Disukai
1
Dilihat
6,296
SOP AYAM AYAH
Drama

Peringatan Hari Ibu itu omong kosong. Diperingati itu kan ditujukan untuk orang yang lupa, lalai, tak sadar, tak tahu, baru kemudian diingatkan sehingga jadi ingat, jadi sadar. Apa manusia terlalu lupa diri kalau nyatanya seorang wanita yang disebut Ibu itu adalah manusia paling istimewa buat anak-anaknya? Hari Ibu itu ya tiap hari!

Nyatanya meskipun Sigit benci Hari Ibu, dia tetap datang juga. Datang ke rumahnya, tepatnya rumah orang tuanya, yang dulu adalah naungan jiwa raganya selama 22 tahun. Bangunan itu bukan lagi naungannya, sejak ia minggat memilih tinggal sendiri sejak tiga tahun lalu.

Bukan karena sosok ‘Ibu’ Sigit benci Hari Ibu. Wanita yang ia cintai, yang melahirkannya itu bukan dipanggilnya Ibu, tapi Mama. Mama baginya lebih spesial dari Ibu, lebih lekat daripada Mamak, Emak, Bunda, Ummi, Mommy atau sebutan lainnya untuk seorang wanita yang melahirkan seorang manusia ke dunia.

Mama dulu adalah dunia Sigit, mungkin sampai sekarang juga. Mama adalah segalanya, dan segalanya tentang Mama selalu melekat di Sigit. Tentu selain karena ciri fisik dan beberapa karakter yang diturunkan oleh wanita itu.

Sigit juga bukan benci Hari Ibu karena Mama yang meninggal lima tahun lalu, tepat di tanggal peringatan Hari Ibu — 22 Desember. Mama pergi dengan damai, meninggal di tidurnya, meskipun kanker rahimnya sudah menjalar ke mana-mana. Setidaknya Mama tidur di keabadian di kasurnya sendiri, dikelilingi orang-orang tercintanya, nampak tenang tidak sakit sama sekali.

Merayakan Hari Ibu tanpa sosok Mama lebih aneh daripada merayakan ulang tahun orang mati yang tak mungkin hidup lagi, terutama karena Sigit harus habiskan waktu seharian dengan Ayah.

Ayah dan Sigit adalah dua manusia yang ditinggalkan Mama di Hari Ibu lima tahun lalu. Dua manusia yang terlalu mirip, punya sudut magnet yang sama, yang saling tolak satu sama lain. Mama adalah satu-satunya jembatan Ayah dan Sigit.

“Bawangnya dipotong halus, yang rata.”

Seperti kacung, Sigit diam saja ikut titah bapaknya. Konsentrasi Ayah penuh di buku kecil yang ia pegang di tangan kiri sedang tangan kanannya menyeleksi kentang dengan sengit, memilih yang bagus-bagus. Buku kecil itu berwarna biru muda, sampulnya plastik, penuh noda. Kertasnya keriting saking seringnya dibuka, juga banyak kena noda karena area dibukanya di dapur. ‘Buku Resep’ judul di depannya, ditulis tangan, rapi dan indah. Kata Mama dulu, nenek — ibu Ayah yang menulisnya. Buku itu adalah warisan buat Mama, dan kini harusnya warisan untuk Sigit. Meskipun kenyataannya Ayah terlalu posesif dengan buku dekil kusam itu, Sigit tak pernah sempat baca isinya. Lagipula memang apa lagi isinya kalau bukan resep makanan?

Hubungan Sigit dan Ayah kaku, dingin, hambar seperti kuah sop yang belum ada bumbunya. Sejak Mama masih ada, Ayah dan Sigit jarang sekali bicara berdua atau mengatakan sesuatu ke satu sama lain. Mama adalah juru bicara, hakim, mediator, hingga penerjemah keduanya. Sekali mereka bercakap berdua, yang ada justru konflik, konfrontasi, ketidaksetujuan yang menyakiti satu sama lain. Sigit sebagai anak akhirnya tahu diri, mengalah dan memilih untuk lebih banyak diam saat bersama Ayah.

Yang mengherankan Sigit adalah kekeras kepalaan Ayah yang berusaha terus menghidupkan ritual Hari Ibu seperti saat Mama masih hidup. Di rumah, masak resep sop ayam dan makan bersama. Hari Ibu bahkan lebih disakralkan oleh Ayah daripada hari-hari peringatan lain. Pada Hari Raya, Ayah tak meminta Sigit datang, pun tak menanyakan apapun jika Sigit benar tak datang. Hari ulang tahun tak pernah dirayakan, Sigit ragu apakah Ayah masih ingat ulang tahunnya sendiri apalagi ulang tahun Sigit.

Hanya Hari Ibu, Sigit wajib datang.

Ritual masak sop ayam di Hari Ibu itu agak menggelikan. Nyatanya sop buatan Ayah sama sekali beda rasanya dengan sop yang biasa dibuat Mama meskipun resepnya sama, juga dengan usaha Ayah yang amat teliti menakar tiap bumbu, sayur, ayam, dan segala macam yang masuk ke dalam kuah sop. Rasanya tidak enak. Hambar, dan jika dipaksa diberi bumbu tambah, makin tidak karuan. Sop ayam itu menggambarkan hubungan bapak anak yang dingin itu, yang jika dipaksa justru makin renggang.

“Apa lagi, Yah?”

Ayah menengok sedetik ke Sigit lalu sibuk meneliti bahan-bahan, juga resep. Kaldu untuk sop sudah siap, bumbu sudah masuk, wortel, kentang, jamur dan bakso sudah dipotong.

“Oh seledri.”

Ayah baru mau beranjak dari dapur.

“Aku yang ambil, Yah,” cegah Sigit.

Dia ingin keluar dari dapur yang sempit, juga dari Ayah yang menyesakkan.

Sigit berjalan ke arah halaman, melewati ruang-ruang di rumah itu. Tanpa Mama rumah terasa dingin, sepi, terlalu luas, kusam dan hambar. Sigit melewati meja makan dekat dapur, hanya terdiri dari meja berukuran sedang dan empat kursi makan ditempatkan di sudut, masih sama seperti sebelum-sebelumnya. Mejanya bertaplak putih dengan sulaman kecil-kecil di ujung buatan Mama. Di atas meja hanya ada teko air dan satu gelas kaca milik Ayah. Dulu biasanya Mama akan meletakkan tanaman di atas meja yang berwadah gelas kaca. Tanamannya apa saja, kadang lidah mertua, sansivera, atau tanaman liar yang dipungut Ayah di luar. Sederhana tapi hidup. Tak seperti sekarang yang nampak kerontang dan lengang.

Ruang tengah adalah tempat berkumpulnya keluarga kecil mereka dulu yang lebih banyak diramaikan Mama. Ayah dan Sigit hanyalah pemeran pendukung di rumah itu. Mama adalah aktor utamanya, penggerak cerita. Tanpa penggeraknya, Ayah dan Sigit hidup bagai boneka usang di rumah yang sepi itu. Ruang tengah dulu hangat, dengan TV , sofa, meja kecil dan beberapa kursi yang lapuk, namun ternyata mewah sekali rasanya. Mewah karena sekarang Mama tak ada. Sekarang sofa dan kursi itu nampak sangat tua dan menyedihkan. Sigit bisa melihat bekas dudukan Ayah di sofa, satu-satunya tempat yang agak cembung ke bawah yang jadi tempat favoritnya. Sigit membayangkan Ayah sendirian nonton TV duduk di sofa, di bagian tengah, entah apa yang dirasakan Ayah saat di sana.

Ruang tamu juga sama. Entah apakah Ayah masih menerima tamu seperti dulu, mungkin hanya Sigit tamu rumah ini sejak lima tahun lalu. Ruang tamu lengang, sepi. Meski catnya bagus, perabotnya utuh, namun di mata Sigit ruang tamu itu nampak seperti foto hitam putih, sarat akan kenangan Mama. Ruang tamu adalah ruangan yang dibuat paling luas karena Mama suka menerima tamu, hobi mengobrol dengan sanak saudara, tetangga, hingga orang-orang yang baru ia kenal. Mama adalah warna di rumah itu, krayon yang memberi pelangi pada Ayah dan Sigit.

Sigit sampai di halaman rumah. Halaman rumah meskipun tak seasri dulu, masih dipenuhi tanaman. Kebanyakan memang tanaman yang bandel, mudah diurus, tak perlu sering diberi pupuk atau rewel dijaga dari hama kecil atau tanaman liar parasit. Masih ada tanaman daun bawang, seledri dan cabai. Tanaman itu yang ngotot dijaga Mama biar tidak perlu beli di warung. Ayah ternyata berusaha menjaganya, bahkan ada pagar kecil dari besi di sekelilingnya. Mungkin untuk menjaganya dari tikus atau kucing.

Sigit mengambil beberapa helai seledri, kemudian berdiri dan mengamati rumahnya. Kawasan rumah mereka berada di kampung yang cukup padat, terdengar suara anak-anak yang baru pulang sekolah bermain-main di jalan. Ada juga ibu-ibu yang mengobrol di depan rumah, menggosipkan sesuatu. Suasananya familiar dan Sigit merasa seperti pulang. Meskipun di tempatnya berdiri tak lagi terasa sama.

Udara siang itu sejuk, anginnya berhembus lembut dan di kepalanya ia bisa melihat kelebatan sosok Mama berjongkok dekat tanaman cabai, berusaha menanam wortel di sebelahnya. Mama bersemangat, tak peduli akan komentar dari Ayah yang mengingatkan berapa kali wortel yang ditanam Mama selalu gagal, busuk. Sigit juga bisa melihat dirinya sendiri, ikut jongkok di samping Mama, tak melakukan apa-apa. Ia hanya memainkan tanah di tangan, kadang mencabuti daun tanaman cabai tanpa sepengetahuan Mama. Suasananya hangat, tentu karena Mama. Mama adalah mentari mereka, tak panas, namun hangat menyenangkan.

“Sigit!!”

Sigit tersentak. Suara Ayah menyadarkannya dari kenangan masa lalu yang merasuki kepalanya. Entah berapa lama dia berdiri di sana, menatap ke arah halaman dengan beberapa helai seledri di tangannya.

“Lama sekali kamu! Ambil seledri saja selama itu! Ini keburu rusak rasa sop ayamnya!”

Buru-buru Sigit ke dapur. Ayah jelas marah. Jika tadi wajahnya dingin, sekarang nampak ekspresi kesalnya. Sigit berusaha mengucap kata maaf, namun suaranya tak keluar, hanya bibirnya saja yang membentuk kata itu. Ayah menerima seledri dari Sigit dengan kasar, lalu berkutat kembali di sop ayam dan buku resepnya.

“Kok diam saja! Itu kamu masukkan sayur-sayurnya terus ditutup, ditunggu sekitar sepuluh menit!” Ayah menggeser tubuhnya, membiarkan Sigit mulai bekerja dekat kompor dan panci berisi sop ayam.

“Biar Ayah siapkan meja makannya.” Ayah pergi ke meja makan, buku resep mungilnya ia bawa. Sigit menuruti perintah Ayah tanpa kata-kata, dia sempat mengawasi gerik Ayah yang meletakkan buku resep bersampul biru di ujung meja makan, lalu mengambil piring-piring, sendok dan mangkok dari lemari.

*

Sop ayam sudah matang, siap dihidangkan di meja. Meski Sigit yakin rasanya tidak terlalu enak, aroma sop yang panas itu membuat nafsu makannya naik. Sigit mengambil mangkok kaca, meletakkannya dekat panci sop yang panas. Dia baru akan mengambil sendok sop untuk kemudian menuangkan isinya ke mangkok kaca saat tak sengaja lengannya menyenggol panci yang panas. Panci berisi sop yang panas jatuh ke lantai, suaranya nyaring saat bagian logamnya bertabrakan dengan lantai marmer.

Kuah sop yang mendidih itu sebagian mengenai kaki Sigit. Sigit berteriak kesakitan. Seluruh isi dari panci panas itu tumpah, sop yang baru matang itu tercecer, berasap di atas lantai.

“Sigit! Astaga! Kamu Ayah minta tuang sop ke mangkok saja nggak becus! Lihat itu tumpah semua isinya, terus makan apa ini kita, hah?!” Hardik Ayah keras.

Hati dan telinga Sigit panas, seperti kakinya yang terkena sop mendidih itu.

“Dari pagi juga, kamu malas-malasan waktu datang ke sini, bantu Ayah tampak setengah hati. Apa kamu sengaja tumpahkan sop itu karena kamu nggak mau datang?”

Sigit menatap Ayah marah. Kesabarannya habis.

“Iya! Sebenarnya aku juga malas datang, Yah! Tapi memangnya Ayah peduli? Bersama Ayah seharian buat aku muak! Buat apa masak sop di Hari Ibu begini?! Mama udah nggak ada dan keinginan Ayah buat rayakan Hari Ibu tiap tahun itu omong kosong! Nggak masuk akal!”

“Apa? Omong kosong katamu?! Kamu kurang ajar! Berani kamu teriak ke Ayah?!”

“Kenapa?! Ayah nggak terima kalau kenyataannya semua ini cuma buang-buang waktu? Dari dulu aku dan Ayah nggak pernah cocok! Lihat!”

Sigit menunjuk ke arah sop yang tumpah di antara mereka, rasa terbakar di kakinya tak terasa karena ia merasa amarahnya lebih menguasai sekarang.

“Ada bagusnya sop itu tumpah! Sop buatan Ayah selama lima tahun ini sama sekali nggak enak! Ayah bilang aku kurang ajar? Aku datang tiap tahun ke rumah ini cuma untuk temani ego Ayah buat sop ayam yang nggak enak rasanya. Jelas kita sama sekali nggak menikmati waktu berdua. Sudah nggak perlu lagi, Yah ada hari Ibu macam sekarang atau buat tahun-tahun ke depan! Kalau Ayah mau buat sop, buat aja sendiri! Nggak perlu undang aku!”

Sigit pergi dari hadapan Ayah. Kakinya agak pincang karena sop panas yang sepertinya membakar kulit di kaki kirinya. Sigit meringis, menahan sakit, masuk ke kamarnya, kamar yang dulu ia tempati selama 22 tahun di rumah itu.

*

Amarah dan emosi reda, penyesalan muncul setelahnya. Kaki Sigit masih terasa nyeri dan panas. Ia mengompres kakinya dengan es batu yang ia balut dengan kain. Di kamar, rasa bersalahnya membesar terutama setelah ingat betapa kasar dan kerasnya ia membentak Ayah. Berada di kamar, ia ingat pertama kali pertengkarannya dengan Ayah, yang membuat hubungan mereka berdua mulai renggang, canggung dan dingin.

Itu saat dia SMA dan untuk kali pertama Sigit terlibat adu fisik dengan temannya di sekolah. Sigit agak lupa kejadian lengkapnya, tapi jelas waktu itu satu temannya itulah yang cari gara-gara. Mengejeknya karena Ayah hanyalah seorang pekerja serabutan waktu itu. Sigit tak terima dan mereka berkelahi. Sigit menang, meskipun ia juga sama babak belurnya. Mereka harus ke ruang BK bahkan juga bertemu kepala sekolah dan Ayah yang menjemput Sigit hari itu. Sampai rumah, Ayah marah, mengatakan bahwa Sigit amat menyusahkan, memberikan masalah baru dan betapa Sigit amat tak tahu diri jika telah memberikan kesulitan baru untuk Ayah dan Mama padahal keluarga mereka sedang sulit ekonominya.

Ayah memarahinya habis-habisan, tak sempat dengar alasannya berkelahi. Mama yang melerai mereka. Mama juga yang mengobati lebam-lebam Sigit dan mendengarkan alasan Sigit berkelahi. Sejak itu, Sigit menjauhkan diri dari Ayah. Mungkin saat itu Ayah merasa bersalah — mungkin juga setelah mendengar cerita dari Mama tentang alasan Sigit berkelahi, Ayah ingin meminta maaf. Tapi Sigit terlalu terluka. Maka jarak mereka semakin jauh, hingga hari ini setelah Mama tak ada.

Sekitar 30 menit Sigit di kamar, kompresan es batunya sudah tak dingin lagi, mungkin sudah sepenuhnya mencair. Sigit keluar dari kamar, tertatih. Rumah tampak sepi. Ayah tak nampak di manapun, entah ke mana. Sigit berjalan menuju dapur, kuah sop dan isinya masih berceceran tapi kelihatan sudah dibersihkan sedikit. Mungkin Ayah sempat membersihkannya, namun berhenti di tengah-tengah. Di dapur pun tak nampak Ayah. Sepertinya di kamarnya juga tak ada.

Berada sendirian di rumah membuat segalanya terasa sangat asing. Sepi yang menyesakkan. Rumah yang saat Mama masih hidup, saat Sigit masih tinggal di sana terasa agak sempit, kini terasa terlalu luas. Terlalu luas sampai terasa hampa. Bukan karena barang-barang atau perabotan, atau hiasan yang kurang. Lebih karena tak ada siapapun selain Sigit di rumah itu. Hati Sigit terasa sesak.

Ia bisa membayangkan Ayahnya sendirian di rumah itu, jalan dari satu ruangan ke ruangan lain, duduk di kursi, di sofa, memasak di dapur, menyapu lantai, membersihkan debu-debu perabotan. Sendirian dan tua. Bersama bayang-bayang tawa Mama, bayang-bayang Sigit, anak semata wayangnya yang makin jauh dan asing tiap hari. Ayah pasti merasa amat sepi.

Meja makan sudah tertata rapi, dengan piring yang dialasi serbet berwarna merah, gelas, sendok ditaruh sedemikian rupa seperti acara makan formal. Semuanya presisi dan indah meski sederhana. Nampak Ayah begitu niat dan teliti menyiapkan meja. Tulus. Mata Sigit kemudian tertuju pada buku resep kecil yang ditinggalkan Ayah di atas meja makan. Sigit mengambilnya, terasa bahwa benar buku itu sudah tua. Sigit buka lembarannya yang keriting, bertekstur, melihat resep-resep yang ditulis rapi. Saat ia membolak-balik halamannya, secarik kertas kecil jatuh. Kertas itu berwarna oranye, dilipat jadi dua dengan rapi. Sigit membungkuk mengambilnya.

Sigit buka lipatannya, ada tulisan yang amat berantakan di sana seperti ditulis bocah sekolah dasar yang baru bisa menulis.

Selamat Hari Ibu, Bu

Seperti sop buatan Ibu yang hangat, kasih Ibu lebih hangat lagi

Terimakasih Bu sudah membuat makanan untuk Burhan tiap hari

Burhan sayang Ibu

Surat singkat yang manis. Polos seperti cinta seorang anak kecil kepada ibunya, itu adalah surat buatan Ayah untuk nenek yang jelas ditulis puluhan tahun lalu. Surat itu lebih kusam dari kertas buku resep. Tak sadar Sigit tersenyum, betapa manis Ayah membuat surat untuk ibunya. Meskipun mungkin itu hanya tugas sekolah, atau iseng saja. Tetap, Sigit melihat sisi lain Ayah yang tak diketahuinya. Cinta yang polos, murni. Ayah juga pernah jadi bocah. Ayah jugalah seorang anak. Ayah juga pernah kehilangan, seperti Sigit. Bahkan sekarang, Ayah hampir tak punya siapa-siapa kecuali anaknya yang tak tahu diri ini. Sigit menatap buku resep di tangannya, memasukkan kertas kecil — surat Ayah ke dalam lembaran di buku resep. Pantas buku ini begitu berharga. Itu bukan soal resep, masakan, enak atau tak enak. Lebih dari itu.

Luka bakar di kaki Sigit terasa lebih baik, dia bisa menahannya. Sigit mengambil pel dan wadah plastik. Dia berjongkok, membersihkan tumpahan sop. Sop yang Ayah buat dengan sepenuh hati, yang meskipun tak enak rasanya itu. Ayah tetaplah manusia. Mungkin Ayah merindukan Mama seperti Sigit, atau lebih rindu lagi. Mungkin Hari Ibu tak hanya mengingatkan Ayah pada Mama, namun juga pada ibunya sendiri. Hari Ibu mungkin membuatnya ingat pernah jadi bocah ingusan yang kirim surat polos pada ibunya. Hari Ibu juga mungkin membuat Ayah ingat senyuman dan sop buatan Mama.

Lantai bersih, Sigit mendengar langkah Ayah. Ayah dari luar, membawa plastik berisikan salep, madu dan beberapa obat. Mata mereka beradu, canggung.

“Lukamu gimana? Masih sakit?”

Sebelum Sigit sempat bicara, Ayah mengeluarkan barang-barang yang dibelinya dari plastik. Ayah dan Sigit duduk, berjarak, namun Sigit bisa merasakan bahwa suasana sekitar mereka menghangat.

“Ini salep untuk luka bakar. Madu juga katanya bisa jadi pereda nyeri, biar rasanya tidak terlalu menyengat. Kalau terlalu sakit, kamu bisa minum pereda nyeri ini.”

Nyatanya Ayah begitu perhatian.

Sigit memperhatikan Ayah lekat, lupa sudah bertahun-tahun tak pernah memperhatikan Ayah yang ternyata mulai ringkih di hadapannya. Badan Ayah yang dulu kekar atletis, sudah agak bungkuk sedikit gemetar. Tangannya yang berotot dulu nampak kurus sekarang, urat-uratnya menonjol di tangannya yang keriput. Kaki Ayah yang dulu kuat dibawa jalan puluhan kilo, di depan Sigit nampak rapuh seperti batang pohon yang mulai lapuk. Wajah Ayah yang dingin namun teduh itu, penuh dengan garis-garis tanda usia terus berjalan, melaluinya tanpa ampun. Rambut Ayah yang dulu lebat, hitam dan kuat yang merupakan kebanggaannya dulu nampak begitu tipis, penuh uban putih seperti benang-benang yang bisa berjatuhan kapanpun ditarik. Ayah sudah tua.

Sigit hampir menangis, matanya sudah berkaca saat Ayah menatapnya heran.

“Sakit sekali ya? Maaf tadi Ayah memarahi kamu, padahal kakimu kena air sop yang mendidih.”

Sigit menarik napas panjang, tersenyum. Nyatanya Ayah begitu perhatian.

Sigit lupa, bertahun-tahun lalu setelah Ayah memarahinya habis-habisan saat SMA itu, Ayah berusaha minta maaf dan mendekatkan diri dengan segala cara. Ayah belikan sepeda motor untuknya. Ayah tak pernah memarahi kebodohannya karena kena hukum gara-gara bolos sekolah. Ayah-lah yang mendukungnya untuk kuliah di luar kota, ambil jurusan yang ia mau — meskipun Sigit akhirnya kuliah di sini, tak jauh dari rumah. Bahkan setelah Mama pergi, Ayah berusaha mempertemukan mereka sekali setahun, di Hari Ibu yang canggung itu. Ayah yang tak pernah masak, berusaha membuat sop untuk Sigit sekali setahun. Sop buatan Ayah yang meskipun tak enak rasanya.

“Sudah nggak sakit, Yah. Makasih sudah dibelikan obat macam-macam. Ma….”

Sigit seharusnya minta maaf karena sudah marah-marah tadi, tapi lidahnya kelu dan suaranya seperti tertelan di kerongkongannya. Dia sama sekali tak pernah minta maaf ke Ayah.

“Ma…em, untuk makan siangnya biar aku pesan gule Pak Santono ya, Yah? Gule kesukaan Ayah. Untuk tahun ini sop ayamnya libur dulu. Tahun depan biar aku yang masak sopnya buat Ayah.”

Begitu saja.

Nyatanya Ayah begitu perhatian pada Sigit. Ayah tersenyum, garis wajahnya nampak enteng, cerah, bahkan jadi lebih muda beberapa tahun. Kegantengan Ayahnya masih ada, di usianya yang senja dengan rambut berubannya. Wajah Ayah begitu cerah, sedikit kalimat tulus dari Sigit itu saja. Sigit jadi berpikir, mungkin Ayah sendiri sadar bahwa sop buatannya sendiri tak begitu enak, dan gule buatan Pak Santono tentu berkali-kali lipat lebih baik rasanya daripada sop yang dibuat susah payah?

Apapun itu, Sigit dan Ayah makan siang dengan gule Pak Santono, yang diantar sendiri oleh Pak Santono. Ayah dan anak itu makan berdua di meja yang telah dirapikan Ayah dengan begitu niatnya. Seluruh rumah dipenuhi aroma gule yang gurih. Sigit melirik ke arah buku resep kecil di samping Ayah. Mungkin Hari Ibu adalah hari terbaik di dunia. Untukku, dan Ayah. Tahun depan aku akan menyukseskan resep sop ayam punya nenek, ibu — Ayah.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Drama
Rekomendasi