Disukai
1
Dilihat
4,418
The Food Junkie: Bendera Jepang
Romantis

“Cekrik! Cekrik!”

Suara kamera bersahutan untuk saling berebut hasil jepretan terbaik. Anya berpose seolah-olah menikmati kwetiau medan yang ada di depannya. Tidak lupa ditemani oleh segelas bir dingin, teman setia di saat siang bolong yang panasnya minta ampun. Kekasihnya, Dean, masih sibuk menata letak makanan supaya terlihat fotogenik.

Anya dan Dean, atau yang dikenal sebagai pasangan kekasih food influencer paling terkenal di media sosial. ‘Food Junkie’ adalah sebutan untuk akun mereka. Hari ini, kedua sejoli tersebut sudah mendatangi dua hingga tiga restoran untuk membuat konten berupa video ulasan. Kompilasi konten tersebut nantinya diunggah ke akun resmi mereka supaya membantu para pengikut setianya menemukan rekomendasi tempat makan yang bervariasi dan enak tentunya.

Restoran yang sedang mereka kunjungi adalah Rumah Makan Sinar Pagi. Menu makanan yang dicicip sekaligus dijadikan bahan untuk konten seperti, kwetiau medan (alias makanan favorit Anya), laksa medan, bika ambon, teh susu telur, bir dingin, dan bolu meranti. Begitu banyak hidangan dihamparkan di atas meja makan sedangkan perut yang bisa diisi hanya berjumlah dua. Biasanya, makanan-makanan ini akan diberikan kepada masing-masing keluarga mereka. Terkadang, kalau konten yang dikerjakan cukup berat mereka bisa memborong sejumlah orang untuk menjadi kru dan makanan ini tidak terbuang sia-sia. Sayangnya, pekerjaan hari ini hanya dilakukan secara berdua saja.

“Duuhh… beb. Ini kapan selesainya, sih? Aku laper banget, ya Tuhan…”

Anya mulai merengek seperti bayi kelaparan sedangkan Dean masih sibuk mengatur ISO kamera DSLR barunya.

“Sabar yah, sayang. Tinggal sekali lagi ambil foto setelah itu kita selesaikan semuanya.”

Anya cemberut dan menjauhkan kwetiau itu dari hadapannya.

“Ayo dong, sayang. Kalau mukamu kusut gitu mana ada yang tertarik makan disini? Senyum dikiittt aja…”

Dean berusaha membujuk rayu pacarnya yang mulai hangry (hungry and angry). Anya mau tidak mau pun pada akhirnya tersenyum.

         “Naahh, gitu kan cantik.”

Mereka bekerja sampai senja sudah di pelupuk mata. Dean meletakkan peralatan syutingnya lalu turut menghabiskan sisa makanan sedangkan Anya sibuk meneguk segelas bir tanpa jeda. Dean sedikit mengkhawatirkan pacarnya. Bahkan ketika di bar, ia belum pernah melihat Anya menghardik alkoholnya sesadis ini. Untungnya, yang bertugas menjadi supir adalah Dean sendiri. Dirinya mencoba memastikan tingkat kesadaran Anya supaya nanti tidak repot menggotong pemabuk kembali ke rumahnya.

“Wah, sepertinya ada yang haus hehehe.”

Ujar si Dean. Ia tidak pernah marah ataupun berapi-api saat menghadapi kebiasaan buruk pasangannya. Berbeda 180 derajat dengan Anya.

“Kamu kepikiran enggak, sih? Kapan terakhir kita pergi nge-date?”

  Ucap Anya setengah mabuk. Dean memasang jeda saat hendak menyuap nasi ke mulutnya.

         “Hmm… bukankah ini termasuk kencan?”

  Anya mulai kesal. Jangan-jangan, istilah ‘cowok itu tidak peka’ memang nyata adanya.

“Duuh! Kerjaan jangan dihitung nge- date , dong.. Nge- date itu yaah, enggak ada yang namanya sibuk fotoin makanan, sibuk ngobrol sama penonton waktu live di Instagram, apalagi buka laptop sambil balesin klien. Yang ada tuh, ngobrol berdua, saling nanyain kabar, diskusi soal hubungan kita, sambil romantic dinner juga. Kalau kayak gini, masa kita enjoy ?”

