Seorang anak laki-laki dengan rambut hitam berjongkok di dekat danau. Sepasang mata menatapnya dengan dingin dari permukaan air danau yang berwarna kehijauan. Tangannya mengepal menekan tanah lembab di bawahnya. Dadanya membusung namun naik turun karena nafasnya yang tidak beraturan. Kepalanya bergerak ke kiri-kanan. Susah payah anak itu mengosongkan pikirannya tapi kenangan yang ingin dilupakannya bermunculan memenuhi isi kepalanya.
Duk. Sebuah tendangan dilayangkan oleh seorang laki-laki bertubuh tinggi dan kurus.
“Ampun pak...ampuni Demas” Rintih seorang anak laki-laki yang meringkuk diatas tanah. Kedua Tangannya menutupi bagian atas tubuhnya sedangkan kakinya berusaha melindungi bagian perutnya dari tendangan ayahnya yang datang bertubi-tubi.
Argh. Mulut Anak laki-laki itu memuntahkan darah segar, tanah kandang ternak pun berubah menjadi coklat kemerahan. Anak laki-laki itu menggeser tubuhnya menjauh dari ayahnya dan menggunakan seluruh daya yang tersisa untuk berdiri.
“Pak sudah pak....” Ibu Demas menyentuh lengan suaminya untuk mencegahnya memukuli buah hati mereka tetapi sang suami menepisnya. Dia terus berjalan menuju ke arah anaknya yang berdiri di sudut ruangan.
“Pak.....Demas janji akan menjadi anak yang rajin...Demas janji akan mengikuti apa yang bapak inginkan....tolong berhenti pak” Mohon Demas seraya berjalan menjauh dari Ayahnya. Dia menuju kawanan kambing dan sapi yang berkumpul di sudut ruangan. Hewan-hewan yang selama ini mereka pelihara mungkin bisa menyelamatkannya. Tetapi, Ayahnya terus berjalan menghampirinya.
Plak. Tamparan keras mendarat di pipi Demas. Sontak Demas meringis dan menatap ayahnya. Demas berharap menemukan kasih sayang dan pengampunan atau setidaknya rasa kasihan. Tetapi, tidak ada apa-apa disana selain sepasang mata yang menatapnya dingin.
Whoosh. Angin bertiup kencang, mengguncang pepohonan yang ada di sekitar Demas. Saat salah satu daun kering menyentuh wajahnya, Demas pun sadar dari lamunan. Dadanya terasa sesak oleh berbagai emosi yang mendesak masuk ke dalam hati. Kemarahan, kesedihan, frustasi dan entah apa lagi. Bahkan setelah semua yang terjadi, Demas tidak bisa membenci keluarganya. Karena lawan dari benci bukan marah tapi tidak peduli.
Untuk beberapa lama, Demas hanya duduk disana tertegun. Hingga kehampaan menyelimuti seluruh ruang didalam dan luar dirinya. Terik sinar matahari dan hembusan angin yang menyentuh kulitnya tidak lagi terasa. Suara burung yang terbang dengan bebas tidak lagi mengusiknya. Bagi Demas, konsep ruang dan waktu tidak pernah terasa begitu berbeda seperti saat itu. Tubuhnya berada disana tapi dia merasa tidak ada dimana-mana. Waktu yang berlalu seakan berhenti untuk selamanya.
Demas berdiri dan menatap bayangannya untuk terakhir kali, bayangan yang terasa amat asing baginya. Kemudian, dia berjalan lurus ke dalam air danau yang berwarna gelap segelap matanya. Suhu air danau di musim semi sangat menyejukan tapi tubuhnya tidak bergeming seolah menolak untuk merasakannya. Hanya butuh berjalan beberapa meter hingga mencapai kedalaman danau yang melampau tinggi badanya. Air danau menyerbu untuk memasuki tubuhnya dari semua rongga yang ada. Detik demi detik berlalu hingga udara yang memenuhi rongga paru-parunya mulai menghilang. Tangannya memeluk tubuhnya sendiri, meringkuk di dalam air seolah berada dalam rahim ibunya yang aman.
