Disukai
0
Dilihat
1,011
Sesi
Slice of Life

Aku sudah sering terluka hingga bernanah, dan pria dengan kumis yang menjorok melebihi tonjolan bibirnya, kerap mengoleskan salep putih lengket, dimana aromanya tak pernah sekalipun aku sukai. Mungkin yang sebenarnya tidak aku suka adalah perhatiannya, itu membuat rasa sakit luka itu semakin menjadi. Terlebih katanya, “sakitmu tidak akan sembuh, jika tidak menahan rasa ketidaksukaanmu.”

Padahal manusia memiliki keinginan. Gumamku, seraya menjauhkan perhatian yang menyebalkan dari pandangannya. Sorotnya seolah benar-benar peduli, lidahnya seolah penuh kasih, tapi siapa tahu dengan cinta tiada tara yang terlampau sering dikentarakan itu, justri bisa mengkhianati tiba-tiba. Bagaimanapun pria itu, hanya manusia yang dibayar berdasarkan sesi yang aku datangi. “Aku datang ke sini karena dikhianati, tapi terus saja orang memintaku percaya. Aku sungguh ingin menggantimu.”

Aku bukanlah orang baik, tentu saja. Rasa tidak-sabaranku tidak bisa membuatku bertahan pada alur yang tenang dan mendayu-dayu tanpa pergolakan besar tanda kesuksesan. Aku telah datang berkali-kali, mendengarkan panjang lebar suara yang bahkan aku tidak menginginkannya, dan tetap akan aku datang lagi esok, dan esoknya, untuk suatu hal yang tidak ada perkembangannya, tentu saja ini sangat tidak menyenangkan. Sesi-sesi khusus senantiasa mempertemukan aku dengan manusia-manusia baru, yang entah mengapa selalu berkumis dengan kalimat sama; “sakitmu tidak akan sembuh, jika tidak menahan rasa ketidaksukaanmu.”

Aku sudah terlampau bersabar, tapi sakitnya terlanjur menjalar. Aku tidak sehat, aku tidak baik, aku tidak sempurna. Aku menerima itu, dan manusia lain juga demikian. Mereka mengutukku, dan aku lebih mengutuk diriku sendiri. Memar-memar yang sudah pecah dan bernanah, tak kunjung sembuh; kini membusuk usai aku menggaruknya, membenturkannya kemeja hingga mengusapkan ke tembok dengan tenaga yang dasyat. Aku tidak mengerti, mengapa ku lakukan. Rasanya ada dorongan yang membuatku tidak bisa berhenti, dan saat sadar semuanya telah terjadi. Aku terlambat bertobat, namun orang mengatakan bahwa aku sengaja mencari perhatian. Aku tidak ingat, sungguh!

Setelah itu, aku bertemu lagi dengan pria berkumis lagi, tangannya yang lihai mengoleskan salep, dan stetoskop yang selalu digantungnya di leher, tidak pernah dipergunakannya kepadaku. Aku hanya penasaran, mengapa benda yang kelihatan hebat ini tidak diperkenankan untukku?

Lalu jawabnya; nona sangat sehat untuk menerima pengobatan, tapi terlalu sakit untuk dibiarkan. Aku menggigit bibir dan tangannya yang kuat menahannya. Ia berteriak, atau sekedar berucap dengan nada yang sedikit tinggi. “Nanti mulutmu yang bernanah.”

“Aku ingin terlihat sakit agar diobati.”

Dia hanya menghela nafas beberapa ketukan lebih panjang dari biasanya, seolah sedikit berirama dan sedikit membuatku jantungku berdegup lebih cepat. Tapi kini, mataku lelah melihat dirinya, mendengarkan kesunyian yang riuh dengan suara helaan dan denyut jantung itu. Tidak ada yang ia bicarakan, dan aku hanya menatap ke luar jendela. Ruangan yang serba putih, dengan bunga Chamomile yang ditanam dalam pot orange di meja tempat ia meletakan jam pasir dan lampu tidur klasik bergagang kayu dan renda yang tidak sesuai kegunaannya, mumbiatku muak dan ingin segera berkomentar; “selera yang unik.”

“Saya memang sedikit istimewa.” Balasnya, mendengar gumamanku yang selirih hempasan debu.

 “Bisakah kita berhenti saja?”

“Sesi ini belum berakhir nona.”

“Anda sudah menjalankan kewajiban,” ucapku, berjalan menjauhi ruang yang serba putih itu. “Terima kasih.”

Di balik pintu itu, jika aku melangkah maka tidak perlu lagi berbalik untuk mendengarkan kesunyian atau ceramah yang sama. Namun koridor yang sudah memenjarakan selama beberapa bulan ini, membuatku kembali terjebak dalam pelarian. Aku tidak bisa pergi, dan hanya berjalan sambil meraba dinding. Mataku membelalak ke manapun, mencari celah-celah yang menyembunyikan semut dari berantara manusia, lantas jari ini mengusik kehidupan damai mereka. Aku tergigit, lanjut tertawa, dan kelakar orang yang melihatnya, menarikku untuk lebih tertawa lagi.

Manusia sering sekali ikut campur dalam urusan orang lain, menertawakan kehidupannya yang kecil dan berwibawa, sementara hal kecil tersebut nyatanya tidak pernah menggagu siapapun. “Kenapa mereka terus menggangungku?”

Aku pernah berbuat dosa yang sangat bejat dan hal itulah yang menjadikan separuh hatiku berubah kelam. Nyawaku menjadi mati, dan nafasku tersengal. Aku tidak tampak hidup meski sudah bernafas. Padahal inikan nyawaku, tapi aku begitu tidak leluasa menggerakannya?

Mereka ingin aku hidup, untuk menebus dosa dan aku menerimanya. Lalu tanpa sadar, aku sampai pada tempat di mana tidak ada lagi orang yang dapat menghalangi kematianku. Tidakkah melayat juga bagai dari penebusan dosa, mereka juga perlu demikian terhadapku, bukan? Lantaran mereka pun berdosa kepadaku.

Tapi seorang menarikku, menahanku agar tidak melompat ke tempat yang rendah hanya agar isi kepalanya tercerai berai, lalu mati. “Aku tidak bisa mengoleskan salep jika nanahnya terlalu parah.”

Dia berteriak, dan tangannya mencengkerap erat. Saat itulah, aku telah benar-benar membuka mata, tidak ada dinding yang aku raba, tidak ada semut yang aku usik, dan kelakar orang yang semula bergema, sudah berubah sunyi. Wajah mereka histeris, terumatama wajah pria berkumis dengan stetoskop yang bergantung di lehernya.

“Padahal, kepalaku penuh sekali isinya.”

“Keluarkan saja!” teriaknya, sangat keras. Ia hampir memecahkan gendang telingaku. Wajahnya merah padam, giginya menggigit bibir, matanya melotot seperti akan menggelinding keluar, dan untuk kali pertama, suara seseorang sampai ke telingaku. “Tapi jangan memecahkannya.”

“Aku tidak berniat memecahkan kepalaku. Aku tidak pernah berniat melukai diriku, tapi aku tidak tahu mengapa melakukannya.”

“Baiklah, sekarang turunkan kakimu dari jendela.”

Dia masih marah, terlihat dari tangannya yang mencengekram erat lenganku tanpa berniat melonggarkannya. Kami berdua bersimpu di beranda lantai 5 sebuah rumah sakit, dimana mereka dulu membawaku ke sini sebagai pertolongan karena menenggak obat nyamuk yang aku salahi sebagai sebotol soda. Aku hanya benar-benar salah mengira, namun orang lain tidak percaya itu. Sampai saat ini, rumah sakit ini selalu memaksaku datang setiap Minggu.

“Aku harus pergi,” ucapku, terpotong dengan air mata yang membuat jalan nafasku tercekat. “Tapi aku tidak tahu harus pergi ke mana.”

Aku menarik tanganku dari cengkeramannya, menelangkupkannya tepat ke muka, menutupi seluruh rasa maluku dari laki-laki itu. Dia hanya diam, menyimak air mataku yang sedikit melunakan kemarahannya.

"Aku juga sendirian,” ujarnya. Menepuk bahuku 3 kali tepukan dengan lembut, sebelum merengkuhnya. Tiga detik kemudian aku baru tersadar, bahwa kini pelukan hangat itu yang paling aku butuhkan. Meski bukan orang itu yang melakukannya.

Aku memiliki cinta yang sangat dalam. Cinta yang membuat seolah pelangi benar-benar ada 7 warna. Cinta itu merekahkan bunga kecil yang ada di hatiku, di taman yang sudah sejak kecil gersang karena kehilangan harapan. Mimpiku besar, namun mati seiring bertambah dewasa. Begitulah cinta tidak selamanya indah, tak berbeda dengan mata yang membuatku tergila-gila padanya, rupanya dia bukan orang yang bisa dimiliki tanpa berbagi. Dia milik orang lain, namun merengkuhku dengan berani, sehingga nyawa yang kecil dan tidak berharga ini, menjadi tumbal untuk kebahagiaannya.

Aku terhina, saat kedok kami terbongkar. Manusia lain mengutukku layaknya tikus jalang yang kesepian dalam buaian, dimana hanya mengerti caranya mencuri remah makanan milik orang lain. Padahal, aku hanya jatuh cinta. Tapi itu tetap disalahkan. Kehilanganku terlampau banyak, termasuk juga kewarasannya, kawan-kawan, pertalian dan harta. Sementara yang paling besar adalah harga diri. Mereka sepenuhnya lenyap dariku.

Namun, dia menatapku kini; pria berkumis yang tidak kusukai suaranya. Ia sodorkan tangan satunya untuk mendengkapku, tanpa sekalipun melepaskan lengan yang tercengkeram erat lenganku lainnya. Aku hanya berucap bahwa tidak akan melompat, hanya agar membuatnya sedikit melunak. Tapi sekali lagi, disalahi. “Aku tidak akan melompat, sungguh!”

Ruangan 3x4 yang penuh dengan nuansa putih dan korden tile yang menerawang, dihembuskan oleh angin yang 15 menit lalu aku tinggalkan, terasa jauh lebih segar. Entah mengapa, ruangan yang sebelumnya tampak polos dan tidak menarik, terasa sedikit bercorak dan tidak sesederhana itu.

“Bisa kita kembali ke sesinya?”

Aku benci bercerita, aku tidak suka menerangkan diriku kepada orang lain yang sebagian dari mereka hanya menganggapnya sepele. Mereka mengira aku remeh lantaran terluka sebab laki-laki yang bukan milikku. Padahal, dia tidak lagi seberharga itu.

Aku masih termangu, dan pria yang mencegahku melompat tadi masih menunggu. Ia memainkan suara bolpennya berkali-kali, dan suara klik-klik-klik berdetak seirama dengan debar di jantungku. Mata itu masih melihatku, dengan antusias tanpa berpaling, dia menunggu hanya agar aku bisa berbicara.

“Aku jatuh cinta, pada jemari laki-laki yang lebih besar dariku, yang menggenggamku dengan erat seolah menjadikanku utuh,” ujarku, perlahan dengan teramat ragu-ragu. Aku merasa bibirku tergigit, untuk menahan diri agar tidak ringan mengungkap isi hatiku. “Yang kulakukan hanya jatuh cinta, namun tangan besar itu memukul kepalaku. Bukan mengusapnya.”

Dia hebat, sangat besar untuk menjadi rumah untuk aku yang kesepian. Namun perlahan, rumah itu jadi menakutkan.

“Mulanya, dia hanya beralasan tidak sengaja, tapi selain kepala, dia juga memukulku di tempat lain. Pada hari rabu, dia menjadi lembut, lemah dengan senyumanku. Tapi pada hari jumat, leherku tercekik, karena suasana hatinya yang tidak baik. Aku tidak mengerti, mengapa dia selalu berubah-ubah”

Aku menghela nafas, dan kualihkan sebentar pandanganku ke matanya, dia masih menatap dengan antusias. Tangannya tidak lagi memainkan bolpen dan sepenuhnya hanyut ke dalamku.

“Suatu hari, seseorang menemuiku. Lalu menyiramku dengan kotoran. Ia ludahi aku yang sedang terkapar karena dijambak dengan hebat. Pria itu ada di sana, dan tidak melindungiku yang sekarat. Dia memanggilku, jalang itu, jalang itu,” terangku sambil merintih kesakitan, rasanya ada yang bergejolak dari dalam perutku, ingin menyembur ke luar. Rasanya panas dan panas sekali.

“Muntahkan saja,” ujarnya cepat-cepat menghampiriku, dan mata kami bertautan. Kini dia ada tepat di hadapanku, sambil menekuk lututnya, seolah menunjukan ciri khas orang yang sedang mengkhawatirkan seseorang.

“Herman Suteja,” ejaku, membaca nametag yang dijepitkan ke saku blazzernya. Aku melepas tanganku dari telinga, dan apa yang ingin aku teriakan berhenti saat menatap matanya yang ramah. “Mereka menyebutku jalang, karena mengambil laki-laki milik wanita lain. Sementara aku bahkan tidak tahu bahwa dirinya sudah beristri.”

Aku menangis.

“Mereka menghinaku dengan tatapan keji, dan tak satupun dari mereka mencoba mendengarkanku.”

“Cinta memang tidak selamanya indah,” balasnya. Dia berdiri kembali ke tempat duduknya, dan kami terdiam, hingga sesi ini berakhir. Saat aku membuka pintu dan keluar dari ruangan itu, dia memanggil.

“Mbak Maya, jika tidak keberatan, ada es krim yang ingin saya makan dengan mbak?” ucapnya.

“Bukan lagi nona?” balasku, mengingat bahwa sejak dimulainya sesi, dokter Herman selalu memanggilku nona.

“Sepertinya panggilan mbak akan jauh lebih nyaman.”

“Baiklah, jam 4.”

 Lantas kami berpisah begitu saja.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Slice of Life
Rekomendasi