Dean mengangguk sambil mencoba memahami keinginan pacarnya. Kalau dipikir-pikir, sebenarnya memang sudah sangat lama mereka tidak menghabiskan waktu berdua saja secara intim. Keduanya sempat pergi ke Dufan beberapa bulan lalu. Itupun tidak berakhir menyenangkan. Mereka terpaksa pulang setelah Dean mengalami mual dan mencret akibat menaiki wahana ekstrem. Anya ingat betul, sebab dirinya yang membersihkan muntahan Dean di jok mobil. Ia pun yang juga menyetir dalam perjalanan pulang.

Mereka berdua juga sempat makan di sebuah warung pecel. Dean tidak pernah sadar memiliki riwayat alergi makanan sampai akhirnya bumbu pecel tersebut dicerna dalam mulutnya. Alhasil, tubuhnya penuh dengan benjolan kecil merah yang terasa seperti digigit oleh semut-semut berapi. Dean pun dilarikan ke UGD untuk perawatan lebih lanjut. Tantangan tersendiri bagi food influencer adalah memiliki pantangan makan di saat harus menjajal beranekaragam kuliner. Tuhan sepertinya berbaik hati kepada pria ini. Dua kali di ujung malapetaka tetapi masih hidup saja. Sebaiknya, ide kencan kali ini tidak melibatkan unsur kacang-kacangan ataupun yang bisa memicu kematian. Untuk menghindari segala risiko dan amukan Anya, tentunya. Dean mengambil ponsel dari sakunya kemudian mencari referensi restoran di Instagram.

“Kalau di restoran, kamu mau tidak?”

Ucapnya memberi saran kepada Anya.

“Oke. Ada saran mau di mana emangnya? Kayaknya di tempat yang agak ‘mewah’ gitu boleh deh.”

Anya mengedipkan sebelah matanya sembari menghabiskan birnya. Seolah-olah memberi kode supaya Dean mau diajak ke restoran mahal.

“Oh, kalau begitu kita makan di warung masakan padang biasanya saja.”

Anya hampir tersedak birnya karena mendengar rekomendasi dari Dean. Ia pun kembali mengeluh.

“Aduh, beb.. Apanya yang mewah dari masakan padang coba?”

“Itu mewah, sayang. Lauknya beragam, harganya ramah di kantong, disajikan waktu masih hangat pula. Dari mana lagi kita bisa dapat semuanya?”

Anya mulai kesal. Definisi ‘mewah’ bagi ia dan Dean seperti dua kutub yang berbeda. Perempuan ini semakin tidak sabaran dan menyambar ponsel itu dari tangan kekasihnya. Jari-jarinya mengetik secepat kilat, meskipun terdapat kesalahan penulisan huruf karena masih sedikit mabuk.

“Nah! Ketemu juga. Ini lho, beb. Ada restoran baru namanya Kronikel. Kita belum pernah ke sini sama sekali. Variasi menunya juga macem-macem, mulai dari lokal, Asia, sampai Barat juga ada semua.”

Ucap Anya penuh semangat.

“Jadi? Kita mau ke sana?”

Dean kembali bertanya.

“Nggak. Kita makan di warteg biasanya aja.”

Balas Anya penuh dengan nada sarkasme. Dean kemudian mengalah dan kembali membujuk kekasihnya supaya berhenti marah-marah.

“Jangan marah, sayang... Ya sudah, kita ke sana. Tapi kita belum pernah ke tempat itu, kamu yakin?”

“Ah, nggak masalah. Sesekali kita spontan aja makan di tempat baru. Berasa kayak mau kerja aja harus riset ini itu.”

Dean sedikit ragu untuk mendatangi tempat-tempat makan baru mengingat dirinya punya riwayat alergi. Tetapi, sepertinya restoran yang akan merreka datang tidak ada menu pecel. Jadi, Dean hanya menurut kepada Anya. Semoga kencan kali ini tidak gagal (lagi). Mereka berdua langsung merampungkan pekerjaan pada hari itu juga. Kebetulan, besok adalah malam minggu.

***

Anya tengah bersiap-siap untuk pergi kencan bersama Dean. Ia merasakan kegembiraan yang lama tidak muncul. Akhirnya bisa pergi berdua saja, pikirnya demikian. Dirinya menghabiskan total waktu dua jam untuk memilih baju, mandi, dan berdandan. Ia mengenakan gaun putih panjang dengan potongan leher halter, sepatu heels putih supaya senada dengan pakaiannya, anting emas sebagai aksesori, dan clutch hitam kecil untuk menyimpan kartu kredit, ponsel, serta perintilan lainnya. Simpel tetapi tetap terlihat classy.

Sembari menanti kedatangan pacarnya, Anya berfoto di depan cermin untuk diunggah ke akun Instagram pribadinya (selayaknya seorang influencer).. Ia begitu sibuk mematut-matut penampilannya. Tidak lama, suara klakson mobil sudah terdengar di depan rumahnya. Anya terburu-buru menuruni anak tangga dari kamarnya di lantai dua. Dean rupanya sudah tiba dengan tuksedo hitam-putih. Anya menyapa kekasihnya dan langsung masuk ke dalam mobil.

“Wah, ada pengantin kabur, nih.”

Dean mengamati penampilan pacarnya dari atas sampai bawah. Walaupun ia hanya bercanda, sebenarnya dia senang melihat Anya tampil begitu cantik.

“Iya, melarikan diri dari kamu.”

“Tidak ada yang tertinggal, sayang?”

“Semuanya udah ada di tas. Cardholder, sanitizer, ponsel, pepper spray, permen karet juga udah masuk. Langsung berangkat aja, beb.”

Keduanya pun langsung meluncur ke restoran. Tetapi, seperti ada yang janggal menurut Anya. Seolah-olah ada sesuatu yang tertinggal tetapi sulit untuk diingat. Ah, mungkin hanya perasaannya saja. Ia segera melupakan hal tersebut dan menyetel lagu There Is a Light That Never Goes Out oleh salah satu band asal Inggris di radio.

Perjalanan itu memakan waktu sekitar 20 menit bila ditempuh dengan mobil dari rumah Anya. Mereka pada akhirnya tiba di restoran tersebut. Keduanya disambut oleh lorong dengan plang bertuliskan ‘K-R-O-N-I-K-E-L' yang mengarah ke pintu masuknya. Desain bangunannya terlihat modern dan minimalis, interiornya didominasi oleh warna-warna netral dan dengan aksen warna biru gelap, serta bunyi air mancur beriringan dengan musik jazz.

“Untuk berapa orang, pak?”

Tanya seorang pelayan restoran. Anya terkesima sampai ia tidak sadar sudah berada di depan meja resepsionis. Dean memastikan kepada pegawai resepsionis supaya meja yang sudah direservasi bisa diduduki oleh mereka berdua. Kemudian, pasangan tersebut diantar ke meja yang sudah ditandai. Si pelayan lalu menyodorkan buku menu.

“Selamat malam, tuan dan nona. Perkenalkan, saya Amir selaku pelayan anda malam hari ini. Izinkan saya memberi rekomendasi menu yaitu beef medallion. Kami juga menyediakan beberapa varian anggur merah. Barangkali tuan dan nyonya punya preferensi untuk anggur merahnya?”

“Boleh deh, kalau begitu. Aku pesan beef medallion.”

“Baik. Untuk tingkat kematangannya mau seberapa ya, nona?”

“Aku mau tingkat kematangannya medium-rare deh, Amir. Supaya dagingnya nggak terlalu alot.”

Jawab Anya dengan antusias. Kemudian, giliran Dean untuk memesan.

“Amir, saya pesan chicken cordon bleu. Lalu, kami pesan Sababay Wine Reserve Red untuk varian anggur-nya.”

“Baik. Makanannya akan memakan waktu sekitar 20 menit untuk dimasak. Jadi, saya akan antarkan anggur merahnya terlebih dahulu. Tunggu sebentar, tuan dan nona. Saya akan segera kembali.”

Si pelayan beranjak dari meja mereka dan segera menuju dapur. Wajah Anya sumringah. Akhirnya bisa berdua saja dengan pacarnya, pikirnya begitu. Pun tidak boleh ada satupun barang elektronik yang ada di meja. Kesempatan yang bagus sehingga bisa menikmati waktu berdua. Tapi tidak lama setelah batinnya berkata demikian, Anya merasakan pegawai-pegawai restoran mulai berbisik-bisik dan melirik ke arah mereka. Pendengarannya setajam burung hantu di malam hari sedangkan Dean adalah mangsanya yang bisa saja dicuri oleh predator lainnya, alias ia kurang begitu memedulikan sekitarnya. Ia sibuk bermain-main dengan alat makan di meja.

