Disukai
0
Dilihat
65
Tenggelam di Ombak Kematian
Misteri
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Bella berdiri di tepi laut yang dangkal yang langsung menghadap ke hamparan air luas. Ombak bergulung tinggi, memicu ketakutan yang tak bisa ia jelaskan. Angin dingin menusuk kulitnya, sementara langit kelabu menambah suasana yang semakin suram.

Ia tidak tahu bagaimana bisa sampai di tempat ini. Saat menoleh ke belakang, yang ia temukan hanyalah kehampaan—tanpa suara, tanpa kehidupan.

Air laut perlahan merayap ke kakinya, membuatnya panik. Di kejauhan, kabut perlahan menyingkap siluet kota tinggi yang tampak asing. Kota itu seolah bukan bagian dari dunia manusia.

Tiba-tiba, sesosok perempuan muncul di tengah laut. Gaunnya berwarna biru, berkilau saat diterpa cahaya samar. Rambutnya tersanggul rapi, langkahnya anggun di atas air. Di sampingnya, seorang pria mengiringi, tatapannya penuh kehati-hatian.

Perempuan itu bernyanyi—suara merdunya bergema di antara deburan ombak.

Bella terpaku, tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Namun, semakin ia mengamati, semakin jelas satu hal—setiap langkah perempuan itu menciptakan jejak di bawah permukaan air, membentuk jalan setapak tersembunyi.

Rasa penasaran menguasainya. Ia menurunkan kakinya, mencoba merasakan apakah ada yang bisa dipijaknya.

“Jangan!”

Suara itu membuatnya tersentak.

Tak jauh dari sana, seorang perempuan lain berdiri dengan wajah penuh ketakutan.

“Jangan lakukan itu!” katanya. “Kamu akan tenggelam!”

Bella menoleh ke tengah laut, ke arah perempuan yang terus bernyanyi, melangkah mengikuti pola aneh di permukaan air.

Sesuatu dalam dirinya berontak. Jika mereka bisa berjalan di sana, mengapa ia tidak?

Dengan keberanian yang mendadak muncul, Bella mengangkat kaki dan melangkah.

Sejenak, dunia terasa membeku.

Kakinya menginjak sesuatu yang lembut, tetapi cukup kokoh untuk menopangnya. Sensasi aneh menyelimuti tubuhnya, seolah gravitasi tak berlaku di sini.

Ia menoleh pada perempuan di belakangnya. “Ayo ikut aku!”

Namun, perempuan itu tetap diam, tatapannya penuh keputusasaan.

Bella tak punya waktu untuk ragu. Dengan langkah cepat, ia berlari menuju kota di kejauhan. Permukaan air yang ia pijak terasa semakin labil, seperti lapisan tipis yang bisa pecah kapan saja. Matahari mulai terbit, mewarnai langit dengan semburat jingga.

Lalu, tiba-tiba—

Permukaan di bawahnya menghilang.

Bella terhuyung. Kakinya menembus air. Jantungnya berdegup kencang saat tubuhnya mulai tenggelam.

“Ti—tidak!”

Ia mengayunkan tangan, berusaha meraih sesuatu, tapi tak ada yang bisa digenggam. Dingin menusuk tubuhnya, air asin memenuhi kerongkongannya. Ia berusaha berenang ke atas, tapi semakin berjuang, semakin dalam ia tenggelam.

Sebelum kesadarannya memudar, ia melihat siluet perempuan dan pria itu masih berdiri di tengah laut, tak terganggu oleh apa pun.

Lalu semuanya lenyap.

Bella terbatuk keras, air asin mengalir keluar dari mulut dan hidungnya. Tubuhnya gemetar, tergeletak di lantai dingin yang lembap. Cahaya samar menerangi ruangan, memperlihatkan empat perempuan yang mengelilinginya dengan wajah penuh perhatian.

"Kau sudah sadar?" Suara lembut seorang wanita membuatnya menoleh.

Matanya mengamati sekitar—sebuah ruang bawah tanah yang suram, tanpa jendela, tanpa tanda-tanda kehidupan luar. Hanya tembok kasar yang mengurung mereka.

Bella mencoba duduk, meski tubuhnya masih lemas. Keempat perempuan itu memperkenalkan diri. Delia, tinggi kurus dengan kulit pucat dan tatapan tajam. Yuan, bertubuh gempal dengan rambut kribo yang memberikan kesan tangguh. Zia, seorang anak kecil dengan rambut ikal yang menggemaskan. Dan Bu Wisna, seorang ibu muda dengan wajah tegas namun penuh kehangatan.

Bella menggigil. Pakaiannya masih basah. Bu Wisna menyerahkan pakaian kering dan menunjuk pintu tersembunyi di dinding. Tanpa banyak pilihan, Bella masuk dan berganti pakaian di ruang kecil di baliknya.

Saat ia kembali, keempat perempuan itu masih mengamatinya. Ada sesuatu dalam tatapan mereka—bukan sekadar rasa ingin tahu, melainkan kewaspadaan.

Bella mengusap lengannya yang dingin. "Di mana aku?"

Mereka saling bertukar pandang, seolah enggan menjawab. Hingga akhirnya Yuan berbisik pelan, "Kita harus keluarkan dia dari sini."

Alarm tiba-tiba meraung, menggema di seluruh ruangan. Bella menutup telinganya, ngeri mendengar suara berat seorang laki-laki melalui pengeras suara:

"Telah terjadi pelanggaran. Kami memberi satu kali kesempatan. Jika terulang, akses bicaramu akan dihilangkan."

Jantung Bella berdegup kencang. Apa maksudnya?

Delia, yang sejak tadi diam, akhirnya mendekat dan berbicara dengan nada serius. "Di sini, dilarang membicarakan tentang melarikan diri. Kita hanya boleh bertahan dan mencari cara untuk mendapatkan apa yang kita inginkan."

Zia mengangguk setuju. Bella menelan ludah. Tempat ini aneh, penuh aturan tak masuk akal.

Tanpa banyak bicara lagi, mereka membawa Bella melewati lorong panjang. Dindingnya dilapisi tembaga, dingin dan kokoh. Tidak ada pintu yang terlihat—semuanya tersamarkan sempurna, hanya bisa dibuka dengan sentuhan tertentu.

Mereka berhenti di dapur. Anehnya, di sini tidak ada stok makanan. Bahan-bahan hanya muncul pada waktu tertentu, dan setelah mereka selesai makan, dapur langsung bersih secara otomatis. Tidak ada sisa. Tidak ada cadangan.

Bella semakin tidak nyaman. "Berapa lama aku harus di sini?" tanyanya pelan.

Tak ada yang menjawab.

Ia sadar, tempat ini bukan hanya jebakan, tapi penjara tanpa pintu keluar.

Dan yang lebih mengerikan—mereka semua tampak sudah terbiasa dengan itu.

Di ruang kumpul, mereka mencoba menciptakan kehangatan di tengah situasi yang dingin dan penuh ketidakpastian. Tidur di lantai tembaga, bergantian ke toilet, dan mengobrol selama berjam-jam membuat mereka semakin dekat—seperti keluarga kecil di dunia asing ini.

Namun, saat kantuk mulai menyerang, Bella menyadari sesuatu.

Alat deteksi hentakan kaki tidak berfungsi.

Kesempatan langka ini tidak bisa ia sia-siakan. Dengan hati-hati, ia bangkit dan menyelinap menuju dapur cadangan.

Di sana, semuanya tampak normal. Pintu geser tetap berfungsi, sisa makanan masih berserakan. Namun, kali ini ada yang berbeda—makanan itu tidak disentuh sepenuhnya, seolah seseorang datang hanya untuk mengambil sebagian, lalu pergi begitu saja.

Bella mencoba memanfaatkan waktu yang ada. Dengan gerakan cepat, ia mulai memasak dari bahan yang tersedia, berusaha tidak menimbulkan suara sekecil apa pun.

Namun, tepat saat ia akan berbalik, langkah kaki mendekat dari balik dinding.

Jantungnya berdebar kencang. Langkah itu teratur, mendekat dengan pasti.

Siapa pun itu… dia tahu tempat ini.

Ia menahan napas, menunggu.

Saat ia hendak kembali ke ruang kumpul, seseorang muncul di balik pintu geser.

Seorang laki-laki.

Tatapannya tajam, penuh tanda tanya.

Bella refleks mencoba menutup pintu, tapi gerakannya kalah cepat. Lelaki itu menangkap tangannya, menghentikannya pergi.

Ia langsung memberi isyarat—telunjuk di bibir. Diam.

Lelaki itu terdiam.

Tatapannya beralih ke meja, ke arah makanan yang telah tersusun rapi.

Dan saat mata mereka bertemu, ada sesuatu dalam tatapan itu.

Seolah dia tahu lebih banyak tentang tempat ini.

Bella kembali ke ruang kumpul, duduk termenung. Pikirannya terus berputar, mengingat ruangan terang tempat pria itu muncul. Berbeda dengan ruangan lain yang redup dan tertutup, tempat itu seolah disinari cahaya alami dari langit.

Siapa pria itu?

Dan apa yang sebenarnya tersembunyi di balik labirin tembaga ini?

