Duduk. Diam. Menggerakkan tangan. Mengambil cangkir. Meminum kopi. Taruh. Dan diam.
Ada delapan orang termasuk diriku di sini, namun kami tidak saling bertukar suara. Setidaknya, untuk sekarang ini.
Tidak semua dari kami memiliki waktu senggang yang dapat digunakan untuk menyenangkan diri atau sekedar berdiam diri. Itulah kenapa, kebanyakan dari kami lebih memilih memantau layar di hadapan diri masing-masing dan menggesernya berkali-kali. Yah, itulah bagian dari pekerjaan.
Karena—seperti kataku tadi—aku tidak memiliki pekerjaan sekarang, aku memutuskan untuk sedikit meliterasi diriku dengan berita-berita kecil dari koran.
Kurogoh saku dalam jasku. Mengambil secarik kertas kecil yang cuma selebar telapak tangan. Di salah satu sisinya terdapat segel kertas perak, itu digunakan untuk menjaga kertas ini tetap terlipat. Koran di sini memang agak aneh.
Kusobek segel itu, kemudian membuka lipatannya. Kubuka lagi. Kubuka lagi. Lagi. Lagi. Sekali lagi. Lalu sekali lagi. Dan lalu sekali lagi. Dan sekarang ukurannya sudah seperti koran biasa. Dengan satu kibasan di udara sebagai gerakan penutup, bekas lipatan di kertas pun hilang tanpa bekas.
Yah, zaman sekarang tidak terlalu banyak yang membaca koran, jadi berita yang dimuat di dalammnya tidak terlalu banyak. Satu halaman saja sudah cukup.
“Jadi, apa headline kita hari ini .... Indonesia ... Indonesia ... Sudah kuduga negara ini memiliki perkembangan paling cepat ....”
Oh iya, aku tadi sempat menyebut kata literasi ya. Jika orang-orang mendengar kata literasi, kira-kira apa yang akan terlintas di dalam pikiran mereka ya? Terkadang, pertanyaan seperti itu muncul dalam benakku.
“Apa ini? ‘Ustad meminta maaf atas pernyataannya mengenai pemerintah legalkan zina’? Hmm, baiklah, ini menarik ....”
Mungkin bagi kebanyakan orang, literasi itu lebih menjurus kepada kegiatan yang seperti membaca buku, atau hal-hal yang berhubungan dengan karya sastra dan kebahasaan.
Yah, itu bukanlah sebuah definisi yang salah. Memang pada dasarnya literasi itu berhubungan dengan kebahasaan. Terutama membaca dan menulis.
Meski begitu, aku memiliki definisiku sendiri mengenai literasi. Literasi adalah istilah yang merujuk pada kemampuan dalam membaca, menulis, berbicara, menghitung dan memecahkan masalah pada tingkat tertentu. Sebagai informasi, definisi itu bisa ditemukan di Wikipedia. Silahkan dicek.
Dalam bahasa Latin, literasi disebut literatus, yang mana memiliki arti orang yang belajar. Dari satu kata itu saja, kita seharusnya sudah bisa mendapatkan sebuah definisi luas. Literasi—bagiku—adalah apa saja yang dilakukan manusia untuk belajar menjadi lebih baik. Tapi, yah, pada faktanya memang tidak semua juga sih.
Literasi merupakan hal yang tanpa disadari, merupakan bagian dari hidup manusia. Melalui berbagai zaman, bentuk literasi pun berubah-ubah. Jika di zaman dahulu literasi itu adalah membaca buku-buku tebal yang berisi ilmu yang bahkan tidak bisa setiap orang membacanya.
Tapi sekarang, informasi adalah sesuatu yang dapat diakses tiap waktu. Layaknya sungai, arusnya begitu besar sehingga dapat diambil oleh banyak orang. Akan tetapi, arus itu juga bisa membawa orang hanyut ke dalamnya jika tidak berhati-hati.
Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi mendorong berbagai aspek kehidupan manusia ke dalam sebuah dunia baru. Yang tak berwujud namun ada, yang tak terlihat namun luar biasa. Dan untuk sekarang, hampir semua orang memiliki kunci dan gerbang masuk ke dunia itu di kantong mereka.
Dunia maya itu mulai menggeser gaya literasi manusia, membuat mereka meninggalkan berbagai macam perangkat pendukung semacam buku atau teks-teks tertulis lainnya. Hal itu menimbulkan masalah menurunnya minat baca buku di dalam masyarakat.
