Harmonis, begitu kiranya keadaan keluarga Edo yang tinggal satu rumah bersama orangtua serta kedua saudaranya. Rumah dengan suasana asri pegunungan, menyimpan banyak kenangan harmonis di dalamnya. Kini tujuh tahun sudah Edo dan kedua saudaranya, Andre si sulung dan Syarma si bungsu, telah berpindah ke kota. Mereka melanjutkan hidup masing-masing dengan alasan pernikahan bagi Andre, dan pekerjaan bagi Edo dan Syarma. Sesekali, Edo menyempatkan waktu dari sibuknya pekerjaan untuk mengunjungi orang tuanya. Tapi tidak dengan kedua saudaranya yang lain, Andre dan Syarma. Hingga suatu ketika sang Ayah menghembuskan nafas terakhir, barulah Andre dan Syarma berkunjung.
Sebuah bendera kuning terpasang di tiang sudut rumah. Lantunan-lantunan doa terdengar dari para tetangga yang melayat. Edo yang baru tiba di rumah langsung mengambil wudhu sehabis dari pemakaman Ayahnya. Terlihat seorang lelaki berkemeja hitam berdiri di depan rumah, saat Edo hendak masuk. Wajah yang kini asing bagi Edo, dialah Andre, si sulung yang baru sekarang berkunjung ke rumah itu.
“Maafkan aku, Ed. Aku nggak sempet ikut ke pemakaman Bapak,” ujar Andre terlihat tanpa penyesalan.
“Ohh.., iya nggak apa-apa kok” balas Edo sinis, lalu melanjutkan langkahnya meninggalkan Andre.
Edo melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah. Belum sempat dia duduk, seorang perempuan yang sedang menangis tiba-tiba memeluknya.
“Mas Edo, maaf aku baru bisa datang sekarang,” kata Syarma, memeluk Edo dengan erat sambil menangis.
“Iya Syar, nanti kita ngobrol lagi” ucap Edo lalu melepas rangkulan Syarma dan duduk.
Edo menaruh kekecewaan pada kedua saudaranya itu. Kenapa baru sekarang mereka berkunjung, setelah sang Ayah tiada. Seperti anak yang tak tahu balas budi. Bahkan mereka baru tahu sekarang, jika kondisi sang Ibu sakit-sakitan, yang bahkan untuk berdiri saja sang Ibu kualahan.
Malam hari usai pengajian, di ruang tengah kedua saudara Edo mengajaknya diskusi tanpa sepengetahuan Ibu yang sedang berada di kamar.
Belum habis rasanya Edo berduka atas kehilangan Ayahnya. Ditambah lagi kini dia harus melihat kakak dan adiknya yang justru kehadirannya mengganggu bagi Edo. Dengan melihat wajah Andre saja, Edo sudah tahu tujuan kakaknya. Sedangkan Syarma, dia pasti tak mau direpotkan oleh segala sesuatu yang dirasa beban bagi si bungsu itu.
“Aku tahu ini terlalu cepat buat dibahas sekarang, Ed. Tapi ini mumpung kita lagi kumpul,” Kata Andre dengan suara pelan.
“Apa maksudmu?” tanya Edo yang sudah tahu arah pembicaraan Andre.
“Kita harus jual rumah ini” jawab Andre.
“Gila kamu! Ibu mau tinggal di mana? Lagian emang kamu mau nampung dan ngurus Ibu di rumahmu? Enggak kan?” ucap Edo penuh emosi.
“Mas, apa nggak sebaiknya Ibu dititipin ke panti jompo aja? Ibu udah sakit-sakitan, kasihan nggak ada yang urus” tambah Syarma memberi pendapat.
“Kalian memang keterlaluan. Apa selama ini kalian pernah ngurusin Ibu? Ibu sakit aja kalian baru tahunya sekarang kan?” Bentak Edo.
“Ed, kamu harus ngerti. Bener apa kata Syarma. Lagian aku juga punya hak atas rumah ini. Bisnisku lagi bangkrut, Ed. aku harus ngasih makan anak dan istriku” ucap Andre menguatkan argumen.
“Itu karena ulahmu sendiri, Ndre. Tabiatmu yang suka main judi sampai sekarang masih kan? Pantas kamu bangkrut!” ujar Edo kesal.
“Dan kamu Syar, dari dulu aku yang selalu ngurusin Ibu sama Bapak. Kalau kamu punya hati sebagai anak, harusnya kamu nggak kepikiran buat nitipin Ibu ke panti jompo. Lagian bukan kamu kan, yang ngurusin Ibu selama ini?” kata Edo bernada tinggi.
“Ini juga demi kamu mas, jadi kamu nggak perlu repot lagi buat ngurusin Ibu” sanggah Syarma mencari alasan.
“Kamu tuh nggak bisa dikasih tahu ya, Ed!” timpal Andre marah.
“Aku bilang enggak ya enggak” kata Edo lalu spontan menggebrak meja.
Sang Ibu yang mendengar pembicaraan mereka, lalu keluar dari kamarnya.
“Ada ribut-ribut apa ini nak?” tanya Ibu yang berdiri dengan sorot mata berkaca-kaca memandangi wajah anak-anaknya.
Suasana seketika menjadi hening. Edo yang melihat Ibunya tak lagi kuasa menopang tubuh dalam keadaan berdiri, kemudian menuntunnya ke tempat duduk. Sang Ibu yang sudah tahu permasalahan anak-anaknya, kini ikut bicara.
“Nak, Ibu nggak apa-apa kalau harus hidup sendirian. Ibu nggak mau kalau anak-anak Ibu berantem hanya gara-gara Ibu. Ndre, Ibu tahu kamu lagi ada masalah. Kalau kamu butuh warisan dari rumah ini, Ibu nggak apa-apa kok kalau rumah ini harus dijual. Bagi Ibu yang terpenting adalah kalian. Syarma juga nggak usah khawatir, Ibu juga nggak mau ngerepotin Syarma. Ibu mau kok kalau harus dititipkan ke panti jompo. Malahan Ibu seneng, jadi ada temennya di sana” kata Ibu bersuara halus dengan melempar senyum tulusnya.
Andre dan Syarma tersadar oleh tulusnya perkataan sang Ibu. Tiga bersaudara itu kemudian langsung memeluk Ibunya. Suasana haru, kini menyelimuti rumah yang sekian lama tak tersentuh oleh keharmonisan sebuah keluarga. Namun sayang, keharmonisan itu harus terhenti. Tubuh sang Ibu tiba-tiba lemas dan tak sadarkan diri.
“Loh, Ibu..” ucap Edo.
“Ibu kenapa buk? kata Syarma panik.
Edo dan Andre lantas dengan sigap membawa sang Ibu ke kamar.
“Ibu, bangun. Ibu kenapa?” ucap Syarma sembari menggoyang-goyangkan bahu Ibunya. Berharap sang Ibu tersadar.
Andre kemudian memegang pergelangan tangan sang Ibu. Si Sulung itu berusaha tenang, dengan harap-harap cemas dirinya memastikan nadi Ibunya yang perlahan mulai melemah. Hingga kemudian, butiran air bening tumpah dari mata Andre. Bersamaan dengan hilangnya denyut nadi sang Ibu.
“Ibuk..” teriak Andre histeris, lalu memeluk Ibunya.
Air mata Edo dan Syrama juga tak lagi bisa terbendung. Mereka turut memeluk sang Ibu yang terbaring diam tak bergerak di ranjang. Sang Ibu, menghembuskan nafas terakhir menyusul sang Ayah, dalam pelukan ketiga anaknya. Edo tidak menyangka, jika pelukan itu, adalah pelukan terakhir sang Ibu dengan ketiga anaknya.
***
Kepergian sang Ibu, mendatangkan kembali keharmonisan untuk ketiga orang anaknya. Rasa penyesalan menyelimuti hati Andre dan Syarma. Keduanya sadar, apa yang telah mereka lakukan selama ini, adalah sebuah kesalahan yang tak sepantasnya mereka lakukan kepada kedua orangtua mereka. Kasih sayang orangtua tak akan pernah lekam termakan oleh waktu. Bahkan tulusnya kasih sayang orangtua, tak mengharapkan kembali balasan apa pun dari anak-anaknya. Tetapi nasi sudah menjadi bubur. Kini Andre, Syarma, dan Edo memutuskan untuk saling menjalin hubungan baik sebagai saudara yang harmonis. Dan mereka berjanji akan bersama-sama merawat rumah peninggalan kedua orangtua mereka. Rumah semasa kecil mereka, sebagai tempat di mana mereka dibesarkan oleh Ibu dan Ayah mereka dengan penuh kasih sayang dan keharmonisan.
-Selesai-