Sudah 5 tahun aku tidak menginjakkan kaki di tempat ini. Tempat di mana aku mengenyam pendidikan SMA. Tempat terakhir kami berkumpul setelah lebih dari 3 tahun bersama. Di tahun ini aku memutuskan untuk menghadiri acara temu alumni yang diadakan angkatanku.
Acara ini rutin digelar setiap tahun sehari sebelum ulang tahun sekolah. Jadi alumni bisa ikut memeriahkan ulang tahun sekolah setelah selesai dengan temu kangennya di temu alumni. Aku sudah tidak sabar bertemu dengan teman-temanku. Bakal seperti apa wajah jelek mereka sekarang. Mungkinkah ada yang sudah menikah atau memiliki anak? Aku tidak tahu. Tapi aku tidak terkejut jika memang sudah ada yang menikah, karena ada juga temanku yang status pacarannya masih bertahan hingga hari kelulusan.
Sebelum aku datang ke lokasi pertemuan, aku menyempatkan waktu sebentar untuk mengunjungi napak tilas kita di sebuah tiang listrik di tepi gang dekat sekolah. Di tiang listrik itu dulu kita pernah menuliskan nama kita ketika masuk SMA ini. daftar nama tersebut selalu diperbarui ketika ada di antara kami berlima yang mendapatkan pacar. Ketika ada yang mendapatkan pacar, dia harus menuliskan nama pacarnya di tiang itu. Itulah janji kami dulu.
Ku parkirkan mobilku di warung dekat sekolah. Hari ini ini besok pasti akan ramai sekali jalan ini. Bahkan sekarang sekolah sudah sibuk mempersiapkan acara ulang tahunnya di tengah halaman yang dikelilingi bangunan ruang kelas berbentuk leter L.
Tiang itu berdiri tegak di ujung jalan, tak jauh dari sekolah, dan aku tahu itu. Meskipun sudah bertahun-tahun, aku masih bisa mengingat dengan jelas betapa seringnya aku melewati tempat itu—terkadang hanya berjalan cepat sambil melirik gedung sekolah yang tampak lebih besar dari yang seharusnya. Sekarang, ketika aku berdiri di depan tiang itu lagi, rasanya seperti sebuah gerbang waktu yang membuka kembali kenangan yang sudah lama terkubur. Aku menghela napas dalam-dalam, menahan geli yang tiba-tiba merayap di dada.
Langkahku terasa lebih pelan, memberi ruang pada pikiran-pikiran lama yang perlahan mulai muncul satu per satu. Jalan ini, dengan aspal yang mulai mengelupas dan pepohonan yang tumbuh lebih rindang dari dulu, mengingatkanku pada kebiasaan-kebiasaan kecil yang dulu selalu aku lakukan—berlari terburu-buru setelah bel tanda pulang berbunyi, atau melangkah lelah saat hari sudah gelap dan cuaca mulai dingin.
Setiap langkah mendekat ke tiang itu, ingatan-ingatan masa lalu semakin jelas, seperti bayangan yang mulai muncul di depan mata. Suara derap sepatu di aspal, tawa siswa sekolah yang menggema, bahkan aroma tanah yang lembab setelah hujan. Semua itu kini terasa begitu nyata, meski sudah begitu lama berlalu. Tiang itu tak banyak berubah, tapi aku merasa seperti telah berubah begitu jauh. Ada perasaan aneh—antara senang dan sedikit cemas—seperti bertemu dengan bagian dari diri yang sudah lama aku lupakan.
Kulacak nama yang tertulis di tiang tersebut. Yang aku dapati pertama adalah nama Rian. Dia adalah orang yang pertama mendapatkan pacar di antara kami berlima. Bahkan jika dibandingkan dengan satu angkatan, dia mungkin yang pertama juga, karena dia dengan terang-terangan menembak Putri di depan kelas.
