Disukai
0
Dilihat
8
Tentang Dia yang Tak Memiliki Bayang-bayang
Slice of Life
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Waktu aku berjalan ke barat di waktu pagi, matahari mengikutiku di belakang.

Aku berjalan mengikuti bayang-bayangku sendiri, yang memanjang di depan.

Aku dan matahari tidak bertengkar, tentang siapa di antara kami, yang telah menciptakan bayang-bayang.

Aku dan bayang-bayang tidak bertengkar, tentang siapa diantara kami, yang harus berjalan di depan.

(Puisi Sapardi Djoko Damono: Berjalan Ke Barat Di Waktu Pagi Hari)

"Sepertinya kamu suka sekali lagu itu?"

Suaranya serak dan pelan, mengalir seperti embus angin, menyusup di antara nada-nada yang sedang kumainkan, dan pada akhirnya menembus ke ruang pendengaranku. Membuatku menghentikan sejenak jari jemariku yang sedang menari di antara dawai gitar.

"Mengapa kau menyangka begitu?" Aku balas bertanya. Menatapnya yang duduk di sudut ruang, tak jauh dariku.

Perlahan kumainkan kembali petikan gitarku yang tadi terhenti.

"Sebab kuperhatikan, kau selalu saja memainkan lagu itu dari waktu ke waktu. Jadi kusimpulkan, kau sangat menyukainya," katanya. Masih dengan suaranya yang khas. 

Aku diam. Tidak segera menjawab pertanyaannya. Hanya jari jemariku saja yang terus bergerak lincah di antara senar gitar. Sementara mataku mengamati gerak samar bibir pucatnya saat dia bicara.

Jika kupikir-pikir, benar juga katanya. Lagu ini, salah satu musikalisasi puisi Sapardi Djoko Damono, yang memang sering sekali kumainkan saat mengisi waktu luang. Alasannya sederhana. Aku suka liriknya yang menurutku sarat makna. Begitu menggelitik di hatiku, dan memberi pesan mendalam.

"Ya, kamu mungkin benar. Aku memang suka lagu ini," kataku akhirnya. Kuhentikan lagi petikan gitarku. "Walaupun sebenarnya, aku menyukai banyak musikalisasi puisi yang lain juga, tetapi yah, memang yang satu ini rasanya sangat mengena di hati."

Aku mengelus perlahan gitar tua kesayanganku saat mengucapkan kalimat terakhir. Lalu kembali memetik senarnya perlahan, mengulang kembali intro lagu yang tadi kumainkan.

Sesekali mataku melirik ke arah dia yang masih bergeming di sudut sana. Wajahnya setengah menunduk, tetapi mata suramnya menatap tepat ke arahku. Tajam. Kulihat tatap mata itu mengikuti setiap gerak jemariku saat memainkan dawai gitar.

Suara lolongan anjing terdengar di kejauhan. Ditingkahi dentang jam tua yang berbunyi dua kali. Suaranya yang bergema, terdengar berasal dari salah satu ruang di rumah ini. Setelah itu kembali diam. Hanya suara denting gitarku yang dominan terdengar.

Angin malam berkesiur di luar. Menggerakkan pucuk-pucuk bambu kuning. Membuatnya bergesekan dengan daun-daun pohon trembesi yang tumbuh di dekatnya. Mencipta desir yang tak berkesudahan, bagai satu simfoni yang mendayu dalam syaraf pendengaranku. Mengiringi alunan intro laguku hingga aku menyudahinya.

Angin malam juga mengembuskan hawa dingin yang menggigit tulang. Mengantarkan kebekuan melalui celah-celah lebar ventilasi kamarku yang tinggi. Namun, aku dan dia sama-sama tak memedulikannya. Kini kami tenggelam di kedalaman pikiran kami masing-masing.

"Coba kau nyanyikan sekali lagi lagu itu."

Suaranya yang bagai bisikan dari kejauhan itu tiba-tiba memecah kesunyian yang sempat tercipta. Tatap matanya seperti memintaku dengan penuh kesungguhan. Aku balas menatapnya. Dia mengangguk.

Maka kembali kuulangi lagi petikan gitar ini entah untuk yang ke berapa kali. Lalu mulai menyanyikan lagu yang ia minta. Kupejamkan mata meresapi setiap kata yang terlantun, juga setiap denting dawai yang bergetar ketika kupetik.

Waktu aku berjalan ke barat di waktu pagi matahari mengikutiku di belakang.

Aku berjalan mengikuti bayang-bayangku sendiri yang memanjang di depan.

Aku dan matahari tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang telah menciptakan bayang-bayang.

Aku dan bayang-bayang tidak bertengkar tentang siapa diantara kami yang harus berjalan di depan.

*** *** ***

Di akhir lagu kudapati ia tergugu. Air mata mengalir deras di pipi pucatnya. Sementara matanya, yang kini memerah, terus mengawasi jemariku yang baru saja berhenti memetik nada-nada. Aku heran bukan main. Sebab yang kumainkan bukanlah lagu tentang kesedihan.

