Disukai
1
Dilihat
6,091
Toko Kaca Renjana
Drama

Konon, sebuah toko kaca di pinggiran kota memberikan kesempatan padamu untuk mengungkap jati dirimu lewat sebuah cermin. Cermin yang menampakkan jati diri yang tersembunyi jauh di alam bawah sadarmu. Sebuah sosok yang mungkin sama sekali lain dan tak pernah kaubayangkan sebelumnya. Kalau kau tertarik, datanglah. Apa yang ‘kan kau dapat dari sana, itu semua bergantung padamu.

***

“Desain kaca patri untuk ruang tamu, lalu pemasangannya, ya?”

“Maaf, tapi yang benar ruang pertemuan, bukan ruang tamu.”

Cepat-cepat aku meminta maaf, dan segera mengoreksi catatan yang aku tulis. Pelanggan di hadapanku terkekeh pelan dan menganjurkan padaku untuk jangan lupa minum yang cukup. Itu memalukan, serius.

“Apa ‘ruang pertemuan’ tersebut semacam aula terbuka, Pak? Atau ruang yang lebih kecil?” tanyaku memastikan. Pelangganku menjelaskan kalau itu ruangan yang tertutup tapi juga tidak bisa terbilang sempit.

“Karena Anda datang di sore hari, desainer dan perajin kami mungkin baru bisa memeriksa tempatnya esok pagi. Apa Anda tidak keberatan?”

Beliau berkata tidak keberatan atas tawaran yang kuberikan tadi. Kemudian, aku memintanya menuliskan alamat tempat yang hendak diperiksa itu. Ternyata tempat yang dimaksud adalah sebuah gedung perkantoran dekat pusat kota. Setelah menyodorkan uang muka dan menerima nota, pelanggan ini berpamitan. Bel di atas pintu berdenting saat pria itu membuka pintu untuk keluar, meninggalkan bunyi nyaring yang kian memelan.

“Terima kasih banyak!” ucapku sebagai salam perpisahan.

Aku menghela napas lega. Tidak diragukan lagi, pria paruh baya itu adalah pelanggan yang terakhir untuk hari ini. Uang tadi kusimpan di dalam laci kasir. Langit di luar sudah tampak kemerahan. Sesaat aku meregangkan jari-jemariku yang kaku hingga terdengar bunyi ‘krek’ yang cukup memuaskan. Pekerjaanku hari ini selesai, satu hari lain berjalan dengan baik. Untuk bersiap menutup toko, aku membereskan beberapa nota dan catatan lain yang agak berserakan. Pandanganku menengok sekeliling untuk melihat apa ada kaca atau cermin yang perlu dibenahi. Tapi tampaknya semua sudah oke. Tinggal membalik papan tanda menjadi “Tutup”, maka aku bisa pulang dan bersantai.

Namun kelihatannya aku belum bisa pulang saat itu juga, karena saat hendak membalik papan tanda di pintu, ada orang yang sepertinya menuju ke arah toko ini. Dia berjalan dengan langkah gugup dan sesekali celingukan. Tampangnya bahkan penuh kegelisahan. Mungkin dia mau numpang toilet, pikirku.

“Permisi, apa Toko Kaca Renjana masih buka?”

Seorang gadis, mungkin sekitar 16 atau 17 tahun. Rambut panjang yang dikepang serta kacamata adalah bagian yang paling mencolok untuk dilihat. Hal lain yang mungkin menjadi ciri khas penampilannya adalah tahi lalat yang ada di bawah mulutnya. Dia menggendong tas ransel, dan kupikir dia masih memakai seragam sekolah meski itu tertutup oleh jaket biru yang dipakainya. Yang jelas aku tidak perlu bicara dengan formal pada gadis ini.

Aku tetap membalik papan menjadi “Tutup”. Tidak ada niatan bagiku untuk menambah jam kerja sampai larut. “Ya, aku akan menutupnya. Tapi, silakan. Kamu tetap boleh masuk.” ucapku sambil mempersilakan pelangganku yang terakhir. Kali ini, kupastikan benar-benar yang terakhir, untuk hari ini. Biasanya gadis seusia itu, ketika datang ke toko ini, punya tujuan ingin mengubah penampilan dan citra dirinya supaya jadi lebih menarik. Maksudku, remaja pada umumnya memang sedang haus akan pengakuan dari orang sekitarnya ‘kan? Bukan masalah, aku siap merekomedasikan cermin yang paling nyaman digunakan untuk berdandan. Kecuali, kalau dia datang untuk urusan itu.

