Langit senja di Desa Windala menebar warna keemasan. Angin membawa aroma tanah dan daun basah, mengingatkan Rafka pada sore-sore sepuluh tahun silam—sore di mana suara gitar Reyan mengisi udara dan tawa mereka menyatu dengan nyanyian jangkrik.
“Lo balik juga, akhirnya,” ucap suara di belakangnya. Rafka menoleh. Reyan berdiri di sana, mengenakan hoodie hitam dan rambut acak-acakan, senyumnya masih sama seperti dulu, tapi matanya menyimpan luka yang dalam.
Rafka mengangguk pelan. “Gue nggak pernah benar-benar pergi dari sini, Yan. Hanya... terjebak di masa lalu.”
Mereka berjalan menyusuri jalan setapak ke rumah tua peninggalan kakek Rafka yang kini menjadi tempat latihan musik mereka. Rumah itu sepi, tapi dindingnya masih menyimpan gema lagu-lagu yang dulu mereka ciptakan bersama.
Dulu, mereka adalah Anemoia, band kecil dari desa yang hampir saja meledak ke kancah nasional—hingga tragedi datang. Naya, vokalis utama sekaligus gadis yang mereka berdua cintai dalam diam, meninggal dalam kecelakaan saat pulang dari konser pertama mereka di kota.
Sejak itu, semuanya runtuh.
Reyan menyalahkan dirinya. Rafka memilih pergi. Musik berubah jadi luka, bukan penghiburan.
“Lo tahu, Raf,” ujar Reyan perlahan, memetik gitar usang di sudut ruangan. “Gue sempet pengin bakar semua ini. Tapi tiap kali gue denger angin lewat sela jendela, suara Naya kayak manggil. Nggak nyuruh gue nyerah, tapi nyuruh gue dengerin. Bukan buat dia, tapi buat gue.”
Rafka duduk di sampingnya. Hatinya terasa sesak. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu mengambil biola kecil yang dulu ia tinggalkan. Dulu, musik adalah jembatan mereka. Kini, mungkin musik pula yang bisa jadi titian menuju masa depan.
---
Malam konser penghormatan untuk Naya digelar di lapangan desa. Penduduk Windala berkumpul, tak hanya karena rindu, tapi karena ingin melihat dua pemuda yang dulu menorehkan mimpi dari tempat kecil ini kembali berdiri.
Lampu menyinari panggung sederhana. Rafka berdiri di tengah, Reyan di sampingnya.
“Lagu ini,” ujar Rafka, suaranya bergetar, “buat seseorang yang nggak pernah benar-benar pergi. Dan buat semua yang pernah merasa kehilangan, tapi masih berani berharap.”
Mereka memainkan lagu baru—bukan lagu kenangan, tapi lagu tentang kenangan, tentang kehilangan yang tak selalu harus disembuhkan, cukup diterima. Suara Reyan menyatu dengan gesekan biola Rafka, menciptakan harmoni yang membuat banyak orang menitikkan air mata.
Di barisan depan, seorang anak kecil memeluk biola mainan, matanya berbinar. Seorang ibu muda tersenyum sembari menggenggam tangan suaminya. Suara musik itu tak hanya mengisi malam, tapi juga hati mereka yang hadir.
Setelah lagu terakhir, Rafka dan Reyan menatap satu sama lain. Tak ada kata, hanya anggukan. Mereka tahu, luka mereka tak akan hilang, tapi mereka telah memilih untuk melangkah.
Konser itu bukan akhir, melainkan awal dari perjalanan baru. Musik yang dulu membawa mereka pada trauma, kini menjadi jalan penyembuhan. Mereka tak lagi sekadar dua pemuda yang terjebak di masa lalu—mereka adalah penyintas, penjaga kenangan, dan pencipta harapan.
Tiga hari setelah konser penghormatan itu, suasana Desa Windala tak lagi sama. Warung kopi di pojok pasar yang biasanya hanya ramai oleh obrolan soal harga cabai, kini jadi tempat anak-anak muda membicarakan tentang mimpi. Mimpi yang dulu terasa asing di tengah ladang dan sawah, kini terasa mungkin untuk dicapai.
“Gue nggak nyangka, suara kita bisa ngubah sesuatu,” kata Reyan sambil memandang ke arah bukit kecil tempat mereka biasa nongkrong saat remaja.
Rafka mengangguk. “Gue juga nggak nyangka bisa berdiri di panggung lagi tanpa gemetar.”
“Karena lo nggak sendiri, Raf.”
Kalimat itu menghantam pelan tapi dalam. Selama ini, Rafka selalu mengira bahwa menyendiri adalah bentuk penyembuhan terbaik. Tapi malam konser itu, ketika ia melihat air mata di wajah Reyan, juga senyuman tipis warga desa, ia sadar—bahwa luka tak harus disembunyikan dalam diam. Ia hanya butuh ruang untuk didengarkan.
Di ruang latihan tua itu, mereka mulai rutin bertemu lagi. Bukan untuk sekadar bernostalgia, tapi untuk mencipta ulang mimpi yang dulu patah. Nama Anemoia dihidupkan kembali, tapi kali ini bukan untuk mengejar ketenaran, melainkan untuk menyembuhkan.
“Gue kepikiran buat ngajarin anak-anak di sini musik, Yan,” kata Rafka suatu pagi sambil membolak-balik buku catatan lagu lama.
Reyan mengernyit. “Ngajarin?”
“Lo lihat kan waktu konser kemarin? Ada beberapa bocah depan panggung yang ikutan nyanyi. Mereka butuh jembatan juga, kayak kita dulu.”
Reyan diam sejenak. “Lo yakin kita bisa?”
“Gue nggak yakin,” jawab Rafka sambil tersenyum kecil. “Tapi gue tahu, kalau kita nggak mulai, nggak akan ada yang jalan.”
Maka dimulailah perjalanan kecil mereka—mengumpulkan gitar tua dari rumah warga, menyambung senar yang putus, memperbaiki keyboard yang sudah berdebu. Anak-anak dari berbagai sudut desa datang, membawa rasa penasaran, membawa luka-luka kecil mereka sendiri yang tak pernah terucap.
Di antara anak-anak itu, ada satu yang paling menonjol. Namanya Irel, gadis pemalu berusia 13 tahun dengan suara emas yang membuat bulu kuduk berdiri. Tapi setiap kali ia selesai bernyanyi, matanya selalu terlihat kosong.
Suatu sore, saat semua anak sudah pulang, Irel masih duduk di depan piano.
Rafka menghampirinya. “Kamu suka main piano?”
Irel mengangguk, tapi tak menjawab.
“Kamu tahu, dulu seseorang yang aku sayang juga suka duduk di situ. Dia juga punya suara yang indah.”
Irel menoleh pelan. “Kak Rafka... kenapa dia nggak ada lagi?”
Rafka terdiam. Udara sore seolah berhenti sejenak.
“Karena kadang, yang kita sayang harus pergi duluan. Tapi bukan berarti mereka hilang.”
Irel menunduk. “Mama aku juga udah pergi.”
Sekarang Rafka mengerti. Di balik suara merdu itu, tersimpan patahan yang belum sempat dirangkai.
Sejak hari itu, Irel menjadi pusat perhatian tak hanya karena talentanya, tapi karena keberaniannya untuk mulai tersenyum. Lagu-lagu yang ia nyanyikan perlahan berubah nada—dari duka jadi doa, dari kesedihan jadi harapan.
---
Suatu malam, Rafka kembali ke rumah lama almarhum kakeknya. Ia membuka kotak kayu tua di bawah ranjang. Di dalamnya, tersimpan sepucuk surat dan kaset pita. Surat itu dari Naya.
"Kalau nanti kita bisa bikin panggung sendiri, aku pengin lagu terakhir yang kita mainin adalah lagu tentang desa kita. Supaya semua orang tahu, bahwa dari tempat sekecil ini, bisa lahir mimpi yang besar."
Rafka menutup matanya. Ada air hangat yang mengalir tanpa izin.
Di benaknya, ia bisa mendengar suara Naya tertawa, menyanyikan lagu gubahan mereka bertiga. Waktu seolah terlipat. Masa lalu yang dulu menakutkan, kini menjadi taman kecil tempat ia bisa duduk dan berdamai.
---
Tiga bulan berlalu. Kelas musik di desa makin berkembang. Reyan mulai membuka pelatihan digital musik dan produksi rekaman sederhana. Beberapa anak bahkan sudah menciptakan lagu sendiri. Anemoia bukan lagi hanya nama band, tapi telah menjadi gerakan kecil. Simbol harapan baru.
“Gue ditawari jadi mentor tamu di festival musik desa se-Jawa Timur,” kata Reyan suatu pagi, matanya bersinar. “Dan mereka juga pengin lo ikut, Raf.”
Rafka menatapnya lekat. “Kita... mau balik ke panggung?”
“Kali ini, kita bukan tampil buat tepuk tangan. Kita tampil buat nunjukin, bahwa dari luka, bisa lahir kekuatan.”
Festival itu diadakan di kota besar. Untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, Rafka kembali naik mobil keluar dari Windala, melewati jalur yang dulu mengantar mereka ke konser terakhir bersama Naya.
Di dalam mobil, Rafka memutar kaset pita lama. Suara Naya mengalun lembut, menyatu dengan degup jantung mereka yang kini berdetak serempak.
Konser itu megah, tapi hati mereka tetap sederhana. Mereka tampil dengan Irel sebagai vokalis utama. Lagu yang dibawakan bukan lagu sedih, melainkan lagu perjalanan. Tentang jatuh, bangkit, dan membangun ulang harapan yang pernah tercerai.
Tepuk tangan membahana. Tapi lebih dari itu, di antara gemerlap lampu, Rafka melihat wajah-wajah yang tersentuh—meneteskan air mata, saling menggenggam tangan, dan merasa... tidak sendirian.
---
Setelah konser, Reyan dan Rafka berdiri di belakang panggung, menghadap langit malam yang penuh bintang.
“Lu inget dulu kita pernah mikir, mimpi kita mati bareng Naya?” tanya Reyan pelan.
“Iya. Tapi ternyata, mimpi itu cuma tidur sebentar.”
Reyan tertawa lirih. “Dan sekarang dia bangun lagi.”
“Dengan bentuk baru. Dengan makna baru.”
Mereka diam sejenak. Angin malam membawa suara nyanyian dari kejauhan—anak-anak desa yang mereka ajar, kini melanjutkan nyanyian itu.
Rafka menghela napas panjang. Di dadanya, ada damai yang tak bisa dijelaskan. Luka itu memang tak hilang. Tapi seperti jendela yang retak terkena cahaya pagi, ia jadi tempat cahaya masuk lebih leluasa.
Ia menatap Reyan dan tersenyum.
“Terima kasih ya, Yan. Udah nunggu gue selama ini.”
“Gue juga. Nggak nyangka kita bisa sampai sini.”
Rafka menatap langit. “Mungkin, kita nggak pernah benar-benar sendirian.”
Langkah mereka mungkin masih panjang, tapi malam itu mereka tahu satu hal pasti: mereka sudah menemukan kembali jati diri mereka. Tidak hanya sebagai musisi, tapi sebagai manusia yang belajar untuk bertumbuh lewat kehilangan.
Dan titian masa lalu itu... bukan lagi jembatan menuju luka, tapi jalan menuju harapan.