Rian bilang, “cinta pandangan pertama itu gak akan bohong.” Lalu, “siapa cepat, dia dapat.” Memang Putri adalah cewek tercantik di kelasku, jadi Rian merasa harus bergerak cepat agar tidak didahului oleh orang lain. Anehnya Putri menerimanya padahal mereka baru kenal sebentar.
Aku salut dengan Rian, aku tidak bisa seberani itu hingga sekarang. Dan benar seperti ucapannya yang pertama, Rian adalah satu-satunya yang masih memiliki cewek yang sama hingga kelulusan. Aku pikir aneh sekali orang ini. Sebagai bukti, nama putri juga tertulis di tiang itu di bawah nama Rian.
Selanjutnya yang aku temukan tidak jauh dari nama Rian adalah Bagus. Seperti namanya, dia adalah anak yang bagus, baik, dan rajin. Tapi dia juga pemberani. Dia berhasil berhasil mendapatkan pacar mantan ketua OSIS di akhir semester sekolahnya. Dulu Bagus pernah bercerita kepadaku kalau dia ingin menembaknya ketika naik kelas dua. Tapi dia ragu jika keputusannya akan mengganggu kegiatan Sandra sebagai ketua OSIS. Memang saat itu, Sandra belum menjadi ketua OSIS, tapi dari jauh hari, semua orang sudah menduganya karena ketekunan dan jiwa pemimpin yang dimilikinya.
Memikirkan itu, Bagus mengurungkan niatnya dan menunggu hingga Sandra bebas tugas dari ke-OSIS-an lalu menembaknya. Seperti seorang sniper, cinta Bagus langsung diterima hanya dengan satu percobaan. Aku tidak merasa aneh dengan itu karena sejak Bagus curhat denganku, dia mulai aktif mendekati Sandra dengan membantu atau mengobrol tentang urusan sekolah. Kebetulan atau memang sudah rencananya, Bagus ditunjuk sebagai Ketua kelas sejak kelas 11 sampai 12. Nama Sandra ditulis dengan rapi oleh oleh Bagus dengan tipe-x putih di bawah namanya. Ini adalah tulisan terakhir yang kami buat sebelum kami lulus.
Selanjutnya adalah nama banyak revisi, Cantika. Di bawah namanya terdapat banyak nama cowok lain yang sudah dicoret-coret. Ada Andi, Roy, Himam, semuanya dicoretnya. Tunggu! bukankah Cantika masih berpacaran dengan Himam hingga hari kelulusan. Mengapa di sini dicoret.
Tak butuh waktu lama, aku tertawa menyadarinya. Jadi dia memperbarui tulisan di tiang ini ketika dia putus. Aku tertawa sambil tanganku memegang jidat karena tidak habis pikir. Mau seberapa banyak mantannya sampai ketemu yang cocok. Aku kira dia bakal langgeng karena aku rasa dia cukup serasi. Jadi begitu.
Ku geser jariku menyusuri nama lain yang tercetak tinta tipe-x putih. Nama selanjutnya adalah Aura. Cewek baik-baik yang hingga lulus tidak pernah pacaran, selalu terlihat tenang, seolah tak pernah terganggu oleh hiruk-pikuk dunia remaja yang penuh drama. Berbeda dengan ketiga teman lainnya yang selalu penuh cerita tentang hubungan asmara, Aura selalu menjaga jarak dengan hal-hal itu, memilih untuk lebih fokus pada hal-hal yang sederhana dan lebih berarti baginya.
Kami berdua sudah mengenal satu sama lain lebih lama dibandingkan yang lain, karena kami berasal dari SMP yang sama, dan meskipun di SMA kami bergaul dengan teman-teman yang lebih baru, hubungan kami tetap terasa istimewa, meski tak seintens teman-teman yang lebih sering berbagi cerita.
Selanjutnya adalah diriku, Angga. Aku tidak pernah pacaran ketika SMA bukan karena jadi anak baik-baik. Aku hanya seorang pengecut. Aku tidak seberani Rian, dan aku juga tidak seteguh bagus. Aku juga tidak senekat Cantika dan tidak seperhatian Aura. Aku hanya siswa SMA yang biasa saja. Ibarat NPC dalam sebuah game. Tidak menarik untuk diikuti.
Aku berniat pergi setelah sedikit bernostalgia dengan masa lalu. Tapi niatku ku urungkan ketika menemukan tulisan lain di bawah namaku. Bukan aku yang menulisnya dan tulisan itu bukan nama orang. tulisan di bawah namaku berbunyi “Ku tunggu di Patmasuri” lalu diikuti 3 garis tegak yang berada di bawahnya. umur tipe-x itu terlihat jelas dibuat di waktu yang berbeda karena warna dari tiap garis itu tampak umurnya.
Apa ini, aku tidak ingat pernah mengirimkan surat tantangan. Patmasuri adalah nama sebuah rumah sakit, tapi aku tahu maksud tulisan itu. Maksudnya adalah lapangan yang berada di dekat rumah sakit tersebut. Tempat kami dulu bermain ketika jam olahraga.
Aku penasaran apa tujuan orang yang menulis ini. Tapi aku merasa harus memenuhinya karena usaha yang telah dilakukannya. Kemungkinan besar aku tidak menemukan seseorang di sana karena di tiang itu tidak ditulis kapan, tapi setidaknya aku mencoba.
Aku kembali ke mobilku dan kuarahkan ke rodanya menyusuri jalan ke Patmasuri. Sebenarnya jaraknya tidak terlalu jauh hingga ku perlu mobil, tapi aku hanya ingin lebih cepat saja.
Dan benar, aku tidak menemukan siapapun di sini. Di lapangan yang rumputnya sudah botak di beberapa area, tampak sepi tidak tampak orang satupun selain diriku. Aku menunggu di sini 15 menit bertaruh dengan kesempatan yang mungkin ada. Tapi kesempatan itu tidak datang dan aku pergi kembali ke tiang itu untuk memberikan balasan. Aku parkir mobilku di warung yang berbeda karena ingin membeli tipe-x untuk menulis pesan balasan.
Sesampainya aku di tiang itu, aku melihat ada sesuatu yang berbeda. Ketika hendak menulis balasan, aku melihat garis tegak baru yang sudah kering. Aku menoleh ke kiri dan kanan, berharap ada seseorang yang mungkin mengerti. Namun, tak ada siapapun di sekitarnya. Ketegangan yang tiba-tiba hadir itu membuatku merasa cemas, dan tanpa sadar pikiranku langsung melayang pada satu tempat: Patmasuri. Nama itu muncul begitu saja dalam kepalaku, seperti sebuah perintah yang tak bisa kutolak.
Aku tak tahu mengapa, tapi seketika aku merasa kalau ini bukan kebetulan. Garis yang baru ditulis itu, seolah-olah sebuah petunjuk yang tak bisa ditunda. Aku merasa seolah tempat itu memanggilku, dan aku harus segera pergi. Tanpa berpikir panjang, kuhentakkan kakiku dan berbalik arah menuju mobil. Waktu terasa sangat berharga, dan aku tahu jika aku tidak bergerak cepat, aku bisa saja kehilangan kesempatan.
Aku berlari menuju mobilku, berusaha mengumpulkan energi untuk segera melaju. Namun, ketika aku sampai di jalan utama, aku terkejut melihat betapa macetnya jalanan. Deretan mobil terjebak dalam kemacetan yang tampaknya tak akan beranjak dalam waktu dekat. Tak ada ruang untuk bergerak, dan mobil-mobil lain pun tampak terhenti, bahkan sebelum aku sempat keluar dari parkiran. Seperti ada semacam kekuatan tak terlihat yang membuat segalanya terasa terhambat. Jalanan yang biasanya biasa saja, kini terasa sesak dan padat, seolah-olah segenap kendaraan di sekitarku bersembunyi dalam kepanikan yang sama.
Rasa cemas semakin menguat di dadaku. Tak ada waktu untuk menunggu. Jika aku terjebak di sini menunggu kemacetan reda, aku bisa saja terlambat untuk sampai ke tempat yang kutuju. Keputusan harus diambil cepat. Aku menilai, jika aku terus menunggu jalanan kosong dan berharap ada ruang, maka aku bisa terperangkap lebih lama. Tidak ada jaminan kemacetan ini akan segera berakhir. Tanpa ragu, aku memutuskan untuk meninggalkan mobil dan berlari. Tak ada waktu lagi untuk bersikap ragu. Aku tahu, hanya dengan berjalan kaki aku bisa sampai lebih cepat.
Aku berlari melewati gang yang masih melekat kuat di ingatanku. Jalan tikus tercepat yang bisa diambil untuk pergi ke Patmasuri. Aku sampai di tempat itu dalam waktu yang tidak terlalu jauh jika aku menggunakan mobil. Mataku menyapu semua tempat di lapangan namun masih tetap tidak menemukan bayang-bayang siapapun.
“Angga?” panggil seseorang mengejutkanku.
Darahku naik, aku membalik badan dengan cepat hingga mengejutkan perempuan dengan gaun putih berhiaskan manik-manik. Cahaya yang dipantulkan manik-manik itu mengganggu penglihatanku memintaku untuk tenang.
Sambil mengatur nafas, aku coba kenali orang yang berada di depanku itu. Aku langsung terdiam sejenak, tidak percaya dengan apa yang kulihat. Wajahnya kini tampak begitu berbeda—cantik dalam cara yang tak pernah kubayangkan. Kulitnya terlihat bersinar lembut, dengan pipi yang merona alami, memberikan kesan segar dan muda. Matanya, yang dulu tampak polos dan sederhana, kini berbinar cerah, memancarkan ketenangan dan kedalaman yang tak terungkapkan.
Rambutnya tergerai rapi, jatuh lembut di bahunya, dan senyumnya, senyum yang dulu selalu sederhana, kini mengembang dengan penuh percaya diri, menunjukkan deretan gigi putih yang rapi. Ada sesuatu yang menggetarkan dalam tatapannya, sesuatu yang membuatku merasa seolah-olah dia bukan lagi teman lama yang dulu aku kenal, melainkan sosok baru yang tak hanya cantik di luar, tapi juga memancarkan kecantikan yang lebih dalam.
“Aura?” tanyaku menebak.
“Iya,” jawabnya dengan senyum yang lembut.
“Apa yang kamu lakukan disini?” tanyaku dan aku menyadari sesuatu, “Apakah kamu yang menulis pesan itu?”
Aura mengangguk perlahan, wajahnya terlihat sedikit cemas. “Iya,” jawabnya, suaranya lebih lirih dari yang biasanya. “Aku yang menulisnya. Aku… aku ingin kita berbicara, Angga. Tentang sesuatu yang sudah lama terpendam.”
Kata-katanya menggantung di udara, dan meskipun aku mencoba tersenyum, aku bisa merasakan kecemasan di dalam diriku. “Tentang apa?” tanyaku, mataku menatapnya bingung, tetapi juga penasaran.
“Aku… aku sudah lama merasa seperti ini,” lanjut Aura, berusaha menemukan kata-kata. “Aku mencintaimu, Angga. Lebih dari sekadar teman. Aku tahu kita sudah lama berteman, tapi aku nggak bisa lagi menyembunyikan perasaan ini.”
Aku terdiam, seolah seluruh dunia berhenti berputar. Aku menatapnya, mencoba mencerna kata-katanya. Aku tak pernah menyangka. Aura, teman lama yang sudah begitu dekat dengan hidupku, kini berdiri di depanku dengan perasaan yang tak pernah kusadari. Selama ini, aku selalu menganggapnya sebagai teman—sahabat yang selalu ada, yang tak pernah tergantikan. Kami sudah melewati banyak hal bersama, dari bangku SMP hingga sekarang. Aku tak pernah melihatnya lebih dari itu.
“Aura…” Aku memulai, suaraku terasa berat. “Kita sudah berteman begitu lama, sejak SMP. Aku nggak… aku nggak tahu harus bagaimana. Aku selalu melihat kamu sebagai teman, bukan lebih dari itu. Aku nggak bisa… nggak bisa membayangkan kita jadi lebih.”
Aura terlihat terkejut, matanya seakan memudar, dan senyum yang sebelumnya menghiasi wajahnya kini hilang. Aku bisa melihat kesedihan mulai merayap ke wajahnya, dan aku merasa sesak. Tapi aku tahu aku harus jujur. “Maaf,” kataku dengan hati-hati, “Aku nggak bisa merasakan hal yang sama. Aku cuma… kita terlalu lama berteman, Aura.”
Ada keheningan yang terasa panjang di antara kami. Aku melihat wajahnya yang perlahan memerah, dan tubuhnya sedikit menegang. Aku tahu ini berat bagi dia, dan aku membenci diriku sendiri karena harus mengatakannya. Tapi aku tak bisa memaksakan perasaan yang tidak ada.
Namun, saat itu juga, aku merasakan sesuatu yang mulai berubah di dalam diriku. Aku berbalik, berusaha menenangkan pikiran. Apakah aku benar-benar nggak merasakan apa-apa tentang dia? Aku berusaha mengingat semua kenangan yang kami lalui bersama—tertawa, menangis, berbicara sepanjang malam. Selama ini aku selalu menganggapnya teman, tapi entah kenapa, sekarang ada sesuatu yang lebih.
Aku menatapnya lagi, kali ini lebih serius. “Aura,” suaraku terdengar lebih pelan, tapi penuh pertanyaan. “Apa kamu nggak masalah kalau… denganku? Kalau aku nggak bisa memberikan apa yang kamu harapkan? Aku takut, kita berdua akan merusak semuanya dengan mencoba menjadi lebih dari teman.”
Aura terdiam, lalu perlahan dia menggeleng. Matanya terlihat lebih lembut, dan senyumnya yang kembali muncul, meskipun kecil, memberitahuku bahwa dia tak ingin hal itu menjadi penghalang. “Aku nggak masalah, Angga. Aku cuma ingin kamu tahu. Aku menyukai dirimu yang biasanya. Aku nggak berharap kamu menjadi orang lain. Aku cuma… ingin kita memberi kesempatan pada perasaan ini, seperti yang aku rasa.”
Aku menelan ludah, menatapnya, mencoba memproses kata-katanya yang penuh keyakinan. Dalam sekejap, pikiranku berputar kembali pada saat-saat bersama, kenangan yang kini terasa berbeda. Aku tahu, jika aku terus menahan diri, aku mungkin akan kehilangan kesempatan.
“Aura…” Aku menghela nafas, perlahan menghampirinya. “Aku nggak tahu apa yang akan terjadi, tapi… aku ingin mencoba. Aku ingin memberi kesempatan pada kita, meskipun aku nggak punya jaminan atau tahu apa yang akan datang.”
Senyumnya mekar penuh, dan aku bisa melihat ketulusan dalam setiap gerak tubuhnya. Tanpa kata-kata lagi, aku melangkah lebih dekat, dan kami saling memandang dalam diam, merasakan perasaan yang baru saja tumbuh di antara kami—sesuatu yang belum pernah kami ketahui sebelumnya.
Atau apakah ini memang sebuah takdir. Nama Aura tertulis lurus di bawah namaku, meskipun ada jarak yang jauh. Tapi sekarang, jarak kami lebih dekat, lebih dekat dari nama yang tertulis di tiang listrik.