Namanya Stevia. Cantik dan manis seperti gula. Tetapi ia jelas bukanlah gula, dan aku tak pernah menganggapnya seperti itu sama sekali.
Aku mengenal Stevia di saat dunia tidak sedang baik-baik saja. Masa itu adalah sekitar dua tahun sebelum Presiden Soeharto menyatakan mundur dari jabatannya, di akhir Mei 1998.
Malam itu, setelah perkenalan yang entah, dia menumpang tidur di kamar kostku. Menumpang tidur? Hwaduh apa-apaan.... Kaubayangkan apa yang terjadi? Tidak terjadi apa-apa malam itu, sungguh tidak. Jika kaubayangkan hal yang bersifat erotis di hari pertama pertemuan kami, seorang lelaki dan seorang perempuan, sesungguhnya engkau sudah terlalu terpengaruh dengan dunia yang direka oleh industri film di Hollywood!
Hingga usiaku kini lewat dari angka 20 tahun, belum pernah aku bertemu perempuan semabuk Stevia, apalagi mengurusinya: membantunya meminum air lemon untuk menetralisir alkohol yang telanjur mengaliri jalur darahnya, hingga membersihkan muntahannya yang berbau anyir di kasur, di karpet, di baju, dan di segala tempat.
Semua hal aneh itu terjadi gara-gara Dahlan Sarbini, teman kuliahku yang nyambi jadi bartender di sebuah kafe di Jalan Solo itu. Dasar teman bungkus Panadol! Kok ya, tega-teganya menjerumuskanku dalam masalah etika dan moralitas yang rumit semacam ini. Payahnya aku, tidak menyadari siasat busuk kawanku itu sejak awal.
"Kenapa dibawa ke kostku?" protesku begitu menyadari lokasi Dahlan memarkir mobil Stevia. Kami berada di tempat parkir yang seringkali juga digunakan sebagai lapangan badminton, di depan kostku.
"Lah, aku memang kenal Stevia, dia pernah datang beberapa kali..., tapi aku tak tahu rumahnya," kilahnya.
Saat itu aku baru menyadari adanya maksud tersembunyi Dahlan. Kawanku ini memang tidak kapok-kapoknya menjodohkanku dengan teman-temannya. Teman-teman fakultasnya. Fakultas Ekonomi. Teman-temannya yang cantik dan kaya.
Padahal dia tahu persis aku lebih suka jalan bareng Alena. Ya, Alena. Aku sedang dalam proses pendekatan kepada gadis itu. Gadis sederhana yang baik dan pintar. Banyak kesamaan yang membuat aku nyaman. Barangkali dia juga merasakan hal yang sama. Semoga! Meski berlatar suku berbeda, beberapa hobi kami sama. Juga latar ekonomi keluarga kami. Relatif sama. Justru hal itu yang membuat Dahlan sewot. Mahasiswa miskin kayak kita, katanya, harus mendapatkan jodoh mahasiswi yang kaya. Demi pemerataan ekonomi, dan masa depan yang lebih baik.
"Dia tipemu, dan percayalah padaku: ia menyukaimu...," kata Dahlan sok tau. Bisa saja dia bilang begitu. Sebelum-sebelumnya pun begitu. Dahlan tidak punya malu, padahal sudah terbukti omongan semacam itu dari mulutnya, lebih sering meleset daripada tepat sasaran.
Tetapi kali ini polahnya sungguh keterlaluan. Tamu kafe yang terlalu mabuk kan bukan sekali ini saja, mengapa tidak diantarkan ke hotel atau penginapan saja, seperti yang pernah beberapa kali dilakukan?
Salahku waktu itu yang kemudian kusesali hingga kini: tidak berkeras menolak kemauan Dahlan. Tetapi tengah malam sudah lama lewat waktu itu. Pagi hampir menjelang. Aku tidak mau lebih ribut lagi. Baiklah, cukup semalam saja. Besok semoga semuanya kembali normal. Dahlan hanya diam saja mendengar gerutuanku, hingga dia berpamitan.
*
Dahlan bisa saja tak pernah mengenalku andai saja ia tidak keras kepala "berselisih" dengan keluarganya. Ia lahir dari keluarga Muhammadiyah yang taat. Bapaknya pengurus organisasi Islam moderat itu di tingkat kecamatan. Orang tuanya bahkan menyematkan nama nabi junjungannya di depan namanya, yang kemudian Dahlan lepas setelah hijrah ke Jogja. Ia memalsukan tanda tangan orang tuanya demi mengubah namanya di Kantor Catatan Sipil, yang letaknya di dekat terminal itu.
Katanya, nama itu terlalu berat untuk disandang. Dahlan menyampaikan alasan itu, namun keluarganya bukan saja tidak mau menerimanya, melainkan juga menghentikan kiriman uang bulanan. Untuk membayar SPP dan biaya hidup sehari-hari, Dahlan harus mencari sendiri dengan bekerja serabutan. Kerja apa saja. Dan kondisi itulah justru yang akhirnya mempertemukan kami. Meski kuliah di universitas yang sama, kami tak akan berteman baik seandainya semua kisah dengan keluarganya itu tidak dialami Dahlan.
Aku menyukai Dahlan. Ia teman yang baik. Sangat baik malahan. Sangat setia kawan. Dahlan bukan kawan yang pelit, meski setelah putus hubungan dengan keluarganya, uangnya tidak lagi banyak. Dan hal itu justru membuat persahabatan di antara kami kemudian semakin kuat, serasa lebih kental daripada hubungan darah.
Sepulang dari menarik uang konsinyasi koran di Malioboro, biasanya menjelang tengah malam, aku kerap mendatanginya di kafe. Sekadar melihatinya bekerja di balik meja. Entah di mana ia belajar meramu minuman, ia tak pernah bilang. Menurutku sih, dia modal nekat saja. Atau jangan-jangan, memang dia punya bakat bawaan bayi. Ada ya, bayi yang punya bakat bartender? Ya, mestinya ada. Bukankah tidak ada hal yang tidak mungkin di dunia ini?
Sudahlah jangan dipikirkan! Itu bukan hal yang penting. Yang penting adalah, dia bisa menyisihkan minuman gratis buat temannya yang kecapekan, dan kadang sudah tertidur di kolong meja saat ia selesai bertugas. Aku tidak paham bagaimana Dahlan bisa menyisihkan minuman untuk kami. Mungkin dari sisa-sisa minuman tamu yang tidak habis, atau entahlah. Detail tentang fakta itu menurutku juga tidak terlalu penting.
Biasanya, aku membantunya membersihkan meja dan menutup folding gate, sementara Dahlan mengepel lantai. Pernah sekali waktu kutawarkan membantu mengepel, tapi dia menolak keras. Ya sudahlah, aku lihatin saja dia mengepel sisa lantai hingga selesai.
Dan itu lamaaa, Saudara-saudara, karena ia selalu mengepelnya lagi dan lagi, setelah selesai mengepel yang pertama. Iya, tiga kali. Dan lagi-lagi ia berahasia. Biarkan saja. Aku pun tak bermaksud mencari tahu.
Tak harus segala hal dibagikan, meski kepada sahabat. Aku bahkan punya lebih banyak rahasia, yang Dahlan tak tahu, atau tidak mau tahu. Biasanya kami saling tahu batas-batasnya tanpa perlu diverbalkan.
Hanya masalah dengan Alena saja yang menggusarkanku. Rasanya Dahlan terlalu mau ikut campur. Hampir tak pernah ada ungkapan positif setiap diskusi masalah itu. Dan karena aku tak terlalu ambil pusing atas pendapatnya, Dahlan mencoba mencari jalan lain: mengenal-ngenalkan teman-temannya kepadaku.
Hei, hei, sudahlah, Bung.... Aku tak suka itu. Ada hati di sana yang harus kujaga!
Malam itu, Stevia tidur nyenyak, setelah dua kali aku mengganti sprei dan mengganti bajunya dengan training dan kaosku. Aku tidur tak nyenyak di karpet sambil menonton televisi dan berharap hari cepat beranjak pagi. Sayangnya, pagi itu Stevia ternyata belum pulih benar. Belum berani menyetir. Takut nabrak-nabrak jika dipaksakan.
Sementara itu Dahlan tak bisa diganggu sampai jam 11. Molor. Aku sendiri belum bisa menyetir. Dan sepertinya ada masalah agak serius: Dahlan lupa menurunkan rem tangan sepanjang perjalanan semalam dari kafe ke kost. Dasar muka kaleng Khong Guan!
Karena hal-hal aneh di atas, Stevia memohon untuk tinggal semalam lagi.
Hmmm...