“Kamu masih SMA ‘kan?”

Dia mengangguk pelan. Sorot matanya tidak teratur, sesekali menatap ke lantai, sesekali melihat ke arahku.

“Mau berdandan buat cowok yang kamu suka?” Aku bertanya sambil melempar senyum penasaran. Memang apa sih kalau bukan demi hal-hal yang masa muda banget?

“Bu-bukan begitu. Sebenarnya, aku tidak ingin membeli atau …” Gadis itu ragu meneruskan perkataannya dan hanya memainkan jari-jarinya.

Kalau demikian, berarti dia memang datang untuk urusan itu.

“Begitu ya. Aku paham, kok. Duduklah dulu. Mau kopi atau teh? Eh, maaf kopinya habis kemarin. Teh saja nggak apa-apa ya.” Aku meluncur ke belakang untuk menyeduh daun-daun teh yang biasa kupersiapkan untuk tamu. Tamu yang kumaksud adalah mereka yang datang pada jam-jam setelah toko tutup. Jelas, mereka datang tidak lain adalah untuk ‘layanan khusus’ itu.

Secangkir teh itu kuletakkan di hadapannya. Gadis ini duduk dengan badan yang tegap lentik, kedua tangannya mengepal di atas pangkuan. Ya, maklum saja. Pasti ia dipenuhi rasa bimbang, apalagi berhadapan dengan sesuatu yang cuma diketahuinya dari kabar burung.

“Kalau mau bertanya, boleh kok. Oh ya, siapa namamu?” Aku ikut mengambil posisi untuk duduk berseberangan dengannya.

“Nirmala.”

Namanya bagus, pikirku. Siapa pun yang memberinya nama itu, pasti berharap gadis ini terhindar dari segala mara bahaya.

“Nama yang indah.”

“Te-terima kasih.”

Aku membalasnya dengan senyum yang semoga bisa membuatnya tidak canggung lagi. Sejenak kemudian, setelah memberanikan diri, Nirmala membuka mulutnya.

“Soal cermin itu …”

Nah, sudah kuduga hal itu niscaya menjadi objek rasa penasaran yang amat, “Ah, itu bukan apa-apa selain cermin besar yang sudah tua. Walaupun agak ajaib, sih. Tapi itu tidak akan melukai atau bikin sakit, kok.”

Seolah sudah oke dengan penjelasanku, dia lanjut bertanya dengan ragu-ragu, “Anu, kalau boleh tahu, Kakak sendiri… siapa?”

“Aku? Cuma penjaga toko, haha.”

Wajah pelangganku ini menyiratkan keheranan, “Tapi… Kakak digosipkan orang-orang lho, ada yang bilang Kakak itu ‘Juru Kunci Cermin Jiwa’ atau semacamnya,”

“Siapa yang bilang begitu?!” Suaraku agak meninggi sampai-sampai Nirmala terkesiap. Sialan, itu julukan yang memalukan. Tak bisa dipungkiri, aku sebal bukan main. Orang-orang yang bergosip itu biasanya tidak percaya tentang hal yang mereka bicarakan sendiri. Justru orang yang mendengarnya lah yang akan percaya.

“Ma-maaf, aku cuma dengar dari orang lewat,”

Hela napasku keluar, “Ya, sudahlah.” ucapku. Mungkin tidak usah repot memedulikan ucapan orang. Sekarang aku harus fokus pada pekerjaanku yang ini.

“Jadi, kamu sungguh-sungguh ingin tahu tentang… jati dirimu, hmm?” tanyaku.

Nirmala berusaha mengangguk tegas, “Iya. Aku serius.”

“Baiklah. Aku tidak akan tanya alasan apa yang membuatmu datang kemari. Tapi sebelum mulai, harus ada aturan yang kamu patuhi. Bersedia?”

Meski sempat berpikir sejenak, Nirmala tetap menjawab, “Aku bersedia.”

Tekad yang lumayan.“Sip!”

