Disukai
0
Dilihat
402
Surau Kami Roboh
Drama

“Oi, Gan. Kakimu itu jangan menyepak-nyepak air. Basah nanti pakaianku.” Aku melayangkan protes kepada Gani. Dari tadi di sepanjang jalan ini dia menyepak-nyepakkan kakinya pada genangan air di jalan tanah yang kami lalui.

Aku, Gani, Sopian, Amin, dan Fauzan setiap hari menempuh jalan tanah ini dengan berjalan kaki, baik pergi maupun pulang sekolah. Jarak rumah kami dengan sekolah sekitar dua kilometer. Anak-anak kampung seperti kami sudah terbiasa berjalan kaki dari dan ke sekolah, walau sebagian ada yang mengendarai sepeda.

Hujan turun lebat saat hendak pulang sekolah tadi. Celakanya, aku tidak membawa payung. Terpaksa aku harus menunggu hujan reda untuk pulang ke rumah.

Aku teringat perkataan Emak pagi tadi, saat hendak berangkat ke sekolah. Emak sudah mewanti-wanti agar aku membawa payung. Ah, dasar aku. Kutolak perintah emak itu. Kualat aku jadinya. Kalau bukan karena menolak perintah Emak untuk membawa payung, mungkin aku sudah berada di rumah dari tadi.

“Za, bawalah payung ini. Mana tahu nanti hujan. Kau bisa terlambat pulang.” Emak menyuruh sambil mengacung-acungkan payung ke arahku, sementara aku sudah bersiap dengan tas di punggung, hendak berangkat.

“Tak perlu, Mak. Nampaknya ari sedang cerah,” kataku berkilah.

“Oi, Za. membandel sekali kau dibilangin. Sedia payung sebelum hujan. Begitu kata pepatah.” Emak mulai gusar.

“Tak usah, Mak. Nanti kalau Za bawa, emak pakai apa kalau perlu?” Aku masih menolak sembari memberikan alasan yang lain.

“Kau ini, Za. Banyak sekali alasanmu.” Emak masih saja gusar, tidak menerima alasanku. Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal, kemudian memutuskan untuk menyudahi obrolan pagi dengan Emak.

“Za berangkat ya, mak. Assalamualaikum.” Aku salami tangan Emak, lalu kucium. Tangannya bau kunyit. Emak menjawab salamku, duduk di kursi plastik di balik mesin jahitnya.

Setelah pamit kepada Emak, aku melangkah keluar. Aku melihat Amin dan Fauzan berjalan beriringan. Aku menyongsong mereka berdua. Akhirnya kami berjalan bertiga menuju ke sekolah.

Hujan mulai reda, menyisakan rintik gerimis. Aku putuskan untuk menerobosnya, bersama Gani, Sopian, Amin, dan Fauzan. Akibat hujan, jalanan menjadi becek. Genangan air terlihat di sana-sini. Sepatu kami tenteng. Kami berjalan dengan bertelanjang kaki. Aku berjinjit-jinjit saat menginjak kerikil-kerikil yang berujung tajam.

Lagi-lagi Gani menyepak-nyepakkan kakinya saat melewati genangan air. Tak mau kalah, Fauzan dan Amin juga ikut-ikutan menyepak-nyepakkan kaki mereka di genangan air. Seragam merah putih mereka sudah basah. Aku memperlambat jalanku, berlindung di balik tubuh Sopian yang gempal, agar cipratan air tidak mengenai pakaianku. Kalau aku pulang sementara pakaianku basah, habislah aku dimarahi emak.

“Oi, kalian bertiga. Jangan menyepak-nyepak di genangan air lagi! Basah nanti pakaianku. Bisa dimarahi emak aku nanti gara-gara kalian.” Aku memprotes lagi sambil mengarahkan kepalan telapak tangan kananku kepada mereka.

“Ah, kau ini Za. Tidak bisa diajak seru-seruan.” Gani memprotes balik.

“Macam kau tak tahu saja, Gan. Mirza itu kan anak kesayangan emak, anak semata wayang. Lecet sedikit saja tak boleh,” gurau Fauzan. Semua tertawa kecuali aku.

