Karina
Tak terduga cinta hadir dari pertemuan singkat Karina dan Bayu, di acara ulang tahun perusahaan tempat suami Karina bekerja. Efron, suaminya, bekerja di perusahaan yang sama dengan Bayu. Efron adalah seorang supervisior penjualan, sementara Bayu manager IT. Di kantor mereka tidak terlalu dekat hanya sekedar berbincang ketika bertemu di kantin.
Pertemuan Karina dan Bayu berawal dari papasan di pintu keluar gedung pesta. Bayu saat itu sedang memegangi tas istrinya, Kamila, yang sedang membersihkan sepatu dari cipratan tumpahan wine. Efron menyapa Bayu dan saling memperkenalkan istri masing-masing. Pada pertemuan pertama itulah ada percikan memercik dari cara Karina dan Bayu saling menatap.
"Pak Bayu itu tukang selingkuh. Sudah ketahuan beberapa kali. Orang kantor sudah tahu semua skandalnya." Di dalam mobil hendak pulang, Efron membuka pembicaraan.
"Oh ya? Masa, sih? Kelihatannya suamiable gitu. Istrinya juga cantik banget. Masa sih secantik itu diselingkuhi?" ucap Karina berapi-api sambil berkaca memeriksa apakah make upnya masih on point.
"Istrinya kaya aku, mandul," bisik Efron.
"Sayang...tapi aku tetap cinta kamu, kok." Karina mengelus-elus pipi Efron.
Karina sangat tahu watak suaminya yang memang suka membicarakan masalah dikantornya. Itu juga salah satu alasan mengapa ia masih betah dengan rumah tangga mereka, meski Efron sudah divonis dokter tidak akan bisa punya keturunan.
Suaminya itu sangat seru jika diajak membicarakan tentang apa pun, one call away, romantis dan act of service. Pernah satu waktu Karina menelepon karena kram haidnya benar-benar tidak terkendali. Efron segera izin pulang dari kantor, mendatangi ke rumah sakit tempat Karina bekerja sebagai perawat sambil membawa bunga dan coklat.
Rekan-rekan kerja di tempat suami istri itu bekerja sangat tahu betapa Efron mencintai istrinya. Hingga meski mereka belum punya anak pun tidak pernah itu jadi buah bibir yang jelas. Mungkin karena Bayu dan Karina juga sangat erat tutupi alasannya, begitu juga masalah-masalah yang terjadi di dalam rumah tangga mereka. Tipikal keluarga harmonis yang saling mencintai, jika melihat dari luar pernikahan itu.
Pembicaraan Efron dan Karina pun berlanjut. Hingga fakta-fakta tidak terduga pun tertuang sampai meluber dari cangkir teh. Dari cerita Efron, Karina dengan cepat membayangkan sosok Bayu di imajinasinya.
Anehnya, bukannya illfeel, ia malah merasa sosok yang tergambar itu beri hangat di sudut hatinya yang lama tidak tersentuh. Sudut itu inginkan kharisma dan wibawa yang sudah lama hilang, semenjak ia dan Efron telah berhenti berusaha mendapatkan buah hati dari darah daging mereka sendiri.
Malam itu jugalah ketentraman dalam diri Karina terhapus perlahan.
***
Bayu
Kesenjangan asa bergejolak lagi, berharap tak tegas. Itulah yang Bayu rasakan oleh masalah yang sama lagi dan lagi. Tuntutan orang tua dan mertuanya agar segera memiliki cucu pertama mereka.
Ia sungguh telah menyerah kala untuk ke-tiga kalinya bayi dalam kandungan Kamila tidak mampu bertahan. Lelah sudah pasti. Sedih sudah lagi tidak menyelimuti, sebab telah tawar hati oleh garis satu berkali-kali dan beberapa embrio yang tidak berumur panjang. Syukurnya, tidak pernah lagi ia melihat Kamila down seperti dulu. Ia yakin istrinya itu sudah bisa menerima keadaannya sendiri.
"Aku senang kamu sudah nggak terpengaruh lagi, Mil. Bagaimana pun kita akan usahakan semampunya. Kalau kamu sudah capek, bilang saja. Kita bisa berhenti kapan pun kamu mau."
Kamila yang sedari tadi menatap nanar ke jendela bening, menoleh dan tersenyum tenang mendengar ucapan Bayu. Tangan mereka saling tergenggam di samping tubuh Kamila yang terbaring di atas tempat tidur rumah sakit. Bayu tidak henti-hentinya kirimkan dukungan hangat lewat elusan di tangan tergenggam itu.
"Makasih, Bay," balas Kamila pelan dan balas mengelus tangan Bayu.
Bayu mengecup kening Kamila dan izin keluar sebentar untuk membeli makanan. Dia sangat sibuk hingga belum makan dari siang. Pulang pun dari kantor pun buru-buru begitu mendapat pesan dari ART mereka, bahwa Kamila dilarikan ke rumah sakit setelah pendarahan hebat di kamar mandi.
Di lorong rumah sakit, dekat dengan pos perawat, pandangannya fokus pada sesosok wanita berseragam putih perawat yang sedang berdiri membelakangi. Wanita itu bersender pada meja counter yang lumayan tinggi. Bayu yang adalah seorang womanizer, sangat ingat jelas siluet tubuh itu. Kemampuannya bermain-main dengan banyak wanita sebelum dan sesudah menikah telah tajamkan instingnya. Tanpa ragu, dengan perut keroncongan, ia mendekati counter perawat.
"Selamat siang," sapanya dengan senyum manis telak ke hadapan wajah perawat yang ia tuju.
"Selamat si...mas Bayu? Eh, maaf, pak Bayu, ya?" terbata Karina oleh rasa kaget, mendapati pria yang sudah hampir satu minggu isi imajinasi malamnya sebelum tidur, hadir tiba-tiba di depannya. Bahkan saat dalam dekapan Efron pun, kerap kali wajah Bayu yang hadir bangkitkan dorongan hebat dari dalam dirinya.
"Betul sekali. Karina, kan?" tunjuknya pada Karina.
"Iya, Pak."
Senyum lembut nan indah Karina telah berhasil gejolakkan rasa di dalam dada Bayu. Tidak ada kaku dan canggung dalam interaksi mereka. Karina pun memperkenalkan Bayu pada teman-teman kerjanya. Sebaliknya, Bayu menceritakan alasan mengapa dia ada di rumah sakit itu.
"Mbak Karina sudah berapa lama bekerja di sini?"
"Dari awal bekerja sebagai perawat sudah di sini, Pak. Rumah sakit ini tempat saya bekerja pertama kalinya sampai sekarang. Sudah lama bangetlah."
"Masa? Tapi kok nggak pernah ketemu, ya? Padahal saya dan Kamila selalu ke rumah sakit ini kalau sedang sakit atau butuh bantuan medis."
"Hm...mungkin sebenarnya pernah papasan, tapi karena belum kenal...ya jadinya begitu."
"Mungkin..." anggukan kepala Bayu buat Karina tersenyum, memancingnya ikut tersenyum juga.
Tidak sampai 30 menit pembicaraan mereka di sana. Pembicaraan berputar-putar karena harus menekan kuat-kuat getaran yang mulai muncul di dalam dada. Agar tidak memerahkan wajah, agar tidak terlihat oleh perawat-perawat lainnya.
Bayu pamit kepada perawat-perawat lain hendak mencari makanan ke kantin, beberapa menit setelah Karina pamit untuk mengecek keadaan inpatient tanggung jawabnya. Mereka berdua memang berjalan berlawanan arah di selang waktu berbeda menit. Namun, lorong-lorong rumah sakit telah saksikan bagaimana senyum membara hiasi wajah dua insan yang tidak seharusnya saling terkait itu.
***
Gejolak-gejolak
Keriput-keriput tipis menjelma menjadi daya tarik, tubuh tegap berbalut kemeja batik berlengan panjang, senyum manis itu perlihatkan beberapa gigi depan, brewok dan rambutnya yang diatur rapi, Karina lekat-lekat perhatikan sosok Bayu di foto yang baru saja dikirim Efron. Foto dirinya, Efron, Bayu dan Karina di teras gedung acara ulang tahun 2 minggu lalu.
Tiba-tiba saja Efron mengirimkannya, hingga Karina tidak sempat mempersiapkan gejolak batin kala unduhan selesai. Mulutnya berteriak tertahan di pantry. Hampir juga menjatuhkan tumbler yang tengah diisi dengan air dispenser.
Karina terkejut bukan main. Pertemuan ke dua mereka saja telah banyak mengubah gejolak menjadi rindu. Ingin bertemu dan melihat meski dari jauh. Terkejut itu juga hadir oleh rasa bersalah pada Efron yang tidak tahu apa-apa, malah mengirimkan foto itu.
Karina sungguh telah berhianat. Ia sadar sekali. Namun lemah dayanya tuk menolak fakta bahwa percikan malam itu, kini terlanjur berubah jadi rasa yang lebih dalam. Saat di malam itu, ia sangat jelas mengingat ada cubitan geli di hatinya ketika berjabat tangan dengan Bayu. Kini sama jelasnya juga jelmaannya telah jadi rasa.
Terlebih beberapa kali setelah pertemuan ke dua, pertemuan-pertemuan lainnya kembali terjadi di lorong-lorong rumah sakit. Sebagian memang tidak disengaja. Namun sebagian lagi adalah hasil dari rindu terlarang. Bayangkan, dalam satu hari, Bayu bisa-bisanya berjalan mondar-mandir dari satu lorong ke lorong lain sambil berpura-pura menelepon atau sibuk dengan handphonenya. Matanya tajam mencuri pandang kalau-kalau terdengar suara Karina.
Karina sendiri kadang-kadang sengaja memutar balik jalannya agar lewat lorong-lorong itu. Kadang hanya sekedar mampir ke counter perawat lantai tempat Kamila dirawat, demi puaskan hati yang telah digedor kuat oleh hasrat rindu terlarang.
***
Kamila
Hari ke-tiga Kamila dirawat, dokter masih belum mengizinkannya pulang. Meski ia seorang ibu rumah tangga, dokter belum berani melepasnya karena keguguran itu sudah terjadi tiga kali. Resiko pasca keguguran akan jauh lebih besar. Kamila pun mengiyakan karena takut terjadi apa-apa dengannya, sementara di rumah hanya ada ART yang menemani sampai Bayu pulang kerja.
Bayu tidak keberatan sama sekali jika habiskan waktu sepulang dari kantor ke rumah sakit. Tentu saja bukan hanya karena ingin terlihat sebagai suami yang bertanggung jawab. Ada gejolak-gejolak dalam dada yang telah butakan warasnya. Bangkitkan lagi adrenalin pejantan tangguh yang selama dua bulan ini ia matikan. Dua bulan mulai dari harapannya bangkit lagi begitu Kamila menunjukkan test pack dengan dua garis merah mewarnai.
Frustasinya akan tekanan dari keluarga memang telah bawa akal sehat Bayu melenceng, melampiaskan pada wanita-wanita di luar sana, sebab ia sungguh tidak tega untuk menyalahkan Kamila. Maka, jika garis dua terlihat, ia akan segera berhenti saat itu juga melampiaskan frustasi. Hati dan cinta seluruhnya dikerahkan untuk Kamila dan janin yang ada di perutnya. Seluruh isi bumi pun akan diberikan jika Kamila meminta. Asalkan keturunan yang dikandungnya bisa sampai dihantarkan ke dunia ini.
Untuk itulah, tiga hari sudah kedatangan Bayu yang selalu sumringah begitu masuk dari arah pintu kamar, undang tanya di dalam hati Kamila. Tidak pernah Bayu datang dengan wajah merah dan berseri seperti itu jika ia gagal lagi memberi keturunan. Selama tiga hari juga tidak pernah absen membawa bunga. Tidak hanya itu, Bayu akan sambil bersiul-siul mengganti bunga dalam vas di atas nakas samping tempat tidur. Hampir 10 tahun mereka menikah dan telah melalui banyak hal, sampai hapal sekali akan karakter suaminya itu, Kamila tahu benar apa yang sedang terjadi. Bayu menemukan selir baru lagi.
Selir, itulah ungkapan yang Kamila berikan pada wanita-wanita yang Bayu jadikan tempat pelampiasan ketidakpuasannya. Naura, teman dekat Kamilalah yang awalnya beri gelar selir itu tiap kali Kamila mencurahkan perasaan atas perselingkuhan Bayu.
"Naw...gue mau cerita."
"Suami b**ngs*k lo selingkuh lagi?" Dengan santainya Naura menjawab di ujung telepon.
"Emang apa lagi masalah gue?"
"Hadeh...sama siapa lagi kali ini?"
"Tau tuh, udah tiga hari wajahnya ceria mulu. Gue juga penasaran siapa selirnya kali ini."
"Hm...pasien di rumah sakit itu juga kali."
"Kayanya. Keluar-keluar mulu dari kamar gue. Nggak nyampe semenit udah izin keluar aja. Mau nelpon inilah itulah, mau beli makanlah, banyaklah alasannya."
"Ckckck, trus lo gimana? Udah baikan? Gue belum bisa jenguk yak. Masih di Lombok gue."
"Sama brondong lu?"
"Ya, sama siapa lagi. Btw, Felipe datang?"
"Gila pertanyaan lo!"
"Ahahahahaha...."
