Disukai
1
Dilihat
1,344
Tidak Ada Doa Panjang Umur
Slice of Life

“Nak, uang bulanan Ibu sudah habis, Ibu butuh beli peralatan make up, Ibu pinjam dulu uangmu ya, minggu depan ‘kan kamu gajian.”

Aku terpaksa mengiyakan, aku tidak bisa menolak, ibuku akan mengancam jika aku tidak menurutinya. Uangku juga sudah menipis, tanggal tua tidak ramah untuk pekerja swasta sepertiku. Tapi, mau bagaimana lagi, aku harus mengalah demi kenyamanan telinga juga hatiku.

“Nak, kamu nggak pengen kaya anaknya Bu Sarmi, dia bisa buka usaha sendiri, beliin ibunya perhiasan, rumahnya sedang direnovasi. Ah, senangnya jika seperti itu, Ibu kapan ya ngerasain kayak gitu?”

Aku rasanya ingin lari saja, aku tidak suka, sungguh. Aku tidak suka dengan ibuku yang terus membandingkan anak-anak mereka, aku tidak terima, aku marah. Tapi, aku memilih diam saja dan tidak menjawab keluhan ibuku.

“Bu Walina, apa kabar? Ya Tuhan, sudah lama tidak lihat, saya baru saja mengantar anak saya periksa kandungan, saya senang sekali. Bu Walina kapan nimang cucu?” Tiba-tiba saja seorang wanita paruh baya menyapa.

“Secepatnya, Bu Endang, anak saya juga sebentar lagi menikah, ditunggu saja undangannya.”

“Bu Walina ini suka ngaco ah, dari tahun kemarin bilangnya seperti itu terus, jangan bohong loh, Bu.”

“Ah, tidak Bu Endang, kali ini benar kok, Bu. Iya ‘kan, Nak? Kamu sudah tentukan tanggalnya?”

Ibuku memberiku isyarat agar aku menjawab sesuai keinginannya. Aku tidak sanggup lagi, rasanya sangat melelahkan, kenapa aku harus hidup dengan memberi makan ego semua orang? Ibuku menyenggol tanganku, dan menyuruhku untuk segera menjawab. “Iya, Bu Endang, mohon doa restunya.”

“Baiklah jika begitu, ingat loh undang saya, itu pun kalo jadi,” ucapnya, mengulum senyum.

“Pasti dong, Bu Endang, tenang saja.”

Bu Endang pun berlalu, meninggalkan kami berdua.

“Nak, kamu nggak mau ‘kan seperti ini terus? Segera cari pendamping, Nak, jangan membuat ibumu malu. Kamu itu cantik, tapi kenapa tidak ada orang yang mau padamu.”

Cukup, aku sudah tak sanggup lagi, aku tidak bisa meladeni ibuku lagi. Aku berlari ke kamarku, merebahkan diriku di tempat tidur dan menangis dengan wajah ditutup bantal sebagai peredam.

***

Deadline hari ini harus selesai, saya harus pulang cepat. Jadi, saya minta kamu selesaikan sebelum jam makan siang, mengerti Tania?”

“Mengerti, Pak.”

“Baiklah, kerjakan segera, saya tunggu.”

“Baik, Pak.”

Aku menghela napas berat, tumpukan berkas di mejaku sudah menggunung, bahkan menutupi sebagian tubuhku. Lelah, jangan ditanya. Perasaanku sedang tidak karuan, ditambah dengan permintaan atasanku, lengkap sudah penderitaan ini.

Lagi-lagi, aku tidak punya pilihan, dengan hati yang diselimuti kesedihan, aku mulai mengerjakan berkas satu per satu. Aku urut dari yang paling penting, dan berakhir dengan berkas yang bisa dibawa ke rumah. Meskipun berat, tapi untunglah aku bisa menyelesaikan tepat waktu dan sesuai permintaan atasanku.

“Pak, ini berkas yang Bapak minta, sudah saya kerjakan.”

“Baik, simpan di meja.”

Aku menyimpannya, setelah itu aku kembali lagi ke ruanganku. Sudah waktunya makan siang, aku bergegas untuk istirahat. Tapi langkahku berhenti begitu mendengar teriakan atasanku.

“Tania! Apa ini? Berkasnya berantakan, kamu niat bekerja tidak sih! Ini semua salah! Kamu sudah bekerja lama di perusahaan ini, masa membuat berkas saja tidak becus! Ulangi dari awal!”

Aku mematung, berkas itu dilempar ke atas mejaku. Aku meringis, wajah atasanku merah padam. Ini benar-benar hari paling sial.

“Kenapa diam saja?! Kerjakan sekarang juga, jangan buang-buang waktu!”

Perutku lapar, tapi mendengar teriakan atasanku seketika hilang semua nafsu makanku. Atasanku pergi begitu saja, aku menjatuhkan diriku di lantai. Mengusap wajahku dengan pasrah, aku benar-benar tidak tau lagi harus melakukan apa.

Sudah, aku sudah selesai merenungkan diri. Saatnya aku bekerja lagi, aku pungut kembali lembar demi lembar berkas yang dilempar atasanku tadi dan mulai mengerjakan semuanya dari awal lagi.

Aku teliti satu per satu, mencari tau kesalahan apa yang sudah kuperbuat. Tidak ada, aku mengerjakannya sudah benar. Astaga, ini nyaris sempurna, lalu di mana letak salahnya? Demi memuaskan rasa penasaranku, sekali lagi aku periksa berkas itu, dan semuanya sudah benar. Jantungku berdegup kencang, rasanya sakit, asam lambungku naik, aku menahan marah sekuat tenaga.

“Pak sudah selesai.”

Atasanku segera meraih berkas yang kuberikan. “Nah, ini baru benar, seperti ini dong kalo kerja.” Padahal itu berkas persis sama dengan yang pertama. “Tapi saya sudah tak butuh, kliennya sudah setuju, dan besok sudah tanda tangan kontrak.”

Atasanku berlalu meninggalkanku di ruangannya. Aku masih mencerna dengan semua yang terjadi saat ini. Aku melewatkan jam makan siang, bahkan rela pulang terlambat hanya untuk dipermainkan seperti ini. Ya Tuhan, dunia sudah gila.

***

Pagi ini aku melihat berita di televisi, seorang pria memilih untuk berakhir lebih dulu dengan melompat dari gedung tinggi. Ia pasti sudah indah sekarang hidupnya, dia berani untuk mengukur waktu dan mengubur semua ragu. Aku juga ingin, tapi sayang aku takut ketinggian.

“Nak, ayahmu memukul Ibu lagi.”

“Kenapa nggak lawan aja sih, Bu. Dan lagi, kenapa Ibu masih bertahan? Udah tau dia kayak gitu.”

“Ibu bertahan demi kamu, bagaimana hidup kamu jika tidak ada dia? Bagaimana pandangan orang-orang jika Ibu jadi janda? Kamu mikir sampai sana tidak sih? Apa kamu mau ya, lihat Ibu lebih menderita. Kamu kayaknya memang tidak sayang Ibu, kamu nggak peduli sama Ibu.”

Ya Tuhan, bukankah awalnya dia yang mengeluh? Apa kata-kataku salah? Aku lelah, aku sangat pening dengan semua yang terjadi pada hidupku. Kenapa hidup ini tidak adil, kenapa harus aku yang mengalaminya? Kenapa? Kesalahan apa yang sudah kuperbuat? Aku lebih baik mati saja.

“Aku capek, Bu.”

“Kamu harus kerja, dari mana kita makan kalo kamu nggak kerja. Ditahan aja, semua pekerjaan pasti melelahkan kok, kamu jangan manja gitu ah, udah lama juga kamu kerja di sana.”

Selalu seperti itu, satu yang ibuku tidak tau, aku benar-benar hancur, tapi sepertinya ibuku yang tidak peduli padaku.

“Tuh liat, Nak, orang-orang cuman bikin video gitu aja bisa beli rumah, mobil, dan banyak uang. Masa kamu kalah sih, Nak, padahal kerjamu cuman duduk aja depan komputer.”

“Duduk a-aja?”

“Iya, makanya tahan-tahan aja kerja di sana, kecuali kamu punya penghasilan tambahan, silakan leha-leha.”

Aku segera memakai kemeja kerjaku. Aku tidak mau berlama-lama lagi, telingaku panas, hatiku sakit dan aku ingin meledak, tapi aku tidak punya kesempatan untuk melawan. Mereka mungkin mengira kehidupan Gen Z sangat enak, disuguhi dengan banyak kemudahan. Tapi, mereka tidak tau saja, tekanan dari segala arah, tuntutan hidup yang semakin tinggi, dan gaya pamer yang semakin membuat perbandingan tampak jomplang. Maka tidak heran, tidak ada cita-cita umur panjang di kamus mereka.

“Aku pergi, Bu.”

“Ya, jangan lupa bawa pria yang siap nikahin kamu.”

Aku keluar dari rumah rasanya melegakan, aku lebih nyaman di luar dibandingkan harus bertahan seharian dengan perkataan orang-orang yang terus menusukku.

“Awas!” jerit seorang Ibu pada seorang gadis yang berada di tengah jalan. Gadis itu ditariknya, sehingga terhindar dari mobil yang berlalu lalang.

“Ah, seperti itu rupanya,” gumamku.

Aku memulai skenario di benakku, cara gadis itu untuk hilang, memberiku sedikit pencerahan. Aku senang dengan rencana yang sudah kususun, akhirnya sebentar lagi aku bisa menghilang dan menyelesaikan semuanya.

Tidak ada yang peduli padaku, tidak ada yang mendengar keluh-kesahku, tidak ada. Mereka hanya membutuhkan apa yang aku hasilkan, mereka tidak peduli dengan keberadaanku. Setelah rencana tersusun rapi, aku segera bergegas ke kantor, aku sudah tidak sabar merealisasikan ideku. Tapi, ini bukan waktu yang tepat, setidaknya sebelum menghilang aku harus menyelesaikan satu pekerjaan dulu.

***

Semuanya sudah beres, aku senang sekali, aku pulang kerja dengan sangat bahagia. Langkahku ringan, aku tidak sabar mengimplementasikan rencana yang sudah kususun dengan matang. Aku sudah menentukan tempat untuk menghilang, aku bahkan sudah berganti pakaian dengan pakaian yang sengaja kubeli waktu istirahat tadi. Aku memoles diri sedikit, pantulan diriku di cermin sangat indah, aku tau tidak akan ada yang memujaku, jadi biarkan aku memuja diriku sebentar saja sebelum menghilang.

“Udah cantik aja, mau pesta ya lu?” tanya Chandra, temanku.

“Nggak lah, ini lebih spesial, gua seneng banget.” Aku tersenyum girang, bayanganku sudah di sana, aku siap untuk menghilang. “Udah ah, gua pulang duluan ya, bye,” pamitku dan pergi dengan antusias.

Aku sudah perkirakan waktu yang tepat untuk menghilang, waktu pulang kantor, di mana semua orang sudah suntuk dan tidak terlalu fokus dengan yang mereka lihat. Aku pergunakan kesempatan itu untuk mengelabui mereka, agar aku bisa menghilang lebih cepat.

Aku sudah turun, dan kini aku tinggal berjalan ke depan, kemudian tak berapa lama lagi, aku menghilang. Dengan begitu orang-orang tidak perlu lagi memandang rendah padaku, dengan begitu ibuku tak bisa lagi membandingkan aku dengan anak yang lain, ataupun dengan pencapaian yang biasa ibuku tonton di video pendek, dan dengan begitu aku terbebas dari segalanya.

Dengan pemikiran seperti itu, aku akhirnya berjalan terus ke depan, tanpa memperdulikan klakson yang saling bersahutan. Jangan larang aku, ini sudah sesuai rencana. Aku semakin berjalan, aku tidak melihat kiri dan kanan, apalagi depan dan belakang, aku mengabaikan semua teriakan orang-orang.

“Tania!” Tarikan seseorang pada tanganku membuat aku limbung. “Tania, lu apa-apaan?!” sentaknya. Aku didekapnya, bisa kudengar jantungnya berisik, napasnya tidak beraturan. “Lu ngapain sih?” Aku dibawa ke dekat mobilnya, tapi aku berontak.

“Lepas!”

“Mau ke mana lu? Lu mau mati di sana?”

“Iya! Gua mau mati! Gua mau menghilang! Jangan larang gua!”

“Astaga, Tania sadar! Lu nggak boleh nyerah kayak gitu.”

Tidak boleh menyerah katanya, aku tidak boleh menyerah di saat dunia menginginkanku untuk menghilang, dia konyol sekali. Dia menahanku lebih erat, aku didorong masuk ke dalam mobil.

“Awas! Minggir! Gua mau mati! Nggak ada yang peduli sama gua, gua capek! Minggir!”

“Tania, tenang! Tania liat gua!”

“Lu siapa? Kenapa larang-larang gua, huh? Lu nggak tau hidup gua, gua capek.”

Aku terus memberontak bahkan memukulnya dan berusaha mendorongnya, tapi sayang tenagaku dan dirinya tidak sebanding.

“Gua bisa bikin hidup lu mudah, Tania, dengerin gua, Tania!”

“Lu nggak bakal bisa, udah lu nggak usah repot-repot, gua bisa urus ini sendiri. Awas!”

“Gua bisa, Tania, gua bisa, lu mau apa? Gua bisa kasih semuanya.”

“Kasih gua mati!”

“Jangan gila, Tania!”

“Lu bilang bisa kasih gua segalanya, lu bilang bisa, Chandra. Ya udah, kasih gua dunia dan seisinya, sanggup nggak lu?” Mataku melotot padanya, wajah Chandra merah padam, keringatnya bercucuran dan urat-urat di lehernya tercetak jelas.

“Tania, gua di sini, oke? Denger suara gua, Tania,” Katanya dengan lembut. “Tania, pegang tangan gua.” Aku seperti disihir, aku menuruti perintahnya. Aku memegang tangannya, hangat. “Tania, atur napas lu dan cuma liat gua aja, oke?” Aku menurutinya lagi, dan dia membimbingku untuk bernapas lebih teratur.

“Lu masih di sini, Tania?”

Aku menganggukkan kepala sebagai jawaban.

“Bagus, sekarang lupakan semua rencana lu, Tania. Dan fokus sama gua aja.” Chandra mengelus tanganku dengan ibu jarinya, memberiku ketenangan yang jarang kudapat. “Tania, lu berharga, lu hebat, lu pekerja keras, gua kagum sama lu.”

Hatiku terenyuh, air mataku jatuh tak terbendung. Aku tiba-tiba saja menyesal dengan semua yang kurencanakan.

“Tania, lu mau ‘kan bertahan sedikit lagi? Sama gua, Tania, lu nggak sendirian, gua siap sama lu, Tania.”

Aku meledak. “Gua ... capek, Chan ... Chandra, gua capek, gua nggak sanggup lagi! Kenapa ... kenapa dunia nggak ada di pihak gua, Chandra? Kenapa harus gua, Chandra?”

Chandra dengan lembut merangkulku, dan ia dekapkan tubuhku pada dada bidangnya. Ia elus rambutku, ia usap lenganku dengan penuh kehati-hatian. “Sorry, lu harus ngalamin ini, Tania.”

“Gua harus gimana? Gua harus apa, biar semua orang peduli sama gua? Gimana caranya bilang sama ibu gua, kalo gua capek? Gimana caranya bilang sama dia, kalo gua nggak suka dibandingin, gimana, Chandra?”

“Lu nggak perlu berusaha, Tania, gua … gua udah peduli dari lama sama lu, Tania. Lu nggak harus denger dari semua orang, tapi gua beneran peduli sama lu, Tania. Gua sayang sama lu, Tania, jadi ijinin gua buat ngelindungin lu, jadiin gua sandaran lu, jadiin gua tempat sampah lu. Gua sanggup bawa dunia buat lu, gua sanggup bikin hidup lu lebih bahagia. Gua janji, jadi tolong, gua mohon, bertahan sedikit lagi bareng gua, ya? Tolong, Tania, gua nggak bisa hidup tanpa lu.”

Dia memelukku, aku dengar dia menangis. Kurasakan basah di bahu kiriku, suaranya semakin parau. Dia menangis untukku, dia peduli padaku. Astaga, aku tidak menyangka ada orang yang melihatku, aku tidak menyangka ada orang yang menjatuhkan hidupnya padaku.

Aku ingin hidup, aku ingin dia, maafkan aku, aku salah, aku ingin hidup. Ibu, Chandra orangnya. Chandra orang yang tepat untukku, Bu. Ibu, aku akhirnya menemukan dia.

“So-sorry.”

“Lu nggak salah, Tania,” ucapnya, menenangkan diri. “Mulai sekarang, ceritain semuanya sama gua, Tania, gua siap menampung semuanya.”

“O-oke, gua ... gua mau ....”

Dia memelukku kembali dengan erat, penuh kehangatan, dan seketika rencana yang sudah kususun rapi, melebur begitu saja, kemudian bayangan indah di benakku mulai terbentuk.

“Tania, happy birthday.”

Aku terkejut, benar, hari ini aku ulang tahun. Aku melupakannya.

“Lu pasti bisa, Tania, terima kasih udah kembali sama gua. Terima kasih, Tania, lu keren. Selamat Tania, selamat. Nggak ada doa umur panjang buat lu, tapi gua akan memohon sama Tuhan, buat lebih nguatin diri lu untuk bertahan sedikit lebih lama lagi sama gua. Sekali lagi Tania, lu hidup gua, lu segalanya buat gua, jadi tolong, tetep sama gua, Tania.”

Untuk pertama kalinya, aku merasakan debar jantungku sendiri, untuk pertama kalinya aku merasakan kebahagiaan dari orang lain. Aku diperjuangkan, aku didoakan, dan dia siap ada untukku.

Dia benar, aku tidak butuh doa umur panjang, aku hanya harus bertahan dengan hidup ini. Saat itu, aku berpikir semuanya akan baik-baik saja jika aku menghilang, tapi sekarang setelah mendengar pengakuan Chandra, setelah melihat ada diriku di depan sana, aku jadi punya cita-cita baru, cita-cita untuk bertahan, cita-cita untuk menanti keajaiban.

Aku salah karena melihat dunia ini dari sisi buruknya saja, aku salah mengabaikan mereka yang merindukanku, aku salah tidak menyadari hati yang tersakiti atas sikapku. Aku mau menebus semuanya, aku mau hidup dengannya.

Kini aku sadari, semua kemudahan yang ada di jaman ini, harusnya menjadi pecut untukku lebih percaya diri, lebih mengakui hidupku lagi, dan tidak seharusnya aku menyerah. Ada pilihan untuk bertahan dan melawan, ada pilihan untuk terus maju dan berkembang, ada pilihan untukku hidup lebih lama lagi.

Generasiku memang paling mudah untuk dijatuhkan, dan aku mengakui itu. Generasiku juga paling tertindas, dan aku melihat itu dengan jelas.

Tapi dengan itu semua, kami juga butuh untuk dipandang, butuh untuk didukung, butuh untuk dirangkul, jadi siapa pun kalian, tolong apresiasi sedikit saja usaha kami. Agar kami tidak terus memikirkan tentang mati, agar kami bisa bertahan lebih lama lagi, agar kami bisa semangat lagi menjalani hidup.

Berita-berita tentang menghilangnya generasiku dengan cara yang mereka mau, bukan karena mereka menyerah, bukan karena mereka tidak tau resikonya, tapi karena tidak ada yang merangkul mereka. Tidak ada yang meraih mereka ke dalam dekapan hangat seperti yang dilakukan Chandra. Jadi, tolong buang jauh-jauh skeptis yang terus ditujukan pada generasi kami. Karena sejujurnya, kami juga ingin hidup, kami juga ingin bertahan, tolong buat kami nyaman di sini.

Mereka paling kuat, mereka paling peka, tolong rangkul mereka yang sudah terlanjur terpuruk hidupnya, tolong peluk mereka yang berada di titik terendah hidupnya. Sekali lagi, generasi kami butuh dukungan kalian, jangan dilepaskan, sudah terlalu banyak nyawa yang menghilang, tolong beri kami kesempatan untuk bertahan.

END

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Slice of Life
Rekomendasi