“Tentu saja begitu emakku. Dia sayang aku. Bukan macam kau, Jan. Kau tak pulang tiga hari pun tak akan dicari.” Aku membalas Fauzan. Suara tawa makin menggelegar. Tawaku yang paling kencang. Kali ini Fauzan yang bermuka kecut. Kepalan tangannya didaratkan ke bahuku. Aku berhasil mengelak dari kepalan tangannya.

“Eh, nanti setelah salat asar kita tidak usah pulang. Kita tunggu saja di surau sampai magrib. Lalu kita mengaji. Bagaimana, boi? Setuju?” tiba-tiba Sopian memberi usul, mengalihkan gurauan kami. Tawa kami mereda.

"Mengaji kita kan sehabis magrib, Pian. Buat apa menunggu lama-lama?" Aku menyanggah.

“Apa yang kau rencanakan, Pian? Kalau kau tak jelas, lebih baik aku di rumah saja menonton tv,” timpal Amin.

“Tenang dulu, boi. Kalian tak ingat tugas hafalan dari Ustaz Riski?” Sopian mengingatkan. Aku mengangguk-angguk mengerti.

“Alamak. Aku belum hafal. Aku tidak mau kena rotan sama Ustaz Riski.” Amin sontak berseru, kedua tangannya memegang kepala seperti orang sakit kepala.

“Kalau begitu, kita tidak usah datang saja,” usul Gani.

“Oi, mana boleh seperti itu, Gan? Kita ini laki-laki. Harus gentlemen," aku memprotes.

"Kau takut, Gan? Macam perempuan saja kau ini. Badanmu saja yang besar, tapi nyalimu ciut.” Fauzan meledek. Gani geram. Dikejarnya Fauzan. Disepaknya air ke arah Fauzan. Air terciprat membasahi bajunya.

“Jangan salah, wey. Anak-anak perempuan itu nyatanya lebih hebat dari kita. Kau tengok saja Afia, Amira, Aisyah, Diah, Khanza, dan Icha itu. Mana pernah mereka kena rotan sama ustaz? Bukan macam Gani, macam pelanggan tetap cambuk rotan,” aku berseloroh. Tawa kami menggelegak, kecuali Gani.

“Oi,” protes Gani, tidak terima, "macam kau tidak pernah kena rotan saja, Za. Macam Pian."

Sopian tertawa lirih. Ya, di antara kami berlima, seingatku hanya Sopian saja yang belum pernah kena rotan.

“Makanya aku usulkan seperti tadi. Biar kita menghafalkannya sehabis asar. Aku tidak mau kena rotan nanti gara-gara aku tidak setoran. Bisa-bisa Mamakku marah. Dicambuknya lagi aku nanti,” Sopian berargumen. Aku mengangguk setuju.

Obrolan kami terus berlanjut. Kami telah bersepakat, tetap berada di surau sehabis asar hingga magrib untuk mengerjakan tugas hafalan Ustaz Riski. Perjalanan pulangku berakhir saat aku telah berada di depan rumahku.

***

Dededededet

Suara mesin jahit Emak menyambut kepulanganku. Suaranya terdengar sampai luar rumah. Setelah mengucapkan salam, aku cepat-cepat menyelonong masuk ke dalam rumah. Aku tidak mau dimarahi Emak karena pakaianku basah.

Aku segera bersalin pakaianku yang basah akibat hujan yang masih tersisa saat pulang tadi serta bercampur keringat. Setelah ganti pakaian, aku bersantap siang. Kemudian aku masuk ke dalam kamar, merebahkan tubuhku sejenak di atas tempat tidur. Kulihat jam dinding, masih ada waktu satu jam untuk tidur siang sebelum berangkat ke surau saat asar nanti, pikirku.

Dededededet

Alamak, suara mesin jahit Emak. Berisik sekali. Bagaimana aku bisa tidur? Kupaksakan mataku untuk terpejam, meski suara mesin jahit terdengar jelas di telingaku. Tetap susah. Akhirnya aku tutupkan bantal di atas kepalaku.

***

“Za. Bangun!” Sayup-sayup aku mendengar suara Emak. Tubuhku diguncang-guncang oleh Emak. “Mirza Ahmad, bangun kau! Hari sudah sore.” Suara Emak menjadi jelas karena bantal yang menutup kepalaku diangkat. Guncangan tubuhku juga makin kencang.

Aku mengucek mata, lalu duduk di tepi dipan. Kupandang Emak, tangannya berkacak pinggang.

“Mak, membangunkan Za itu, kalau sudah dekat waktu asar. Bukan sekarang,” jawabku setengah sadar.

“Oi, Mirza. Salat Asar sudah lewat setengah jam yang lalu!”

Aku terbelalak, kulihat jam dinding. “Alamak! Aku terlambat! Aduh, Mak, kenapa baru bangunkan Za jam segini?!” Aku berseru panik.

“Oi, Za! Dari tadi Emak sudah berteriak-teriak, tapi kau tak bangun-bangun. Kau tidur macam orang mati.”

Aku berlari ke kamar mandi, mengambil wudu, lalu mengerjakan salat asar. Seusai salat, aku bergegas ke kamar mandi lagi, mandi, berpakaian, berkopiah, bersarung, dan membawa Alquran, kemudian bersiap pergi ke surau. Saat melewati ruang tamu, aku pamit pada Emak, mau ke surau.

“Za, bawalah payung. Kau tak tengok langit gelap begitu? Mau hujan lebat nampaknya. Lagipula tidak biasanya kau berangkat ke surau jam segini,” Emak berseru dari balik mesin jahitnya. Tangannya masih memegang kain dan gunting.

Kali ini aku tidak mau mendebat Emak soal payung. Bisa kualat lagi nanti. Kuraih payung di dekat mesin jahit emak.

“Za mau mengerjakan tugas hafalan, Mak. Daripada nanti Za kena rotan gara-gara tidak menyetor hafalan,” jelasku.

Aku menyudahi percakapan dengan Emak. Emak kembali berfokus pada kain yang dipegangnya. Kuucapkan salam lalu beranjak pergi. Dengan hati-hati aku melangkahkan kaki. Genangan air ada di sana-sini.

Benar kata Emak. Langit gelap sekali. Angin juga bertiup kencang. Nampaknya akan turun hujan lebat disertai angin kencang. Aku mempercepat langkahku agar lekas tiba di surau.

Sesaat berjalan, akhirnya surau yang aku tuju sudah tampak dari kejauhan. Surau itu terbilang baru. Lokasinya terpisah dari rumah warga. Halamannya luas. Surau yang lama telah dirobohkan dua tahun yang lalu karena sudah uzur.

Pembangunan surau yang baru itu dibiayai oleh pemerintah daerah. Pembangunannya tergolong cepat. Tidak lama setelah surau yang lama dirobohkan, sebulan kemudian surau yang baru sudah berdiri. Surau yang baru memiliki ukuran sama dengan surau kami yang lama. Warna hijau mendominasi dinding surau. Atapnya terbuat dari baja ringan dan genteng press.

Baru saja aku menginjakkan kaki di lantai teras surau, Gani keluar dari toilet sambil cengegesan, kemudian menyindir, “Awal kau datang, Za.” Setelah itu dia berdiri di depan keran untuk berwudu.

Aku sedang malas berbicara. Makanya aku diam tidak membalas, langsung menyelonong masuk ke ruang utama surau. Aku melihat Amin duduk bersandar kepada dinding mihrab dengan Alquran terletak di pahanya. Sedangkan di pojok depan, ada Sopian. Adapun Fauzan, dengan lagaknya seperti ninja, dia membaca Alquran sambil tidur-tiduran. Gani yang baru saja selesai berwudu, langsung menyelonong masuk dan mengambil tempat di dekat Fauzan.

Aku berjalan menuju ke Sopian, duduk di dekatnya. Tubuhnya yang gempal menutupi Alquran yang dia letakkan di pahanya. Sopian masih bergeming saat aku berada di sampingnya. Mulutnya melantunkan hafalan yang akan disetorkan nanti. Saat lantunan hafalannya tuntas, Sopian menutup Alquran kemudian menoleh kepadaku.

“Ketiduran kau, Za?” tanya Sopian singkat. Aku hanya mengangguk pelan, kemudian berlagak serius dengan membuka Alquranku. Mulutku kemudian melantunkan bacaan yang aku akan setorkan nanti malam. Aku tidak mau mengobrol. Nampaknya Sopian pun sama. Dia melanjutkan bacaannya lagi.

Hujan pun akhirnya turun juga. Lebat sekali. Angin kencang menyertai. Gemercik airnya yang menghunjam atap membuat suasana riuh. Suaranya keras sekali, mengalahkan lantunan bacaan kami.

Saat khusyu dengan bacaanku, suara gaduh terdengar. Gani dan Fauzan sudah bergelut, beradu jurus seperti ninja, lengkap dengan kostum ninja yang terbuat dari sarung. Makin seru saja nampaknya mereka bergelut. Aku merasa terganggu, tidak bisa berkonsentrasi.

"Oi, Gani, Ojan. Kalian ke sini buat begelut atau mengerjakan tugas hafalan?!" seruku jengkel kepada Gani dan Fauzan.

"Nanti, Za. Mau main dulu. Mengantuk aku jadinya. Nanti disambung lagi," seru Gani beralasan sambil membuat jurus katak hendak melompat.

 

"Lagipula kau kan baru datang, Za. Kami sejak tadi sudah di sini. Jadi, kau tidak boleh protes," ujar Fauzan tak mau kalah sambil berpose seolah hendak melancarkan serangan.

"Oi." Aku hendak berdiri, tapi Sopian mencegahku. Aku melihat ke arahnya, Pian menggeleng pelan.

"Sudah, Za. Biarkan saja. Kau baca saja hafalanmu," Sopian menyarankan. Aku mengikuti saran Sopian, kembali duduk kemudian membaca hafalanku kembali. Sopian pun melakukan hal yang sama. Sementara itu, Gani dan Fauzan terus saling melancarkan jurus-jurus ninja yang mereka saksikan dari tv.

KRAAAAK!

Derak suara tiba-tiba muncul di dalam surau. Suaranya cukup keras, beradu dengan deru hujan di atas atap, juga beradu dengan suara seruan "ciat-ciat" Gani dan Fauzan yang sedang bergelut.

"Oi, suara apa itu?" Aku langsung mengajukan pertanyaan. Sopian dan Amin langsung menghentikan bacaan. Gani dan Fauzan seketika menghentikan permainan ninja. Semua terhenyak. Kami saling pandang. Mata kami lalu menyusuri setiap sudut surau, mencari tahu sumber suara.

KRAAAAK!

Suara berderak itu terdengar lagi. Sekali lagi kami menelisik. Saat menyadari asal sumber suara, dan memastikan ada yang tidak beres dengan apa yang dia lihat, Amin berseru sembari menunjuk, “Oi, lihat itu! Atap surau mau runtuh!”

 

Sontak semua mata memandang ke arah yang ditunjuk oleh Amin. Kami melihat tiang-tiang penyanggah yang terbuat dari baja ringan itu mulai bengkok. Bahkan sebagian dinding retak dibuatnya. Perlahan namun pasti, atap semakin merendah. Suasana menjadi mencekam.

“LARIII!”, Amin berseru panik –dan dia telah berlari lebih dulu. Gani dan Fauzan menyusul di belakangnya. Aku masih tertegun, berdiri mematung. Lalu Sopian berseru, “Lari, Za!”

Sopian menarik tanganku dengan kencang. Aku jadi terhuyung karena tarikan tangan Sopian, dan akhirnya terjatuh. Untungnya, aku kemudian berhasil bangkit lagi.

KRAAAAK!

Derak suara itu semakin kencang. Genting mulai berjatuhan, membuat celah di bagian atap. Tempias air hujan mengguyur bagian dalam surau dari atap yang bolong.

Sopian menarik tanganku, menyusul ketiga teman kami yang telah mendahului. Aku melangkah dengan hati-hati. Hanya sepersekian detik berselang, dan kami belum mencapai bagian luar masjid, tiba-tiba, BRUUUUK!

“Awas, Za!” Sopian berseru sekali lagi. Kali ini atap surau benar-benar runtuh. Suara reruntuhannya keras sekali. Aku spontan merunduk, tanganku menyilang di atas kepala.

Aku menatap lurus. Genting-genting berserakan di sana-sini. Amin, Fauzan dan Gani di depan sana juga merunduk sepertiku. Walau atap runtuh di atas kami, namun aku merasakan keanehan terjadi. Meski runtuh, atap tidak benar-benar menimpaku, juga tidak menimpa Amin, Fauzan, dan Gani. Hanya reruntuhan genting yang beberapa kali menimpa tanganku.

Lalu, di mana Sopian? Aku bertanya dalam hati.

“Kau… tidak… apa-apa, Za?” Suara Sopian akhirnya membuyarkan tanyaku tentangnya. Suaranya terputus-putus. Aku mendongak ke arah suara.

“Alamak, apa yang kau lakukan, Pian?” Aku terkaget-kaget saat melihat ke arah Pian. Tak kalah kagetnya saat aku melihat apa yang dia lakukan.

Rasa penasaran yang beberapa detik yang lalu menyergap akhirnya terjawab sudah. Pian menahan runtuhan baja, tepat berada di atasku, dengan kedua tangannya. Itulah penyebab mengapa baja-baja itu tidak menimpaku. Dan itu pula yang membuat celah sempit untuk bisa keluar dari reruntuhan –meskipun sempit, sepertinya bisa dilalui dengan merunduk.

“Lari… lah, Za. Aku… tidak akan… mampu menahan ini… lebih lama lagi.”

“Lalu, kamu bagaimana, Pian?” Aku merasa takut, panik, bingung, dan sedih. Semua tercampur menjadi satu. Kemudian aku ikut menahan baja yang ditahan oleh Pian. Alamak, berat sekali. Dua orang dewasa sekalipun tak akan sanggup menahannya. Tapi… bagaimana mungkin? Pian?

“Pergi… lah, Za.”

“Tapi, Pian.”

“Tidak apa… apa, Za. Pergilah.” Pian tersenyum, pedih. Aku sendiri tidak punya pilihan lain.

“Maafkan aku, Pian.” Air mataku mengalir. Pian mengangguk pelan. Wajahnya menyaratkan ketegaran.

“Sampaikan… salam sayangku… pada Mamak… dan Bapakku, Za.”

Aku mengangguk. Aku tak sanggup meninggalkan Sopian, sungguh. Namun tidak ada yang bisa aku lakukan lagi. Akhirnya, aku membalikkan badan, membelakangi Pian, merunduk, kemudian merangkak keluar dengan berhati-hati. Amin, Fauzan dan Gani rupanya dari tadi menyaksikan peristiwa yang memilukan itu. Sama sepertiku, mereka juga tidak bisa berbuat apa-apa.

Tepat di ujung ruang, saat aku, Amin, Fauzan dan Gani telah berhasil keluar, atap baja itu benar-benar runtuh. Dan Pian… Maaf, aku tidak sanggup menceritakannya kepada kalian.

***

Sufyan Karim (12) akhirnya meninggal dunia usai mendapatkan perawatan intensif di rumah sakit. Sufyan dinyatakan menghembuskan nafas terakhir setelah beberapa jam dirawat, setelah kejadian ambruknya atap surau.

Orang-orang menceritakan kisah heroik Sufyan saat ambruknya atap surau. Sufyan berupaya melindungi teman-temannya dengan memberikan jalan agar segera pergi untuk dievakuasi.

Setelah itu, kondisi Sufyan pun sudah tidak sadarkan diri, di mana sekujur tubuh Sufyan diketahui tertimpa baja ringan dan material ambruknya atap.

"Sekujur tubuh Sufyan mengalami luka yang cukup serius. Itu mungkin karena melindungi teman-temannya," ungkap salah seorang warga saat diwawancara.

Warga lain menambahkan bahwa usai ambruknya atap surau para korban dilarikan ke fasilitas kesehatan Puskesmas terdekat. Namun korban bernama Sufyan dilarikan ke rumah sakit karena kondisinya yang kritis karena terjepit baja ringan penyangga atau kuda-kuda atap surau tersebut.

Kini jenazah Sufyan disemayamkan di rumah duka di tempat orangtuanya.

***

Suasana duka menyelimuti. Langit seolah mengerti, awan kelabu melingkupi, rintik gerimis menyertai. Air mata mengantarkan setiap prosesi pemakaman.

Aku, Amin, Fauzan dan Gani berada tepat di sisi makam sahabat kami, Sopian. Tangan kami ikut menaburkan tanah saat jasadnya ditimbun tanah. Purna sudah jasadnya berkabung tanah. Segenap doa melambung ke langit, mengiringi kepergiannya.

Bagiku, Sopian bukan sekedar seorang sahabat. Dia adalah pahlawan. Pahlawan dalam arti yang sesungguhnya.

Semoga surga menghampirimu, Pian.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar