Darah mudaku kini kembali. Jatuh cinta di waktu yang salah, sangat salah. Mungkin tidak berlebihan jika kusebut ini puber kedua? Ya, mungkin seperti itu.
Jika dideskripsikan, mungkin rasanya seperti ribuan kupu-kupu beterbangan di perutku. Rasanya menggelitik. Hari-hari dipenuhi perasaan berkecamuk, bergemuruh entah karena apa. Darah seakan mendidih entah karena pesan singkat darinya, maupun radarku menemukan sinyal keberadaannya. Jantung yang berdegup lebih kencang dari biasanya, salah tingkah ketika di dekatnya, senyum sendiri seperti orang gila, dan untuk pertama kalinya aku bersyukur terlahir dengan kulit sawo matang. Jika tidak, mungkin wajahku terus bersemu merah, seperti ingin meledak saat itu juga.
Kami dipertemukan di saat hati dan raga kami telah berpemilik. Setiap hari rasanya seperti penjahat saja. Kejahatan yang tak punya malu.
Begitu jahatnya ilusimu wahai cinta. Tak kutemui diriku seperti biasanya, tersesat dan terseret dalam lingkaran kenyamanan yang seharusnya bukan untukku, bukan untuk kami berdua.
Kenapa bisa jadi seperti ini? Bagaimana awalnya? Dimana letak salahnya? Dan apa yang akan terjadi setelahnya? Mungkin harusnya tidak begini, harusnya tak kubalas pesan dan perasaannya.
Perasaan? Entah harus kupercaya atau tidak. Dia terlalu lihai dalam masalah ini, mungkin akan kusebut dia "pemain". Ini bukan pertama kali untuknya. Entah sekian banyak yang ia pikat, dan aku salah satu orang yang ia buat takluk akan pesonanya.
Pesona lelaki dewasa memang sangat menggoda iman. Kukira ini hanya terjadi dalam dunia novel yg sering kubaca, namun menjadi nyata. Jika ini mimpi, tolong bangunkan aku.
Kata sayang dan cinta darinya, kutau itu palsu dan hanya bunga untuk telingaku. Tak mungkin dia mencintaiku secepat itu. Itu hanya trik murahan lelaki yang berusaha memenangkan keinginannya. Tapi entah walau tahu akan hal itu, aku terus menipu diri.
Salah jika dilanjutkan, sayang jika dihentikan. Rasa bersalah menggerogotiku bagai penyakit mengerikan.
Tapi, panggilan "sayang..." kembali membuatku luluh melemah. Salah hatiku terlalu mudah silau terpukau akan rasa fana ini.
Cinta tumbuh dan bermekaran, entah kapan ini berakhir, kuharap jika hari itu datang hatiku benar-benar siap.
Aku tak ingin terlalu mencintainya, tak kugantungkan hatiku sepenuhnya, karena hakikatnya hatiku dan hatinya telah berpemilik.
Dia terus menggodaku, menggoda untuk meninggalkan prinsipku. Hati ingin mengikuti, lantas apa yang kusisakan untuk pasanganku jika semua kuberikan untuknya?
Mungkin akan beda ceritanya jika saat kami dipertemukan, aku tak memiliki ikatan seperti sekarang. Namun aku harus kehilangan apa lagi jika terus bersamanya?
Dasar monster licik, untung kau tipeku. Jika tidak, tak akan kuberi kau jalan sedikitpun. Untuk apa aku membiarkan diriku terjebak dalam labirin tak berujung? Membuatku terperangkap dalam pusaran dosa yang indah jika bukan karena aku terpikat?
Kau membuatku nelangsa. Menginginkan perhatianku, padahal ada seseorang yang punya kewajiban akan hal itu. Bukan tak mau, hanya saja aku tak mau mengerjakan tugas orang lain.
Menginginkan "kenakalan"ku, apakah kau melihat aku hanya sebagai pelampiasan nafsumu? Yaaa, salahku menyukaimu, karena dimatamu aku tak lebih dari itu. Tapi tak ada maaf untukmu, karena kamu tidak pernah salah di garis pandangku.
2 hari sudah, kini kau tak terjangkau radarku. Aku siaga menatap layar gawai, siapa tau ada kabar darimu.
Kau mengabariku, mencuri-curi waktu lelap kasihmu. Bolehkah aku besar kepala? Sekali lagi kau membuatku takluk.
Ada rindu untukmu, tapi aku harus bersabar 2 fajar lagi untuk menatapmu. Bahagiaku mungkin masih dipersiapkan, itu sebabnya Tuhan menunda kita dipertemukan saat ini.
Sebuah tanya kembali mengusikku, "aku orang yang ke berapa? Apakah saat ini aku hanya salah satu dari sekian banyak? Yang nampak saja seperti itu, apalah dayaku aku bukan Tuhan yang bisa melihat yang tak tampak. Yaa, sekedar menipu diri, yakinku pasti otomatis mengikuti.
Menjalaninya membuatku dewasa, harus merelakan bahagianya, harus tabah akan prioritasnya. Karena seindah apapun anganku dengannya, ini hanya permainan takdir. Perlahan aku menganggap semua hal biasa, aku tak mau terus memanjakan perasaanku. Bisalah belajar dewasa..
Selama itu demi bahagiamu yang tak bisa kupenuhi, aku tak apa, silahkan saja. Aku tak membatasimu, dan ketika kau membutuhkanku, aku selalu ada. Biarkan semua ini menjadi permainanmu.
Semakan malam, rindu semakin berkecamuk. Lukisan di dinding kamarku seakan menertawaiku. Tapi apa dayaku? Tugasku hanya menunggumu. Menunggu giliranku.
Meski sesak di dada dan berulang kali memar, aku telah berdamai dengan riuhnya hatimu. Tanpa banyak perdebatan batin ketika hari-harimu diambil alih oleh manja-manja jelita lainnya. Bukan tidak boleh, hanya saja aku tak mau membebanimu dengan besarnya cemburuku. Aku banyak memahami tanpa tapi, dan dini hari ini aku telah berjanji dengan segala pecahan hati, bahwa tangis, rengekan, dan keluhan yang sering ku lontarkan hanya karena kebersamaanmu dengan yang lain tak akan kau temui lagi. Walau sembilu kian merusakku, aku akan tetap memandangmu kagum pada sudut kuberdiri.
Aku tak berharap memilikimu utuh, hanya saja, bolehkan kau hapus darah bening yang menetes di pelupuk mataku? Di pertemuan dua bulu bola mataku?
Ah, aku melupakan kekasihku. Ya, dia yang akhir-akhir ini sibuk memandang punggungku, sedang aku sedang sibuk menatap punggungmu yang juga sedang menatap senyum menawan yang lain.
Dia sibuk mencari perhatianku, sedah aku sibuk mencari perhatianmu. Dia merengek meminta hatiku, sedang aku demikian kepadamu.
Ah, biarkan Tuhan menghukumku. Tapi, bukankah rasa ini juga pemberiannya? Bukankah ini permainan takdirnya? Jika ini salah, harusnya rasa ini tak boleh Ia ciptakan. Jika sudah terlanjur, kuharap Ia cabut dengan paksa, walau harus amnesia, maupun mati rasa. Agar tak ada lagi yang ikut menderita karena perasaan kami berdua.
Sayang, sayangku untuknya telah menancap terlalu dalam. Tak ingin kuakhiri begitu saja, sebab manis bibirnya masih menjadi candu yang tak memiliki penawar. Membuatku mabuk, seperti wanita gila. Rasa yang tak pernah kutemui sebelumnya. Terlalu indah dan kepayang. Tak ada rasa nikotin, hanya wangi mint, dan mungkin sedikit wangi vanila? Ya, aku selalu menyukainya. Terlebih tatap teduh dengan sebintik gelap di kelopak mata kirinya, hangat nyaris membuatku terbakar.
Terlalu banyak iblis membisikiku, merayu khianat nuraniku untuk jatuh lebih dalam lagi. Riuh hati tak menentu menjamu pesonamu, masing-masing bagiannya berebut memasung bayangmu di relung tergelapnya.
Semacam inikah cinta yang salah? Kutemukan ketakutan-ketakutan pada setiap dentang waktunya. Takut akan kehilangan keduanya, tapi tak ingin kehilangan salah satunya. Serakah? Mungkin iya. Tak bisakah kumiliki keduanya? Ahh, andai aku Drupadi, ingin kumiliki Yudhistira dan Arjunaku.
Kuharap kekalutan ini segera berakhir tanpa mengakhiri rasa untuknya dan untuknya. Terimakasih untuk pengalaman yang menyesatkan ini.