Firasat tidak pernah salah. Tiba-tiba manajer restoran mendatangi meja mereka. Rupanya, ia mengenali wajah kedua pesohor ini. Manajer tersebut meminta ulasan dan kritik yang bisa diberikan dari Anya dan Dean, katanya sebagai peningkatan kualitas restoran. Baik dari segi pelayanan, makanan, maupun fasilitas. Semuanya memengaruhi reputasi restoran. Apalagi restoran ini terbilang mewah. Anya sedikit merasa terganggu tetapi Dean mengiyakan selayaknya bekerja, selama kritik dan ulasan tersebut tidak diberikan pada hari itu juga. Tetapi sebelum kembali, ia meminta untuk berfoto bersama Anya dan Dean. Permintaan tersebut dituruti oleh pasangan ini. Lagi-lagi, risiko yang harus ditanggung dengan menjadi terkenal adalah kehilangan sedikit privasi.

Anya mulai tidak nyaman karena ketenangannya sedikit terusik. Ia lalu memutuskan untuk pergi ke toilet sejenak.

“Beb. Aku ke toilet bentar ya.”

Ucap Anya dengan nada yang agak sinis.

“Oke, sayang.”

Anya berjalan cepat menuju toilet. Suara heels-nya menghentak seperti sepatu kuda. Baru juga duduk manis di restoran, sudah langsung ditodong oleh orang-orang. Oleh karena itu, ia merasa perlu menenangkan pikirannya. Sesampainya di toilet, Anya langsung menghadap ke depan cermin wastafel untuk memperbaiki riasannya. Di saat bersamaan, ia merasa perlu buang air kecil. Anya kemudian memasuki salah satu bilik kamar mandi. Saat duduk di kloset, ia tersadar bahwa dirinya sedang menstruasi. Sedangkan, ia sama sekali lupa membawa ataupun memakai pembalut. Anya merogoh-rogoh clutch-nya, berharap menemukan setidaknya ada pembalut kecil. Sayangnya, tidak tersimpan di clutch kecilnya itu. Ternyata benda inilah yang terlupakan.

“Mati aku.”

Keringat dinginnya mulai bercucuran. Ia mencoba mencari-cari ponselnya untuk menghubungi Dean tetapi tidak ketemu juga.

“Oh iya, ponselku dan punya Dean ada di meja. Mampus.”

Ia mencoba mendengarkan jika ada seorang pegawai yang masuk dan membersihkan kamar mandi. Anya berharap bisa meminta tolong jika ada orang lain yang masuk. Tetapi, ia benar-benar sendirian.

“Duh, orang sebanyak itu datang ke mejaku tapi begitu aku sendiri yang kesusahan mereka malah enggak ada.”

Anya menggumam penuh kesal. Ia pun akhirnya menarik gulungan tisu toilet sebanyak mungkin lalu dilipatnya sedemikian rupa sehingga menyerupai pembalut. Entah berapa lama tisu toilet ini bisa menampung volume darahnya. Sebab, pembalut dan tisu tidaklah sama. Daya serap dan daya tampung yang dimiliki pun jelas sekali berbeda. Apa boleh buat? Anya sudah kehabisan akal. Ia lalu segera membenahi gaunnya. Sungguh pilihan yang tepat memakai gaun putih saat didatangi tamu bulanan.

Anya sudah kembali ke meja makan. Mukanya sedikit pucat.

“Sayang, kamu baik-baik aja?”

Tanya Dean khawatir melihat kekasihnya. Anya hanya menggeleng dan mencoba tersenyum. Ia tidak ingin merusak malam romantisnya bersama Dean. Tidak lama kemudian, minuman mereka sudah tiba. Amir, si pelayan menuangkan minuman tersebut ke gelas. Warnanya merah tua dan teksturnya sangat pekat. Anya kemudian teringat dengan dirinya sendiri. Ia seolah-olah melihat satu botol berisikan darah dituangkan ke dalam gelas.

“Terima kasih ya, mas.”

Dean tersenyum kepada sang pelayan. Ia lalu mengangkat gelasnya untuk bersulang bersama Anya.

“Untuk kita.”

Pungkas Dean. Anya hanya tersenyum dan diam. Dirinya merasakan kram menstruasinya mulai merambat dari perut hingga ke ujung kaki. Meminum alkohol hanya akan memperparah rasa sakitnya sehingga di saat Dean meneguk anggurnya, Anya hanya berpura-pura menelan karena khawatir tidak kuasa menahan sakit.

“Hmm, aku suka aroma anggurnya. Tajam tapi lembut begitu menyentuh lidah. Betul, sayang?”

Anya hanya mengangguk tanpa mengucapkan sepatah kata pun dari mulutnya. Ia gelisah karena khawatir darah akan menembus gaun putihnya dan kursi restoran. Ia mencoba memposisikan gaya duduknya supaya tidak terlalu menyentuh kursi tersebut dan melapisi tempat duduknya dengan tisu yang ia borong dari toilet. Posisi duduknya agak canggung sebab ia juga bertumpu pada kakinya. Bagian yang sakit sekarang tidak hanya perutnya, tetapi juga kakinya menahan kram dan beban tubuhnya.

“Sayang..”

Anya sedikit gugup sekaligus terkejut. Jangan-jangan Dean tahu kalau ia sedang menstruasi. Anya tidak ingin membuat Dean merasa jijik.

“I-iya.. Kenapa?”

“Terima kasih ya, sudah mau mengajak ke sini. Aku jatuh cinta dengan tempatnya. Semua pegawainya ramah, minumannya enak, suasananya juga mendukung. Aku bersyukur sekali kamu ada di sini bersamaku.”

Dean mengecup kedua tangan Anya. Ia ingin merasa terharu mendengar kata-kata manis dari Dean alih-alih ia terfokus pada kramnya dan menitikkan air mata.”

“Jangan nangis, sayang. Cup, cup..”

Dean menyeka air mata dari wajah Anya. Ia masih berusaha menyembunyikan deritanya dari Dean. Tidak lama kemudian, makanan mereka datang. Yang tidak lain adalah chicken cordon bleu dan beef medallion. Dean tersenyum lebar melihat sajiannya yang begitu mewah dan masih hangat. Tanpa panjang lebar, ia langsung menyuap makanan itu ke mulutnya. Anya masih memotong-motong dagingnya dan ia melihat gradasi warna dari daging tersebut. Bagian luar daging tersebut berwarna coklat matang sedangkan bagian dalamnya masih merah menyala. Anya bingung harus merasa tergiur atau jijik melihat sisi dalam daging tersebut mengingat dia juga sedang berdarah-darah.

Anya menyuap makanannya dan merasakan cita rasa daging yang kaya rempah nusantara meledak-ledak dalam mulutnya. Empuk, aromatik, dan rasanya sedap. Ia langsung melupakan rasa sakitnya dalam sekejap.

***

Keduanya makan dengan lahap sehingga tidak ada lagi makanan yang tersisa di piring mereka. Kecuali anggur milik Anya. Ia tidak menyentuhnya sedikit pun. Usai makan, mereka menyempatkan diri dengan saling bertukar cerita dan bercanda. Sampai akhirnya kram itu muncul lagi secara tiba-tiba. Anya yang semula tertawa, langsung terdiam kembali. Ia dapat merasakan aliran air terjun Niagara yang begitu deras di bagian bawah tubuhnya. Hari pertama menstruasi seringkali terasa deras dan menyakitkan. Tak heran Anya terlihat begitu canggung tetapi Dean sepertinya belum sepenuhnya sadar. Anya mencengkeram perutnya sembari menyembunyikan rasa sakitnya.

“Aku ingin menambah hidangan penutup, deh. Kamu mau tidak, sayang?”

Dean berusaha menawarkan Anya untuk makan hidangan penutup. Tetapi, Anya hanya ingin pulang. Ia pun menggeleng kepada Dean.

“Oh, aku mengerti. Kamu pasti udah kenyang, ya. Ya sudah, aku minta bill-nya dulu ya.”

Dean kemudian memanggil Amir lagi untuk meminta tagihan pesanannya. Syukurlah sebentar lagi akan pulang, pikir Anya demikian. Tidak lama kemudian, pelayan tersebut kembali ke meja mereka tanpa membawa tagihan. Amir memberitahu bahwa mereka harus membayar langsung ke meja kasir. Anya semakin ketar-ketir sebab itu berarti ia harus berdiri dan orang-orang akan memperhatikan gaunnya yang penuh darah.

“Ayo, sayang. Kita pulang.”

Dean berdiri dan menawarkan tangannya kepada Anya untuk digandeng.

“Oh. Aku bisa jalan sendiri kok, beb.”