Asal tahu saja, untuk special service ini, aku tidak memungut biaya sepeser pun. Sejak awal buka, tempat ini adalah toko kaca yang menyediakan jasa desain kaca, pemasangan, perbaikan, serta jual beli produk kaca dan cermin. Itulah yang sepatutnya dikenal oleh banyak orang. Bukan sebagai tempat uji nyali. “Mungkin hal pertama yang harus kukatakan padamu ialah bahwa yang akan kamu hadapi nanti adalah semacam ujian.”

“Ujian?”

“Betul. Ujian. Dan seperti ujian pada umumnya, yang harus kamu lakukan adalah …”

“Adalah …”

“Berdoa.”

“Ha?”

“Berdoa. Kamu percaya sama keberadaan Tuhan ‘kan?”

Nirmala mengangguk.

“Gampang kalau begitu,” Wajahku nyengir jahil, “Selanjutnya, kamu harus menuntaskan apapun yang sudah kamu mulai. Bisa?”

“Apa kita akan melakukan hal yang berbahaya?” Paras Nirmala sekarang penuh risau yang tampak jelas. Harus kupastikan ucapanku tidak membuatnya lebih khawatir dari ini.

“Sama sekali tidak. Pulang dari sini kamu masih tetap hidup, kok.”

Ayolah, kenapa dia malah jadi lebih kelihatan cemas. Aku menghela napas pelan. “Tentu saja, dalam keadaan yang baik-baik saja, maksudku. Bagaimana?”

“Aku… aku akan berusaha.” Nirmala menggelengkan kepala, ia memperkuat keteguhannya, “Maksudku, aku pasti bisa.”

. Aku tersenyum geli. “Lalu, kamu harus mengandalkan dirimu sendiri. Jangan meminta tolong, karena itu sia-sia. Toh, aku cuma bisa memperhatikan. Paham?”

“Aku mengerti.”

“Nah, yang terakhir. Kamu harus membuat pernyataan sepakat mengenai aturan yang kusebutkan tadi.”

Nirmala memiringkan kepalanya, “Pernyataan sepakat?”

“Semacam persetujuan. Nanti aku yang akan menjadi perantaranya.” Wajar dia bertanya begitu. Mengatakan sesuatu seperti “Aku bisa!” itu mudah, tapi berkata “Aku berjanji pasti bisa melakukannya,” tidak semua orang mampu. “Bagaimana, kamu siap?”

Gadis ini kembali memainkan jari-jemarinya, tegak badannya tetap lentik, tapi tatapan matanya sudah tidak lagi terombang-ambing. Dan dengan mantap, ia berkata…

“Aku siap!”

Kali ini aku tersenyum kagum. Meski sudah bertemu dengan beberapa orang untuk urusan yang sama, momen ketika seseorang bersungguh-sungguh ternyata tetap membuatku cukup terkesima. “Kalau begitu, ikut aku.”

Kami menuju lantai dua. Di sana tersimpan perabotan yang sudah lapuk serta kaca patri dengan beragam desain. Seingatku, itu tidak jadi dibeli oleh pelanggan yang memesannya. Mungkin ruangan ini memang mirip gudang meski terbilang lebih rapi. Aku menyibak tirai hitam yang menjadi sekat tipis antara ruang yang ada. Penerangan di sana tidak terlalu baik, lampunya seperti sudah lama tidak diganti. Terlebih lagi, sudah masuk waktu maghrib. Di sudut ruang dari seberang tirai hitam itu, ada sesuatu yang ditutupi kain, dan itulah yang kami berdua tuju.

 Kain penutup itu aku singkirkan sehingga tampaklah sebuah cermin besar seukuran tinggi manusia dewasa. Cermin itu dibingkai oleh ukiran kayu yang begitu antik berbentuk dua sosok ular yang saling menyilang lengkung. Ya, tapi itu bukan soalan penting. Hal terpenting adalah perbedaan apa yang mampu cermin ini tunjukkan.

“Ini …” Wajah Nirmala mengamati dengan saksama pada cermin di hadapannya.

Aku mengangguk. “Nah, perlihatkan telapak tanganmu.”

Nirmala mengulurkan tangan, memperlihatkan telapaknya. “Kira-kira apa yang akan muncul nanti?”