"Kau kenapa?" tanyaku. Dia diam. "Apa kau sedih karena lagu yang kumainkan barusan? Hmmm... Seharusnya kau tidak usah memintaku memainkannya," kataku lagi.

Dia menatapku lekat. 

"Tidak. Tidak apa-apa. Aku hanya, ah, sepertinya aku mulai menyukai lagu itu setelah kau begitu sering memainkannya," bisiknya.

"Hei, jika kau suka, lalu mengapa kau menangis?"

"Menangis bukan tanda bahwa aku tidak suka, Giri. Aku ... Aku hanya menghayati liriknya."

Air mata kembali luruh di pipinya. Berkilauan ditimpa temaram cahaya lampu di luar yang menerobos dari sela-sela tirai jendela.

Menghayati liriknya? 

"Tentu saja, Giri." Seperti tahu apa yang ada dalam pikiranku, ia menyahut. "Bagiku, lirik puisi dalam lagu itu seperti menyindirku. Seperti menyuruhku untuk tidak bersikap egois. Seperti memintaku untuk tidak bersikeras menonjolkan diri agar dapat diakui dan dianggap oleh orang lain. Untuk tidak memaksakan diri berdiri di depan agar dikenal."

"Hmmm... Lalu?"

Dia masih terpekur di sana. Di sudut kamar di bawah pendar cahaya suram di kamar ini. Tatapan kosongnya singgah di mataku sebelum dia cepat-cepat memalingkan wajahnya ke arah lain.

"Giri, andai saja. Andai pemahaman seperti itu kudapat dulu, dulu sekali, saat aku belum kehilangan bayang-bayangku, saat aku belum kehilangan detak jantung juga embus napasku, mungkin aku akan lebih tenang saat ini."

"Apakah dulu kau egois?"

Lagi-lagi dia terdiam. Lama. Kepalanya tertunduk dalam. Tangan gemetarnya meremas sebagian rambut di kepalanya. Lalu suaranya yang seperti embusan angin itu kembali kudengar.

"Sangat. Sifat itulah yang pada akhirnya membuatku celaka. Kau kan tahu, di masa lalu, aku terlalu ingin berada di depan. Aku terlalu ingin masuk dalam hitungan. Aku terlalu ingin dianggap sebagai orang yang berjasa besar. Ambisiku sama besarnya dengan ego yang kupunya. Begitu meraksasa. Menurutku, harus akulah yang terbaik, harus akulah segalanya. Hingga akhirnya kesombongan menjerumuskanku, mebawaku pada lubang kematian. Kau tahu, Giri, Aku mati dengan membawa semua penyesalan, dan di sinilah aku sekarang." Dia menunduk. Suara isaknya tertangkap olehku.

"Hei! Apa yang kau katakan? Kau kan tahu, bukan kau yang mati, tetapi Jati. Kau hanyalah jin! Qorin dari Jati. Jati sendiri telah pulang menuju keabadian. Ia telah kembali pada Pemiliknya yang sejati, kepada Tuhan," selaku.

"Tak peduli dia atau aku yang mati, Giri, yang kutahu selama ini aku dan dia adalah satu. Kami selalu bersama. Apa yang aku rasakan kini, itulah yang ia rasakan saat malaikat maut membawa ia pada ajalnya. Penyesalanku akan hidup yang kami jalani, juga penyesalanku akan akhir kehidupan yang kami terima, sama besarnya dengan penyesalan yang ada di hatinya."

Aku termenung. Menyaksikan sosok tak kasat mata itu larut dalam kesedihan. Kesedihan yang tampaknya berbalut penyesalan yang begitu tebal.

Lalu aku bisa apa?

Mustahil bagiku untuk menghiburnya. Aku bahkan tidak mengenalnya. Aku tidak tahu siapa dia, sosok yang menyerupai sahabatku Jati, yang telah pergi beberapa waktu yang lalu.

Jadi kubiarkan saja dia yang tak memiliki bayang-bayang itu meratap di keheningan malam ini. Mungkin itu bisa sedikit membuatnya tenang. Atau mungkin juga tidak? Entahlah.

Kuletakkan lagi jari-jariku pada alur dawai gitar tuaku. Kumainkan lagi intro lagu kesukaanku sambil mulai menyenandungkan liriknya dalam gumaman. Kupejamkan lagi mataku menikmati getarannya.

Waktu aku berjalan ke barat di waktu pagi matahari mengikutiku di belakang.

Aku berjalan mengikuti bayang-bayangku sendiri yang memanjang di depan.

Aku dan matahari tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang telah menciptakan bayang-bayang.

Aku dan bayang-bayang tidak bertengkar tentang siapa diantara kami yang harus berjalan di depan.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Slice of Life
Rekomendasi