Saat semua kembali berkumpul, Bu Risna menatap mereka satu per satu, seakan mencoba membaca pikiran masing-masing. Bella sendiri masih mencari cara untuk keluar dari tempat ini.

Di sisi lain ruangan, Delia memberi isyarat.

Pengawasan suara.

Mereka bisa mendengar apa pun yang diucapkan, sekecil apa pun suaranya.

Bella menatap Delia, meminta penjelasan lebih lanjut. Gadis itu menelan ludah, lalu dengan hati-hati mengisyaratkan sesuatu yang membuat dadanya bergetar—jika ada yang melanggar aturan, mereka akan dikirim ke tempat yang lebih mengerikan. Tempat yang bahkan mereka sendiri tidak tahu keberadaannya.

Ketegangan menguasai ruangan. Namun, Bella tak lagi peduli. Tanpa ragu, ia menantang pantangan itu.

"Aku tidak peduli dengan aturan mereka," ucapnya lantang.

Semua mata langsung tertuju padanya.

Bella menoleh ke arah Zia. "Seharusnya kau tidak ada di sini. Kau masih remaja. Kau berhak pergi dan lari sejauh yang kau bisa."

BRRTTT!

Alarm berbunyi nyaring.

"Pelanggaran terdeteksi."

Delia dan yang lain menatapnya dengan panik, memberi isyarat agar ia berhenti. Tapi Bella tidak peduli.

"Aku tidak peduli hukuman apa pun di tempat ini! Kita harus keluar! Kita semua!"

"Pelanggaran kedua terdeteksi. Bella, kau dihukum."

Senyum tipis tersungging di wajah Bella, menantang aturan bodoh ini. Tapi sebelum ia bisa berbicara lagi—

Suaranya menghilang.

Bella membuka mulut, berusaha berteriak, namun tak ada suara yang keluar. Panik, ia memegangi tenggorokannya. Tatapan ngeri terpancar dari wajah teman-temannya.

Apa ini? Apakah ini efek dari makanan atau minuman yang ia konsumsi sebelumnya? Atau bagian dari hukuman yang dijatuhkan padanya?

Menahan kepanikan, Bella memberi isyarat. Ayo pergi!

Ia berdiri dan meraba dinding dapur cadangan, mencari sesuatu. Mereka mengikutinya dari belakang, berjalan dengan waspada. Bella terus mencari—mencari celah, mencari titik di mana pria itu muncul.

Zia menghitung langkah, memastikan mereka tidak tersesat sebelum hukuman ini dimulai.

Lalu, tangan Bella menyentuh sesuatu.

Klik.

Sebuah pintu rahasia terbuka.

Cahaya terang menembus masuk, menyilaukan mata mereka. Sinar matahari.

Tanpa ragu, Bella berlari keluar, disusul yang lain.

Di depan mereka terbentang pantai.

Airnya dangkal, pasirnya terasa hangat di bawah kaki. Mirip dengan tempat pertama kali mereka tiba. Tapi kali ini, pantai itu berbatasan langsung dengan pinggir kota.

Bella tersenyum, menghirup udara bebas. Ada harapan untuk pergi.

Ia memeluk mereka satu per satu. Mereka bisa keluar dari tempat ini. Mereka bisa pulang.

Namun, saat ia berlari ke arah pantai, matanya menangkap sosok seseorang.

Pria itu.

Ia berjalan mendekat, membawa beberapa ikan hasil jaringannya. Tanpa basa-basi, ia menyerahkan ikan kepada Bella dan memberi isyarat untuk memasaknya. Seolah tak terjadi apa-apa.

Bella tertegun. Kenapa pria itu bersikap seperti ini?

Ia menoleh, melihat yang lain masih menikmati angin pantai. Entah kenapa, ia menurut.

Kembali ke dapur rahasia, Bella mulai memasak ikan goreng sambil sesekali melirik pintu yang masih terbuka, mengarah ke lautan bebas.

Lalu—

BRRTTTT!

"Ruangan kosong. Insiden bahaya. Ruangan kosong."

Bella tersentak.

Mereka masih di luar!

Dengan cepat, ia mengalihkan alarm kembali ke ruang kumpul, lalu berjalan cepat, menciptakan hentakan agar terdeteksi ada pergerakan di dalam ruangan.

Ia teringat ikan yang sedang dimasak. Bergegas, ia mengangkatnya dan mematikan kompor. Napasnya tersengal saat ia kembali ke pesisir pantai, membawa makanan itu.

"Segera makan," ujarnya serius. "Alarm akan berbunyi lagi. Kita harus cari cara keluar dari sini."

Ketegangan semakin terasa. Mereka harus bertindak sebelum tempat ini menyadari bahwa mereka telah menemukan jalan keluar.

Sambil makan, Bella mengamati sekeliling, mencari celah yang bisa mereka gunakan untuk kabur.

Di ujung pantai, ia melihatnya.

Sebuah perahu kecil.

Terdampar di pesisir, dekat pasar.

Tanpa pikir panjang, Bella bangkit. "Ayo, kita harus pergi!"

Mereka ikut berlari ke arah perahu. Bella menoleh ke pria itu, memberi isyarat agar ikut. Namun, pria itu hanya diam, menatapnya tanpa ekspresi.

"Kau menunggu apa lagi?! Kita tidak punya waktu!"

Tapi pria itu tetap tak bergerak. Seolah enggan pergi.

Bella tak bisa menunggu lebih lama. Ia dan teman-temannya naik ke perahu dan mulai berlayar.

Pria itu masih berdiri di sana. Menatap mereka.

Mereka semakin menjauh, membiarkan arus membawa perahu ke tengah laut. Namun, tidak lama kemudian, ombak mulai berubah.

Pasang naik.

Gelombang semakin besar, menghantam perahu dari segala arah. Mereka terguncang, berpegangan erat pada sisi kapal.

Angin kencang berhembus. Perahu bergoyang tak terkendali.

Lalu—

Perahu terguling.

Mereka semua jatuh ke laut.

Bella menahan napas, air asin memenuhi rongga hidungnya. Tubuhnya terombang-ambing oleh ombak. Ia melihat ke sekeliling—Zia, Delia, Bu Risna, dan Yuan juga berusaha bertahan. Tak satu pun dari mereka bisa berenang.

Ia mencoba menggapai permukaan, tetapi arus terlalu kuat. Dari kejauhan, seorang pria berdiri di pantai, memperhatikan mereka.

"Ayo... tolong..."

Bella ingin berteriak, tetapi hanya gelembung udara yang keluar dari mulutnya. Dadanya terasa sesak. Lalu, pria itu akhirnya melompat ke laut.

Dengan sigap, ia menyelamatkan Zia dan Delia lebih dulu, membawa mereka ke pantai. Kemudian, ia kembali lagi, menarik Bu Risna dan Yuan yang masih berjuang di permukaan.

Namun, Bella semakin terseret ke dalam laut.

Ia berusaha menggapai tangan pria itu, tetapi tenaganya sudah habis. Dunia di sekitarnya mulai meredup.

Tubuhnya tenggelam dalam kegelapan laut. Dingin merayap di setiap inci kulitnya. Ia ingin berteriak, tetapi air sudah memenuhi paru-parunya.

Lalu segalanya menjadi hitam.

Di tengah kehampaan itu, Bella merasa tubuhnya melayang. Antara sadar dan tidak, ia merasakan sesuatu yang asing. Air di sekelilingnya terasa lebih ringan, seolah bukan air laut lagi.

Apakah ini akhir?

Kemudian, samar-samar ia mendengar suara. Bukan suara ombak, bukan suara teriakan panik, tetapi suara bisikan yang entah dari mana asalnya.

"Kau belum waktunya."

Seketika, cahaya menembus kegelapan.

---

Bella tersentak.

Pasir dingin terasa di bawah tubuhnya. Dadanya naik turun cepat, paru-parunya masih terasa sesak. Ia terbatuk keras, memuntahkan air asin.

Suara deburan ombak terdengar lebih jelas, bercampur dengan kepanikan orang-orang di sekelilingnya.

Pria itu berjongkok di sisinya, tangannya masih di dadanya. Matanya menyiratkan kelegaan.

"Ayo bangun! Ayo!"

Bella terengah, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi.

Dunia yang tadi ia singgahi… apakah itu nyata? Atau hanya sekilas perbatasan antara hidup dan mati?

Ia menoleh, mencari sahabatnya di antara kerumunan.

"Shilla..."

Mulutnya bergerak.

Tapi tak ada suara.

Hening.

Bella memegang tenggorokannya. Ia mencoba lagi. "Shilla..."

Keheningan masih menyelimutinya.

Matanya melebar. Jantungnya berdebar panik. Tidak mungkin... Tidak mungkin hukuman itu terbawa ke sini.

Ia menoleh ke pria yang menyelamatkannya. Pria itu menatapnya tajam, seolah tahu sesuatu yang orang lain tidak ketahui.

Di kejauhan, laut berkilauan di bawah cahaya senja. Ombaknya tenang, seakan menyimpan rahasia yang tak boleh diungkapkan.

Bella menggigit bibir.

Hukuman itu nyata.

Dan ia tak tahu apakah ini baru permulaan.

***

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Misteri
Rekomendasi