Suara Seruling
Orang bilang, kalau orang beranjak tua, mereka akan bersikap kekanakan kembali. Bersikap kekanakan itu punya arti luas. Salah satunya caper, yah. Anak kecil selalu minta perhatian lebih dari orang-orang di sekitar mereka. Dan itulah yang terjadi pada nenekku. Hal ini kadang membuatku bingung dengan tingkah nenekku. Aku tidak peka kapan dia butuh perhatian dan kapan tidak.
Sore itu seperti biasa sehabis mandi, aku bersantai sambil main game di ruang tamu. Kebetulan nenekku juga ada di sana sambil mencari kutu kasur di sofa. “Hei, Cu. Apakah kau mendengarnya?!” ucap nenek tiba-tiba. Namun, karena aku butuh fokus dengan game ku, aku Cuma membalas singkat sedikit acuh. “Dengar apa, Nek?”
“Suara seruling?” Suaranya sedikit melengking. “Nah, nah itu. Suaranya ke Selatan,” lanjutnya dengan antusias sambil memejamkan mata. Seakan memastikan ucapannya benar. Memastikan suara itu memang berjalan ke selatan. Seperti cuitan burung yang berlalu. Lalu, mengangguk-angguk kecil. Karena aku terlalu fokus, aku hanya menjawab ‘tidak’ secara singkat. Karena memang aku tidak mendengar apa-apa. Hanya suara ribut dari hpku. Dan asal kalian tahu, nenekku ini sedikit kurang pendengarannya. Jadi, jika beliau mendengar sesuatu, pastinya asal suara itu dekat. Meski pendengaranku penuh dengan suara hp, nggak mungkin sekali aku tidak mendengarnya, kan?
“Suara seruling ini kok ada terus ya? Suaranya mengalun merdu, menenangkan sanubari kalbu. Namun di saat yang sama, suara itu diikuti oleh kematian. Begitu mengerikan, tapi juga menghangatkan,” kata nenekku. Dia bergidik kecil. Aku menghiraukannya.
“Kau tahu Bu Samiah kemarin? Mulai dari subuh aku mendengar suara seruling dari rumahnya. Tidak kusangka, sorenya orangnya meninggal dunia.” Nenekku menggeleng-geleng pelan, air mukanya menunjukkan kesedihan. Tapi aku masih mengabaikannya. Memangnya manusia punya kekuatan untuk mengetahui kapan seseorang mati?
“Terus, dua minggu lalu, ketika gunung Alamaba meletus, suara lengkingan seruling itu sangat keras. Sampai-sampai nenek tidak bisa tidur selama dua hari. Mengerikan sekali. Juga,…”
Akhirnya aku menghela napas. Memotong bualannya yang semakin menjadi-jadi. Antara kesal karena timku kalah dan ucapan nenek yang semakin kemana-mana. “Jangan gitu, Nek. Aku saja tidak dengar apa-apa, kok!”
“Apa?!” Nenekku mendekatkan tubuhnya karena tak mendengar kalimatku. Tuh, lihat! Suaraku yang sedekat ini saja, beliau tidak mendengarnya. Bagaimana bisa beliau mendengar suara yang mungkin ber-mil-mil jauhnya. Sudah tentu kalau dia hanya caper, kan? Minta ditanggapi setiap bualannya yang tidak masuk akal. Tapi bualan ini sangat keterlaluan, bukan? Maksudku kematian bukan suatu hal yang bisa dibuat candaan lalu begitu saja.
Aku hanya menggeleng lalu mengulangi kalimatku sekali lagi.
Nenekku masih keukeuh dengan apa yang didengarnya, “Nenek dengar, kok! Mungkin saja itu sangkakala!”
“Langsung kiamat, Nek, kalau sangkakala sampai berbunyi.”
Nenekku tertawa dan tak peduli dengan wajahku yang kesal. Melanjutkan berburu kutu kasur.
***
Melanturnya nenekku ini sebenarnya sudah diketahui semua anggota keluargaku. Dan semuanya tidak ada yang percaya dengan ucapan nenek. Seperti yang kubilang tadi, mungkin ini kejadian ketika nenek lagi caper dan bertingkah kekanakkan.
Tapi aku ingat Ibu pernah bilang kalau di telinga nenek ada gumpalan batu. Bukan benar-benar batu. Kupikir itu adalah sebuah daging yang tumbuh di dalam lubang telinga nenek. Seketika otakku mencerna kalau batu itu sepertinya memengaruhi pendengaran Nenek. Aku semakin yakin ketika suatu ketika mencoba membersihkan telinga nenek, ada sebuah gumpalan yang menyebabkan korek telinga susah masuk.
Akhirnya aku mengusulkan pada orang tuaku untuk memeriksakan telinga nenek ke rumah sakit. Karena mungkin batu yang mengganjal di telinganya menyebabkan penghimpitan suara masuk, sehingga terdengar seperti siulan seruling. Langsung saja, kedua orang tuaku menyetujui dan membawa nenek ke rumah sakit terdekat.
“Menurut Kakak, nenek itu berbohong, ya?” tanya adikku setelah nenek menjalani operasi telinga. Itu sekitar tiga hari setelahnya.
Aku menggeleng. “Bukan berbohong, hanya salah tangkap saja. Memangnya kau mendengar suara seruling itu?” tanyaku balik. Dia hanya menggeleng.
“Nah, berarti nenek saja yang salah dengar.”
“Sekarang nenek sudah sembuh kan?”
Aku mengangguk.
Tapi adikku masih berceloteh dan bertanya lebih detail lagi. Seakan tidak puas dengan tanggapanku. “Tapi, kenapa nenek masih bisa mendengar suara seruling itu?”
Aku termenung sejenak. “Mungkin efek pemulihan.” Ragu dengan jawabanku sendiri. Tapi aku berharap ketika luka operasi di telinga nenek sudah benar-benar pulih, suara-suara itu sudah hilang.
Setelah itu adikku pergi dan tidak ada yang membahas hal itu lagi.
***
Namun, seminggu kemudian nenek tak kunjung sembuh. Dia masih terbaring lemas di atas kasur. Kemungkinan efek operasi itu mengganggu kesehatannya. Jujur saja, aku merasa bersalah karena sepertinya ini semua salahku. Seharusnya aku tidak perlu mengusulkan operasi itu. Berulang kali aku meminta maaf saat menjaga nenek yang sedang sakit.
“Maaf, ya Nek. Cepat sembuh,” kataku untuk kesekian kalinya. Saat itu aku telah menyuapkan sendok terakhir makan malamnya.
“Tidak apa, Cu. Nenek tahu, niat kamu baik,” balasnya dengan senyum seperti biasanya. Senyum itu mengiris jiwaku. Membuat mataku perih.
“Mungkin ini sudah takdir nenek. Kau dengar suara seruling itu? Ah sudahlah kamu pasti tidak bisa mendengarnya. Suara itu kini mengalun lembut sekarang. Timbul naik di kejauhan. Ah, aku suka ketika suara seruling itu tidak terdengar melengking.”
Aku mengelus tangan nenek yang lemah. Aku tahu operasi itu gagal. Nenek masih tetap bisa mendengar suara lengkingan seruling itu. Sekarang aku sudah tidak peduli lagi apakah nenek hanya caper atau benar-benar sungguhan mendengar seruling itu. Aku hanya ingin nenekku kembali sembuh. Tersenyum dan bersenda gurau bersama cucu-cucunya.
Tanpa sadar air mataku berlinang. Sungguh aku tidak ingin kehilangan beliau. Aku akan terima apapun kondisi beliau setelah sembuh nanti. Aku tidak peduli dengan tingkah capernya atau khayalannya. Aku berjanji akan memercayai semuanya asal nenekku sembuh. Bahkan jika beliau berkata telah melihat raksasa di tengah kota aku akan percaya. Asal nenek sembuh.
“Dengar, Cu! Dengar! Suaranya semakin mendekat. Seruling itu. Suaranya semakin keras,” katanya tiba-tiba. Suaranya yang lemah karena kurang energi, tiba tiba naik dan menyentak diriku. Air mataku langsung terhenti. Kali ini aku mengiyakan kalimatnya tanpa ragu.
“Iya, Nek! Kau benar!”
“Kan, kan! Sudah kuduga suara itu asli. Nenek tidak berbohong kan?” Beliau mengambil posisi duduk. Seakan seluruh energinya telah pulih. Berusaha kabur dari ranjangnya.
“Iya, nenek tidak berbohong.” Aku mencegah tangannya, takut nenek semakin sakit kalau banyak bergerak. “Nenek istirahat saja dulu.”
Nenek tertawa senang layaknya anak kecil. Di sela-sela tawanya aku mendengar lengkingan-lengkingan kecil. Lengkingan-lengkingan yang mirip suara seruling rusak.
Kutajamkan indera pendengaranku.
Suara itu semakin mengeras. Bahkan kini mengalahkan suara tawa nenek.
Suara itu memenuhi indera pendengaranku.
Aku dan Nenek saling bertatapan. Kami tidak bisa mendengar suara masing-masing.
Tiba-tiba adikku masuk dengan tergesa-gesa. Menunjuk jendela kamar yang terbuka lebar.
Mataku langsung terbelalak ketika melihat pemandangan yang mengerikan. Matahari dan Bulan sedang bertabrakan di sana. Menciptakan langit jingga yang suram.
Aku semakin tercengang. Kembali memandang adikku. Aku melihat mulutnya terbuka. Meski aku tidak mendengarnya, aku tahu apa yang dia katakan.
“Nenek tidak pernah berbohong. Seruling itu adalah Sangkakala.”
Kami semua terdiam. Menyisakan bunyi seruling yang bersiul semakin keras.
Dampit, 14 Juni 2022