“Kalau itu tergantung orangnya. Wujudnya sangat beragam. Tapi kamu tidak usah khawatir. Toh, itu tidak bisa menyakitimu, setidaknya secara fisik.”

“Eh?” Gadis itu terhenyak.

“Kamu mau mundur?” Kurasa lebih baik memastikan untuk terakhir kalinya.

Nirmala menggeleng, “Mohon bantuannya.”

Ya, aku pikir dia akan baik-baik saja. “Kita mulai.” Aku menempelkan telapak tangan kananku pada cermin, di sisi lain, telapak tangan kiriku menempel pada tangan Nirmala. Aku sudah melakukan ini beberapa kali, sama sekali bukan masalah bagiku. Ibarat kata, aku adalah pengawas ujian yang sudah terbiasa menangani berbagai macam kelakuan para peserta.

Aku memejamkan mata, menarik lalu mengembuskan napas, bersiap memulai ‘ritual’.

“Seorang anak manusia meminta kesaksian akan dirinya. Renjana yang terpendam dalam sanubari itu meronta untuk menghadap pada empunya. Wahai anak manusia yang meminta, bersediakah engkau mematuhi kaidah yang ada dengan penuh kesungguhan?”

Aku membuka mata, menatap Nirmala dan menanti jawabannya.

“Baik. Aku bersedia.” ucap gadis itu penuh yakin. Pasti saat ini dia sedang merasakan sensasi aneh yang tak terjelaskan setelah mengucapkan hal itu. Aku bisa pastikan itu dari bahunya yang tiba-tiba sedikit terangkat.

“Mulai dari sini semuanya terserah padamu, aku akan mundur ke belakang dan memperhatikan.” ucapku seraya menjauh dari hadapan cermin itu, mengambil jarak dari sisi Nirmala yang memandangiku. “Kamu harus menyentuh cermin itu dengan tangan kananmu. Lalu, berdoalah, dan semuanya akan dimulai.”

Dia mengalihkan pandangan pada cermin di depannya. Tangan kanannya menjulur, telapaknya menyentuh permukaan cermin yang mungkin berdebu. Nirmala pun memanjatkan doa.

“Oh, Tuhanku. Dalam kasih-Mu hamba bernaung. Cahaya-Mu menembus gulita pekat jiwa orang-orang tersesat. Engkau Yang Kuasa, Engkau Yang Esa. Sinarilah jiwa hamba dan singkaplah tabir kelam yang menghalang karsa!”

***

Nirmala mengamati dengan rinci setiap jengkal dari cermin itu. Belum ada sesuatu yang terjadi, yang dilihat hanyalah pantulan dirinya yang sudah agak lusuh. Maklum, baru pulang dari sekolah. Rambutnya cukup berantakan di sana-sini. Mukanya terlihat kurang tidur dan ada kerutan tipis di bawah matanya. Nirmala tersenyum kecut.

“Kenapa cengengesan? Ah, pasti menertawai dirimu yang pengecut itu ‘kan?”

Deg!

Nirmala terperanjat. Darahnya tiba-tiba berdesir kencang. Itu bukan mimpi atau ilusi. Bukan, sama sekali bukan. Dia sadar dengan penuh bahwa apa yang ada di hadapannya memanglah karena keputusannya sendiri.

Ya, pantulan diri Nirmala di cermin itu mendadak berubah menjadi sosok yang hidup. Hidup dalam artian “punya kehendak sendiri”, gerak dan raut wajah di cermin tak lagi selaras. Walau raga dan sekujur badannya masih mirip dengan Nirmala, sorot matanya berbeda, tatapan itu… kejam lagi tak berperasaan. Sebut saja sosok ini, “Bayangan Nirmala”.

“Kamu ini… apa?” Nirmala bertanya dengan susah payah.

Bayangan Nirmala hanya mendecakkan lidah, “Bodoh. Aku adalah kau. Kau adalah aku. Hanya saja, aku sangat benci padamu, terutama sifatmu yang lamban itu.”

“Kamu adalah aku? Apa aku–”

“Hei!” Bayangan itu menyela tiba-tiba.

“A-apa?” jawab Nirmala gugup.

“Cepat pilih, bunuh dirimu atau bunuh mereka yang mengganggumu!”

Mata Nirmala melebar karena tersentak, “Apa maksudnya? Jangan bicara yang tidak jelas.”

Bayangan itu justru menyeringai, “Jangan pura-pura bodoh. Kau sangat ingin menyingkirkan gangguan yang menimpamu selama ini ‘kan? Memangnya ada cara selain dua pilihan yang kutawarkan tadi? Mau kauhadapi terang-terangan juga mustahil. Toh, kau tidak akan berani, dasar pecundang! Makanya cepat putuskan, dasar lamban!”

Nirmala agak terhuyung sebelum akhirnya duduk bersimpuh di lantai, entah kenapa kepalanya sedikit pusing. Dia menoleh pada Si Penjaga Toko yang masih anteng memperhatikan dirinya dengan wajah kalem. Rupanya, memang hanya bisa mengandalkan diri sendiri, pikir Nirmala.

Tawa mengejek dari Bayangan Nirmala terdengar seram. Sosok itu masih berdiri angkuh. Nirmala mendongak untuk kembali menatap bayangannya.

“Me-memang apa salahku? Tidak ada alasan bagiku untuk memilih dari keduanya. Semua orang juga punya sifat buruk dan kekurangan masing-masing. Jadi, berhentilah–”

“Berisiiik!! Jangan sok kuat! Gara-gara sikapmu yang begitu, makanya kau selalu dirundung!”

Si Bayangan mendadak seperti tengah meluapkan amarahnya.

“Hampir setiap malam kau menangis seperti bocah. Uangmu selalu kena palak. Buku-bukumu sering hilang entah ke mana. Saat makan siang atau jadwal piket, kau selalu sendirian. Tidak ada yang mau mengobrol denganmu karena kau pasrah dengan fitnah yang kau terima. Ah, kasihan sekali. Pasti kau sedang berpikir kalau semuanya akan berlalu dengan baik-baik saja jika bisa bersabar. Tapi itu salaaah! Salah besar! Sifat pengecutmu itu sudah tak tertolong. Kau cuma akan mati sendiri, meratapi waktu-waktu sekarat tanpa ada siapa pun di sampingmu! Selamanya, itu tidak akan berubah!”

Itu kenyataan. Sosok aneh di dalam cermin itu membongkar semuanya. Rasanya kesal, kesal sekali. Tapi apa yang dikatakannya memang terlampau benar. Itu semua adalah yang Nirmala rasakan. Tentang dia yang ingin semua beban ini lenyap entah bagaimana caranya. Tentang dirinya yang ingin, setidaknya untuk sekali, berteriak “Jangan ganggu aku! pada orang-orang tak berperasaan yang menganggap semua perbuatan jahat mereka hanya candaan belaka. “Sialan,” gumam Nirmala. Bayangan ini membongkar semuanya.

“Kalau kau tidak punya nyali untuk menyakiti orang lain. Setidaknya matilah. Kau akan merasa tenang… untuk selamanya.” ucap Bayangan itu dengan suara yang agak parau.

Jurai rambut depan Nirmala menutupi dahinya. Nirmala masih terdiam. Beberapa kali bibirnya bergetar seolah ingin mengatakan sesuatu, tapi selalu tercekat.

“La-lalu, aku… harus bagaimana?”

Bayangan itu berjongkok, menyamakan tinggi pandangnya dengan Nirmala, “Sudah kubilang bukan? Pilihlah!”

Memilih, ya? Tidak buruk juga. Itu jalan pintas paling cepat. Pada akhirnya manusia juga adalah binatang. Bunuh atau dibunuh, seolah itu sudah merupakan hukum alam. Nirmala merasa geli memikirkan itu. Saat ini dia ingin tertawa. Kalau bisa, tertawa dengan lepas. Tapi nyatanya dia hanya mampu terkekeh pelan.

Namun, apa benar begitu? Apa yang dikatakan.Si Bayangan ini layak untuk diikuti? Tidak tahu. Nirmala merasakan kepalanya seperti melayang, terpisah dari tubuhnya. Dia mengingat kembali kenapa dia ada di sini. Mulai dari uangnya yang diminta paksa oleh beberapa kakak kelas, gunjingan-gunjingan tidak mengenakkan dari teman sekelasnya, lalu tanpa sengaja ia mendengar soal Toko Kaca Renjana dari siswa sekolah lain yang kebetulan mengobrol dengan cukup nyaring. Sampai akhirnya, di sini lah dia sekarang.