Saat kehidupan hampir meninggalkan tubuhnya sepenuhnya, seluruh tubuhnya memberontak pada kesadarannya. Seperti cahaya yang menerobos masuk dalam kegelapan, Demas berjuang untuk hidupnya setelah hampir mengakhirinya. Tangan Demas berusaha meraih permukaan dan tubuhnya mendorongnya keluar dari air. Dengan tergesa-gesa, ia menghirup udara sebanyak-banyaknya seolah melakukannya untuk pertama kalinya. Setelah kesadarannya mengambil alih, ia mulai mengutuk dirinya sendiri yang tak punya nyali untuk mengakhiri hidupnya. Dengan enggan, ia menapaki tanah yang menyambut kakinya lembut. Tubuhnya yang basah terasa lelah, ia memutuskan untuk bersandar ke pohon di dekat danau. Sesaat kemudian, matanya terpejam, wajahnya nampak polos dalam tidurnya seperti tidak pernah terjadi apapun sebelumnya.
***
Saat Demas tengah bermain jauh dalam dunia mimpi, suara beberapa anak mengusik tidurnya.“Penyihir...kamu penyihir kan..kami tidak mau berteman dengan kamu..kamu seharusnya pergi sejauh-jauhnya dari desa kami” Bentak beberapa anak kepada seorang anak perempuan. Mereka melempari anak perempuan itu dengan kerikil dan menyudutkannya ke pinggir danau. Hampir saja sang anak perempuan jatuh ke danau saat Demas bangun dan balas melempar kerikil kepada anak-anak yang mendesaknya.
“Siapa kamu?Apa yang kamu lakukan? Untuk apa kamu melindungi dia? kamu seharusnya tidak membela penyihir seperti dia” Tanya anak-anak itu dengan kesal.
“Tidak perlu alasan untuk membela seseorang. Dia hanya seorang diri sedang kalian bersama-sama menyakitinya. Lebih baik kalian pergi dari sini karena aku bisa melakukan lebih dari melempar batu jika kalian terus melukainya” Jawab anak laki-laki itu seraya mengayunkan batang kayu ke arah mereka. Aksinya berhasil menakuti anak-anak itu hingga mereka pergi meninggalkannya berdua dengan sang anak perempuan.
“Bagaimana keadaan kamu? Apa kamu baik-baik saja?”Tanya anak laki-laki itu seraya memutar tubuhnya ke arah sang anak perempuan. Perasaan takjub menyelimuti hatinya saat melihat sepasang mata berwarna coklat terindah yang pernah dilihatnya. Tatapan mata anak perempuan itu nampak polos dan kekanak-kanakan. Rambut panjangnya tergerai berwarna hitam terlihat sedikit berantakan. Wajahnya berbentuk persegi dengan tulang pipi yang tinggi dan dagu yang panjang. Anak perempuan itu nampak sangat cantik meski serpihan tanah mengotori wajah dan gaun hitam yang dikenakannya.
“Aku baik-baik saja, terima kasih karena telah menolongku. Bagaimana dengan kamu, Apa kamu tidak merasa kedinginan? Seluruh tubuhmu basah”Tanya anak perempuan itu dengan wajah khawatir seraya mendekatkan tubuhnya kepada Demas. Setiap langkah yang sang anak perempuan ambil untuk mempersempit jarak diantara mereka membuat jantung Demas berdetak lebih cepat.
Seluruh sensasi yang tadinya Demas abaikan berhamburan kembali kepadanya. Ia bisa merasakan sinar matahari musim semi yang menyentuh kulitnya, hembusan angin yang melewati tengkuknya, mencium bau tanah yang dibasahi air, melihat warna-warni indah bunga-bunga di tepi danau, mendengar kicau burung yang terbang bebas di angkasa.
“Ah..ini....tidak..apa-apa, tadi aku..aku terjatuh ke danau. Jika kamu tidak keberatan, aku ingin mengenal kamu. Aku Demas..Siapa nama kamu?” Tanya Demas dengan gugup kepada sang anak perempuan. Demas tidak mungkin mengakui bahwa beberapa saat lalu dia hampir mengakhiri hidupnya sendiri.
“Namaku Ianthe..Terima kasih Demas karena tadi kamu telah menolongku..Tapi apa yang membuat kamu mau menolongku tadi? Apa kamu tidak takut jika aku adalah seorang penyihir seperti yang mereka katakan?” Kata anak perempuan itu seraya tersenyum tanpa menyadari betapa senyuman itu memberikan kehangatan di hati Demas. Nama Ianthe dalam bahasa Yunani berarti bunga. Anak perempuan itu sungguh seperti bunga yang mampu menyenangkan dan menghangatkan hati siapapun yang melihatnya. Sekaligus, bunga yang rapuh dan menggerakan hati Demas untuk melindunginya.
“Tidak...tidak perlu alasan untuk menolong seseorang...Bahkan jika kamu benar-benar penyihir, kamu hanya seorang diri.”Jawab Demas dengan terbata-bata. Ia hampir tidak mampu menegakan kepalanya untuk menatap mata anak perempuan itu. Perasaan yang asing menyelimuti hatinya. Sebagian dirinya ingin berlama-lama menatap mata anak perempuan itu dan tenggelam di dalamnya. Sebagian yang lain, ingin melarikan diri, takut jika anak perempuan itu tidak menyukainya.
“Kamu benar-benar menarik Demas...Senang bisa bertemu denganmu..Tapi sepertinya sudah waktunya aku untuk pergi...Kemana tujuanmu setelahnya? Apakah kamu akan pulang ke rumah?”Kata anak perempuan itu sambil tersenyum.
“Aku tidak punya tujuan..sepertinya aku sudah tidak memiliki rumah”Kata anak laki-laki itu seraya menundukan kepalanya. Saat melangkahkan kakinya keluar dari rumah, ia telah memantapkan hatinya untuk meninggalkan segalanya. Ada banyak kenangan yang tidak ingin diingatnya lagi. Anak laki-laki itu pernah memiliki tujuan dalam hidupnya. Ia berusaha sekuat tenaga memenuhi daftar untuk menjadi seseorang yang sempurna bagi semua orang disekitarnya. Bohong jika ia tidak berharap dicintai namun harapan itu telah menjelma menjadi keyakinan bahwa dirinya tidak layak. Seperti semua benda tidak layak yang dibuang oleh orang tuanya, tadinya anak laki-laki itu pun berniat membuang dirinya sendiri.
“Hahaha...jika begitu maka kita sama, aku juga tidak memiliki tujuan. Tapi bagiku rumah ada disini didalam hatiku. Aku sudah berkelana ke banyak tempat seorang diri dan selalu membawa rumahku bersamaku. Hingga saat ini, aku tidak memiliki tujuan, mungkin suatu saat akan menemukannya tapi tidak perlu terburu-buru.” Kata anak perempuan itu sambil tertawa. Pipinya mengembang dan matanya tampak lebih kecil, anak laki-laki itu sangat suka melihat sang anak perempuan tertawa.
“Begitukah..lalu mengapa kamu memulai perjalanan ini? dan Apa kamu tidak takut? Maksudku berkelana seorang diri. Bagaimana jika sesuatu yang buruk akan menimpamu dan tidak ada yang menolong dirimu?”Tanya Demas dengan nada khawatir. Sesungguhnya, ia terkesima dengan kehidupan yang dijalani oleh sang anak perempuan, bebas seperti burung yang terbang di angkasa. Tapi, ia merasa khawatir, bagaimana jika ada orang yang ingin melukai sang anak perempuan seperti tadi.
“Hmm....ceritanya panjang. Aku ingin pergi ke kaki gunung. Jaraknya hampir satu hari perjalanan. Tadi kamu bilang kalau kamu tidak memiliki tujuan. Bagaimana kalau kamu menemaniku kesana? Aku akan menceritakan semuanya kepadamu dalam perjalanan kita” Kata Ianthe seraya menatap Demas. Tatapan matanya yang lembut mengusik pertahanan yang dibangun oleh Demas.
“Baiklah....aku akan menemanimu”Jawab Demas setelah berpikir beberapa saat. Ianthe pun tersenyum mendengar jawaban Demas.
***
Sepanjang perjalanan mereka, Ianthe berjalan tanpa alas kaki dengan berani kemanapun mereka pergi. Sesekali, mereka akan berhenti hanya untuk mengagumi alam, lukisan tuhan yang paling menawan. Mata Ianthe yang berwarna kecoklatan berbinar dan senyum di wajahnya mengembang. Dia akan menghirup udara sebanyak-banyaknya dan tertawa gembira. Bagi Demas, Ianthe seperti kekuatan alam yang tak terhentikan. Dia menariknya dalam rasa nyaman dan aman. Perasaan yang tidak pernah dirasakan Demas di rumah.
Saat melewati hutan, Demas memasuki dunia yang belum pernah dijelajahinya sebelumnya. Mencekam namun memanggil naluri berpetualang di dalam dirinya. Berbeda dengan Demas, Ianthe sepertinya sangat akrab dengan hutan. Dia memetik berbagai bunga, daun dan jamur dengan penuh kehati-hatian. Memastikan bahwa dirinya mengambil seperlunya, tidak terlalu banyak apalagi merusak.
Krak. Bunyi ranting yang patah menarik perhatian Demas. Dengan tergesa-gesa Demas mengeluarkan pisau kecil di sakunya namun Ianthe menghentikannya. “Tidak apa-apa, tidak ada yang ingin melukaimu” Bisik Ianthe dengan lembut. Kemudian, ia bersenandung dengan suara yang amat lembut. Hewan-hewan pun keluar dari persembunyiannya, entah itu dibalik pohon atau semak-semak. Mereka berlarian di sekitar Ianthe seolah senandung itu memanggil mereka. Sementara itu, harimau yang terlihat buas hanya mengamati mereka dari kejauhan. Ianthe tersenyum dengan senyum paling lembut yang pernah dilihat oleh Demas dalam hidupnya.
Setelah selesai mengumpulkan perbekalan, Ianthe mamandu Demas keluar dari hutan. Mereka terus berjalan hingga sampai ke sebuah pohon besar yang terletak di atas padang rumput. Sepanjang mata memandang terhampar padang rumput yang luas. Sedangkan hutan dan perbukitan terlihat samar dari kejauhan. Puas dengan apa yang dilihatnya, Ianthe pun duduk dibawah pohon dan membuka keranjangnya.
Demas mengambil salah satu jamur yang dipetiknya di hutan dan hampir memakannya ketika Ianthe mulai tertawa “Jamur itu beracun Demas. Sudah makan ini saja..” Sahut Ianthe sambil tersenyum. Dia pun menyodorkan buah berbentuk bulat dan berwarna merah yang nampak asing bagi Demas.
Sepanjang hidupnya, Demas hampir tidak pernah keluar dari peternakan ayahnya. Setiap hari, dia membantu keluarganya mengurus ternak dan rumah mereka. Dia tidak tau apa-apa tentang cara bertahan hidup di dunia luar. Sedangkan, Ianthe sepertinya mengetahui segalanya dan mampu melindungi dirinya sendiri. Demas pun tertunduk malu dan memakan buah pemberian Ianthe. Rasanya manis dengan sedikit rasa asam, Demas menyukainya.
Sebelum menyantap makanannya, Ianthe memanjatkan doa dengan penuh rasa syukur. Ia memakan satu persatu perbekalan yang disiapkannya. Ketika salah satu buah yang dimakannya terjatuh, banyak semut yang menghampiri buah itu. Demas berpikir bahwa Ianthe akan mengusir rombongan semut itu saat Ianthe mengambil batu. Tetapi, Demas salah, Ianthe tidak mengusir mereka. Ia hanya menumbuk buah dengan hati-hati sehingga menjadi potongan yang lebih kecil dan mudah dibawa oleh para semut. Melihat kasih sayang yang ditunjukan oleh Ianthe kepada makhluk lain membuat Demas perasaan asing yang tumbuh di hatinya semakin berkembang.
Senja hampir tiba ketika hujan mulai turun. Dengan telapak tangannya yang belum terlalu lebar, Demas berusaha melindungi kepala Ianthe dari air hujan. Tetapi, Ianthe menggenggam tangan Demas dengan lembut, menurunkannya dari atas kepalanya dan tersenyum padanya. Ianthe meninggalkan tempat istirahat mereka yang aman dan nyaman untuk berjalan menuruni padang rumput. Kemudian, dia mulai menari di bawah hujan. Tangannya terentang seolah mengajak demas bergabung denganya. Demas pun menghampirinya namun dia tergelincir dan terjatuh.
“Lepaslah sepatumu...mungkin kamu akan merasa lebih baik”Seru Ianthe seraya menolong Demas berdiri.
Setelah melepas sepatunya, Demas dapat bergerak lebih leluasa di padang rumput. Rumput yang basah menyentuh telapak kakinya dengan lembut. Air hujan yang menetes di kulitnya terasa sedikit dingin namun dia menyukainya. Dia menengadahkan kepalanya dan merentangkan tangannya seperti sayap burung. Demas mulai bergerak memutar di bawah air hujan. Setiap langkah terasa begitu ringan seperti melayang. Demas terus menari hingga rasanya seperti terbang bebas di udara. Tanpa bisa dikendalikan, air mata mulai membasahi pipi Demas. Namun, air hujan menyamarkannya sehingga Demas bisa menangis sepuasnya. Ianthe hanya tersenyum melihatnya dan tidak mengatakan apa-apa.
***
Langit malam itu berbeda dari yang biasa dipandangi Demas di peternakan. Bintang bersinar lebih terang dan cahaya bulan terasa menenangkan. Kegelapan pun tidak berkuasa malam itu walau sumber cahaya yang punya hanya sebuah api unggun kecil. Demas dan Ianthe duduk dalam keheningan selama beberapa saat sebelum Ianthe mulai bercerita.
“Kamu tau Demas...Dunia ini adalah tempat yang indah. Ada hutan yang luas dipenuhi oleh hewan dan tumbuhan. Seperti perjalanan kita hari ini, aku dapat mengumpulkan banyak tumbuhan untuk meracik ramuan. Saat menemukan lautan, aku bisa melihat matahari terbit dan tenggelam, mereka begitu besar seolah tidak ada batasnya. Bermalam di tepi pantai dan menari hingga pagi. Jika beruntung, aku akan memiliki atap di atas kepalaku untuk melindungiku dari terik dan hujan. Jika tidak ada maka aku akan berlari dibawah air hujan dan tidur beralaskan tanah. Atapku adalah langit malam berhiaskan bulan dan bintang. Aku akan menyalakan api unggun dan meringkuk di bawah selimutku seperti bayi sepanjang malam. Tapi tentu ada masa-masa tidak menyenangkan. Ketika melewati desa dan kota, kadang aku bertemu dengan orang baik sepertimu, tapi lebih sering bertemu dengan mereka yang tidak memahamiku dan ingin mengusirku. Terkadang, itu membuatku sedikit kesepian”Kata Ianthe seolah menjawab seluruh pertanyaan yang ada di kepala Demas sejak mereka bertemu.
Kata-kata Ianthe bagai dongeng indah di telinga Demas. Ia mulai membayangkan hari-hari yang dapat mereka lalui bersama. Mungkinkah setiap hari akan seindah hari ini karena jika iya maka Demas akan melakukan segalanya untuk mengulangi hari itu untuk yang kesekian kalinya. Tetapi, rasa takut menyelinap masuk, bagaimana jika ia tidak mampu melindungi Ianthe dan hanya menjadi beban dalam perjalanannya. Apakah egois berharap untuk hidup bersama dengan seseorang saat mengetahui bahwa dirinya tidak cukup baik bagi siapapun. Pada saat itu, alam yang tadinya ramai seakan hening, menahan nafasnya menunggu keputusan yang akan dipilih oleh sang anak laki-laki di persimpangan jalan hidupnya.
“Ha...hari-harimu terdengar sangat menyenangkan Ianthe. An...andaikan...ada seseorang yang ingin menemanimu. Apakah kamu memiliki syarat untuknya? Orang seperti apa yang kamu butuhkan?” Entah dari mana keberanian itu muncul, Demas bertanya dengan suara yang sangat pelan. Keringat membasahi seluruh tubuhnya. Hampir saja ia tidak mampu berdiri tapi ia mengerahkan seluruh tenaganya untuk menegakan tubuhnya yang gemetaran dilanda rasa takut akan penolakan.
“Tidak perlu alasan atau syarat apapun untuk menemani perjalananku, aku akan sangat senang jika ada yang ingin melakukannya.” Jawab Ianthe sambil menatap Demas. Tatapan mata Ianthe meruntuhkan seluruh pertahanan yang pernah dibangun Demas dalam hidupnya. Dalam satu waktu, demas merasakan paradoks paling nyata di alam semesta. Dia merasa tidak berdaya namun tidak ingin melawannya.
Saat itu, Demas belum mampu mengartikan arti tatapan Ianthe yang sebenarnya. Bahkan jika ia mampu maka ia mungkin tidak akan mempercayainya. Ada harapan Ianthe disana. Bukan agar Demas menjadi sosok tertentu tapi harapan untuk selalu bersama dengan dirinya.
“Ka..kalau..begitu...Bolehkah aku menemanimu? Ak...aku mungkin tidak berguna Seperti yang kamu tau..aku tidak tau banyak hal tentang dunia luar..badanku kecil dan aku tidak pintar melakukan banyak hal...tapi jika ada seseorang yang menyakitimu... ak...aku akan melindungi kamu dengan semua yang aku miliki....” Kata Demas seraya menundukan kepalanya, takut akan kehilangan keberaniannya jika melihat wajah Ianthe.
“Tentu...aku akan dengan senang hati pergi bersama denganmu.” Kata Ianthe itu seraya menundukan kepalanya agar dapat melihat mata Demas. Saat mata mereka bertemu, Ianthe tersenyum dan membuat Demas merasakan perasaan damai yang tidak pernah dirasakan sebelumnya. Kata-kata Ianthe bergema di kepalanya, rumah tidak harus berupa tempat. Ia telah menemukan rumahnya di kedua mata Ianthe. Detik itu, ia bersumpah di dalam hatinya bahwa ia akan melindunginya dan mengikuti Ianthe meski ke ujung dunia.
“Te...terima kasih telah menerimaku Ianthe” Demas itu mengucapkan terima kasih dengan perasaan bahagia memenuhi dadanya. Selama ini, ia berusaha keras untuk merasa diterima oleh orang tua yang telah dikenalnya seumur hidupnya. Namun, ia tidak pernah merasa lebih diterima dibandingkan saat itu.
“Terima kasih karena kamu mau menemaniku..” Ianthe pun mengulurkan tangannya kepada Demas. Dengan perasaan senang dan gugup, tangan Demas yang berkeringat itu menggandeng tangan Ianthe.
Dalam hati, Demas mengucapkan syukur sebanyak-banyaknya. Dalam satu hari Demas menyadari betapa segala yang penting dalam hidup dapat berubah dalam waktu singkat. Tadi pagi Demas hampir mengakhiri hidupnya namun malam ini dia akan memulai perjalanan terindah dalam hidupnya. Sedikitpun ia tidak mengetahui betapa besar kasih sayang tuhan kepada dirinya, semua yang dialaminya telah mengantarnya pada pertemuan itu. Demas menganggapnya sebagai hadiah karena telah memilih bertahan satu detik lagi saat hampir memilih meninggalkan seluruh waktu yang tersisa dalam kehidupannya. Ia menengadahkan kepalanya ke langit seolah melihat tuhan tersenyum kepadanya. Saat itu, ia tidak mengetahuinya tapi tuhan telah mengaitkan takdirnya dengan Ianthe dan menumbuhkan cinta dihati mereka yang akan tetap ada disana untuk selamanya.