Disukai
0
Dilihat
41
Tanah yang Ditinggalkan
Self Improvement
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

 

Hujan gerimis turun membasahi trotoar di depan rumah kecil milik Raka di pinggiran Jakarta. Ia duduk di teras, menyesap kopi yang sudah mendingin. Sejak beberapa bulan terakhir, pikirannya tak henti-henti berputar tentang satu hal: pergi meninggalkan Indonesia.

“Kau benar-benar mau pergi, Kak?” tanya adiknya, Sinta, dengan nada ragu. Gadis itu duduk di sampingnya, menggenggam secangkir teh hangat.

“Aku harus, Sinta. Aku sudah tidak melihat masa depan di sini,” jawab Raka pelan.

Indonesia sedang dalam keadaan sulit. Kenaikan harga minyak Pertamina telah memukul banyak orang, termasuk keluarganya. Setiap kali ia pergi ke SPBU, antrean kendaraan mengular, dan harga yang tertera di papan semakin tinggi.

Tak hanya itu, kebangkrutan beberapa BUMN, terutama Garuda Indonesia, membuat sektor transportasi semakin tidak stabil. Pajak pun semakin tinggi, tapi manfaatnya bagi rakyat terasa nihil.

Sementara itu, kebijakan pemerintah lebih banyak berpihak pada kepentingan segelintir elit ketimbang rakyat jelata.

Sinta menghela napas. “Tapi ini rumah kita, Kak. Kita lahir di sini.”

“Rumah itu lebih dari sekadar tempat lahir, Sinta. Rumah adalah tempat di mana kita bisa hidup dengan layak, merasa dihargai, dan mendapatkan kesempatan untuk berkembang. Aku tidak melihat itu lagi di sini.”

Raka telah menghabiskan waktu berbulan-bulan mencari informasi tentang negara-negara yang kekurangan populasi dan membuka peluang bagi pendatang. Jepang, Italia, Jerman, Rusia, Bulgaria, Ukraina, Hongaria, Latvia, Lithuania, dan Korea Selatan, semua negara ini menghadapi krisis demografi.

Mereka kekurangan tenaga kerja, dan beberapa bahkan menawarkan insentif bagi imigran yang bersedia menetap dan bekerja di sana.

“Aku mendengar Jepang membutuhkan banyak pekerja di sektor industri dan kesehatan. Pemerintahnya bahkan mulai melonggarkan aturan imigrasi,” kata Raka.

“Tapi, bukankah di sana biayanya juga mahal?” tanya Sinta.

“Benar, tapi setidaknya ada jaminan sosial. Ada peluang mendapatkan pekerjaan yang layak. Di sini, Sinta, kita terus bekerja keras tapi tak pernah cukup. Pajak semakin tinggi, harga kebutuhan pokok naik, tapi gaji tidak bertambah. Bahkan pendidikan semakin mahal,” ujar Raka dengan nada getir.

Sinta menunduk. Ia tahu betul kesulitan yang mereka hadapi. Ayah mereka dulu seorang pegawai di sebuah BUMN, tetapi sejak kebangkrutan perusahaan tersebut, ia harus banting setir menjadi pengemudi ojek online.

Ibunya membuka warung kecil yang untungnya semakin menipis akibat harga bahan baku yang terus melonjak. Mereka tak lagi bisa berharap banyak pada negara yang tampaknya hanya memperkaya segelintir orang di puncak kekuasaan.

“Jerman juga menarik,” lanjut Raka. “Mereka butuh tenaga kerja di sektor teknik dan medis. Jika aku bisa mendapatkan beasiswa atau pelatihan di sana, aku bisa hidup dengan lebih baik.”

Sinta menatap kakaknya dengan tatapan penuh harap. “Bagaimana denganku? Apakah aku harus tinggal di sini sendiri?”

Raka menggenggam tangan adiknya. “Aku akan berusaha agar kau juga bisa ikut. Aku ingin kita hidup di tempat yang memberi kita kesempatan untuk tumbuh, bukan hanya bertahan.”

Malam itu, setelah Sinta tidur, Raka duduk di depan laptopnya, mencari lebih banyak informasi tentang program imigrasi di negara-negara tujuan. Ia membaca tentang insentif finansial di Italia bagi mereka yang mau tinggal di desa-desa kecil, kebijakan Jerman yang mempercepat proses naturalisasi bagi tenaga kerja asing, serta dorongan Korea Selatan untuk menarik pekerja muda guna mengatasi populasi yang menua.

Tapi di balik antusiasmenya, ada rasa pedih yang tak bisa ia abaikan. Ini bukan keputusan yang mudah. Ia mencintai tanah airnya, namun realitas memaksanya untuk berpikir rasional.

Indonesia semakin sulit untuk ditinggali, dan ia tak ingin menghabiskan hidupnya dalam ketidakpastian.

Beberapa bulan kemudian, Raka mendapatkan kabar baik. Aplikasi beasiswanya ke Jerman diterima. Ia mendapat kesempatan belajar dan bekerja di sana. Namun kebahagiaan itu bercampur dengan rasa bersalah, ia harus meninggalkan keluarganya.

Sinta duduk di tepi kursi, matanya menatap Raka dengan penuh tanya. Udara sore yang hangat mengelilingi mereka, dan suara burung-burung yang berkicau di luar jendela seolah menjadi latar yang sempurna untuk percakapan ini. "Apakah kakak tidak jadi ke Jepang atau Italia?" tanyanya, suaranya lembut namun penuh keingintahuan.

Raka tersenyum, matanya berbinar dengan keyakinan. "Tidak," jawabnya tegas. "Aku memilih Jerman karena aku diterima di sana. Nanti aku akan bekerja paruh waktu. Kalau sudah waktunya, kamu akan aku ajak ke sana, Sinta."

Sinta terdiam sejenak, mencerna kata-kata Raka. Jerman? Dia tidak menyangka. Selama ini, Raka selalu bercerita tentang mimpi-mimpinya untuk menjelajahi kota-kota tua di Italia atau menikmati keindahan musim semi di Jepang. Tapi kini, pilihannya jatuh pada Jerman, sebuah tempat yang jarang mereka bahas.

"Kenapa Jerman, Kak?" tanya Sinta, mencoba memahami keputusan kakaknya.

Raka menghela napas, lalu menjawab dengan tenang, "Jerman menawarkan kesempatan yang lebih baik untukku, Sinta. Aku diterima di sebuah program yang sangat bagus, dan aku juga bisa bekerja paruh waktu di sana. Ini adalah kesempatan yang tidak bisa aku lewatkan."

Sinta mengangguk pelan, meski hatinya masih penuh pertanyaan. Dia tahu Raka adalah seseorang yang selalu mempertimbangkan segala sesuatu dengan matang. Jika dia memilih Jerman, pasti ada alasan kuat di baliknya.

"Tapi janji ya, Kak, kalau sudah waktunya, kamu akan ajak aku ke sana," ujar Sinta, mencoba menyembunyikan sedikit keraguan dalam suaranya.

Raka tersenyum lebar, lalu mengusap kepala Sinta dengan lembut. "Janji. Aku tidak akan melupakanmu, Sinta. Jerman mungkin jauh, tapi kita akan tetap dekat."

Mendengar itu, Sinta merasa sedikit lega. Meski Jerman bukanlah tempat yang pernah dia bayangkan, dia tahu bahwa Raka akan selalu ada untuknya, bahkan dari seberang benua. Dia pun mulai membayangkan bagaimana nantinya ketika dia bisa menginjakkan kaki di Jerman, melihat langsung tempat di mana Raka akan menghabiskan waktunya.

Sore itu, di tengah percakapan singkat mereka, Sinta mulai memahami bahwa terkadang, pilihan-pilihan dalam hidup tidak selalu sesuai dengan rencana awal. Tapi yang terpenting adalah bagaimana kita menjalaninya dengan keyakinan dan harapan. Dan untuk Sinta, selama Raka ada di sisinya, dia yakin semuanya akan baik-baik saja.

Di bandara, Sinta menangis sambil memeluknya. “Jangan lupakan kami, Kak.”

“Aku tidak akan pernah lupa, Sinta. Aku pergi untuk mencari masa depan yang lebih baik, bukan untuk melupakan siapa diriku.”

Saat pesawat lepas landas, Raka menatap ke luar jendela. Jakarta semakin kecil di kejauhan, tapi di hatinya, ia tahu suatu hari ia akan kembali. Entah kapan, entah bagaimana, tapi ia berharap saat itu Indonesia sudah berubah menjadi suatu negara tempat yang lebih baik untuk ditinggali.

New chat

Today

Raka pilih Jerman, ajak Sinta nanti.

Negara dengan Kekurangan Penduduk Global

Saran Cerita Lanjutan yang Dramatis

Yesterday

Dilema Cinta Ghenadie dan Pecahnya Hidup

7 Days

Ghenadie Lamun dan Tak Terduga Kejadian

Perpisahan, Pertemanan, dan Tantangan Baru

Ghenadie dan Desy: Pertengkaran di Restoran

Anto Membersihkan Sisa Karyawan dan Konflik

Saran Perbaikan Cerita Pengadilan Surga

Perjuangan Pak Anton Merebut Perusahaan

Lembaga mencatat rekor di dunia

30 Days

Pak Anton dan Arif Melarikan Diri dari Pelacak

Cara Mengetahui HP Dilacak dengan Tanda

Kelompok Pak Rahmat Menjadi Musuh Korupsi

Generasi Muda dan Dampak Kecanduan Ponsel

Kejar-Kejaran Maut di Malam Hujan

Jarak dan waktu perjalanan Probolinggo-Semarang

Drama dan Pertarungan dalam Cerita Menarik

Kelompok Bermain Gaplek di Kapal

Rabu Abu: Awal Perjalanan Tobat Katolik

Gambar alam gersang akibat kerusakan manusia

Desy Bertahan di Mal Berantakan

Get App

Raka pilih Jerman, ajak Sinta nanti.

Apakah kakak tidak jadi ke Jepang atau Italia? tanya Sinta. Tidak, jawab Raka. Aku memilih Jerman, karena aku di terima di sana. Nanti aku akan bekerja part time. Kalau sudah waktunya, kamu aku ajak ke sana, Sinta.

 

Sinta bertanya, "Apakah kakak tidak jadi ke Jepang atau Italia?"

 

Raka menjawab, "Tidak. Aku memilih Jerman karena aku diterima di sana. Nanti aku akan bekerja paruh waktu. Kalau sudah waktunya, kamu akan aku ajak ke sana, Sinta."

 

Dari percakapan tersebut, dapat disimpulkan bahwa Raka memilih untuk pergi ke Jerman karena dia diterima di sana dan berencana untuk bekerja paruh waktu. Dia juga berjanji akan mengajak Sinta ke Jerman ketika sudah waktunya.

buatlah bagian bab cerpen sepanjang 400 kata dari teks berikut ini: Sinta bertanya, "Apakah kakak tidak jadi ke Jepang atau Italia?"

 

Raka menjawab, "Tidak. Aku memilih Jerman karena aku diterima di sana. Nanti aku akan bekerja paruh waktu. Kalau sudah waktunya, kamu akan aku ajak ke sana, Sinta."

 

Dari percakapan tersebut, dapat disimpulkan bahwa Raka memilih untuk pergi ke Jerman karena dia diterima di sana dan berencana untuk bekerja paruh waktu. Dia juga berjanji akan mengajak Sinta ke Jerman ketika sudah waktunya.

 

Bab 1: Pilihan yang Tak Terduga

 

Sinta duduk di tepi kursi, matanya menatap Raka dengan penuh tanya. Udara sore yang hangat mengelilingi mereka, dan suara burung-burung yang berkicau di luar jendela seolah menjadi latar yang sempurna untuk percakapan ini. "Apakah kakak tidak jadi ke Jepang atau Italia?" tanyanya, suaranya lembut namun penuh keingintahuan.

 

Raka tersenyum, matanya berbinar dengan keyakinan. "Tidak," jawabnya tegas. "Aku memilih Jerman karena aku diterima di sana. Nanti aku akan bekerja paruh waktu. Kalau sudah waktunya, kamu akan aku ajak ke sana, Sinta."

 

Sinta terdiam sejenak, mencerna kata-kata Raka. Jerman? Dia tidak menyangka. Selama ini, Raka selalu bercerita tentang mimpi-mimpinya untuk menjelajahi kota-kota tua di Italia atau menikmati keindahan musim semi di Jepang. Tapi kini, pilihannya jatuh pada Jerman, sebuah tempat yang jarang mereka bahas.

 

"Kenapa Jerman, Kak?" tanya Sinta, mencoba memahami keputusan kakaknya.

 

Raka menghela napas, lalu menjawab dengan tenang, "Jerman menawarkan kesempatan yang lebih baik untukku, Sinta. Aku diterima di sebuah program yang sangat bagus, dan aku juga bisa bekerja paruh waktu di sana. Ini adalah kesempatan yang tidak bisa aku lewatkan."

 

Sinta mengangguk pelan, meski hatinya masih penuh pertanyaan. Dia tahu Raka adalah seseorang yang selalu mempertimbangkan segala sesuatu dengan matang. Jika dia memilih Jerman, pasti ada alasan kuat di baliknya.

 

"Tapi janji ya, Kak, kalau sudah waktunya, kamu akan ajak aku ke sana," ujar Sinta, mencoba menyembunyikan sedikit keraguan dalam suaranya.

 

Raka tersenyum lebar, lalu mengusap kepala Sinta dengan lembut. "Janji. Aku tidak akan melupakanmu, Sinta. Jerman mungkin jauh, tapi kita akan tetap dekat."

 

Mendengar itu, Sinta merasa sedikit lega. Meski Jerman bukanlah tempat yang pernah dia bayangkan, dia tahu bahwa Raka akan selalu ada untuknya, bahkan dari seberang benua. Dia pun mulai membayangkan bagaimana nantinya ketika dia bisa menginjakkan kaki di Jerman, melihat langsung tempat di mana Raka akan menghabiskan waktunya.

 

Sore itu, di tengah percakapan singkat mereka, Sinta mulai memahami bahwa terkadang, pilihan-pilihan dalam hidup tidak selalu sesuai dengan rencana awal. Tapi yang terpenting adalah bagaimana kita menjalaninya dengan keyakinan dan harapan. Dan untuk Sinta, selama Raka ada di sisinya, dia yakin semuanya akan baik-baik saja.

buatlah bagian bab cerpen sepanjang 400 kata dari teks berikut ini: Raka berharap, selama dia berada di Jerman, keadaan Indonesia bisa lebih baik. Korupsi dilibas, nasib guru honor diperhtikan, rakyat di perhatikan, juga hal-hal ,lain yang jadi permasalah di Indonesia.

Setelah transit melalui Doha, Qatar, Raka tiba di Jerman dan kuliah di sana. Udara dingin musim gugur menyelimuti sekelilingnya, tapi pikirannya justru melayang jauh ke tanah airnya, Indonesia.

Dia memegang secangkir kopi hangat, menatap dedaunan yang mulai menguning, sambil merenungkan nasib negerinya.

"Semoga selama aku di sini, keadaan Indonesia bisa lebih baik," gumamnya pelan, seolah berharap kata-katanya bisa sampai ke telinga para pemimpin di sana. Matanya menatap jauh, membayangkan wajah-wajah rakyat kecil yang selama ini hidup dalam ketidakpastian.

Korupsi yang merajalela, nasib guru honorer yang tak kunjung diperhatikan, dan rakyat yang seolah terlupakan. Semua itu menjadi beban di pikirannya.

Raka teringat pada gurunya dulu, Pak Harun, seorang guru honorer yang mengabdikan hidupnya untuk mendidik anak-anak di desanya. "Gaji kecil, tapi semangatnya besar," kenang Raka.

Tapi betapa mirisnya, guru-guru seperti Pak Harun harus bertahan hidup dengan upah yang tak sebanding dengan pengorbanan mereka. "Kapan negara ini akan benar-benar memperhatikan mereka?" tanyanya dalam hati.

Dia juga tak bisa melupakan berita-berita korupsi yang terus menghiasi media. Uang rakyat yang seharusnya digunakan untuk membangun negeri, justru dikorupsi oleh segelintir orang yang tak bertanggung jawab. Raka menghela napas panjang. "Kapan semua ini akan berakhir?" tanyanya lagi, seolah tak ada jawaban yang memuaskan.

Tapi di tengah kepedihan itu, Raka masih menyimpan harapan. Dia yakin, perubahan pasti akan datang, meski perlahan. Dia berharap, selama dia berada di Jerman, belajar dan bekerja keras, dia bisa membawa pulang ilmu dan pengalaman yang berguna untuk negerinya. "Aku tidak akan diam saja," tekadnya. "Aku akan berkontribusi, sekecil apa pun itu."

Raka pun teringat pada adiknya, Sinta, yang selalu mendukungnya. "Nanti, kalau aku sudah pulang, kita akan berjuang bersama," bisiknya, seolah Sinta ada di sampingnya. Dia membayangkan masa depan Indonesia yang lebih baik, di mana korupsi sudah dilibas, guru-guru honorer mendapatkan hak mereka, dan rakyat hidup sejahtera.

Angin dingin berhembus lagi, membawa Raka kembali ke kenyataan. Dia tersenyum kecil, meneguk kopinya yang mulai dingin. "Indonesia, aku percaya padamu," ujarnya pelan. "Aku akan pulang dengan harapan baru, dan kita akan membangun negeri ini bersama."

Di kejauhan, matahari mulai terbenam, meninggalkan langit berwarna jingga. Raka pun bangkit dari duduknya, siap melanjutkan hari-harinya di Jerman dengan semangat baru. Dia tahu, perjalanannya masih panjang, tapi harapannya untuk Indonesia tak akan pernah padam.

***

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Self Improvement
Rekomendasi