Kamila menjauhkan ponsel dari telinga. Suara tawa Naura sangat kencang hingga buat telinganya sakit.
"Ayang Felipe mana, nih?"
"Nggak gue ijinin datang ke sini."
"Trus nggak ada yang menghibur lo dong? Di kamar VVIP sendirian, lo nggak kesepian apa? Mana suami lo kaya gitu lagi."
"Kita video call doang kalau si suami brengsek itu keluar. Ini Felipe lagi sibuk makanya gue nelpon lo."
"Haduh...haduh...suami istri ini memang sangat unik, ya. Udah sih cerai aja. Bebasin diri lo kaya gue."
"Ntar, gue nunggu dia yang minta cerai. Setelah itu, gue bakal kasih tahu sama selirnya semua yang gue tahu, supaya dia hancur sehancur-hancurnya. Baru deh say goodbye dengan penuh kemenangan."
"Trus nikah, deh, sama ayang Felipe."
"Yoyoi...pasti. Ntar lu jadi bridesmaid gue. Awas kalau nggak bisa."
"Perasaan udah dari 7 tahun lalu lo ngomong gitu. Lamaran Felipe juga lo tolak berkali-kali. Untung dia sabar nungguin lo cerai. Wanita polos kaya lo kenapa sih harus masuk ke dunia perselingkuhan ini juga? Ahahahaha...."
"Hei bos, gue selingkuh juga karena mau ngebalas si suami brengsek itu. Buktinya, gue sama Felipe udah 8 tahun sekarang. Nggak pernah tuh gue selingkuhin dia. Pokoknya gue nggak mau cerai sebelum Bayu dapat pengganti gue. Trus gue mau lempar bobroknya ke calon selirnya itu, supaya ngerasain sakit hati gue selama ini."
"Sebenarnya gue sebagai temen pengennya lo di jalan yang baik-baik aja, Mil. Tapi gue juga paham sakit hati lo. Intinya gue dukung apa pun rencana lo, ok?"
"Thanks...."
Pembicaraan itu masih berlanjut saat Bayu menarik tangan Karina keluar dari kamar Kamila. Mereka berdua diam-diam berdiri di dekat pintu yang terhalang oleh tembok kamar mandi, mendengar langsung percakapan Kamila meski tidak dari awal.
Tadinya Karina yang kembali bertemu dengan Bayu di lorong rumah sakit, ingin menjenguk Kamila. Bayu pun berinisiatif mengantarkan. Namun, yang mereka dapatkan adalah cerita asli istri yang terlihat polos dan penurut itu.
***
Tarik Menarik
Pak Bayu yang sabar ya
Semoga masalahnya cepat selesai
Read
Sudah lima menit Bayu memandangi pesan WA Karina. Di meja kerjanya di rumah, ia masih memikirkan balasan apa yang tepat untuk pesan itu.
Setelah keluar dari kamar, Bayu menarik tangan Karina sampai ke tangga darurat. Untung saja sepanjang lorong sampai ke tangga darurat tidak ada orang yang melihat mereka. Di sana Bayu terduduk lemah membelakangi Karina dan menangis sambil menutupi wajah dengan ke dua telapak tangan. Karina terkejut sebab tidak menyangka akan melihat pria yang ia anggap berwibawa itu akan menangis.
Tanpa banyak tanya, Karina duduk di samping dan mengelus-elus punggung Bayu. Hanya beberapa menit mereka di sana dalam diam karena Karina harus kembali bekerja. Bayu pun segera pulang begitu Karina pergi.
Sesampainya di rumah, dengan segala gejolak di kepala yang masih tidak tentram, pesan Karina datang bagai penghibur yang dalam sekejap tenangkan gemuruh. Syukurnya ada Karina yang tahu persis masalah apa yang sedang dia hadapi.
Banyak sekali hal yang ingin dia sampaikan untuk jelaskan cerita di balik perselingkuhannya. Namun, harus dari mana akan memulai? Tak ingin banyak berpikir lagi, Bayu menekan nomor itu dan panggilan pun tersambung.
"Halo..." ujar suara di seberang.
"Halo Karina, ini Bayu."
"Iya, tau Pak."
Suara lembut itu kembali tenangkan gelisah Bayu, sekaligus pacu detak jantungnya.
"Sudah pulang kerja?"
"Ini baru mau pesan Grab."
"Mas ingin bertemu sebentar dengan kamu, bisa?"
Karina terdiam. Bayu harap-harap cemas sambil menggigit-gigit bibirnya sendiri menunggu jawaban. Takut Karina malah marah atas ajakannya yang kurang etis, mengingat dia dan Efron bekerja di kantor yang sama. Sesaat sesal datang menghampiri. Harusnya ia tetap pada prinsipnya tidak mengganggu wanita-wanita yang berkaitan dengan kantornya, untuk meminimalisir dampak negatif di kemudian hari. Tiga hari ini ia cukupkan hanya dengan papasan di lorong rumah sakit. Itulah batas flirting oleh naluri bebas yang ia terapkan susah payah. Apalah daya, karakter itu memang sudah terbentuk dari kebiasaan bertahun-tahun. Tak mudah tuk bisa taklukkan jiwa petualang dan adrenalin terlarang. Bahkan oleh pemilik karakter itu sendiri.
"Boleh. Mas Bayu mau ketemu di mana?" jawab Karina kemudian.
Bayu berteriak bahagia di dalam hati. Ia meninju-ninju udara ungkapkan kemenangan telak. Ketakutan yang tadi kini berubah jadi adrenalin liar demi mengingat wanita yang ada di seberang telepon adalah istri dari teman satu kantornya. Pikirannya menggila dan harga dirinya melayang seperti biasa, kala ia berhasil taklukkan wanita-wanita. Resiko besar yang ia sendiri sadari, terabaikan oleh kemenangan yang lebih luar biasa dari sebelum-sebelumnya.
Setelah mengatur nafas agar tenang kembali, Bayu menyebutkan salah satu kafe di daerah yang tidak jauh dari rumah sakit.
***
Tautan Yang Terlihat Benar Tapi Salah
Gelisah tak menentu, pertanyaan-pertanyaan dari mana asal keberanian itu datang hingga setuju bertemu di kafe, dan rasa bersalah atas penghianatan yang secara sadar dilakukan, hiasi isi kepala Karina.
Ia sampai duluan ke kafe dan sedang duduk gelisah memikirkan mengapa dirinya berada di sana. Bayangan suaminya telah menunggu di rumah terkadang begitu kuat mendorongnya mengirim pesan ke Bayu untuk membatalkan rencana. Ketika ia membaca lagi pesan ajakan Bayu, kupu-kupu di perut terbang ke sana-ke mari, bagai anak sekolah yang baru saja merasakan jatuh cinta. Rangkaian kata yang sudah diketik pun dengan cepat ia hapus dan kembali konsentrasi menunggu Bayu.
Sejak awal hatinya tidak pernah membantah bahwa Bayu memiliki daya tarik luar biasa. Hingga meski cerita dari Efron dan percakapan Kamila begitu jelas gambarkan bejatnya Bayu, tapi tidak sekali pun goyahkan daya tarik itu.
Malah, begitu melihat Bayu telah sampai ke kafe dan sedang berjalan ke arahnya, sadarlah ia mengapa Bayu begitu mudah bermain-main api, dan mengapa wanita-wanita itu mau bermain api dengannya. Kharisma dan daya tariknya memang terlalu sayang untuk dilewatkan. Tersadarlah ia kembali, bahwa selama ini hidupnya terlalu sepi meski Efron telah berikan cinta yang tulus.
Bayu menyapa begitu sampai ke meja, dan dengan berani Karina berdiri menyambut sambil cipika-cipiki. Bayu sempat tersentak halus sebab tidak menyangka akan dapatkan serangan kecil itu. Sebuah sinyal bahwa sang pemilik pintu sedang membuka pintunya.
“Efron tahu kamu ada di sini?” tegas Bayu bertanya tanpa basa basi, tanpa duduk terlebih dahulu.
“Emang mbak Kamila tahu mas ada di sini?”
Bayu tersenyum puas oleh jawaban Karina. Mereka pun duduk dan memanggil waitress untuk memesan makanan. Menunggu makanan datang, basa-basi percakapan pun mewarnai selama beberapa menit. Hingga sampailah pertanyaan inti dari pertemuan.
“Jadi, mas mau cerita apa, kok sampai harus ketemuan gini?”
Lagi-lagi Bayu tersenyum oleh nada bicara Karina yang lebih manja dan halus. Perbedaan usia 8 tahun tidak berbeda jauh secara fisik, namun cara Karina bermanja dengan suara dan gelagatnya, mengingatkan Bayu pada wanita-wanita muda yang pernah singgah di pelataran hatinya dulu.
“Mau membahas tentang Kamila. Aku minta tolong jangan sebarkan apa pun yang kamu dengar tadi."
Karina berpikir sebentar. "Cuma itu? Kayanya nggak perlu harus ketemu kalau mau membahas itu aja."
Bayu sanagt senang oleh pancingan Karina. "Sejujurnya aku senang kamu juga mendengarnya. Jadi aku tidak perlu membela diri kalau terjadi sesuatu di pernikahan kami. Ada kamu sebagai saksinya.”
“Mas…mau cerai?” tanya Karina hati-hati.
“Sudah masuk ke dalam pertimbanganku. Hampir 10 tahun menikah, aku jarang mengeluh tentang apa pun masalah kami. Aku bahkan tidak pernah mengeluh tiap kali orang tuaku dan orang tuanya menekan kami untuk punya anak. Bahkan aku selalu menghiburnya tiap kali usaha kami gagal.”
“I see. Tiap hari mas meluangkan waktu untuk menemani mbak Kamila juga.”
“Dari dulu.” Bayu menyesap kopi pesanannya sebelum melanjutkan pembicaraan. “Memang aku juga melakukan kesalahan. Jujur saja, seperti yang kamu sudah dengar, aku berkali-kali selingkuh. Aku mengakui itu. Beberapa kali juga Kamila tahu dan aku tidak pernah mengelak. Berkali-kali juga kucoba untuk berubah. Tapi mau bagaimana lagi, tekanan yang kudapatkan dari sana-sini dengan masalah yang sama selama 10 tahun, memaksaku untuk melakukannya lagi dan lagi. Terserah kalau kamu menganggapku sedang mencari pembenaran, tapi memang seperti itulah kenyataannya.”
“Orang tua mas dan mbak Kamila tahu tentang keadaan mbak Kamila?”
Bayu menggeleng. Karina terdiam memandangi Bayu dengan gelas cokelat hangat di tangan. Ia bisa memahami frustasi Bayu karena pernah mengalami hal yang sama. Hanya saja, ia dan Efron akhirnya berani terbuka pada keluarganya tentang tidak ingin punya anak, meski tetap tidak memberitahu alasannya. Begitulah cara mereka bisa bebas dari tekanan yang dialami oleh Bayu.
“Mas Bayu dan mbak Kamila sudah pernah memeriksakan ke dokter atau mencoba alternatif lain sebelumnya?” tanya Karina lagi.
“Di tahun ke dua pernikahan, pertama kalinya Kamila tahu tentang perselingkuhanku, dia sempat meminta cerai. Setelah kuceritakan kenapa aku selingkuh, dia meminta waktu untuk memikirkan lagi keputusannya. Kami sempat pisah rumah dua bulan. Tiga bulan setelah kami kembali, dia hamil. Dari kehamilan itu akhirnya membuatku sadar bahwa apa yang kami butuhkan adalah kesabaran. Tapi belum dua bulan, Kamila keguguran. Setelah itu kami mencoba lagi dan lagi, bertahun-tahun, sampai aku kembali lagi ke kebiasaanku yang lama, sampai sekarang belum ada hasilnya lagi. Sesekali kami meminum minuman herbal yang menurutnya bagus untuk kesuburan, dan dia sendiri yang tidak ingin kami memeriksakan ke dokter. Walau pun tidak mengatakan alasannya, tapi aku tahu kenapa dan tidak ingin memaksamya. Melihat dia masih mau berusaha saja itu sudah cukup buatku untuk menghargainya sebagai istriku. Selebihnya, aku lampiaskan pada wanita-wanita di luar sana yang mau memahami semua tekanan itu.”
“Mas Bayu keren banget.” Karina menghapus air matanya yang jatuh tidak tertahan, sebab ia bisa merasakan persis apa yang dialami oleh Bayu.
“Loh, kok nangis?” ucap Bayu mengambil tisu dan berpindah duduk ke kursi persis di samping Karina. Ia menyeka air mata Karina dengan tisu sambil berkata dengan lembut, “Yang sedih itu harusnya aku, kenapa jadi kamu yang menangis?”
“Karna…aku juga mengalami itu, Mas.”
Bayu sedikit terkejut. “Kamu tidak bisa…”
“Bukan…bukan.” Karina memotong ucapan Bayu. “Suamiku. Mas Efron yang mandul.”
Bayu lebih terkejut lagi memandang mata Karina kiri dan kanan bergantian. Karina menganggukan kepala meyakinkannya.
Bayu memang pernah mendengar desas-desus itu dari salah satu teman managernya di kantor. Saat itu, berkaca pada pengalamannya sendiri, menurutnya pernikahan yang belum genap tiga tahun itu tidak cukup untuk dijadikan kesimpulan. Kini setelah mendengar langsung dari Karina, pembelaannya pun pupus sudah.