Yah, itu bukanlah hal baru. Dan di negara mana pun belakangan ini gencar mengembalikan minat baca di dalam masyarakat bangsanya. Contohnya di Indonesia—yang mana merupakan negara yang paling sering muncul di headline koran di sini, pemerintahnya menggalakkan kegiatan literasi di sekolah sebelum memulai pelajaran. Tak hanya itu, perpustakaan pun mulai dirombak ulang sedemikian rupa demi menyesuaikan minat serta kenyamanan masyarakat modernnya. Dan jelas, banyak lagi selain hal itu.
Sebuah usaha yang begitu bagus, meski pada saat bersamaan juga membenarkan bahwa minat baca masyarakat Indonesia tergolong rendah. Tentu saja, mengakui sesuatu yang salah bukanlah hal yang buruk, apalagi jika memang ada niatan untuk membenarkannya.
Namun sekarang, muncullah masalah lain. Sisa-sisa dari rendahnya kemampuan literasi di Indonesia masih belum bisa dihilangkan sepenuhnya. Bila dikatakan secara gamblang, kebanyakan masyarakat Indonesia masih terlalu dini untuk mengarungi arus informasi cepat di zaman globalisasi ini.
Mungkin beberapa masalah itu terlihat sepele. Namun dari masalah itulah dapat diketahui bahwa kepekaan literasi di negara ini masih belum bertambah secara signifikan.
Contoh paling sepele, ada seseorang yang memposting sebuah review film atau anime beserta posternya di media social. Kemudian, ada orang yang dengan santainya langsung mengisi di kolom komentar, “Judul? Whut anime?” dan semacamnya.
Ayolah, beruntunglah kalian manusia yang memiliki mata untuk membaca. Bisa-bisanya kalian bertanya sesuatu yang sudah ada jawabannya. Apa kalian bodoh?
Atau, contoh kasus lain, dimana sebuah aplikasi yang berasal dari negara tetangga, Polandia, dijatuhkan habis-habisan dengan rating jelek dari netizen Indonesia. Alasannya, hanya kesalahpahaman masyarakat yang mengunduh aplikasi itu.
Kebanyakan dari mereka mengira bahwa aplikasi tersebut merupakan bagian dari salah satu perusahaan berbasis aplikasi asal Indonesia yang kebetulan memiliki kesamaan nama. Dan alasan masyarakat memberikan rating buruk adalah, karena bahasanya.
Jelas saja, bukalah mata kalian wahai manusia. Jika kalian membaca ulasan dan melihat screenshot sebelum mengunduh aplikasi itu, kalian tentu akan tahu kalau itu tidak diperuntukan untuk orang Indonesia, melainkan untuk orang Polandia. Sebuah bukti lemahnya literasi yang membuat malu bangsa ini.
Untungnya, tidak terjadi masalah besar mengenai kasus itu. Beberapa masyarakat Indonesia yang sadar pun memohon maaf atas kebodohan saudara-saudarinya.
Tidak hanya berhenti sampai di situ, lemahnya literasi di era globalisasi juga masih terlihat dari banyaknya hoax atau berita bohong yang menyebar di media. Ini merupakan sesuatu yang sangat buruk, karena selain menunjukkan lemahnya tingkat literasi masyarakat, juga dapat membuat masyarakat kebingungan, yang mana itu merupakan masalah yang sangat besar.
Salah satu hoax yang masih segar akhir-akhir ini adalah berita utama di koran yang sedang kubaca. Seorang ustad, atau pemuka agama, atau sekarang lebih sering disebut ulama. Sosok seperti itu memiliki pengaruh yang cukup besar dalam masyarakat negara Indonesia yang terikat kuat dengan unsur keagamaan. Maka dari itu setiap perkataan yang keluar dari ustad, tokoh agama atau ulama, dapat menggerakkan umat yang mengikutinya.
Yang menjadi sumber masalah adalah sebuah peraturan yang tengah digarap pemerintah, yang berkaitan dengan perlindungan wanita dan semacamnya. Entah karena kurang cermat membaca atau daya tafsirnya kurang, hal ini pun terjadi. Mulut pemuka agama itu berucap lebih cepat daripada pikirannya yang harusnya mengedepankan logika.
Mirisnya, tak sedikit orang-orang yang mengiyakan sesuai perkataan pemuka agama tersebut. Tanpa melihat inti topik yang harus dikritisasi, mereka mengikuti perkataan panutan mereka dan ikut menyebarkannya.
