggelitik... Semangat 💪🏻
Apik tenan 🤩
Rekomendasi dari Horor
Rekomendasi