Gejolak-gejolak kini berganti dengan iba. Bayu menggenggam tangan Karina dan berkata, “Aku siap mendengar ceritamu kapan pun saat tekanan itu mengganggumu.” Ia memberikan dukungan untuk mata sedih yang persis seperti mata sedihnya dulu.
Oleh dukungan tersirat itu, oleh cerita yang saling tertaut itu, Karina berdebat dalam diamnya memandang wajah Bayu yang penuh ketulusan. Akal sehat dan hatinya berdebat apakah ini adalah momen tepat yang dibukakan oleh semesta untuk lemparkan umpan? Gejola-gejolak di dalam dada dan kupu-kupu di dalam perut, akhirnya adalah jawaban yang Karina pilih.
“Mbak Kamila harusnya beruntung punya suami seperti mas Bayu. Kuat, sabar dan tidak menyalahkan siapa pun. Padahal pasti gampang untuk mas Bayu mencari pengganti mbak Kamila.”
Seakan bisa membaca isi kepala Karina, Bayu menyambut umpan itu dengan ucapan tersirat, “Efron juga pasti sangat beruntung punya seseorang yang sabar dan kuat seperti kamu. Aku tidak tahu bagaimana kalian mengatasinya, tapi apa pun yang kamu pilih untuk tenangkan hatimu dari tekanan-tekanan itu, aku bisa memahami. Kamu dan aku…layak mendapatkan seseorang yang bisa memahami apa yang kita hadapi.”
Melihat gayungnya bersambut, Karina tersenyum senang dan menyentuh genggaman tangan Bayu. Mereka saling tersenyum seperti menemukan kembali diri mereka yang telah lama hilang.
“Mas tahu red string theory, nggak?” Tiba-tiba Karina bertanya di tengah-tengah kehangatan senyum mereka.
Kening Bayu mengerut mencoba mengingat-ingat. “Pernah dengar. Itu mitologi Jepang, bukan?”
“Betul. Katanya, ada benang merah tak kasat mata yang menghubungkan orang-orang yang ditakdirkan untuk saling bertemu. Aku yakin saat ini kita sedang dihubungkan oleh red string theory itu. Dari pertama kita ketemu di gedung pesta ulang tahun, ke dua kalinya di rumah sakit, trus mendengar langsung mbak Kamila ngobrolin mas Bayu, sampai ketemu di kafe ini dan ternyata kita punya cerita yang sama.”
“Aku setuju. Aku juga merasa bukan hanya sekali dua kali kita dihubungkan. Aku yakin dulu sebelum kenal sebenarnya kita sudah sering bertemu di rumah sakit itu, atau di pertemuan-pertemuan keluarga di kantor. Mungkin puncak benang penghubung itu baru terjadi sekarang.”
“Setuju.”
Tanpa basa-basi dan ragu, Bayu memeluk Karina. Di tengah ramai orang berlalu lalang dengan kesibukan masing-masing, dua insan pendosa besar itu menutup cerita untuk hati mereka yang telah lama hampa, dengan pelukan mesra. Topik mereka selanjutnya pun diisi dengan pembicaraan dua manusia yang telah buta oleh dosa besar, yang besar sekali, hingga tutupi mata hati dan nurani.
Malam larut di parkiran kafe sebelum masuk ke mobil Grab yang di pesankan oleh Bayu, Karina kembali menghibur agar Bayu tidak larut dalam sedih. Bayu membalas dengan sebuah kecupan di kening Karina dan bisikan mesra, “You are mine now,” tepat di telinganya.
Gelegak gejolak membara kembali, dorong adrenalin Karina mengecup bibir Bayu. Saling bersahutanlah ciuman bibir itu akhirnya di balik pintu mobil yang masih terbuka, hingga berhenti oleh supir yang berdehem tak nyaman.
“I love you, Karina,” ucap Bayu sebelum menutup pintu mobil.
Pipinya merah dan senyum tak henti mengembang, Karina melambaikan tangan seiring mobil berjalan menghantarkannya pulang. Bayu berjalan mengikuti mobil itu dan berdiri di trotoar, menatap sampai mobil menghilang di kejauhan. Ia menarik nafas lega kemudian sebab telah temukan seseorang yang bisa memahami ceritanya.
***
Para Aktor Palsu
Oleh kenangan menyakitkan, sakit hati seorang wanita tidak akan lepas jika tidak puas dendam itu. Kadang jadi orang baik adalah pilihan tepat, guna pertahankan nama baik diri. Namun, bagi Kamila, telah lama dendam tak sembuh juga, sebab memang ia merasa tidak akan mampu jadi orang baik untuk semua orang. Termasuk, untuk suaminya sendiri. Disimpannya dendam itu baik-baik sambil kumpulkan kekuatan diri, termasuk sambil asah pisau dendam, agar sanggup tembus ulu hati si pemicu dendam.
Instingnya yang sangat kuat terasah oleh kesabaran tiada tara menyaksikan perbuatan tercela Bayu, buatnya semakin pandai memahami situasi. Kali ini insting itu berbunyi kencang, sekencang-kencangnya, kala dua manusia yang tidak asing duduk di sisi kiri dan kanan tempat tidurnya.
“Mbak Kamila yang sabar, ya, bentar lagi juga bisa pulang, kok. Ini demi kebaikan mbak juga. Kalau bosan, bisa panggil aku aja. Nanti kalau lagi nggak sibuk, aku bisa datang ke sini supaya kita bisa ngobrol-ngobrol.”
Hari ke lima Kamila dirawat, dokter yang biasa memeriksanya datang bersama dua orang perawat. Salah satu perawat itu adalah Karina yang datang sekaligus untuk menjenguk. Setelah dokter pergi, gelagat Bayu dan Karina menceritakan pertemuan mereka pagi sebelumnya di nurse station, sungguh buat hati Kamila berteriak-teriak, “Kalian pembohong dan pendosa besar!”
Seperti biasa, insting dan dendam itu, dibungkusnya lagi dengan senyum seorang istri polos dan lugu.
“Iya, makasih. Untung ada kamu yang kerja di sini. Aku bisa ngerepotin kamu aja dari pada nanya-nanya dokter terus. Malu aku ngerepotin beliau setiap hari.”
“Silahkan Mbak, dengan senang hati aku akan bantu yang bisa kubantu.”
“Thank you, Karina,” ucap Bayu.
“Sama-sama, Mas. Eh, pak Bayu maksud saya, maaf.”
“It’s ok. Panggil mas aja. Bayu orangnya santai, kok. Kita aja panggil nama, iya, kan, Mas?” Kamila mengalihkan pembicaraan pada Bayu, karena ia tidak tahan ingin mengumpati kualitas akting Karina, hingga mual sampai ke tenggorokan.