Namun, ketika satu persatu hal mulai terungkap, ketika beberapa pengikut di tangkap, sang pemuka pun bisa dengan mudah meminta maaf di media. Sama halnya dengan cara ia menyebarluaskan salah tangkapnya. Sudah begini, mungkin penjara yang menunggunya.
Ini merupakan salah satu contoh dan hasil lain dari bobroknya literasi, kemampuan menangkap, mengolah informasi dan menyelesaikan masalah yang ada. Yang membuat semua lebih berat adalah, jejak digital di dunia maya itu serasa kekal. Nyaris tiada kata lupa ketika semua sudah ada di dunia maya.
Sama halnya dengan satu kasus yang masih menyangkut seorang tokoh agama. Tapi kali ini, ia memiliki massa yang lebih besar, dimana mereka siap mendengarkan dan melaksanakan perintah sang panutan layaknya tentara mendapat perintah atasannya. Yah, meski sekarang ia sedang berada di luar negeri.
Ia terkenal akan pidatonya yang berapi-api. Hei, tunggu, sebuah penghinaan jika aku menyebutnya pidato. Ia adalah tokoh agama, maka yang ia lakukan bukan sekedar pidato, namun dakwah. Dakwah luar biasa yang didengar oleh ratusan ribu bahkan jutaan orang. Jelas, ia juga terkenal di dunia maya sebab itu.
Dakwah merupakan kegiatan yang baik dalam keagamaan. Mengajak, menyebarluaskan. Semua penganut dapat saja melakukannya, hanya saja dengan kadar yang berbeda-beda.
Tetap saja, meski dengan niat baik menyampaikan kebenaran, harus dibarengi dengan cara yang baik pula. Namun, sedikit berbeda dengan tokoh agama yang kubicarakan saat ini.
Agama mengajarkan kedamaian, cinta kasih sayang sesama makhluk, keberanian, kesopanan, kebenaran, dan segala macam hal lain yang mendefinisikan kebaikan di dunia. Tentu, dengan cara yang baik juga.
Tapi dengan badword dan hinaan kepada orang lain? Mari kita pikir kembali sejenak. Tuhan tidak pernah mengajarkan untuk menghina, bahkan sekedar mengejek orang lain. Entah siapa pun orang itu, patut kita hargai.
Dengan hinaan, hanya akan membuat kebenaran yang kita sampaikan terasa pahit. Aku bertanya-tanya apakah tokoh agama itu—dan yang lainnya, yang akhir-akhir ini makin sering bermunculan—pernah memikirkan hal itu.
Agama tidak untuk menghina. Untuk satu hal itu saja, aku sangat percaya. Maka dari itu, aku berpikir, mungkin salah satu tokoh agama ini kekurangan literasi akan agama yang ia anut juga dirinya sendiri.
Sebuah keluputan kecil, yang bila dibandingkan dengan kejahatan di dunia tidak ada apa-apanya. Tapi tetap saja fatal.
“Maaf aku terlambat.” ucap satu orang yang datang tiba-tiba. Ia berjalan cepat lalu langsung duduk di belakang mejanya. Aku pun melipat kembali koranku menjadi kecil dan menyimpannya di saku.
“Bukan masalah, lagipula kita tidak terikat dengan konsep waktu.”
“Baiklah. Mari kita mulai laporannya.”
Di saat seru-serunya, sesi pelaporan harus dimulai. Ya ampun. Sungguh timing yang tepat. Baiklah, ya sudah.
Layar di depan kami pun tenggelam, menyatu dengan permukaan meja yang berpendar. Kemudian, lantai di bawah pijakan kami menampilkan gambaran sebuah benda besar berwarna biru, hijau dan putih yang berada di antara jutaan bintang. Bumi.
Sembari memandangi dunia di bawah itu, aku mencoba memikirkan bobroknya literasi di negara bernama Indonesia—yang kebetulan daerahnya terlihat tepat di bawahku.
“Amerika Utara, lancar. Amerika Selatan, lancar.”
Oh, sudah dimulai.
“Afrika, seperti biasa.”
“Eropa, lancar.”
Satu persatu mulai memberikan laporan singkat.
“Australia, lancar.”
“Rusia, lancar. Asia Tengah dan Barat, lancar.”
Sisa-sisa dari lemahnya literasi di tahun-tahun belakang. Kurangnya minat yang mengakar kepada moral orang-orang Indonesia sendiri. Ditambah dengan perkembangan teknologi yang mendorong modernitas, seiring juga mendongkrak ego yang berkepanjangan di dalam masyarakat. Mencari sebab lemahnya literasi di negara itu, mungkin lebih mudah daripada mencari pulpen yang hilang di kelas.
Oh iya, kebetulan, sekarang sedang tahun politik ya di sana. Sungguh situasi yang sempurna untuk melepaskan akal. Digantikan dengan hasrat sehingga pemikiran logis disimpan rapat-rapat. Literasi yang coba dibangkitkan pemerintah, malah coba dimatikan lagi. Lucunya Indonesia.
Itulah mengapa, aku mencalonkan diriku menjadi pengawas daerah itu dan sekitarnya ....
“Asia Timur dan Tenggara, terlalu lancar sampai aku bisa meminum kopi terus-menerus di ruangan ini sambil baca koran.”
“Hhh, kau selalu saja berbicara dengan panjang ya saat laporan.”
“Yah, aku hanya mencoba sedikit lebih detail.”
Tapi dengan bukti itu—dengan buruknya literasi di negara itu, berarti rencana yang kami jalankan membuahkan hasil. Berikutnya, tinggal bagaimana melihat para manusia menyelesaikan masalah yang mereka buat sendiri.
Seharusnya, mereka ingat. Salah satu tanda bahwa zaman akan berakhir adalah, ilmu yang dicabut dari bumi, dan kebodohan yang kembali merajalela.
Kami semua yang berada di sini, tengah menjalankan sebuah tes dan pengamatan terhadap manusia di dunia sesuai tanda akhir zaman di atas. Dengan segenap usaha, kami mencabut ilmu di dunia dengan berbagai cara, dan menanamkan sedikit demi sedikit kebodohan dengan cara sehalus mungkin demi mengamati dan menyeleksi untuk nantinya.
Syukurlah, daerah yang kuawasi memiliki jumlah penduduk yang cukup banyak. Yang mana notabene semakin banyak masalah yang terjadi, dan cukup mudah untuk menjalankan rencana ini. Seperti kataku tadi, aku tinggal minum kopi dan baca koran setelah menggerakkan dua atau tiga agen di dunia sana.
Ini bukanlah sebuah kejahatan, ini bukanlah sebuah serangan, atau niat penghancuran. Namun ini adalah kehendak Tuhan. Tuhan yang mencipta dunia, melindunginya, dan sekaligus juga akan menghancurkannnya.
Sementara itu, kami, para makhluk yang paling kerap bergerak untuk mengawasi, hanya menjalankan perintah-Nya. Sebuah sistem hierarki simpel yang sampai dunia manusia pun diketahui.
Kami tidak akan mengatakan diri kami di atas manusia. Yah, Tuhan tak akan mengijinkannya. Namun, memang beginilah tugas kami. Kalau memang harus sedikit mengganggu manusia, bisa apa lagi? Tidak ada.
“Kalau begitu, pada sesi laporan kali ini, Rencana Cabut dan Tanam dinyatakan lancar tanpa gangguan.”
Tuhan adalah satu. Apa pun agama yang ada dan dianut manusia, Tuhan adalah satu. Yang Maha Kuasa dan Maha Segala.
Tuhan yang menciptakan manusia, juga adalah Tuhan yang menciptakan kami. Hanya saja, tidak seperti manusia yang diberi kebebasan di dunia, kami memiliki kewajiban untuk selalu memasang telinga atas perintah-Nya.
Kami adalah Panitia Pengamat dan Pelaksana. Kumpulan makhluk yang menatap ke bawah tanpa merendahkan, dan menyembunyikan diri meski pun ada di dunia ini. Itulah kami. Mendengarkan ucapan Tuhan, bergerak sesuai kehendak-Nya.
Mungkin keberadaan kami masih merupakan hal yang terlalu bodoh untuk jadi kenyataan bagi dunia sekarang, tapi kalau memang benar ada mau bagaimana? Tidak ada.
Hmm, terserah lah.
Karena sesi laporan singkat sudah selesai, lebih baik aku meliterasi diri sendiri dengan berbagai laporan agen di bawah yang termuat di koranku tadi. Mungkin aku tidak bisa seperti manusia di bawah sana, namun tetap, aku tidak ingin menjadi seperti mereka.
***