Mungkin hal pertama yang harus kukatakan padamu ialah bahwa yang akan kamu hadapi nanti adalah semacam ujian.

Suara Si Penjaga Toko kembali terngiang. Ujian, katanya? Ujian, ya? Nirmala menambah beban pikirannya. Memang apa sih yang dibutuhkan untuk lulus ujian? Belajar? Untuk kali ini sepertinya bukan itu. Berarti yang tersisa tinggal pikiran yang jernih, iya tidak? Lagi pula ini aneh, kenapa Bayangan itu tiba-tiba jadi pendiam?

Lalu, kamu harus mengandalkan dirimu sendiri. Jangan meminta tolong, karena itu sia-sia.

“Aku tahu, kok.” Nirmala berucap lirih. Pandangannya masih tertuju ke lantai. Sesaat kemudian dia merangkak lambat menuju ke dekat cermin hingga tepat berada di dekatnya.

“Haha,” Nirmala tertawa singkat, tapi, “Hahahahaha–”

Brak!!

Kepal tangannya meninju permukaan cermin. Anehnya, cermin itu tidak pecah atau retak sedikit pun.

“Jangan seenaknya mendikte ini-itu kepadaku!” Napas Nirmala terengah-engah, “Aku tidak sudi menurutimu. Aku sendiri lah yang akan memutuskan apa yang akan kulakukan!”

Kepalan tangannya ia tarik kembali, Nirmala mengangkat wajahnya, ia menahan berat tubuhnya dengan lutut. Tidak ada cemberut atau amarah yang terlukis di wajah itu. Hanya senyuman. Senyum yang penuh tekad dan keyakinan.

“Karena itulah, kamu tidak perlu repot-repot. Serahkan padaku. Dan… terima kasih.” tegas Nirmala.

Sekejap, Bayangan itu tidak lagi mengatakan apapun. Gerak-gerik, sikap, sorot mata, dan raut wajah, semuanya ia serahkan kembali pada wujud nyatanya, Nirmala. Saat itu pula, cermin itu hanya memantulkan wajah Nirmala yang sedang tersenyum.

***

Aku melihat Nirmala yang kembali duduk bersimpuh. Wajah sumringahnya perlahan mempertegas rasa lelah yang dialaminya. Kemudian, tanpa sedikit pun rasa sedih atau kecengengan, gadis itu… menangis. Air matanya membasahi pelupuk mata lalu pipinya dengan deras. Melihat itu, aku pun menghampirinya. Bukan karena rasa iba atau kasihan, satu hal yang ingin aku katakan adalah…

“Kerja bagus. Kamu sudah berusaha.”

Pandangan kami bertemu. Aku mengulurkan tangan membantunya berdiri. Nirmala masih terisak, begitu jelas sekuat tenaga ia mencekat suaranya agar tangisnya tidak pecah.

“Kamu sudah berusaha,” ucapku sekali lagi.

Gadis itu tidak mengatakan apapun lagi. Setelah itu dia langsung berpamitan, bergegas pulang sebelum malam benar-benar terselimuti oleh gelap.

Beberapa hari berikutnya, aku menjalani kegiatanku seperti biasa. Berangkat, bekerja, lalu pulang dan istirahat. Dalam beberapa hari itu pula belum pernah sekali pun ada orang yang meminta ‘layanan khusus’. Lalu, soal Nirmala, sudah agak lama juga aku tidak bertemu dengannya. Bagaimana kabarnya sekarang ya? Bukan berarti aku selalu memikirkannya setiap saat atau apa, hanya saja, ya… aku harap dia baik-baik saja, begitu harapku. Saat aku larut dalam lamunan, terkadang, walau cuma sesekali, aku berharap Nirmala mampir lagi.

“Terima kasih banyak!” ucapku pada pelanggan yang baru saja membeli kaca inlay yang sudah jadi. Biasanya jika orang membeli produk kaca yang sudah jadi alih-alih memesan, ia akan menggunakan untuk rumah yang baru hendak dibangun sehingga panjang dan lebar kusen bisa menyesuaikan kaca yang telah dibeli. Atau mungkin jika berasumsi lebih sederhana, orang tersebut membelinya untuk keperluan pribadi, praktis tanpa memusingkan seperti apa desainnya.

