Disukai
0
Dilihat
628
SMARDHYARI
Drama

Lelah yang rebah di tubuh membuat mata sayu, kaki berat melangkah, tangan enggan melakukan apapun selain menangkup meminta banyak hal. Hal-hal yang masih menjadi angan-angan dan tanda tanya. Jari-jariku bergetar ringan dalam untaian doa. Banyak tanda tanya yang menjadi misteri di Bumi. Kau tahu apa yang mengerikan selain dentuman di Hari Kiamat? Aku suka bertanya banyak hal musykil yang tidak bisa aku jawab. Aku bertanya kepada Sang Guru, kerabat, dosen, teman, bahkan diriku sendiri. Mengapa aku berpikir? Mengapa keberadaanku ada di Bumi? Mengapa ketiadaan itu ada di Bumi? Mengapa Cogito ergo sum tercetus? Apakah aku meragukan eksistensi manusia di Bumi? Tapi ada yang bilang bahwa "Yang fana adalah waktu, kita abadi."

(Arai Merah, Magelang, 2019)

Akhirnya aku usai juga...

Apakah arwah gentayangan bisa mencium aroma makanan kesukaan? Pertanyaan itu lewat di pikiranku setelah mendengar lagu Efek Rumah Kaca berjudul Putih. Lelah juga mempertanyakan takdir yang fana. Aku ingin menjalani sebisanya saja, maksudku menjalani dengan usaha semaksimal mungkin, tapi sebisanya saja. Ya, sebisanya saja.

Aku menghidu aroma kabut tipis di suatu desa yang dekat dengan Merbabu. Hari ini aku merasa lelah dan ingin menghilangkan penat. Di teras Musholla setelah Ashar, aku berpikir jauh ke masa lalu. Lalu muncul beberapa pertanyaan. "Mengapa aku gagal kuliah di Mesir? Mengapa Skripsi belum tuntas? Mengapa?

Rokok yang aku hisap sudah habis, puntungnya aku buang, tidak lupa aku injak terlebih dahulu. Mataku mengintimidasi kokohnya Merbabu. Gunungnya terlihat kecil, saat aku mendakinya, aku baru sadar betapa luas dan besarnya Merbabu.

"Sendirian, Mas?" Tiba-tiba ada suara menyapaku dari belakang. Sontak aku menengok ke sumber suara dan tersenyum.

"Hehehe iya, Pak," Jawabku.

"Dari mana mau ke mana?"

"Dari Jogja, mau ke Jogja."

"Ooooh ke Magelang cuma jalan-jalan?"

"Hehehe iya, Pak."

"Kuliah di Jogja?"

Aku menganggukkan kepala "Iya, Pak."

Kami mengobrol sejenak sebelum akhirnya aku diajak mampir ke rumahnya. Rumahnya tepat di depan Musholla yang aku singgahi. Aku menunggu di teras rumah sembari si Bapak meminta Istrinya membuatkan kopi dan menyiapkan cemilan.

Rumah yang aku singgahi sangat sederhana tapi memunculkan damai, tenang, heningnya adalah keheningan alam. Hawa dingin memeluk tubuhku meskipun terbungkus jaket gunung. Napasku yang keluar menyerupai kabut tipis. Memar di kakiku seketika mati rasa, luka di pelipisku yang tadinya perih menjadi dingin.

Kopi dan kudapan sederhana sudah ada di hadapan. Si Bapak mengambil sebungkus tembakau dan kertas untuk melinting.

"Anak muda seperti Masnya apa bisa melinting rokok seperti saya?"

Tanpa berkata-kata aku langsung mengambil kertas dan tembakau, kemudian melintingnya dengan mudah. "Bisa dong, Pak," Kataku sambil tertawa.

"Wah, suka tembakau jenis apa?"

"Mungkin semua jenis tembakau pernah saya coba, Pak."

Si Bapak geleng-geleng kepala sambil tersenyum. Di sore itu kami berbincang banyak hal. Sayup suara Radio Retjo Buntung menemani perbincangan kami.

"Kok sepi, Pak? Anaknya ke mana?" Tanyaku.

Tiba-tiba si Bapak mengambil napas panjang. Seketika aku merasa bersalah menanyakan hal tersebut.

"Masnya NU atau Muhammadiyah?"

"Waduh," Aku membatin dalam hati.

"NU, insha allah, Pak."

"Nitip bacaan tahlil untuk anak saya. Usianya mungkin seusia masnya kalau dia masih hidup."

Rokok hasil lintinganku aku hisap dalam-dalam hingga bara apinya berbunyi "pletek pletek."

Aku menatap wajah si Bapak sambil tersenyum "Insha Allah, Pak."

"Anak saya yang cewek sudah ikut suaminya di Kendal. Pulang ke sini tiga bulan sekali. Saya dan Istri cuma berdua di sini. Anak saya yang paling kecil nyantri di Salaman. Sepi mas rumah ini. Padahal dulu anak saya yang cewek katanya mau tinggal di sini sama suaminya."

Tiba-tiba penggalan lagu dari Efek Rumah Kaca berputar di otakku

"Ku tak melihat kau membawa tenang

Yang kau janjikan

Kau bawa debu bertebar di beranda

Berair mata

Oh... Di mana tenang yang kau janjikan... Aku kesepian...

Di mana terang yang kau janjikan... Aku kesepian...

Sepi..."

*******

Maghrib pun tiba, aku memutuskan menginap di rumah si Bapak setelah dibujuk beberapa kali. Aku, si Bapak dan Istrinya kembali ke rumah setelah berjamaah di Musholla. Damai muncul di hati dan tentram terasa di pelupuk mata saat melihat orang-orang saling bertegur sapa selayaknya manusia sejati. Kami kembali bercengkrama di teras rumah ditemani dingin yang menusuk tulang. Kopi rokok berkali-kali kami nikmati untuk mengusir dingin.

"Saling percaya itu penting, Mas. Semua akan baik-baik saja. Percaya bahwa semua akan baik-baik saja. Cinta akan dibalas cinta, dendam dibalas dendam. Kalau masalah pengalam hidup, pengalaman saya lebih banyak dari masnya. Masnya harus berguru tentang kehidupan ke orang yang lebih tua. Jangan dipendam sendiri. Seburuk apapun manusia, dia tetap indah di mata orang-orang terdekatnya."

"Cahaya kasih sayang menaburi malam

Hidayah dan rembulan menghadirkan Tuhan

Alam raya, cakrawala pasrah dan sembahyang

Yang palsu ditanggalkan, yang sejati datang

Yang dusta dikuakkan, topeng-topeng hilang

Jiwa sujud, hati tunduk padamu Tuhanku"  (Padhang Bulan, Anda Perdana)

*******

Malam yang semakin larut kami masih bercengkrama tentang banyak hal. Permainan Catur mewarnai obrolan kami tentang segala hal yang lewat di pikiran. Berkali-kali aku memenangkan dari babak ke babak.

"Kalau kata orang ya, Pak. Pas main catur kalah terus berarti sedang mikiran sesuatu yang besar," Kataku. si Bapak hanya tertawa sambil memajukan Pion Catur.

"Ada orang yang sengaja mengalah demi membuat lawannya lega," Jawab si Bapak.

"Memangnya ada orang yang rela kalah begitu saja," Kataku sambil memakan Pion si Bapak yang membuat momen SKAK.

Papan Catur yang kami mainkan sedikit berdebu, menandakan si Bapak jarang bermain. Lama si Bapak berpikir untuk sekadar memajukan perwiranya. satu menit dua menit menunggu, akhirnya si Bapak memajukan Kudanya.

"Yakin, Pak? Bener nih Kudanya maju ke situ?" Kataku.

"Kalau sudah maju, tidak boleh membatalkan langkah. Itu prinsip hidup. Selesaikan apa yang sudah kamu mulai." Kata-kata si Bapak membuatku teringat Skripsiku yang terbengkalai entah di mana file-nya.

Aku tersenyum melihat wajah teduh si Bapak sebelum aku majukan Benteng yang membuat SKAK MAT. "Saya selalu memikirkan langkah sebelum maju, mengorbankan sesuatu untuk meraih kemenangan," Kataku.

"Papan Catur ini pemberian menantu saya. Dia dulu janji kalau tinggal di sini mau nemenin saya main catur. Yaaa Papan Catur ini masih bagus tapi berdebu. Padahal dulu saya menang terus lho kalau main."

Sejak tadi si Bapak selalu membelokkan obrolan jika tiba-tiba ada ucapannya sendiri yang membuatnya sedih. "Kangen anak ya, Pak?" Tanyaku dalam hati.

Akhirnya kami istirahat. Aku menempati kamar anak laki-lakinya yang sudah kembali ke pangkuan Tuhan. Lelap aku tidur hingga tiba-tiba terbangun saat ada suara yang asing di telingaku.

"Mas, mas, mas."

Remangnya gelap membuat mataku samar melihat sosok laki-laki di ujung dipan kasur. Kaget dan sedikit merinding aku bangkit dan melihat wajah laki-laki itu.

"Anaknya Pak Toha?"

"Iya."

(BERSAMBUNG)

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar