Disukai
4
Dilihat
978
Sobari
Slice of Life

SOBARI

 

Pukul 15.20 WIB

Laju sampan tak terhenti meski air sungai bergolak saat kapal besar melintas. Sampan yang menerjang arus dari arah utara itu membelah Sungai Kapuas yang berkilatan dicumbu matahari sore. Seorang lelaki berdiri di atasnya. Memegang tungkai dayung yang dipidahkan dari kiri ke kanan lalu ke kiri lagi. Sebatang rokok tersulut di sudut bibirnya, asap yang tak terhisap merembes keluar dari sudut satunya lagi. Ada empat awak di atas sampan. Perempuan berpenutup kepala lebar macam caping, seorang anak perempuan sekira 5 tahun, dan seorang bujang tanggung.

Sampan bermuatan barang cukup banyak itu perlahan semakin mendekat dan merapat ke tepian Alun Kapuas. 

Di bawah lampu taman, seorang lelaki berkopiah putih berdiri menanti. Pandangnya sejurus pada sampan yang perlahan merapat. Bergegas ia menghampiri, menyambut satu persatu awak untuk naik ke darat. Dimulai dari uluran tangan anak perempuan terlebih dahulu sembari tangan kiri berpegangan pada gagang besi pembatas. Setelah berhasil mendarat, hal yang sama ia lakukan berturut kepada perempuan dewasa dan si bujang.

Lepas awak sampan dinaikkan, pengemudi sampan memutar haluan beberapa derajat arah timur guna menaikkan muatan yang memenuhi sampan. Lelaki berkopiah tadi segera menyusul.

Satu persatu perkakas dipindahkan dari sampan ke tepian taman. Selesai semua barang, lelaki berkopiah merogoh saku dan menyerahkan tiga lembar uang lima ribu. Si lelaki menerima dengan takjim tanpa berkata-kata, hanya gerak tubuhnya sangat kentara menyampaikan rasa terima kasih. Setelahnya ia benar-benar memutar balik haluan dan kembali ke utara.

Belum lagi sampan hilang dari penglihatan, kesibukan sudah dilanjutkan dengan mengangkuti satu persatu perkakas ke suatu arah yang ditunjuk lelaki berkopiah.

“Di situ Mak!,” ia berseru.

Perempuan bertopi caping tadi bernama Jannah, sementara si bujang bernama Agus dan si anak perempuan bernama Sabariah. Ketiga mereka menurut kepada seruan sang lelaki berkopiah. Lelaki itu sendiri adalah suami dari Jannah sekaligus bapak dari Agus dan Sabariah. Usianya terbilang larut senja, tak kurang 80 tahun. Ia bernama Sobari.

oOo

Pukul 16.35 WIB

Lapak sudah siap beroperasi. Terpal biru setingkat lebih terang dari warna langit menjadi atap tempat keluarga itu menjajal peruntungan. Aneka minuman sachet lekas saji, rapi terpajang di sudut meja, begitu pun selembar kardus bekas bertuliskan, “SEDIA JAGUNG BAKAR, SOSIS DAN OTAK-OTAK”.

Sementara, Sobari terlihat sibuk mengeluarkan batok-batok kelapa dari dalam karung plastik. Batok-batok itu ia susun di atas sebuah pemanggang sederhana. Hanya terbuat dari besi bekas pagar yang disangga oleh kayu-kayu seadanya. 

Api menyala di dalam pemanggang, dan Sobari terus mengipas seolah mengumpulkan angin dari segala penjuru. Di sampingnya, Sabariah tersenyum kepada siapa saja yang melintas. Dari bibirnya yang masih berwarna merah muda itu terlontar ajakan dalam melayu yang sangat kental.

“Sile, duduklah Kak, Bang… mau pesan ape? Jagung bakar, sosis atau apa, Kak?,” senyum tak luput tersungging memamerkan sederet gigi putih rapi.

Satu persatu pengunjung mulai mendatangi lapak mereka, Sabariah semakin gesit. Mencatat setiap pesanan, meminta pengunjung menunggu sebentar dan mengabarkan ragam pesanan kepada Jannah yang khusus membuat minuman atau Sobari yang special membuat jagung bakar atau kepada Agus yang memasak sosis dan otak-otak.

Sobari tersenyum melihat anak bungsunya itu.

Enam tahun lalu…

Ya, enam tahun lalu Sobari hampir saja sepakat dengan keinginan Jannah untuk menggugurkan janin di kandungannya. Bukan masalah apa, hidup mereka sangat susah, sangat. Sobari saat itu hanya bekerja sebagai tukang sapu jalanan. Setiap dini hari pukul 3 dia sudah turun ke jalan untuk menyapu beberapa ruas. Sebulan ia dibayar 150 ribu. 

Mereka memiliki empat anak dengan jarak yang cukup dekat. Tentu sulit bagi Jannah untuk bekerja, mengingat ia mesti mengurusi salah seorang anak yang butuh perhatian ekstra. Keberadaan bakal anak ke-empat membuat ia wajib memutar otak. 

Ini masalah uang! 

Anak pertama bernama Dania berusia 12 tahun, bersiap untuk menempuh sekolah menengah, sejak kecil sudah menunjukkan kecerdasannya. Sehingga tidak tega Jannah harus menghentikan pendidikan anaknya yang sulung itu. Sementara anak kedua, Agus, berusia 11. Berbeda dengan Dania, Agus bukan termasuk anak berotak encer. Bahkan ia perlu mengulang tahun belajar sebanyak 2 kali sehingga tertinggal dua tahun di kelas 4. Anak ketiga Jannah dan Sobari bernama Dulang. Dulang bahkan tidak seberuntung kedua kakaknya, polio akibat panas tinggi sewaktu kecil menyebabkan kaki kirinya mengecil dan sulit berjalan. Sehingga, merumahkan Dulang menjadi pilihan Jannah. 

Sampai akhirnya kabar itu datang.

Jannah tersadar ia sudah berbadan dua, saat usia janin sudah lebih 3 bulan. Terbayang kerepotan yang akan dihadapi. Kebutuhan biaya pra dan pasca melahirkan, juga biaya-biaya tetap lainnya.

Bulat ia bertekad menggugurkan janin di perutnya. 

     Namun Sobari bersikukuh untuk mempertahankan si jabang bayi. Akhirnya Jannah mengalah, ia letakkan masa depan seperti memelihara Black Jack dalam permainan remi. Gambling! Kalau tak pantas disebut berjudi. 

oOo

Sentuhan tangan Sabariah membangunkan lamunan Sobari. Kesadarannya bangkit dan kembali menginjak bumi. 

“Jagung bakar dua, Pak,” katanya.

Sobari mengangguk sembari tersenyum.

Sore nyaris berlalu, senjakala terpantul dalam bayangan di permukaan Sungai Kapuas. Orang-orang semakin ramai memenuhi sudut-sudut taman. Beberapa pasang muda-mudi bersandar di pagar pembatas, ada pula yang duduk-duduk di undakan tepian sungai. Sobari memandangi mereka satu persatu dari duduknya sambil terus mengipas jagung yang ia bakar di atas pemanggang. Taman ini baginya adalah berkah bagi keluarganya yang sudah mengalami pasang surut kehidupan. 

Tengah asik Sobari mengamati pengunjung tersebut, tiba-tiba bahunya ditepuk dari arah belakang. Spontan ia menoleh.

“Sobari!!,” teriak lelaki itu terkejut seperti baru menemukan harta karun.

Sobari masih membatu. Pikirannya diseret untuk menemukan ingatan. Dan…

“Hanafi!! Kau…,” katanya menggantung.

“Ya Tuhan, ini benar kau Bar?,” pekik lelaki yang disebut Hanafi itu. Bertemu dengan sahabat lama di usia senja itu adalah hal yang ekstra luar biasa.

Sobari berdiri dan langsung merangkul lelaki yang jauh lebih tinggi darinya itu. 

“Ini aku Naf! Tapi… bagaimana kau bisa sampai kesini?,” Sobari masih tidak percaya menemukan teman lamanya.

“Dan kau pun, bagaimana kau bisa di sini? Terakhir…, akh… kupikir kau sudah…”

“Ya! Kupikir kau juga sudah meninggal Bar! Ya Tuhan, jadi kau selamat dari petaka itu?”

“Seperti yang kau lihat. Ketika kapal tenggelam, aku hanyut bersama sebongkah kayu gelondong lantas aku diselamatkan oleh nelayan Cina, entahlah aku pun tidak ingat persis. Bagaimana dengan kau?”

“Kau ingat Gunawan? Dia mengikat badanku pada sebilah kayu dan aku terhanyut arus, yang kuingat aku sudah hampir mati, tiba-tiba aku sudah ada di rumah sakit di pesisir Jawa, begitu jauh…”

“Subhanallah!” Sobari semakin memeluk Hanafi, pun sebaliknya.

Tanpa ia sadari, sebening airmata telah meliuk jatuh di kedua pipi. 

Telepon genggam Hanafi berbunyi, membuyarkan kesyahduan pertemuan itu. Dengan isyarat, Hanafi meminta jarak kepada Sobari, lantas menerima telpon sambil berjalan menjauh.

Diperhatikannya sahabat lama yang sudah terpisah puluhan tahun itu. Tidak mungkin Sobari bisa lupa terhadap Hanafi. Tanda lahir di wajah kiri yang menghitam tentu merupakan ciri yang tidak mudah untuk disangkal. Ditambah baret luka vertikal persis di bawah ekor matanya. Ya, dia memang Hanafi. Lelaki yang dulu selalu memberinya petuah-petuah kebajikan dan syariat agama.

Pikiran Sobari tergerus angin masa lalu dan jauh terdampar ke suatu bilangan masa…

oOo

Kabupaten Bone, Provinsi Sulawesi Selatan, Pertengahan April 1944

Sobari masih berusia 14 tahun kala itu. Ia anak lelaki satu-satunya di antara lima saudari lain. Sobari tidak mengenyam pendidikan seperti sebayanya yang bersekolah di Sekolah Rakyat. Hidupnya payah dan miskin, ia tidak punya pilihan selain turut membantu Bapak bertani bawang. 

Bapak, Mamak dan si bujang Sobari, menggarap sepetak tanah yang disewakan Tuan Munir, seorang tuan tanah yang cukup punya nama di kampung. Tanah itu mereka kelola dengan menanami bawang merah. 

Suatu pagi, ketika Sobari bujang sedang menyiram tanaman bawang, datanglah serdadu berseragam cokelat muda bercelana tanggung. Orang-orang berseragam itu mengabarkan berita genting, Soekarno atas nama Republik Indonesia membutuhkan lelaki-lelaki pejuang untuk melawan Jepang. Sobari beserta pemuda lain turut tanpa sempat berpikir panjang. Masih ia ingat bahkan Bapak yang berteriak lantang kepada serdadu-serdadu itu, “bawa anak lelakiku, sepenuhnya ia milik negeri ini”.

Kejatuhan Kendari di Sulawesi ke tangan Jepang, tepat 25 Januari 1942 memang menyulut semangat pemuda dan tiap lelaki Sulawesi. Maka berangkatlah ia bersama pemuda lain untuk mengikuti pelatihan kemiliteran alakadarnya guna melakukan serangan terhadap Jepang. 

Singkat cerita, pendudukan Jepang selama 3,5 tahun yang menyebar di sudut-sudut nusantara dapat dihalau dengan perlawanan demi perlawanan yang tidak putus dari kelompok-kelompok pemuda. Baik berupa pemberontakan besar maupun gerakan bawah tanah. Hingga kemudian tragedi Hiroshima-Nagasaki memaksa Jepang angkat kaki. 

Sobari, bersama ratusan bahkan ribuan pemuda kala itu berbondong mendengar pidato Soekarno melalui siaran Radio Republik Indonesia tepat 23 Januari 1945. Mereka bersorak mendengar Jepang telah pergi dan Indonesia telah membentuk Badan Keamanan Rakyat. Tetapi dengan begitu pula, secara praktis kepahlawanan Sobari beserta pemuda lain yang tanpa seragam kembali ke pangkat nol. Artinya, Sobari harus kembali ke dunia keseharian yang sebelumnya ia geluti. Jiwa mudanya membantah untuk ke kampung menjadi petani bawang kembali. 

Sebetulnya, sebagai seorang pejuang yang tidak mendapat pengakuan, Sobari mendapatkan uang pensiun sebagai bekal yang bisa dia pergunakan usai perang. Tetapi ia selalu ingat perkataan Soekarno saat pidato persis di hari ketika ia dibawa bergabung bersama pemuda lain. “Jangan ambil gaji itu, karena uang itu adalah darah! Dan janganlah kalian memakan darah!,” demikian kalimat Soekarno terpatri di sanubarinya.

Kemudian, ia diajak melaut oleh seorang teman pejuang yang sebelumnya lebih banyak menghabiskan waktu mengarungi lautan. Abdullah nama lelaki itu. Lelaki itu adalah lelaki matahari. Sobari masih ingat persis lelaki yang ia anggap sebagai ayah itulah yang mengenalkannya kepada garam kehidupan, kepada asin lautan yang menghidupi asap-asap dapur di daratan. Dan di sinilah ia berkenalan dengan Hanafi, yang tidak lain tidak bukan adalah anak dari Abdullah. 

Petualangan pun di mulai. Sobari bahkan sampai tak ingat ia sudah berlayar kemana saja, tetapi yang jelas seluk beluk kehidupan melaut sudah khatam ia bacai. Bukan hanya semata bagaimana mendapat ikan sebagai pelaut, tetapi juga termasuk dunia kriminal macam menyelundupkan solar, kayu, rempah dan lainnya sudah pernah ia garap bersama Abdullah. Tentu saja, pada awalnya Sobari masih tak faham. Tetapi tidak perlu banyak waktu untuk mengenal medan. Sobari adalah pemuda yang mudah untuk belajar.

Itu belum cukup. Ia juga mulai mengenal sisi lain dari melaut. Kebutuhan biologis, panggilan hasrat sebagai seorang lelaki yang jauh dari daratan. Belajar dari banyak awak di kapal yang ia tumpangi, ia pun menjadi pemuda yang tidak sungkan menggunakan jasa perempuan penghibur. Satu singgahan ke singgahan lain. Setahunya, hanya ada satu awak yang tak pernah terlibat pergumulan itu. Hanafi! Ya, hanya Hanafi seorang. 

Bukan sekali dua Hanafi menjadi bulan-bulanan mengenai keperjakaannya yang langgeng dan keraguan dirinya sebagai seorang lelaki normal. Tetapi Hanafi tak bergeming. Dia hanya akan tersenyum tipis, lalu dia akan mengingatkan siapa saja yang mengejeknya dengan tragedi daerah pesisir. Ia akan berkisah, konon…

Ya, konon… ketika pedagang Arab dan barangkali juga pedagang dari negeri lain mulai berdatangan ke daerah pesisir nusantara, prostitusi mulai marak. Perempuan-perempuan distok di rumah-rumah persinggahan dan dari situlah raja singa mulai menggerayangi kemaluan mereka. Ya, ini konon… yang selalu saja dikisahkan oleh Hanafi. Betapa takut ia dengan penyakit kotor itu.

Seluruh awak sudah hapal dengan kisah ‘konon’ Hanafi ini. Mereka mafhum meski mereka tak pernah tahu apakah cerita itu benar atau hanya karangan belaka.

Hanafi memang berbeda dari sang ayh. Ulah Abdullah sama saja seperti lelaki lain di kapal itu jika dihadapkan dengan perempuan persinggahan. Tetapi, untuk urusan menjadi nahkoda, tidak ada yang mengungguli dia. Dia adalah lelaki yang cermat lagi cerdik yang betul-betul fasih dengan perbintangan. Semesta raya baginya adalah magnet sekaligus peta jagad. Tidak pernah terbersit ketakutan di wajahnya meski menghadapi badai sekalipun. Ia akan tetap teguh berdiri, berteriak di lambung kapal menginstruksikan ini itu kepada masing-masing awak yang bertugas. Ia juga lelaki pemberani yang pernah Sobari kenal. 

Dan malam itu adalah malam terakhir Sobari menyaksikan kegagahan Abdullah. Nyaris setelah genap 17 tahun ia mengikuti lelaki itu. Sekira tahun 1960-an tragedi itu terjadi…

Badai menyerang secara menggila. Angin utara berkelebat dan menggulung kapal ke dalam ombak besar. Kapal terombang-ambing dan mengalami retak di bagian lambung. Berteriak Abdullah memerintahkan semua awak mengenakan apa saja untuk bisa menyelamatkan diri.

“Pergi! Selamatkan diri kalian. Ikatkan badan kalian pada apa saja!,” kalimat itu masih terngiang di kepala Sobari. Jika mengingat itu, airmata takkan pernah bisa ia tahan. 

Dengan mata kepala sendiri Sobari menyaksikan seorang lelaki yang mencintai lautan menentukan kematian atas dirinya di atas laut. Ketika Sobari, Hanafi dan keempatbelas awak lain sibuk menyelamatkan diri dengan melompat keluar kapal, Abdullah justru tetap berdiri tegak menggenggam tiang layar. 

Ketika tubuh Sobari semakin menjauhi badan kapal, masih terlihat Abdullah diam tak bergeming di tempat pijaknya. Sobari tahu, Abdullah tengah sholat, menghadap Allah. Menyerahkan diri dengan kepasrahan yang mahamanusia. Dan ketika Sobari benar-benar telah jauh dan tak lagi mampu mengatur nafas, persis beberapa detik sebelum akhirnya ia tak sadarkan diri, sempat ia tengok kapal yang bertolak dari Palembang menuju Banjarmasin itu tersapu gelombang yang luar biasa besar. Lantas terlempar… dan hilang. Lenyap.

oOo

“Paakkk, ngape pulak jadi gosong jagungnye?,” Sabariah lagi-lagi membangunkan Sobari dari jelajah pikirnya. Logat melayu kental Sabariah itu membuat Sobari kembali menginjak tanah. 

“Astagfirullah…,” ia mengucap setelah sadar dengan hasil lamunnya. Betul kata Sabariah, jagung itu gosong. Mau tak mau, Sobari harus membakar ulang. Tiga jagung itu gagal dijual, kerugian sudah di depan mata. Sobari mendesah atas keteledorannya. Kali ini ia berjanji akan terus terjaga.

oOo

Hanafi selesai dengan telponnya, kemudian mendekati Sobari lagi. 

“Sobari, maaf… jaman macam begini kita malah jadi budak teknologi. Ya, macam handphone inilah. Hei, boleh aku catat nomor kau?,” kata Hanafi.

Sobari tersenyum. 

“Aku tak punya, kawan…”

“Ahhh, bual saja kau…”

Hanafi mendekatkan wajahnya kepada wajah Sobari.

“Kau serius? Kau… tak melaut lagi? Dan… dan kau hanya berdagang ini?”

Sobari tersenyum dan mengangguk, “tetapi tidak ‘hanya’, kawan… ini jauh sangat lebih baik. Aku pernah lebih buruk dari ini”

“Ya, hidupku pun tak lantas nyaman. Tetapi tidak lah sampai separah ini. Oh, maaf Bar… bukan maksudku…”

“Ahh, tak mengapalah itu. Tidak membuat Sobari tua ini tersinggung,” ia tertawa.

“Ah, kau… urusan usia pula dibawa. Tak lah kita ini menjadi tua hanya karena bertambah usia”

“Lantas mau jadi apa? Jadi muda? Bercanda saja kau…”

“Ya tidak begitu, tua itu hanya ada dalam pikiran Bar! Hahahaha”

“Hahaha”

“Bar… ceritakan kenapa kau bisa ke kota ini? Apa yang terjadi setelah badai itu?,” Hanafi masih mencoba menjajal ingatan Sobari.

Sobari menghentikan mengipas jagung itu. Dilihatnya hasil kerjanya kali ini dan ia tersenyum. Ia memanggil Sabariah dan menyerahkan jagung tersebut. Lantas Sabariah dengan cekatan mengolesi saus di sekeliling permukaan jagung dan menyajikan ke pembeli.

Sobari beralih kepada Hanafi.

Ditariknya nafas panjang…

oOo

Sobari hanya ingat dirinya terbangun di atas kapal nelayan dengan awak yang ia tak mengerti tutur bahasanya. Namun, dari profil wajah, Sobari menebak mereka berasal dari rumpun negeri tirai bambu. 

       Dan ia pun berupaya menuntun pikirannya untuk merunutkan kembali kejadian yang baru saja menimpa. 

Kapal bermuatan dari Samarinda dengan tujuan Palembang itu terhempas dan tenggelam di perairan laut Cina Selatan, dekat dengan Pulau Natuna Besar. Jalur yang ditempuh kala itu adalah melewati Laut Celebes dan terus ke utara lantas beranjak ke barat melalui Laut Cina Selatan. Tak dinyana, badai angin utara memencarkan seluruh awak kapal barangkali juga menewaskan.

Di sinilah kemudian Sobari diselamatkan oleh nelayan di kapal itu. Tubuhnya nyeri tanpa ia bisa membedakan bagian mana yang terasa sakit lagi. Bahkan untuk bergerak pun ia tidak sanggup. 

Sobari dan para nelayan itu terombang-ambing di tengah lautan mengikuti keras gelombang hingga akhirnya menepi di perairan pesisir Kalimantan sisi barat. Petugas pengawas lepas pantai menemukan mereka dan menggiring merapat ke Pelabuhan Seng Hie, Pontianak.

Sejak kedatangannya kali pertama ke bumi khatulistiwa itulah, Sobari betul-betul mengubah haluan hidup. Ia bertekad untuk dapat menaklukkan lautan. Bertahun-tahun ia mulai bekerja kembali, mulai dari buruh kapal hingga bekerja di pertambangan emas Monterado. Akhirnya ia mampu punya kapal penangkap ikan sendiri. 

Di situlah kemudian ia bertemu Jannah, sang istri. Entah pikiran menikah itu terbetik darimana, yang jelas barangkali ia sudah jengah akan kehidupan yang begitu dekat dengan prostitusi. Terkadang, ia pun ingat petuah yang senantiasa disampaikan sahabatnya, Hanafi. Cerita konon… tentang pedagang Arab, India atau mana saja yang berlabuh di pesisir nusantara dan membawa bencana Sipilis itu. Ya! Sobari senantiasa ingat perkataan Hanafi. Meski tidak juga merasa jera ketika luka mulai menggigit kemaluannya. Barangkali karena rasa sakit itu datang dan pergi.

Jannah, perempuan muda yang bekerja di sebuah warung tepi Sungai Kapuas di Pelabuhan Seng Hie itu benar-benar menarik hatinya. Jannah yang Melayu asli berkulit sawo matang, di wajahnya jarang terlihat senyum, seolah beban dunia begitu berat ditanggung. Baru kemudian Sobari tahu kalau Jannah tidak lagi beribu-ayah. Ia seorang yatim piatu yang juga tak mengetahui sanak keluarga lain di kota itu. Tidak ada basa basi, Sobari langsung saja melamar Jannah. Jannah menyambutnya dengan ekspresi datar. Namun justru itulah yalng membuat Sobari tergugah.

Jannah berperan sebagai seorang ibu rumah tangga seperti kebanyakan para istri. Sementara Sobari bersama kapal yang dilengkapi pukat harimau itu mengelana lautan seperti yang pernah ia cita-citakan sebelumnya; menaklukkan perairan. Begitulah kehidupan mereka yang boleh dibilang mapan. Kelahiran anak pertama kedua bahkan ketiga dalam jarak yang tidak berjauhan berada dalam keadaan ekonomi di atas rata-rata. Tetapi, sifat berfoya-foya Sobari ternyata tak gampang luntur. Tetap saja ia sulit untuk membuang kebiasaan bergaul dengan pekerja seks dan minuman keras yang acap dilengkapi pula berjudi. Meskipun, sekali lagi pemikiran untuk insyaf itu kerap menyelindap.

Suatu bilangan masa manakala kapal menuju Ketapang, nasib naas mengganjar Sobari. Kapalnya ditangkap petugas karena jelas-jelas menggunakan pukat harimau. Atas kasus ini ia dikenakan hukuman 5 tahun kurungan dan ia harus rela melepas kapal yang menjadi matapencahariannya. Sobari tak sempat menabung dari hasil jerih payahnya, bahkan saat itu kesadaran untuk berinvestasi adalah nol besar. 

Jannah yang berhati teguh tetap tidak mengeluarkan airmata ketika mengetahui suaminya dibui. Ia hanya menanggapi semua kejadian yang menimpa tanpa ekspresi berlebihan. Cepat ia bertindak mencari pekerjaan. Dari menjadi babu di rumah tauke sampai menjadi pekerja di pabrik industri terasi, industri skala kecil sebetulnya. Tangannya demikian terlatih dengan kesabaran. Ia menganggap hidup ini ya sekedar permainan kesakitan duniawi saja. Ia bekerja apa saja untuk bisa mempertahankan hidup anak-anaknya, asal bisa cukup makan.

Sementara Sobari sendiri seolah mendapat visi dan pencerahan selama di bui. Tidak begitu banyak yang bisa dilakukan membuat ia memiliki waktu untuk merenung. Betul, merenung bukan makan waktu melainkan tepat waktu. Dan pelajaran hidup benar-benar menyentil Sobari. Berpikir dan mengulas masa lalu membuat ia bertekad taubat, berharap maghfirah dari Sang Dzat. Sobari pun mulai menata kehidupan pribadinya tanpa bisa berbuat banyak terhadap istri.

Selama lima tahun Sobari tak bersua istri dan anak-anaknya. Bukan Jannah tidak tahu kalau suaminya dipenjara. Ia tahu, tetapi jauhnya jarak tempuh Pontianak-Ketapang yang hanya bisa ditempuh melalui jalur laut dan udara membuat keinginannya bertemu bungkam. Komunikasi di antara mereka pun nihil.

Hingga pagi itu tiba. Awal tahun 2004, Ketapang.

Sobari keluar lapas dengan perasaan plong bercampur takut dan malu luar biasa. Perasaan yang tidak pernah ia rasa bahkan duga sebelumnya. Ada perasaan malu bercampur khawatir untuk menemui Jannah. Harga kelelakiannya seperti tertimbun beberapa radius di dalam tanah. Ini perkara kemampuan, seberapa mampu seorang lelaki berdiri tegap di hadapan tanggungjawab.

Dengan keberanian yang tersisa, Sobari menemui Jannah. Sudah ia persiapkan segalanya, bahkan segala kemungkinan jika kemudian Jannah sudah bersuami lagi. 

Ketika akhirnya Sobari berada tepat di pintu rumah, Jannah mematung tanpa ada sepatah kata terucap, sontak ia menghambur ke pelukan suaminya. Kedua-dua suami istri itu menangis terisak-isak. Tidak ada ucapan, ungkapan, cerita, kisah atau apapun. Tidak ada. Keduanya hanya berpelukan dengan bahu sama-sama berguncang.

Sejak itu, Sobari taubat sebenar-benar taubat. Sobari perlahan menjelma menjadi figur suami dan bapak yang diam-diam diidamkan oleh Jannah. Tidak muluk sebetulnya yang diinginkan Jannah, hanya lelaki yang tahu menempatkan diri sebagai suami dan ayah. Itu saja. Jannah tak pernah gentar menghadapi kemiskinan, karena baginya kemiskinan sudah demikian lekat dengan kehidupannya sejak kecil.

Babak baru kehidupan suami istri itu dimulai dengan Sobari bekerja sebagai petugas sapu jalanan tiap subuh dan dilanjutkan sebagai kuli pikul di pasar dan pelabuhan pada siang hingga malam hari. Uang itu cukup untuk makan sehari-hari. 

Hingga kemudian, persis setahun lalu, Jannah menyerahkan uang sebesar dua juta rupiah kepada Sobari. Sobari kaget. Uang itu adalah hasil menjual cincin kawin dan perhiasan yang pernah diberikan Sobari ketika menikahinya dulu. Benda paling berharga yang selama ini dipertahankannya. Tetapi, Jannah melihat ada sesuatu yang memang harus dikorbankan, jika mereka ingin kembali memperbaiki kehidupan. Dan Jannah memutuskan melepaskan kebendaan untuk menukarnya dengan peluang!

Benar! Ini memang dimulai dengan sebuah peluang. Peluang berusaha yang hasilnya pun masih perlu dineraca, apakah akan menguntungkan atau justru merugikan. Yang jelas, lewat peluang ini mereka bersama-sama berupaya menjalankan usaha agar berjalan ke jarum positif. Demikianlah hingga kemudian mereka berdagang di Taman Alun Kapuas ini.

oOo

Malam beranjak larut, pukul 22.43 WIB

Mendengar cerita Sobari, Hanafi justru tertawa terbahak-bahak. 

“Macam sinetron pulak kudengar cerita kau ni…,” katanya berlagak Batak.

Sementara Sobari tampak letih memapah kenangannya untuk kembali mendarat di masa kekinian. Ia tidak menemukan letak lucu dari apa yang baru saja ia sampaikan. Sobari sedikit tersinggung dengan reaksi sahabatnya itu, tetapi ia hanya tersenyum.

“Kenapa pula kau mau kawin? Hidup ini tak perlu tanggung jawab rupa-rupa! Cukup puaskan saja dirimu, buat senang, toh hidup hanya sekali, Bar…!,” ucap Hanafi masih tergelak.

Sobari gagal faham. Ia diam saja menanggapi Hanafi yang dipandangnya berubah.

Kemudian, dari arah kiri tampak seorang perempuan yang Sobari kenal persis. Semua yang biasa mangkal di alun-alun itu pun pasti mengenal perempuan ini. Ia salah satu pekerja seks yang biasa berkeliaran di situ. Perempuan itu mendekat dan tanpa ba-bi-bu langsung menggelayuti lengan Hanafi. Hanafi tidak keberatan. 

Sobari menelan ludah.

“Sudahlah Bar, besok kita cakap-cakap lagi ya. Waktuku masih panjang di Pontianak. Dia sudah minta jatah, apa yang bisa kucakap?!,” Hanafi menunjuk perempuan itu dan masih tergelak. 

Tinggal Sobari terpekur menatap sahabat lamanya yang kian menjauh itu. Angin menyampirkan aroma tembakau persis ke indera penciuman Sobari. Asap itu menyelindap melewati gorong-gorong sinus dan menggantung di amygdala. 

Akh… Sobari sungguh tidak mampu membantah ingatannya akan kalimat itu. “Konon… ketika pedagang Arab, India dan barangkali juga pedagang dari negeri lain mulai berdatangan ke daerah pesisir nusantara, prostitusi mulai marak. Perempuan-perempuan distok di rumah-rumah persinggahan dan mulai dari situlah satu persatu raja singa mulai menggerayangi kemaluan mereka. Ya, ini konon…”.

Sobari menatap istrinya, kemudian Sabariah dan Agus dari kejauhan serta mengenang Dulang yang saat ini sudah wafat. Tersungging rasa syukur di hatinya.

Ya! Hidup ini memang seperti keranjang kebolehjadian pilihan. Dan betapapun itu, manusia hanyalah sekumpulan materi yang bergerak di antara ruang-ruang perubahan…

oOo

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Slice of Life
Rekomendasi