Bayu mengangguk sambil mengelus-elus kepala Kamila. Tak dinyana, ia bangkit tiba-tiba dan mencium kening Kamila. Tentu saja dua wanita yang ada di ruangan itu sama-sama terkejut, meski dengan alasan yang berbeda.
“Bay…malu, ih. Maaf ya Karina. Bayu emang suka iseng orangnya,” ditepisnya tubuh Bayu agar duduk kembali. Perutnya semakin mual, hendak keluarlah semua isi perutnya.
Karina tersenyum-senyum saja menahan gelegak cemburu di dalam dada. Ia pun buru-buru pamit keluar dengan alasan tidak ingin mengganggu quality time Bayu dan Kamila. Kepergian Karina seksama Bayu ikuti dengan matanya. Sampai tak sadar Kamila juga perhatikan bagaimana mata itu tidak lagi tutupi apa yang sedang terjadi.
“Bay, aku mau istirahat dulu. Kalau kamu mau pulang sekarang juga nggak apa-apa,” ucap Kamila sambil berpura-pura menguap. Padahal, sebenarnya ia sudah benar-benar tidak tahan lagi berada satu ruangan dengan Bayu. Melihat wajah itu, begitu memuakkan baginya.
Berbinarlah kembali sepasang mata Bayu. Tanpa basa-basi, Bayu segera keluar setelah mengucapkan selamat malam. Tak lama, Kamila bangkit dari tempat tidur ke kamar mandi. Di sana ia memaksa rasa mual keluar dari tenggorokan.
Darahnya begitu mendidih atas fakta yang tersaji di depan mata. Meski ia begitu jijik pada dua manusia itu, namun instingnya kali ini keras sekali berdentam-dentam, mengisyaratkan bahwa tidak lama lagi tuntaslah sudah dendam kesumat.
“Kalau bukan karena menutupi jejak-jejak buah cinta gue dengan Felipe, nggak sudi gue disentuh sama lo, bre****k!” teriaknya sambil menatap penuh dendam cermin kamar mandi.
Dibasuhnya dengan air berkali-kali kening bekas ciuman Bayu, hingga memerah digosok-gosok oleh tangan yang bergetar oleh rasa benci.
***
“Mas sengaja, kan?” Cemburu menguasai Karina saat ia menangis di pelukan Bayu, sebab telah hancur hatinya.
Pelukan erat Bayu semakin merapat kala pertanyaan itu muncul. Di dalam kamar kosong persis di samping kamar Kamila, mereka berpelukan erat. Tadinya Bayu tidak tahu kemana perginya Karina. Setelah memohon-mohon lewat panggilan WA, Karina pun memberitahukan keberadaannya di kamar kosong itu.
“Kenapa mas melakukannya?” Karina terisak. “Kenapa harus mencium Kamila di depan mataku?”
“Aku hanya ingin tahu seberapa dalam perasaanmu,” Bayu menjawab, wajahnya serius. “Aku meragukanmu setelah seharian tidak membalas pesan atau mengangkat teleponku. Kukira kamu hanya main-main saja, sementara aku serius denganmu.”
“Aku sibuk, Mas.” Karina berusaha tegar, namun air matanya tak terbendung. “Dan aku merasa bersalah pada Efron. Dia selalu setia. Aku ragu apakah berani untuk mengakhiri pernikahan….”
“Tapi kau juga punya hak untuk bahagia, Karina,” Bayu memotong, melepas pelukan dan menatapnya dalam-dalam. “Kamila pun berselingkuh. Kau mendengarnya langsung, kan? Tidak ada lagi yang bisa kupertahankan di pernikahan kami. Kau datang di saat yang tepat, Karina. Aku yakin, kehadiranku juga sudah tepat di hidupmu.”
Karina terdiam, ragu. “Aku…”
“Karina, aku mencintaimu. Aku ingin bersamamu. Beri aku kesempatan untuk membuktikannya,” Bayu mendesak, mengusap air mata di pipi Karina.
“Aku ragu,” Karina menghela napas, hatinya berat. “Aku tidak tahu apakah aku bisa meninggalkan Efron. Perjuangan kami memang sudah berhenti untuk mendapatkan anak, tapi tetap saja tidak mudah bagiku mengakhiri pernikahan kami, Mas.”
“Jika aku menceraikan Kamila, maukah kamu menceraikan Efron?” Bayu bertanya, harap menyala di matanya.
Karina terkejut. “Mas serius?”
“Ya, aku berjanji. Cinta dan kebahagiaan kita layak diperjuangkan. Kita sudah berjuang dan bersabar untuk mereka. Tidak ada salahnya kali ini mencari dan berjuang untuk kebahagiaan kita sendiri,” jawab Bayu tegas.
Akhirnya, setelah beberapa saat terdiam, Karina mengangguk. “Hanya setelah mas menceraikan Kamila, baru aku akan menceraikan Efron.”
“Aku berjanji secepatnya, atau kalau perlu setelah Kamila diperbolehkan pulang, aku akan langsung menceraikannya. Selain itu, setelah bersamamu, aku berjanji tidak akan ada lagi wanita-wanita lain selain kamu.”
Karina mengangguk lebih bahagia lagi. Ia pun menangis lega kala Bayu mengecup keningnya lama. Dengan janji itu mereka terlarut dalam perasaan, saling bermesraan di ruangan yang menyimpan rahasia gelap cinta terlarang. Kunci kamar yang sedari tadi digenggam oleh Karina, terlepas dan jatuh ke lantai, oleh dahsyat nafsu dosa yang tidak terbendung lagi.
Dinding-dinding kamarlah yang menyaksikan komitmen baru yang dibangun di atas kepedihan itu, dan bagaimana dua insan itu telah terlalu jauh menghianati masing-masing ikatan suci mereka sendiri.
***
Dendam, Bukan Tautan
Dua hari berikutnya, Kamila akhirnya diperbolehkan pulang oleh dokter. Ia mengemas barang-barangnya dengan bantuan Bayu, salah satu perawat dan tentu saja Karina juga. Kamila sengaja memberitahu Karina bahwa ia sudah bisa pulang. Itulah bagian dari rencananya untuk menjebak Karina dan Bayu. Pucuk dicinta ulam pun tiba, Karina memakan umpan dan datang dengan wajah sumringah, tergopoh-gopoh membantu kemas-kemas.
“Terima kasih sudah datang, Karina,” ucap Kamila tampak ramah lalu mengambil tas yang disodorkan Karina.
“Sama-sama. Senang bisa membantu mbak Kamila,” jawab Karina, mencoba tersenyum meski merasa tegang.
“Oh, iya, sebelum pulang, aku ingin memberikan ini.” Kamila menyodorkan sebuah amplop cokelat pada Bayu.
Melihat ekspresi terkejut Bayu setelelah melihat isi amplop itu, Kamila tersenyum puas. Perlahan, sambil menenangkan degup jatungnya, ia duduk di sofa tamu. Hari ini sungguh adalah hari yang sangat-sangat ia tunggu. Hari pembalasan dendam.
“Mbak Reni, bisa tolong duduk di sebelah sini?” pintanya pada perawat itu yang bernama Reni.
“Karina, kamu duduk di sini ya, dan Bayu tolong duduk di sebelah Karina. Aku mau selesaikan ini semua.”
Nada bicara Kamila yang tenang dan tegas, tak ayal buat Karina dan Bayu mengikuti ucapannya. Bayu menyerahkan isi amplop pada Karina begitu mereka duduk. Wajah terkejut Karina sama persis dengan wajah Bayu tadi. Ia lalu menoleh pada Rani, teman perawatnya, yang balas menatap sebentar lalu membuang muka.
“Jadi….” Kamila mulai membuka suara. “Tiga hari yang lalu, mbak Reni memergoki kalian keluar bersamaan dari kamar kosong, persis di sebelah kamar ini. Betul mbak Reni? Bisa tolong ceritakan dari sisi mbak Reni, agar dua orang yang tidak tahu malu ini menyadari kesalahan mereka.”
Reni terdiam menunduk sebentar, lalu ia mengangkat kepala menatap marah pada Karina dan berkata, “Betul. Tadinya saya pikir bu Kamila pindah ruangan atau sedang berencana pindah ruangan. Namun, saat saya menceritakan apa yang saya lihat dan bertanya, ibu Kamila menjawab tidak.”
“Lalu karena penasaran, saya dan Reni masuk ke kamar itu. Apa yang kita temukan, Reni?”
“Pengaman bekas pakai, Bu.”
“Saya langsung foto dan kalian pasti sudah melihat hasil jepretan kamera saya di dalam amplop itu, kan?”
“Mila….”
“Sebentar, Bay. Aku belum selesai. Sudah pasti aku ragu itu punya kamu atau tidak. Dan…tada….” Kamila mengeluarkan sebuah kertas dari dalam tasnya. “Hasil DNA pengaman itu sudah keluar tadi pagi. Mau tahu hasilnya? Ini sudah kuwarnai hasilnya agar lebih jelas terbaca,” diletakkannya kertas itu ke atas meja.
Bayu dan Karina terdiam setelah membaca kalimat yang sengaja distablio kuning. Karina menggigit bibirnya menahan tangis yang hampir tumpah. Ia kebingungan entah harus berbuat apa. Terbayang olehnya nama dan pekerjaannya akan hancur dalam sekejap.
Melihat mereka tidak bersuara, Kamila melanjutkan ucapannya, “Setelah itu, ternyata kalian lebih berani lagi berdua-duaan di rumah sakit ini, sampai cium-ciuman di parkiran mobil. Wooow…amazing.” Karina bertepuk tangan menyindir mereka berdua. “Kenapa saya tahu? Tadinya foto pengaman itu akan saya laporkan ke pihak managemen rumah sakit, dan tentu saja akan kuupload ke media sosial. Supaya kalian mendapatkan hukuman sanksi sosial yang pantas. Tapi, kepala perawat memohon-mohon pada saya untuk menyelesaikan ini secara kekeluargaan. Akhirnya saya setuju tapi dengan syarat, meminta mbak Reni untuk mengawasi kalian berdua, mengumpulkan bukti untuk saya ajukan sebagai bukti perceraian nanti. Begitulah kira-kira cerita singkatnya.”
“Mbak….”
“Oh, sebentar Karina. Masih ada lagi. Saya sudah mengirimkan foto-foto itu ke suamimu juga, dan dia sedang dalam perjalanan ke sini. Termasuk foto-foto kalian berdua berciuman di mobil di depan gapura perumahan tempat kamu dan Efron tinggal. Ahahahah…perselingkuhan kalian ini sungguh niat sekali. Terutama untukmu Bayu, ini perselingkuhanmu yang paling parah setelah berselingkuh dengan adikku.”
“Kami akan menikah, Mila.”
Semua orang yang ada di ruangan itu terkejut oleh ucapan Bayu. Karina menyentuh tangan Bayu, coba hentikan nekatnya.
“Oh, ya?”
“Tadinya setelah kamu pulang dari rumah sakit, aku yang akan mengajukan perceraian. Setelah itu akan menikah dengan Karina. Kamu kira kenapa aku berani melakukan apa yang ada di dalam foto itu secara terang-terangan?”
“Karena nafsu bejatmu?”
Bayu menatap tajam pada Kamila dan berkata penuh tekanan emosi, “Karena aku mencintai Karina, dan tidak ingin dia ragu. Kalau pun kami harus terkena sanksi sosial, aku siap melindungi Karina. Menunggumu memberikanku anak sampai 10 tahun saja aku siap. Semua perbuatanmu ini tidak akan menghalangiku menikahi Karina. Lagian, bukannya kamu juga berselingkuh dengan Felipe? Setelah kucari tahu, ternyata dia temannya Naura, sahabatmu,” sindirnya kemudian.
“Ahahahha….” Bukannya gentar, Kamila malah tertawa kencang sambil bertepuk tangan lagi. “Akhirnya sampailah kita di penghujung acara,” ucapnya tegas.
“Tidak usah banyak tingkah, Mila. Kau menuduhku selingkuh, tapi kau juga berselingkuh. Bukankah sudah impas?”
“Tidak! Tidak ada yang impas di pernikahan kita yang sudah hampir 10 tahun ini, Bay. Akan impas setelah dendamku terbalas. Kau ingat, tahun ke dua pernikahan kita?”
Bernada datar menantang Kamila, Bayu menjawab, “Waktu pertama kali kau tahu aku selingkuh?”
“Berselingkuh dengan adik kandungku sendiri, yang membuat hubunganku dengannya hancur sampai sekarang. Padahal sebelumnya, dia satu dari dua teman yang paling kupercaya di dunia ini. Bisa kau bayangkan bagaimana hancurnya aku? Tapi kau malah berasalan semua itu terjadi karena aku tidak bisa memberikanmu anak, hingga buatmu frustasi dan akhirnya berselingkuh. Kau bahkan dengan santainya mengakui telah berselingkuh beberapa kali sebelum itu.”
“Kau sudah meminta cerai waktu itu, tapi akhirnya membatalkannya sendiri. Jadi, sebenarnya apa salahku hingga kamu berbuat seperti ini, Kamila? Aku tidak ingin menceraikanmu karena masih ingin berharap. Terlebih lagi setelah kau keguguran tiga kali, aku selalu berada disampingmu. Menemanimu hampir 10 tahun tanpa mengeluh dan menyalahkanmu. Kenapa balasanmu seperti ini?”
“Tidak mengeluh tapi berselingkuh, begitu?”
“Sudahlah, Mila. Mbak Reni pasti sibuk harus kembali bekerja. Kita selesaikan ini di rumah saja.”
“Reni tidak sedang bekerja hari ini. Dia perwakilan dari managemen rumah sakit, jadi saksi untuk menentukan hukuman yang akan diterima Karina.”
“Mila, tolong jangan membawa-bawa Karina.”
“Harus! Karena ada satu hal lagi yang harus kamu tahu, terutama Karina.” Senyum mengejek Kamila layangkan pada Karina yang malah tertunduk tidak berani menatapnya. “Tentang Felipe, betul memang aku berselingkuh dengannya. Hubungan kami sudah hampir 8 tahun, dan tara…dua hari lalu, aku menerima lamarannya, di kamar ini, persis.” Kamila menunjukkan cincin yang tersemat di jari manis kirinya.
“Lalu kau mau apa lagi, Kamila?!” bentak Bayu.
“Aku mau kau menderita, Bay. Aku tidak ingin ketika aku bahagia, kau juga ikut bahagia dengan selingkuhanmu. Aku ingin satu-satunya bahagia, dan kamu harus menderita. Kamu harus tahu, bahwa tiga kali keguguran yang kualami ini, adalah buah cintaku dengan Felipe. Bukan dari darah dagingmu.”
Tersentaklah Bayu dan Karina. Mereka menatap Kamila tidak mengerti.
“Betul, bukan aku yang mandul, Bay."
"Pembohong...." Bayu bersandar ke sandaran sofa, menyilangkan kaki dan menggenggam erat tangan Karina. "Kau iri dengan hubungan kami, kan?" tanyanya berwajah mengejek Kamila.
"Untuk apa aku iri. Aku sudah punya Felipe. Masih ingat kita pernah berpisah dua bulan lamanya? Aku meminta waktu sendiri, lalu pergi ke Lombok bersama Naura. Di sanalah aku bertemu Felipe. Kami minum sampai mabuk, dan ya…kami melewati batas. Setelah itu aku merasa bersalah dan kembali padamu. Aku merasa bersalah karena masih mengira akulah yang mandul dan membuatmu berselingkuh. Aku merasa bersalah karena berselingkuh darimu yang sangat sabar menghadapi pertanyaan orang tua kita, sabar menenangkanku ketika test pack bergaris satu. Kau bahkan bilang akan menunggu dan tidak akan meninggalkanku meski pun harus melampiaskannya dengan wanita-wanita di luar sana. Aku merasa kecil sekali dan merasa tidak layak untuk siapa pun, maka aku kembali padamu.” Kamila menangis terisak.
“Tapi setelah aku kembali pun, kau tetap berselingkuh. Keberanianku muncul saat Felipe mengejarku ke Jakarta dua bulan kemudian, dan bersumpah menungguku menceraikanmu. Ia menerimaku apa adanya dan tidak menjadikan mandulku sebagai penghalang. Ia bahkan rela tidak punya anak saja asalkan ada aku di hidupnya. Itulah perbedaanmu dengan Felipe, Bay. Jadi untu kapa aku iri? Lalu setelah itu, sebelum menceraikanmu, aku ingin membalasmu dengan berselingkuh dengan Felipe. Supaya impas.” Kamila menyeka air mata dan hidungnya yang berair.
“Lalu apa maksudmu dengan keguguran itu, Mila? Tolong jangan berputar-putar. Aku tidak perduli lagi dengan si Felipemu itu. Silahkan jika kau ingin menikahinya. Aku dan Karina juga akan menikah. Kita impas.”
“Tidak! Kalian tidak akan menikah. Aku yakin. Masih ingat penyebab keguguranku yang pertama? Aku keguguran karena tidak menyangka sama sekali akan hamil. Kau sangat bahagia waktu itu karena kau bilang setidaknya kesabaranmu ada hasilnya. Sungguh egois. Aku saja heran kenapa aku hamil. Seingatku kita hanya melakukannya sekali saja bulan itu, dan berkali-kali kulakukan bersama Felipe. Instingku mengatakan aku harus menguji apakah benar janin itu darimu atau Felipe. Dan…” Kamila kembali mengambil beberapa kertas dari dalam tasnya dan meletakkan ke atas meja.
“Bisa kalian cek sendiri, dari keguguran yang pertama sampai yang terakhir ini, semua itu milik siapa.” Kamila bangkit dari sofa, sementara Bayu dan Karina lekat memeriksa dokumen hasil pengujian DNA.
Senyu Kamila menyeringai puas kala melihat Karina menutup mulutnya sendiri tidak percaya atas hasil pengujian itu, dan Bayu yang menatap lemah tidak berdaya.
“Oh, iya, paling terakhir. Aku heran kenapa kau tidak pernah curiga dengan keadaanmu sendiri. Maksudku, kau berselingkuh dengan banyak wanita, dan tidak ada satu pun dari mereka yang hamil. Selain itu, aku sengaja tidak mau kita mencari alternatif lain dan konsultasi ke dokter kandungan, untuk membuatmu terus di atas awan, Bay. Aku konsultasi sendiri dan mencari pengobatan karena kandunganku lemah akibat keguguranku yang pertama. Sungguh kunikmati sekali selama 8 tahun ini melihatmu di atas awan, bebas berselingkuh ke sana-ke mari, sampai hari di mana kau akan menemukan penggantiku. Maka, hari ini aku tegaskan untuk calon istrimu tercinta ini. Karina, calon suamimu ini selain pintar berselingkuh, juga mandul dan tidak akan bisa punya anak sama sekali. Selamat menikmati hasil dari karma buruk kalian berdua.” Kamila melemparkan cincin pernikahannya dengan Bayu ke lantai, dan melenggang pergi dengan santai.
Sementara Bayu mengusap-usap wajahnya cemas, Karina menangis bersujud memegangi kaki Reni yang bangkit berdiri hendak pergi. Ia memohon-mohon agar Reni mau membelanya di depan managemen nanti.
Tak lama kemudian, pintu kamar terbuka kembali. Efron dengan wajah memerah, mata sembab dan nafas tersenggal-senggal berdiri di sana. Di belakangnya ibu dan ayah Efron mendorong pintu agar terbuka lebih lebar. Karina bangkit ketakutan melihat Efron mendekat dengan wajah beringas.
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun Efron melemparkan amplop bertuliskan Pengadilan Agama ke wajah Karina. Ia kembali pergi keluar dengan air mata mengalir deras, meninggalkan Karina yang menangis histeris di dalam pelukan Bayu.
***