Toko ini bisa dibilang agak unik dengan toko kaca yang lain. Bukan tentang ‘layanan khusus’ yang kumaksud. Toko yang kutempati sekarang adalah sebuah ruko dua lantai. Lantai pertama merupakan ruangan yang bisa dikunjungi pelanggan, ada berbagai macam produk kaca di sini seperti kaca jendela, vas, kotak perhiasan, alat makan, cermin, dan sebagainya. Lantai kedua tidak perlu aku jelaskan. Sementara itu, tempat perajin atau sebut saja ‘bengkel’ di mana kaca-kaca itu dicipta, terletak agak jauh dari sini. Mungkin sekitar setengah kilo meter. Intinya, bengkel dan toko dipisah, layaknya restoran yang tidak akan menunjukkan dapurnya pada pengunjung, kecuali untuk beberapa keadaan istimewa.

“Fuh,” Hanya terdengar suara desah napasku yang tengah sendirian di dalam toko ini. Saat aku memandang keluar melalui kaca etalase toko, warna jingga sudah memenuhi jarak pandang. Aku menengok jam dinding yang hampir menunjukkan pukul 17.30. Ya, waktunya toko tutup. Seperti biasa, hari ini berjalan dengan baik tanpa gangguan.

Kriing!

“Ah, selamat datang. Untunglah Anda datang sebelum toko tutup… hmm.” ucapku kemudian menyadari bahwa pelangganku ini adalah seorang gadis muda. Tanpa sadar aku memegang dagu seolah coba menerka sesuatu, mungkin raut wajahku hanya menampilkan kebingungan.

Gadis itu hanya mengangguk kecil tanpa memalingkan pandangan dariku, “Kakak lupa padaku, ya? Padahal baru dua minggu sejak terakhir aku mampir.”

Eh? Orang ini pernah mampir? Sejujurnya, pelanggan toko ini tidak bisa dibilang banyak. Aku bekerja dengan sif Senin sampai Jumat, sedangkan akhir pekan ditugaskan pada rekanku yang lain. Nah, biasanya di akhir pekan lah toko ini ramai pelanggan, entah yang ingin beli produk jadi atau menindaklanjuti pemesanan barang. Jadi, aku sedikit-banyak bisa mengingat pelanggan-pelanggan yang pernah aku temui.

Kembali ke gadis ini, rambutnya pendek dan poninya ditahan oleh jepit rambut, berkacamata, memakai seragam anak SMA, dan… ada tahi lalat tepat di bawah mulutnya. Apa mungkin gadis ini…

“Nirmala?”

Setelah kusebut nama itu, gadis itu meringis, “Betul.”

Seperti saat terakhir kali dia kemari, aku menyuguhkan minuman kepadanya. Namun, kali ini bukan teh, melainkan kopi. Aku juga membuat kopi untuk diriku sendiri, rasanya akhir-akhir ini aku jadi kurang fokus. Yang jelas, untuk saat ini aku penasaran pada apa yang akan Nirmala ceritakan. Kalau ditanya kenapa, mungkin karena dari sekian banyak orang yang sudah melakukan ‘ujian’ itu, baru Nirmala yang berkenan kembali ke sini.

“Jadi, ada yang ingin kamu ceritakan, bukan?”

Nirmala tersenyum. Aku baru sadar dia tampak tidak gugup seperti waktu itu. “Mula-mula, aku ingin berterima kasih pada Kakak.”

“Ah, tidak apa-apa, sudah tugasku, kok. Kamu tidak sabar ingin menceritakannya langsung ‘kan? Langsung ceritakan saja.”

Dia terkekeh pelan, “Ya, soal itu…”

Lalu, Nirmala menceritakan bagaimana dia mulai mengubah dirinya dan keadaan yang semula menghimpitnya. Sebagai seorang anak tunggal yang dibesarkan oleh orang tua tunggal yakni ibunya, Nirmala hampir tidak punya waktu bermain atau bercengkerama dengan teman sebayanya karena waktunya habis untuk bersekolah, belajar, dan membantu pekerjaan rumah tangga. Dia agak sungkan saat menjelaskan tentang perolehan nilainya di sekolah yang terbilang baik, atau sangat baik malah. Namun, masalahnya dimulai dari situ.

Suatu hari, ada teman sekelas yang tanpa sengaja melihat hasil tes milik Nirmala. Hasil tes itu sangat bagus. Tahu apa yang terjadi? Orang itu menuduh Nirmala berbuat curang saat ujian. Alasannya sangat tidak masuk akal: penampilan Nirmala yang dianggap gadis culun tidak cocok dengan citra orang pintar. Konyol sekali.

“Aku paham. Kebanyakan orang tidak mau melihat apa yang memang telah terlihat, tapi mereka hanya melihat apa yang ingin mereka lihat.” ucapku sebagai tanggapan atas cerita itu.

Rumor itu menyebar semakin luas, semakin luas dan semakin buruk. Para guru sepertinya tidak ambil pusing dengan rumor itu, toh mereka sibuk dengan pekerjaannya. Tapi, nahasnya, rumor ini membuat Nirmala jatuh dalam lubang keterpurukan yang tak diinginkannya. Orang-orang yang iri menggunjingnya dengan pedas. Orang-orang yang oportunis memalaknya dengan bengis. Orang-orang tak punya hati menjahilinya tanpa belas kasih. Keadaan itu, tanpa sadar mendorongnya untuk pergi ke toko ini.

“Memang manusia itu lebih heboh sama hal-hal yang tidak masuk akal, huh.” komentarku, lagi.

Kemudian, untuk mengubah keadaan itu, dengan nekat, Nirmala menantang semua yang pernah berbuat buruk padanya. Mula-mula dari teman sekelasnya, ia menawari siapa pun yang kesulitan untuk belajar supaya ikut belajar bersamanya. Hasilnya terlampau baik. Nirmala mendapatkan nama baik dan reputasinya. Lalu, pada orang yang suka memalak uangnya, dengan cerdik, dia merekam semua percakapan mereka untuk dijadikan bahan bukti bahwa dirinya telah dirundung, ditambah lagi Nirmala memanfaatkan teman-teman yang pernah belajar bersamanya untuk menjadi saksi. Ujung-ujungnya, para pemalak itu keburu ciut nyalinya. Dan mereka yang berbuat jahil kepadanya pun perlahan berhenti seiring membaiknya reputasi Nirmala. Itu semua dia lakukan hanya dalam waktu dua minggu. Membalik keadaan dalam waktu sesingkat itu, sungguh gadis yang mengerikan. Entah kenapa, tubuhku jadi agak merinding.

“Kakak bilang ujian itu ‘harus diselesaikan’ dan ‘harus mengandalkan diri sendiri’. Berkat itu, aku jadi sadar bahwa keadaan yang menimpaku tidak akan berubah jika aku hanya berdiam diri. Lalu, sosok yang aku temui dari cermin itu, bagaimana mengatakannya ya… mungkin telah memberiku semangat dan rasa percaya diri. Aku juga kaget melihat diriku yang lain begitu galak, haha.”

Aku ikut tertawa. Siapa sangka dia sama sekali tidak terbebani oleh itu.

“Lalu, Kak…”

“Hmm?”

“Apa mungkin, cermin itu bukan menampakkan jati diri kita, tapi keinginan terdalam yang kita miliki. Karena aku pikir, sosok yang kulihat kemarin bukan diriku yang sebenarnya, tapi hasrat terpendam yang muncul karena keadaanku saat itu.” jelas Nirmala.

Mendengar itu, aku reflek bertepuk tangan sebentar, “Benar sekali. Kamu hebat bisa menyadarinya. Dan juga, aku lupa bilang ini,”

“Hmm?”

“Selamat, kamu sudah lulus ujiannya, hihi.”

Nirmala lantas tergelak. Mungkin karena aku terlambat mengatakannya. Eh, bukan salahku, lagi pula Nirmala baru mampir kembali hari ini. Aku juga tidak berkewajiban untuk bilang “selamat”, kok.

Saat gadis itu berhenti dari gelaknya, dia mengatakan hal yang sangat menarik:

“Oh iya, Kak. Aku jadi penasaran, kira-kira Kakak punya hasrat terpendam yang seperti apa ya? Bagaimana kalau kita ‘bertemu’ cermin itu sekali lagi?”

Selesai

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar