Pagi itu, ponsel Naira bergetar tak henti-henti di meja belajarnya. Notifikasi WhatsApp, Instagram, dan Twitter berdatangan, membanjiri layar dengan pesan-pesan dan komentar yang tak terbaca. Matanya menyipit saat membaca nama-nama yang tak ia kenal muncul di kolom notifikasi. Seluruh tubuhnya menegang apa yang baru saja terjadi?
Beberapa jam sebelumnya, Naira mengunggah sebuah artikel yang ia tulis ke blog pribadinya dan membagikannya ke media sosial. Artikel itu tentang sebuah kabar viral di media sosial mengenai seorang selebriti yang katanya telah melakukan tindakan tak terpuji. Naira, dengan niat baik, mencoba memberikan analisis kritis. Ia membongkar bagaimana berita tersebut berkembang dari sebuah foto yang diambil di luar konteks, kemudian dicampur aduk dengan asumsi-asumsi liar yang tak memiliki dasar. Ia ingin mengajak pembacanya berpikir lebih kritis, tidak asal percaya dengan apa yang mereka baca di internet.
Namun, yang terjadi justru sebaliknya.
Naira membuka Instagram dan menemukan ratusan komentar yang mengutuk dirinya. Ada yang menyebutnya bodoh karena berani membela selebriti yang jelas-jelas “bersalah”, ada juga yang menganggapnya dibayar untuk menutupi kebenaran. Beberapa bahkan mengirimkan ancaman dan pesan kasar. Postingan di Twitter pun tak kalah mengerikan; beberapa akun anonim menyebarkan potongan dari artikelnya tanpa konteks, memelintir tulisannya sehingga seolah-olah Naira mendukung perilaku buruk.
“Aku hanya memberikan perspektif yang lebih berimbang,” bisik Naira pada dirinya sendiri, menahan air mata yang mulai mengenang. Jari-jarinya gemetar saat mencoba membalas beberapa komentar, menjelaskan maksudnya, tetapi rasanya seperti berteriak di tengah badai. Orang-orang sudah terlanjur termakan oleh kemarahan yang dibakar oleh berita palsu.
Naira menghela napas dalam-dalam. Ini bukan pertama kalinya ia melihat bagaimana sebuah informasi bisa disalahartikan, tapi baru kali ini ia menjadi targetnya. Dunia digital yang seharusnya menjadi ruang berbagi dan diskusi, kini tampak lebih seperti arena gladiator siapa pun yang berbeda pendapat, siap-siap dihancurkan.
Dua hari setelah insiden tersebut, Naira memutuskan untuk menemui Adli, teman kuliahnya yang juga seorang jurnalis investigasi. Adli dikenal karena kepiawaiannya mengurai fakta dari tumpukan kabar simpang siur yang sering muncul di internet. Di kedai tempat mereka bisa bertemu, Naira menceritakan semuanya tentang artikel yang ia tulis, tentang serangan yang ia terima, dan betapa frustasinya ia menghadapi gelombang kebencian itu.
“Jadi, kamu mencoba menulis sesuatu yang melawan arus,” kata Adli sambil menyesap kopinya. “Dan hasilnya, orang-orang menganggapmu musuh.”
Naira mengangguk lesu. “Aku hanya ingin orang-orang berpikir kritis, Adli. Ngga semua yang viral itu benar, kan? Kenapa mereka tidak mau memeriksa dulu sebelum percaya?”
Adli meletakan cangkirnya dan menatap Naira dengan serius. “Di dunia sekarang, orang lebih suka sesuatu yang cepat dan sederhana. Mereka malas memeriksa fakta atau mencari tahu kebenaran di balik kabar yang mereka terima. Kadang, mereka hanya ingin menpercayai apa yang membuat mereka nyaman.”
“Tapi, bukannya itu yang jadi masalah besar? Kita dikelilingi berita palsu, hoaks, dan orang-orang lebih percaya pada apa yang viral daripada apa yang benar,” Naira menimpali, suaranya semakin emosional. “Aku merasa tidak ada yang peduli sama kebenaran lagi.”
Adli tersenyum tipis. “Itulah pentingnya literasi media. Orang-orang perlu belajar untuk membaca, memahami, dan memverifikasi informasi sebelum mereka membuat kesimpulan. Tapi sayangnya, tidak semua orang punya kesadaran itu.” Naira terdiam. Ia mengerti maksud Adli, tetapi sulit baginya menerima kenyataan bahwa orang-orang bisa dengan muda dimanipulasi oleh berita yang tidak jelas asal-usulnya, Ia merasa seperti berperang melawan angin, tak berdaya melawan gelombang informasi yang begitu cepat menyebar.
Setelah pertemuan itu, Naira memutuskan untuk mengambil langkah yang berbeda. Bukannya mundur, ia justru semakin termotivasi. Ia mulai meneliti lebih dalam tentang literasi media yang sebagaimana sudah menjadi materi yang dia terima selama kuliah tentang bagaimana orang dapat diajarkan untuk berpikir kritis terhadap informasi yang mereka temui di internet, bagaimana mereka bisa dilatih untuk mengenali berita palsu, dan yang paling penting, bagaimana mengubah kebiasaan masyarakat yang terlalu mudah berpengaruh oleh viralitas tanpa verifikasi.
Naira mulai menulis lebih banyak artikel tentang pentingnya literasi media. Ia membuat postingan edukatif tentang cara mengenali berita hoaks, bagaimana menggunakan alat-alat verifikasi online, dan mengajak pengikutnya untuk tidak langsung membagikan berita yang belum tentu benar. Setiap postingan selalu disertai bukti, sumber yang jelas, dan langkah-langkah sederhana yang bisa dilakukan siapa pun.
Awalnya, reaksi yang ia terima masih beragam. Masih ada komentar negatif, masih ada orang yang menolak mempercayai fakta yang ia sajikan. Namun, perlahan-lahan, ia mulai melihat perubahan. Beberapa pembaca setia mulai memuji usahanya, dan beberapa dari mereka bahkan berbagi pengalaman pribadi tentang bagaimana mereka dulu pernah terjebak dalam berita palsu.
Suatu hari, Naira menerima sebuah pesan pribadi dari seorang pengikut baru. Pesan itu datang dari seorang perempuan muda yang berterima kasih karena artikel Naira telah menyadarkannya tentang bahaya menyebarkan informasi yang tidak diverifikasi. Perempuan itu mengaku pernah menjadi bagian dari masalah, ikut menyebarkan hoaks di grup keluarga dan teman-temannya. Namun, setelah membaca tulisan Naira, ia mulai lebih hati-hati dan bahkan mulai mengajak orang-orang di sekitarnya untuk lebih kritis.
Membaca pesan itu, hati Naira terasa hangat. Meski langkah yang ia ambil mungkin kecil, dampaknya mulai terasa. Ia tahu, perubahan tidak bisa terjadi dalam semalam. Tetapi jika semakin banyak orang yang sadar dan peduli, maka dunia digital yang penuh informasi ini bisa menjadi tempat yang lebih baik ruang di mana informasi yang benar dihargai, dan orang-orang tak lagi mudah terjebak dalam kebohongan yang viral.
Naira melanjutkan perjuangannya dengan lebih gigih. Ia mulai mengadakan webinar kecil tentang literasi media bersama beberapa teman jurnalis dan pakar komunikasi. Mereka mendiskusikan fenomena mis-informasi dan bagaimana masyarakat bisa melindungi diri dari jebakan berita palsu. Acara ini diikuti oleh banyak mahasiswa, guru, bahkan orang tua yang ingin memahami lebih dalam tentang cara menyaring informasi di era digital.
Suatu ketika, dalam salah satu sesi diskusinya, seorang peserta bertanya, “Kak Naira, kenapa kita harus repot-repot memeriksa fakta, sementara orang lain begitu mudah percaya dengan apa pun yang mereka lihat di media sosial?”
Naira tersenyum lembut, mengingat bagaimana ia dulu juga merasa frustrasi menghadapi hal yang sama. "Memeriksa fakta bukan cuma soal membuktikan bahwa kita benar atau salah. Ini soal tanggung jawab. Di dunia di mana informasi menyebar begitu cepat, kita semua punya tanggung jawab untuk tidak menyebarkan sesuatu yang bisa merugikan orang lain. Mungkin tampak kecil, tapi satu berita hoaks bisa menyebabkan kerugian besar—baik secara emosional, sosial, bahkan finansial." Perkataan Naira membuat peserta itu terdiam, merenung. Bukan hanya peserta itu yang tersentuh, tetapi semakin banyak orang yang mulai melihat bahwa literasi media bukanlah sekadar teori akademik, melainkan keterampilan yang penting untuk kehidupan sehari-hari di dunia modern ini.
Suatu malam, Naira sedang bersantai di rumah, membaca komentar-komentar dari pembaca setianya ketika ia menerima pesan dari seseorang yang tak disangka-sangka. Pesan itu datang dari salah satu orang yang dulu paling keras menyerangnya ketika artikel viralnya pertama kali muncul. Orang itu menulis dengan nada penuh penyesalan, mengakui bahwa saat itu ia terbawa emosi dan menyesali tindakannya.
"Aku dulu tidak tahu pentingnya memeriksa informasi sebelum percaya," tulis orang itu. "Tapi setelah melihat konten-konten yang kamu buat, aku sadar bahwa aku salah. Terima kasih sudah membuka mata."
Pesan itu membuat Naira terharu. Ia sadar bahwa perjuangannya memang tidak mudah, dan kadang terasa seperti melawan arus besar. Namun, setiap langkah kecil, setiap kesadaran baru yang lahir dari usahanya, adalah kemenangan. Bagi Naira, inilah tujuan akhirnya—membangun dunia di mana setiap orang bisa menjadi pengguna media yang cerdas, kritis, dan bertanggung jawab.
Malam itu, Naira mematikan layar ponselnya dan menatap keluar jendela. Dunia digital, sama seperti dunia nyata, memiliki bayang-bayangnya sendiri. Tetapi, selama masih ada orang-orang yang berjuang untuk menyebarkan kebenaran, ada harapan bahwa bayang-bayang itu bisa diterangi dengan cahaya literasi.
Dan Naira akan terus menjadi salah satu penyuluhnya.