Surat Terakhir
Dulu, Dua puluh tahun lebih aku pernah jatuh cinta pada seorang perempuan yang kalau bicara tidak pernah menyakiti hati, kalau tersenyum membuatku mabuk. Ia tidak begitu tinggi tapi cintanya begitu besar, darti namanya. Dulu aku sama sekali tidak pernah berkirim surat barang sekali saja, tapi entah kenapa sekarang aku ingin menulis surat untuknya walaupun sangat kecil kemunginannya untuk dibaca. Bagiku darti benar-benar cantik secantik hatinya.
Pertama kali aku melihatnya di plaza kota, entah kenapa aku langsung jatuh cinta pada pandangan pertama, iya aku benar-benar jatuh cinta. Pertemuan berikutnya aku meminta nomer ponselnya agar aku bisa menghubunginya. Dan seterusnya aku meminta bertemu dan akhirnya aku katakan jatuh cintaku. Saat itu dia tidak langsung memberikan jawaban. Setelah beberapa hari berselang aku mulai rindu dan akhirnya aku menelponnya dan meminta jawaban atas ungkapan jatuh cintaku.
“Apa kabarmu dek?”
“Alhamdulillah aku sehat mas”. Jawabnya malu-malu.
“Aku kagen sama kamu”. Aku sampaikan saja tanpa basa basi.
“Masa si mas?”.
“Iya aku kagen”. Dia tersenyum di ujung telpon, masih malu-malu. Dulu aku menelponnya masih mengunakan wartel (warung Telkom). Lalu aku melanjutkan;
“Dek, kamu belum menjawab yang kemarin. Apa aku bukan laki-laki pilihan”. Ucapku teringat lagu Iwan Fals.
“Tenang saja mas, sampeyan laki-laki pilihan kok”. Jawaban tanpa basa basi.
Tentu aku bahagia menerima jawaban itu, hatiku berbunga-bunga. Sunguh aku begitu menyayanginya. Tapi kini semua sudah berlalu, sudah tingal kenangan, kenangan yang tidak terlupakan.
Lalu entah kenapa aku benar-benar ingin menuliskan surat ini untuknya.
v
Dar, aku menuliskan surat ini untukmu, barang kali surat ini surat pertamaku dan terakhir.
Aku menuliskan surat ini di bulan September saat hujan turun begitu deras. Deras seperti derasnya saat aku begitu merindukanmu, lalu bergegas menuju rumahmu, ingin menjumpaimu. Saat aku menuliskan ini terasa olehku udara begitu dingin masuk lewat celah jendela lalu menyentuh kulitku.
Seperti biasanya, cuaca di wonosobo nyaris tidak pernah cerah; panas sebentar lalu mendung, hujan kemudian berkabut, terkadang hanya rincis, tapi lebih sering hujan begitu deras. Seperti mengambarkan perasaan dalam hatiku yang begitu tidak menentu saat aku masih bersamamu.
Darti, Sekian lama kita tidak pernah lagi bertemu, bercanda, atau berjalan berdua mengelilingi kota tanpa arah, atau sekedar duduk di taman kota seperti dulu lalu aku memakaikan gelang tali berwarna kuning putih di tanganmu. Tapi kini kamu telah pergi memilih laki-laki pujaanmu, laki-laki entah siapa dan dengan alasan apa kamu memilihnya. Aku pernah hancur, pernah kecewa tapi tidak sesakit saat itu, saat kamu memutuskan untuk meninggalkan aku lalu menikah. Dulu setelah engkau memutuskan untuk pergi meninggalkanku, seolah-olah kehidupan dunia ini terasa begitu gelap, asing juga terasa begitu sepi.
Dar, hingga kini aku masih mengingat hari-hari yang kita lewati bersama dan kebahagiaan yang kita rasakan berdua. Tapi kini aku hanya bisa meratap menahan rindu, laksana malam merindukan tibanya fajar, seperti tanah kering yang menanti turunnya hujan.
Aku menoleh kearah jendela, hujan turun semakin deras, aku perhatikan tetesan-tetesan itu dari seratus persen hujan yang turun hanya satu persen yang mengandung air, selebihnya adalah kenangan, kenangan kita berdua. Ya, kenangan antara aku dan engkau. Engkau meningalkan aku karena engkau tidak yakin bahwa kita akan hidup bahagia, sementara aku begitu yakin bahwa aku bisa membahagiakanmu. Engkau meningalkan aku, karena kita beda keyakinan, aku yakin bahagia dan engkau yakin tidak bahagia.
Dar, lewat surat ini, izinkanlah aku kembali memangilmu sayang. Agar waktu yang akan berlalu ini bisa mengenangku sebagai lelaki yang memang menyayangimu dan ditingalkan olehmu. Aku memang tidak akan mungkin bisa memilikimu, tapi untuk tetap mencintaimu adalah kemungkinan yang tidak dapat aku hindarkan. Ragaku memang tidak ada didekatmu, tapi namamu melekat dihatiku. Sesungguhnya perasaan cinta yang aku pelihara di dalam jiwa ini akan tetap menghasilkan kebaikan, sebagaimana hujan yang akan menumbuhkan buah-buahan dan bunga yang bermekaran.
Sayang, tahukah engkau? Sebelum aku menuliskan surat ini, beberapa hari yang lalu, aku mencoba melewati jalan yang pernah kita lewati berdua, lalu aku masuk ke café tempat dimana kita pernah bersantai dan minum kopi. Di lain waktu dan dengan perasaan sedih, aku melangkah pelan masuk ke warung bakso, di tempat dimana kita paling sering bertemu melapas rindu. Tempat dan kebersamaan kita yang tidak dapat aku lupakan sampai nanti. Atau sekedar duduk berdiam sambil menikmati lantunan lagu dari Band Padi yang juga pernah kita dengan bersama, berdua.
Sayang, setelah aku pastikan bahwa engkau benar-benar pergi meningalkan dan membuang perasaan terhadapku, aku tidak pernah baik-baik saja, aku sedih sayang. Kesedihanku semakin memuncak saat aku mengenang perjalanan menuju rumahmu; menyusuri jalan yang penuh dengan pepohonan pinus-pinus yang lebat berjajar, tanaman sayur-mayur yang hijau, indah. Saat itu, aku memburu rindu yang kian mengebu. Sedih, karena aku hanya bisa mengulang perjalanan dan tapak tilas perjalanan yang sama tapi tidak dengan sambutan cintamu yang sama. Aku juga masih ingat saat aku mengiringi engkau berjalan menyusuri gang kecil menuju terminal bus tempat biasa engkau naik kendaraan itu menuju rumahmu.
Dulu Setiap kali kerumahmu aku selalu membawakan buah mangga sebagai buah cintaku padamu. Mangga yang manis, tapi tidak semanis senyumu. Mangga yang lembut, tapi tidak selembut sambutanmu saat aku datang. Aku sengaja mebelinya satu atau dua kilo didekat pasar atau sesekali membelinya di pingir jalan tempat ibu paruh baya itu menjualnya. Sesampainya di rumahmu aku disambut dengan begitu mengembirakan, disuguhi teh manis walau kalah manis dibanding senyumu untukku. Lalu makan siang di rumahmu dengan sayur khas pedesaan, ikan asin ditambah sambal dan telor. Nikmat tidak terlupakan.
Sayang, masih ingatkah? saat perasaan rinduku begitu mengebu, dengan perasaan gembira aku menunggumu disimpang tiga dusun dan menyambutmu berjalan pulang sedari mengajar, indah kala itu mesti tidak abadi, romatis walau akhirnya terkikis. Hidungmu yang panjang selalu terkenang, wajahmu yang lembut membuatku hanyut, hanyut dan akhirnya tengelam. Kamu adalah perempuan terindah dan tercantik yang pernah aku cintai.
Sayang, tahukah kamu? Bahwa perasaan cintaku padamu adalah perasaan cinta yang belum pernah aku berikan pada perempuan lain selain engkau. Cintaku padamu adalah cinta terdalam dan tersakit. Tahukah kamu? hingga saat ini aku masih menghafal aroma parfummu yang lembut. Aku juga masih menghafal jalan yang berkelok-kelok menuju rumahmu. Andaikan kamu memintaku untuk datang lagi ke rumahmu yang dulu, aku masih hafal, aku masih ingat jalan itu.
Sayang, 20 tahun lebih aku menjalani hidup ini dengan mendekap bayangmu dan menyimpan cinta ini dengan sangat rapi dan rasa itu masih sama seperti kali pertama aku nyatakan cinta terhadapmu. Beberapa kali aku mencoba mencintai, mencoba menyayangi namun engkau tetap di hati, tetap menjadi rasa tersendiri yang abadi. Aku tidak pernah berusaha melupakanmu kalau pada kenyataannya aku masih sangat mencintai, dan akupun tidak perlu berpura-pura membenci kalau sebenarnya aku masih sering merasa rindu. Tetap mencintaimu adalah sebuah pilihanku. Bagaimanapun lamanya kita terpisah jarak dan waktu, selama itu pula ingatanku tentangmu tidak pernah hilang. Seandainya aku mampu mengubur dalam-dalam rasa cinta ini serta melipat segala kenangan kita yang telah lalu, pasti aku tidak merasakan jatuh cinta lagi padamu seperti saat pertama aku mengenalmu. Begitu banyak ingatan-ingatanku tentang kita, tentang kita bersama hujan, bersama dingin yang menyergap tubuh kita berdua. Aku juga masih ingat saat aku jatuh dari sepeda motor tepat didepan rumahmu. Ini kenangan. Kenangan yang tidak dapat aku lupakan.
Dar, entah kenapa semua kenangan itu tidak pernah bisa terlupa, terkadang tiba-tiba kenangan itu hadir hingga membuat aku menjadi rindu, rindu yang sama seperti dulu. Biarlah aku akan mengenang semuanya tanpa harus lupa, karena kenangan itu begitu indah bagiku.
Maafkan aku jika dulu tidak membuatmu bahagia, maafkan aku jika dulu engkau tanpa aku sengaja merasa terluka. Semoga engkau bahagia selamanya walaupun kita tidak bersama.
Dar, jika surat ini sampai di hadapanmu dan dapat engkau baca, aku mohon tidak perlu engkau menangisi apa yang telah berlalu karena hanya akan melukai. Bacalah dengan penuh rasa bahagia karena cinta yang masih ada.