Disukai
6
Dilihat
4,487
Sumur Tua di Kampung Kami
Misteri

Sore itu, kampung kami kebanjiran. Bukan oleh hujan, melainkan oleh warga yang berkumpul menyemuti lahan kosong. Lahan itu bukan semata-mata polos, tetapi terdapat satu sumur tua yang bahkan lebih tua dari Ki Jupri—orang tertua di kampung kami. 

"Bebuyutannya buyutku juga mengatakan kalau sumur ini sudah ada sejak lama," ucap Ki Jupri suatu ketika.

Jadilah dengan adanya sumur tua itu, kampung kami seolah memiliki jati diri dan ikatan kekeluargaan yang magis. Sumur tua itu seolah memiliki tempat tersendiri bagi para leluhur yang telah dibumikan. Tidak ada satu orang pun yang berani merubuhkannya, kendati sumur itu sudah kering dan diselimuti lumut. Sumur itu dibiarkan tumbuh begitu saja bersama cerita-cerita setiap generasi.

"Kami sangat menyayangkan perbuatanmu, Badri," ucap Pak RT lantang ditengah gunjing gujirak warga kampung sore itu.

"Sayangnya perbuatanmu tidak termaafkan, meski aku tahu kau memiliki hati yang baik." Sorak semarai terdengar memenuhi langit yang terbakar dengan jingganya.

"Bengis."

"Menjijikkan."

"Lebih baik mati kau!"

Badri hanya mengusap-usap tali yang mengikat tangannya ke belakang menggunakan ujung jarinya—berharap simpul itu longgar dengan sendirinya. Dua senti saja tali itu longgar, maka ia akan merasa lebih percaya diri. Pembuluh darahnya terlihat hampir putus digorok oleh tambang. Saya dan Badri dulu sempat dekat satu sama lain, tatkala kami usia anak ingusan, saya dan Badri sering bermain polisi-polisian. Saya lebih sering menjadi penjahatnya karena stigma anak baik telah melekat pada diri Badri sejak dulu—ia tidak cocok menjadi penjahat. Sayangnya, kini giliran Badri yang memainkan peran saya; menjadi penjahat sungguhan. Kisah persahabatan kami sebenarnya sudah memudar memasuki usia 15 tahun, kedekatan kami mulai canggung dengan sendirinya. Badri putus sekolah karena bapaknya dibujurkan penyakit sehingga ia harus menyambung hidup dengan membantu mamaknya berjualan di pasar. 

Adalah seminggu yang lalu kisah Badri menjadi bandit itu dimulai. Badri menjadi satu-satunya orang yang membenci sumur tua itu. Perangainya yang mendongkol itu secara gamblang ditunjukkannya, terutama pada sumur tua itu—musuh barunya. Entah bagaimana mulanya, sumur tua itu memiliki kekuatan tersendiri untuk menjadi terkenal lewat unggahan di media sosial. Orang-orang dari kampung lain bahkan turis-turis serta merta mengambil potret bersama sumur arkais itu. 

“Melihatnya dari gambar saja, sumur ini sudah menyiratkan ribuan cerita yang pernah hidup di kampung ini. Saya senang melihatnya secara langsung, mengingatkan saya bahwa ada sejarah yang tidak bisa dihapuskan.” Pak RT tersenyum bangga ketika keeksotisan sumur ini diliput salah satu stasiun televisi. 

Seisi kampung tiba-tiba merasa pongah dengan keberadaan sumur tua itu. Mereka merasa sangat spesial dan istimewa. Setiap harinya kampung kami ditengok orang-orang baru yang sekadar ingin melihat dan berswafoto, bahkan ada juga yang percaya bahwa sumur itu dapat menyembuhkan penyakit. Namun, rupanya kebahagiaan dan kejemawaan itu tidak dimiliki oleh Badri. Ia terlupakan dari ingar bingar kehidupan kampung. 

"Dasar orang-orang tolol! Setiap hari memuja benda tua itu, apa hidup kalian menjadi makmur setelah memujanya?" Badri menjadi satu-satunya orang yang mencela rutinitas baru warga di kampung kami. 

"Sembarangan kau Badri, dagangan kami kian laris berkatnya," timpal para pedagang yang bergumul dengan pembeli.

"Omong kosong, itu bukan karena sumur tuanya," 

"Kenapa kau jadi menentang sumur ini, Dri? Awas kau kualat, mencela peninggalan leluhur," 

Badri tampaknya tidak takut sama sekali dengan kualat macam apapun itu, ia terlihat sangat dongkol dengan kejemawaan warga kampung terhadap sumur itu. Awalnya, saya menduga Badri tidak suka karena orang-orang terkesan menuhankan sumur itu. Namun, ternyata ada alasan lain yang menyebabkan dia seperti itu. Mamaknya. Sudah 2 tahun lebih mamaknya sakit lepra. Ia harus berjuang sendirian untuk kesembuhan mamaknya. Badri rupanya cemburu dengan sumur tua itu, seluruh atensi warga kampung hanya terpusat pada daya tariknya, mereka lupa bahwa ada sosok Badri yang memerlukan atensi dan afeksi dari mereka. 

Hari-hari berikutnya Badri semakin dibenci oleh warga kampung kami, ia lebih sering memaki dan mencela perbuatan mereka. Bahkan tak sedikit sumpah serapah yang keluar dari mulutnya. Badri berubah 360 derajat, ia bukan lagi Badri yang ramah dan gemar membantu. Badri yang sekarang sangar dan pemarah. Sudah dua kali ia diringkus dan diamankan di gardu ronda karena kedapatan hendak membumiratakan sumur tua itu. 

"Ada apa denganmu akhir-akhir ini, Badri?" tanya Pak RT heran.

"Semua orang sungguh gila!" ucapnya menyeringai dengan wajah lebam habis dipukuli warga.

"Kali ini, kami memaafkanmu. Kalau kau berusaha merobohkan sumur itu lagi, kau kami usir dari kampung," ucap Pak RT diikuti tatapan rancung dari semua orang. Kerumunan pun bubar, menyisakan saya dan Badri yang terdiam kaku. Badri beringsut, mencoba untuk berdiri ditengah kesakitannya. Saya ingin membantunya kalau saja ia tidak memiliki gerak-gerik kemandirian. 

Mata kami bertemu barang 5 detik, saya tidak bisa menafsirkan tatapannya, yang jelas ia terlihat memendam sesuatu yang besar. Ia tersenyum simpul sebelum meninggalkan saya—sungguh—itu bukanlah Badri yang saya kenal dahulu, ketika kami bermain polisi-polisian.

"Giliran kau yang menjadi polisi," ucapnya terdengar mengambang di udara. 

Saya tidak mengerti, tidak pula ingin bertanya apa maksudnya. Saya hanya tersadar bahwa ia bisa menjadi sesuatu yang berbahaya. Lebih dari itu, ia butuh perhatian, saya baru tahu kabar mamaknya sakit lepra kemarin. Sungguh malang Badri; kawan lamaku. Dan atas kesadaran yang baru saja tersibak itu, saya langsung merasa iba. Malam itu juga, hari ke-6, saya putuskan datang menemui Badri dan mamaknya. 

***

Saya membawa satu keranjang penuh buah-buahan, setidaknya saya merefleksikan kepedulian saya melalui buah ini—walau tidak seberapa. Bau bacin perkampungan menemani saya sepanjang perjalanan. Suara renyah orang berbincang dari dalam rumah seolah memberitahu bahwa malam belum sepenuhnya tertidur. Rumah Badri berada 100 meter sebelah Utara dari sumur tua itu, saya hanya perlu berbelok satu kali lagi di ujung gang untuk sampai di ikon baru kampung kami tersebut.

Mata saya nyaris membulat sempurna ketika sosok Badri terpantul melalui celah-celah gang. Dengan tubuh tegapnya itu, ia kini memangku seseorang yang sangat kurus, bahkan hanya terlihat tulang-tulang yang menonjol. Yang dipangku sama sekali tidak bergerak, tubuhnya kaku tak bersendi, dan saya rasa itu bukanlah seseorang yang hidup. Ya, itu adalah mayat mamaknya. Persis ketika wajahnya itu tersorot cahaya lunar, saya mampu mengenalinya. Itu benar-benar mamaknya Badri yang telah menjadi mayat entah sejak kapan. Seketika saya menjadi mual, tubuh saya merinding dan lemas. Badri merebahkan jasad mamaknya terlentang di atas tikar yang sepertinya sudah ia persiapkan. Gerak-geriknya halus, ia mengeluarkan kertas dari dalam saku celananya. Kertas itu berwarna kuning dan nyaris sobek oleh lipatannya. Saya tidak bisa mendengarnya dengan jelas, tapi Badri seperti membaca mantra yang tertulis dalam kertas tersebut. Beberapa helaan napas kemudian, ia selesai berkomat-kamit, saya belum mampu melakukan apapun karena takut mengalihkan perhatian Badri.

Semakin lama, saya merasakan bau yang kian menyengat, angin berlarian menghantarkan bau mayat tersebut ke dalam hidung. Saya memicingkan mata mencoba mempertahankan kesadaran yang sudah terbawa angin. Dari dalam sumur tersebut saya lihat satu ular seukuran betis menyembul keluar. Saya merasa kehilangan akal sejak munculnya angin itu. Namun, saya masih cukup waras untuk menyimpulkan bahwa saya benar-benar melihat ular besar berwarna hitam legam. Ular itu menyelar menuju mayat mamaknya Badri. Saya sungguh jijik dengan apapun hewan melata. Keranjang buah yang saya jinjing terjatuh karena saya harus muntah. 

Badri menatap panik ke arah suara, sedetik kemudian ia menyeringai dan berjalan mendekati saya yang masih menyesuaikan diri sehabis muntah. Saya sungguh takut, maka sebelum Badri semakin mendekat, saya berlari gontai seperti orang mabuk. Kesadaran saya perlahan kembali ketika jantung mulai membombardir pembuluh darah. Memori itu kembali hadir bagai kilatan petir, dulu Badri selalu menjadi polisi yang berhasil menangkap penjahat. Ia adalah polisi yang hebat.

Hentakan kaki Badri terdengar lebih cepat, sepertinya jarak kami hanya tinggal satu gapaian tangan saja. Perasaan ini kembali hinggap dalam hati saya, dulu ketika kami bermain polisi-polisian, saat jarak kejar-kejaran kami tinggal satu gapaian tangan, saya selalu merasa pasrah untuk ditangkap. 

Tiba-tiba napas saya melemah, dunia berputar secara alami, dan saya pingsan.

***

Begitulah hingga akhirnya Badri diarak warga kampung sore hari ini. Sayangnya saya tidak bisa menyaksikan secara telak bagaimana kelanjutan ceritanya setelah tak sadarkan diri. Saya hanya diberi tahu bahwa malam itu Badri berhasil menyeret tubuh saya kembali ke sumur tua. Dia menikam mamaknya tepat di bagian jantung. Terlambat satu kedipan saja, mungkin jantung saya juga sudah bocor kalau-kalau Pak RT tidak memergokinya dan meneriakinya. 

Kejadian itu masih terasa mengerikan hingga membuat saya mual jika mengingatnya. Pak RT mengatakan bahwa mamaknya Badri belum meninggal sebelum ditikam. Padahal, jelas-jelas saya melihat tubuh itu telah menjadi mayat yang sangat bau. Satu hal lagi yang bertolak belakang adalah, saya masih waras untuk mengatakan pingsan di depan gardu ronda. Namun, orang-orang yang saat itu berjaga mengatakan tidak melihat aksi kejar-kejaran saya dengan Badri. 

Apakah saya sudah gila? Atau orang-orang yang membuat saya gila? Ingatan seperti apa yang harus saya percaya? 

Perbuatan Badri dinilai telah melecehkan harga diri kampung. Berita kejahatannya begitu cepat menyebar menjadi aib yang memalukan. Badri kemudian diringkus dan diikat tangannya untuk kemudian diberi balasan yang setimpal. Semua orang sibuk mengajukan konsep kematian seperti apa yang pantas diterima Badri. 

Sebagai pemimpin kampung, Pak RT yang memutuskan cara Badri untuk mati. Namun, karena ia pemimpin kampung yang bijaksana, ia menyerahkan keputusan itu kepada Badri sendiri. 

"Biarkan aku loncat ke dalam sumur tua itu dan mati di sana." Badri memutuskan tanpa berpikir panjang. Semua orang marah, tidak setuju dengan keputusan Badri. Sumur tua itu sudah dianggap seperti kesucian kampung, tidak mungkin dikotori oleh tubuh hina Badri. 

"Kita hargai keputusannya sebagai bentuk penghormatan terakhir. Walaupun demikian, Badri tetaplah bagian dari kita, ia juga memiliki kebaikan." Keputusan Pak RT dianggap sah dan bulat, tidak ada yang berani menentangnya barang tidak setuju.

Badri tersenyum seperti orang kehilangan akal, ia seperti biduan yang disoraki penonton. Massa kian rusuh menyaksikan Badri yang siap meloncat, sementara saya hanya berdiri dengan perasaan gamang. Sebelum tubuh ringkih itu meloncat, mata kami bertemu sekali lagi, suaranya bisa terdengar walau ia tidak berbicara dan membuka mulutnya, mata itu seolah berbicara pada saya, "Sudah kubilang, giliran kau polisinya, kenapa kau lebih suka dikejar?" 

Tiba-tiba kepala saya sakit luar biasa, mata kami telah selesai bertemu diiringi sorak semarai warga kampung. Kami telah kehilangan Badri sepersekian detik yang lalu. Dunia kembali berputar secara alami hingga akhirnya saya melihat Pak RT berubah menjadi ular sebelum tak sadarkan diri. 

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
@donnymr : Makasih sudah baca, kak
Mantabs!👍
@dewadewo : Wahhh terima kasih, bang
hyu
mantap gaya bertuturnya, vocab juga kaya. keren 🤩
@semangat123 : Makasih kak 🥰
Cerpen dan gaya bahasanya bagus👍. Jarang sekali saya membaca POV 1 = Saya💪🥰
@sofiza01 : Terima kasih sudah membaca
Wow! Cerita yang mengagumkan. Penuh misteri. 😮