Anya langsung berdiri tegap dan berusaha menutupi bagian belakang gaunnya dengan clutch. Anya tidak yakin ukuran clutch-nya bisa menutupi bagian pantatnya sebab ia tidak bisa melihat posisi nodanya secara pasti. Dirinya berjalan tepat di belakang Dean karena merasa gelisah. Khawatir bila seseorang menyadari noda darah di gaunnya dan takut membuat Dean merasa malu. Mereka pun sudah sampai di meja kasir.

“Apakah bapak menikmati hidangannya?”

Tanya seorang penjaga kasir kepada Dean.

“Sangat menikmati. Terima kasih banyak, ya.”

“Kembali kasih, pak. Senang sekali rasanya restoran kami bisa didatangi oleh dua influencer terkenal. Jangan lupa kasih ulasan ya, pak. Kami akan tunggu hasilnya.”

Dean sibuk berbincang dengan penjaga kasir sambil membayar tagihan makanan mereka. Anya ingin segera pulang karena ia merasa semakin gelisah. Kedua tangannya masih menyilang di balik tubuhnya sembari memegang clutch hitamnya untuk menutupi noda tersebut. Tiba-tiba, seorang wanita menepuk pundaknya.

“Permisi, apakah anda Kak Anya ‘Food Junkie’?”

Anya sedikit terkejut dan menoleh ke belakang. Ia berharap wanita ini tidak melihat bagian belakang gaunnya. Ia berpura-pura tersenyum sambil menyapa kembali wanita tersebut.

           “Betul sekali. Ada apa ya, bu?”

“Saya dan anak saya suka menonton konten-konten kalian. Bolehkah sekiranya kami meminta foto bersama?”

Ucap wanita itu sambil menggendong seorang bocah perempuan berusia 3 tahun di pundaknya. Baik, kalau sekedar foto saja sepertinya tidak masalah bagi Anya. Anya lalu memanggil Dean yang masih sibuk ngobrol dengan penjaga kasir, bahkan manajernya ikut nimbrung.

“Oke, sayang. Ayo semuanya, kita foto bersama!”

 Ajak Dean bersama pegawai restoran lainnya dan akhirnya satu restoran berfoto bersama. Kerumunan membuat Anya semakin gelisah dan canggung.

“Baik. Semuanya bilang, ‘kejuuu’!”

Ujar seorang pelayan lain mengambil foto mereka.

“KEJU!”

Setelah foto bersama, semua kembali pada pekerjaan dan urusan masing-masing. Wanita tersebut lalu pamit dan berterima kasih kepada dua sejoli tersebut sebab telah bersikap sangat ramah padanya. Jarang-jarang ada selebriti yang mau berinteraksi langsung dengan para penggemarnya.

“Makasih banyak, ya. Semoga bisa ketemu lagi.”

“Sama-sama, nyonya.”

Ujar Dean dengan nada yang sangat sopan. Akhirnya, Anya dan Dean bisa segera pulang. Mereka lalu menuju pintu keluar. Saat hendak membuka pintu kaca tersebut, bocah yang digendong tadi dengan lantang mengatakan hal yang menurunkan harga diri Anya.

“Bunda, bunda! Lihat deh, cewek itu pakai bendera jepang di bokongnya!”

Anya tertegun. Ruangan tersebut langsung hening. Semua mata menuju ke arahnya.

“Hush! Nggak sopan kamu, ya! Ayo minta maaf sama Kak Anya!

Ujar wanita tersebut marah kepada anaknya.

“Ya ampun. Kamu baik-baik aja, sayang?”

Dean memandang Anya dengan raut wajah yang penuh kekhawatiran setelah menengok bagian gaunnya yang penuh noda. Anya sungguh merasa malu sehingga kehilangan kata-kata. Ia langsung berlari kembali menuju kamar mandi dan mati-matian mencoba menghapus noda darah yang ada di gaun putihnya itu. Ia menangis karena malu. Dirinya bahkan sudah tidak peduli jika riasannya luntur kebanjiran air mata. Anya mengambil segulung tisu toilet dan membasahinya dengan air supaya dapat menghapus noda mengerikan itu. Tetapi sia-sia. Air saja tidak cukup menghilangkan noda darah yang membandel. Ia menangis tersengguk-sengguk karena merasa bersalah telah merusak malam kencannya bersama Dean. Gaunnya rusak dan pasti Dean merasa malu berjalan bersamanya, pikir Anya. Tangisnya lalu berhenti sejenak setelah ia mendengar ada seseorang yang memasuki kamar mandi.

“Permisi, Kak Anya. Kebetulan saya bawa pembalut. Supaya tidak makin bocor kemana-mana. Ini, kak. Oh, pacar Kak Anya juga menitipkan jasnya ke saya. Katanya biar diikat di pinggang supaya ketutup.”

Suara tersebut adalah wanita yang sangat baik hati tadi. Anya lalu membuka pintu bilik kamar mandinya dan wanita itu langsung menyodorkan barang-barang tersebut. Setelah beberapa lama, Anya keluar dari kamar mandi dengan jas milik Dean terikat di pinggangnya.

“Um, makasih yah, bu. Nama ibu siapa, ya?”

“Saya Bu Rahmi, kak.”

“Makasih banyak loh, bu..”

Anya tampak lesu dan acak-adut. Bu Rahmi tersenyum ramah dan mencoba menenangkan hati Anya.

“Nggak apa-apa. Saya juga pernah kayak gitu, kok. Kalau boleh tahu, Kak Anya sebelumnya apakah tahu kalau memang lagi mens hari ini?”

“Jujur, saya enggak nyadar, bu. Terakhir saya mens itu tahun lalu. Soalnya saya sama pacar sibuk kerja. Jadi enggak ada waktu istirahat.”

Bu Rahmi mengangguk perlahan. Beliau kemudian merogoh saku celananya dan menyodorkan kartu nama.

 

Dr. RAHMI ASTRINI, SpOG

Dokter Spesialis Kebidanan & Penyakit Kandungan

WA: 087658589400

Klinik Khadijah: Senin-Jumat (09.00-17.00 WIB)

 

“Ini. Barangkali kalau perlu, bisa hubungi saya atau langsung datang ke klinik. Jangan sungkan-sungkan ya, Kak Anya.”

Anya menerima kartu nama tersebut dengan wajah yang masih lesu tetapi ia bersyukur dan berterima kasih lagi kepada Bu Rahmi. Beliau lalu mengantarkan Anya kembali ke Dean yang menunggu di depan restoran. Dean yang tadi merokok langsung menginjak puntungnya.

“Hai, beb..”

“Halo, sayang. Terima kasih banyak ya, Bu Rahmi.”

“Sama-sama, mas. Tolong dijaga ya pacarnya. Jangan sibuk-sibuk kerja juga.”

“Siap, bu.”

“Saya kembali ke dalam, ya. Mau nyuapin si kecil. Sampai jumpa lagi.”

Bu Rahmi lalu kembali ke dalam restoran dan duduk di kursinya. Dari balik kaca restoran, terlihat ia sedang berbicara kepada anak perempuannya dengan gestur seolah-olah sedang berceramah. Dean lalu menggandeng kekasihnya yang malang itu ke arah mobilnya. Ia membuka bagasi dan mengambilkan sepasang sandal untuk Anya supaya kakinya tidak kelelahan mengenakan sepatu heels. Dean berjongkok dan memasangkan sandal tersebut ke kedua kaki Anya. Saat itu juga, Anya berkata,

“Hari Senin kita ke klinik ya, beb.”

Ujar Anya dengan nada yang letih. Dean mendongak ke atas dan memperhatikan pacarnya.

           “Iya, boleh sayang. Maaf ya, kamu sampai panik tadi dan aku nggak tahu apa-apa.”

           “Nggak apa-apa, beb. Kita pulang aja sekarang. Aku harus bersihkan ini semua.”

           “Oke. Joknya sudah aku kasih alas koran bekas supaya kamu bisa duduk.”

Dean berdiri dan memeluk Anya dengan erat. Anya bersyukur memiliki kekasih seperti Dean, sabar dan mau mengerti isi hatinya. Sebelum memasuki mobilnya, Dean tersenyum dan kembali berlutut. Anya heran tetapi ada sedikit perasaan senang melihat hal tak terduga yang hendak dilakukan Dean. Atau setidaknya itu yang ia pikirkan. Rupanya Dean hanya mengikat tali sepatunya yang terlepas dan berdiri lagi.

           “Loh, cincinnya mana?”

           “Cincin apa, sayang? Aku tidak punya cincin apa-apa…”

Anya langsung memasang muka marah. Ia langsung masuk ke dalam mobil dan membanting pintunya. Sementara Dean masih termangu dalam kebingungan.

           “Hadeh… susah kalau bermusuhan sama perempuan PMS.”

Ujarnya sambil menggaruk-garuk kepala.

 

TAMAT

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar