Disukai
0
Dilihat
2,133
Tali
Drama

Ini cerita tentang seutas tali, yang tak pernah ditanyai tentang pilihan dan tak pernah bisa memilih akan jadi apakah ia di masa depan.

*

Hanya ada satu jenis tali berwarna cokelat, dengan ulir-ulir di seluruh permukaannya, yang dijual di kios milik seorang lelaki muda. Dalam kios kecil yang letaknya di kompleks perumahan, tali sebesar kelingking balita itu berdesak-desakan bersama barang-barang kebutuhan rumah tangga, rokok-rokok, serta jajanan lainnya.

Kios seluas 3×3 meter itu memang selalu buka setiap hari. Pagi-pagi sebelum keriuhan ibu-ibu dan anak-anak menjelang, saat rentetan bising sepeda motor mulai memenuhi jalanan kompleks, pemuda berumur 25 tahun bernama Sal, sudah bertungkus lumus dengan gerendel dan bilah-bilah papan penutup kios. Bahkan seringkali sebelum dia sempat menyelesaikan pembukaan kios, ibu-ibu yang kepepet akan sarapan anaknya, membuat papan-papan pembatas kios itu terbuka hanya setengahnya.

Jika kerepotan para ibu di pagi hari mampu membuat pemuda itu sibuk, lain halnya dengan seorang lelaki lanjut usia yang cuma duduk tenang untuk membeli sebungkus nasi uduk. Setelah kesibukan kios berakhir, lelaki penggemar kaus putih tipis dan celana selutut itu akan menikmati sarapan tanpa suara. Umurnya baru enam puluhan, berkepala plontos, dan tinggal sendirian tanpa anak istri. Orang-orang memanggilnya dengan sebutan 'Kakek'. Rumah tak berpagar miliknya terletak tepat di depan kios. Cukup berjalan kaki sekian langkah dan siapa pun bisa melihat ruang tamu miliknya.

Perihal tentang tali cokelat itu sebenarnya adalah kisah sederhana. Ia hanya sekumpulan benda sederhana, berjajar bersama jenis-jenis tali lain: tali rafia hitam, tali rafia hijau, serta tali tambang kuning, yang disusun rapi di dinding kios oleh Sal. Tak jarang, pria berkumis tipis itu harus berulangkali membersihkan debu yang menutupi plastik pembungkus tali-tali tersebut karena tak selalu ada orang-orang datang membelinya.

Di pagi itu, saat Kakek bahkan belum menyelesaikan sarapannya, tak satu pun yang tahu, termasuk si Sal, bahwa hari itu adalah pagi terakhir Kakek membeli nasi bungkus. Aroma minyak angin khas milik Kakek pun masih membekas di tempat yang didudukinya. Tanpa rasa gelisah, Sal duduk manis mendengar cerita Kakek yang kebanyakan isinya adalah keluhan. Kakek mengeluhkan tentang tangkai timbanya yang patah. Katanya, sudah dua timba tak bisa digunakan untuk memindahkan air karena tak memiliki tangkai.

Sementara pembeli terus datang silih-berganti, otak Sal terus memikirkan solusi untuk permasalahan Kakek. Memang, sejak kepindahan lelaki tua itu setahun lalu, Sal merasa bertanggungjawab akan kebutuhan harian Kakek. Dialah yang banyak memberikan bantuan untuk lelaki tua tersebut. Kebutuhan makanan, sabun, dan keperluan lainnya, termasuk menyediakan pasokan air bersih harian si Kakek, yang sudah dilakukannya seminggu ini karena sumur Kakek yang kerap kali kering saat kemarau tiba. Dalam pikiran Sal, bagaimana bisa dia tenang menikmati hari sementara tak lebih dari belasan meter darinya, seorang lelaki lanjut usia tinggal sendirian dan butuh banyak perhatian.

Tak cukup sampai di perkara timba, keluhan Kakek menjadi panjang lebar. Apalagi kalau bukan keluhan tentang anak-anak dan cucu-cucu yang lama tak menjenguknya. Seolah sudah hafal akan hal itu, setelah sesi keluhan berakhir, Sal selalu berinisiatif untuk menelepon satu per satu anak-anak Kakek, entah itu si Marni anak pertama, Santi anak kedua, Sari anak ketiga, atau Laila anak keempat. Niatnya sederhana saja, dia ingin meredakan kegelisahan Kakek. Namun, seperti yang sudah-sudah, tak satu pun dari keempat perempuan berusia tiga puluhan itu memberikan jawaban yang menyenangkan hati Kakek.

Bisa jadi, inilah yang semua orang kesepian rasakan: kesendirian dan keterasingan. Ketika harapan-harapan akan pertemuan dengan orang yang mereka sayangi pupus, maka pelampiasannya adalah menyalahkan diri sendiri sebagai manusia yang tak cukup pantas untuk merasakan kebahagiaan. Seperti halnya pancaran keceriaan yang padam pada sorot mata Kakek pagi itu, karena berulangkali dipatahkan oleh kenyataan.

“Istriku bilang, dia pergi karena kami selalu bertengkar. Katanya aku adalah orang yang pemarah. Kupikir, setelah anak-anakku jadi orang berhasil, mereka bisa membesarkan cucu-cucu yang menghibur masa tuaku. Tapi, sudah dua bulan ini tak satu pun mereka datang melihatku. Apa tak ada lagi orang yang rindu sama laki-laki tua yang sering menyusahkan ini.”

Setelah mengatakan itu, Kakek jadi banyak diam. Meski Sal mencoba memancing dengan obrolan lain, tentang kiosnya yang makin sempit, juga tentang anak-anak yang sering mencuri permen, tak satu pun obrolan itu direspon oleh Kakek. Lelaki tua itu lalu meninggalkan kios sebelum Sal sempat mengucapkan kata-kata penghiburan.

Sal sempat merasa senang karena lima menit setelahnya Kakek kembali lagi ke kios lalu meminta tali tambang cokelat sepanjang 3 meter. Dengan gerak cepat, diulurkannya tali dan dipotong sesuai permintaan Kakek.

“Terima kasih atas bantuanmu, ya,” kata Kakek sendu.

“Gimana kalau hari ini air itu saya sambungkan saja dengan selang? Kakek enggak perlu mengangkat air pakai timba.”

“Selang air terlalu lama mengalirnya. Aku tak sabar menunggu.”

Sal manggut-manggut. Dia paham. Bahkan selang air yang diulur dari sumur belakang rumah ke kios pun laju airnya sangatlah lamban, apa lagi jika dialirkan sampai ke rumah Kakek.

“Apa perlu saya bantu buatkan tali timbanya, Kek?”

“Tak usah. Aku bisa sendiri.”

Jelas saja tak ada perasaan mengganjal saat dia menyaksikan Kakek pamit pulang dan membawa tali cokelat itu. Bahkan, langkah-langkah kaki Kakek yang tertatih itu pun masih dapat dilihat oleh Sal ketika menanjaki dua buah tangga keramik menuju beranda rumah. Sal berpikir semoga tali itu benar-benar bisa digunakan sebagai pengganti tangkai timba.

Setiap orang, semua manusia di muka bumi ini, entahkah dirinya, si Kakek, atau makhluk hidup mana pun, tak ada yang tahu akan jadi apa mereka di masa depan. Begitupulalah seutas tali yang notabenenya adalah benda mati.

Andai tali itu pun diberi pilihan untuk menjadi apa, tentu pula pilihannya adalah hal yang baik-baik.

Lalu, siapa yang tahu, seutas tali tanpa dosa, yang tadinya teronggok berdebu, setelah keluar dari kios kecil itu ianya berganti menjadi lilitan di kusen pintu kamar belakang Kakek. Ujung tali yang tersisa lebih dari semeter itu tersimpul ujungnya, membentuk sebuah kalung besar. Di kalung besar itulah lelaki lanjut usia itu pelan-pelan memasukkan kepalanya, mengencangkan tali itu ke leher, lalu menendang bangku kayu tempatnya berdiri.

Sal yang tak tahu-menahu tentang nasib tali itu, tak sedikitpun dia berpaling dari kegiatannya. Dia sibuk dengan para pembeli. Kalaupun terlintas perasaan aneh, adalah ketika Kakek tak muncul kembali setelah pembicaraan terakhirnya. Terlebih lagi, Sal sempat melihat ekspresi wajah Kakek yang penuh dengan kesedihan saat meninggalkan kios

Maka, sebelum magrib menjelang dan si Kakek tak jua muncul, Sal nekat mengetuk pintu rumah Kakek. Akan tetapi, tak ada jawaban, tak ada sahutan. Jauh sebelum Sal mengintip dari celah jendela dapur, tak sedikitpun terlintas di benaknya bahwa tali yang dijual berjam-jam lalu itu akan jadi satu penyesalan terbesar baginya. Pemandangan tragis itu adalah pemandangan yang paling tak ingin diingatnya seumur hidup.

Jika saja tali itu bisa berpikir, ia pun bingung, siapa yang sebenarnya harus dipersalahkan: entahkah ia—si benda mati yang tak bisa berbuat apapun, si Sal yang memperjualbelikan benda itu tanpa mempedulikan fungsinya, si Kakek yang rajin salat tapi seperti tak punya cukup iman, si Nenek yang meninggalkan suami hidup sendirian, si Marni yang selalu sibuk dengan onlineshop miliknya, si Santi yang sibuk dengan bayi, si Sari yang selalu sibuk merawat orang sakit, atau si Laila yang sibuk berbulan madu.

Yang polisi tahu, yang orang-orang sekampung tahu, ia, si tali cokelat yang panjangnya tiga meter itu, adalah satu-satunya saksi bisu sekaligus tersangka utama penyebab tewasnya seorang lelaki tua kesepian. []

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar