Disukai
0
Dilihat
174
Sesal
Drama
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Sore tidak pernah gagal, selalu menguning dan semakin pekat dari detik ke detik, seolah-olah memperlihatkan berbagai penyesalan hidup yang menahun. Terkadang bahkan bermusik lirih, mengayunkan nada-nada sendu dari sekumpulan keputusan salah masa lalu, keputusan yang menyerembabkan manusia kekehidupan yang tidak pernah mereka impikan.

Sore memang tidak pernah gagal, ia selalu memberitahu bahwa hari ini akan segera berakhir dan waktunya kembali ke rumah.

Rumah? Tempat melepas penat, tempat yang penuh canda tawa, tempat melampiaskan segala keluh kesah, penuh kasih sayang, tempat yang tidak lebih nyaman dari apapun dimanapun, bahkan tidak mau menukarnya dengan apapun dimanapun, tempat mengadu, tempat dimana di dalamnya terdapat orang-orang yang saling menyayangi.

Masih adakah rumah yang seperti itu? pertanyaan yang selalu muncul dalam benak seorang pemuda 30 tahunan. Pemuda yang cerah dikala muda, namun redup gersang dikala menua karena sebuah keputusan salah. Sebuah keputusan yang membuatnya selalu mempertanyakan apa defenisi rumah sebenarnya? tempat yang ia lebih suka tidak pulang kesana. Ia lebih memilih luntang-lantung kedinginan, tidur dimana saja. “Aku selalu tidak ingin pulang”. Begitu terus kata hatinya berulang-ulang setiap hari dikala sore tiba. Pantas saja tubuhnya sudah tidak terurus, kurus ceking, kusam, kotor, bau dan frustasi.

Lalu, apa sebenarnya defenisi rumah? apakah orang yang telah mendefenisikan sebelumnya sengaja berbohong? Sengaja menjual mimpi, mimpi semua orang.

Hanya berjarak beberapa meter dari depan si pemuda putus asa itu, sepasang kaki yang terlihat termakan usia, menjulur bergantian dari sebuah pintu kaca bergagang besi, agak berat kaki-kaki itu mengangkat sepasang sandal kulit mengkilat berwarna hitam sehingga harus dibantu dengan sebatang tongkat. Pakaian yang digunakannya sangat rapi, kemeja krem yang dilapisi jas abu-abu, sepadan dengan celana bahan yang dipakainya yang juga berwarna abu-abu namun lebih gelap.

Diamati oleh sang pemuda sang kakek itu dengan cermat, bahkan teramati sampai jas yang dipakainya yang berukuran agak besar sehingga menjulur menutupi kepalan tangan, lengkap dengan sebuah syal putih yang menggulung di lehernya. Di syal itu menjuntai benang-benang berwarna emas yang mengingatkan si pemuda akan sesuatu, sesuatu yang membuatnya seketika terbang ke masa lalu. Namun ah, segera ditepisnya karena sebuah alasan pedih.

Beberapa detik kemudian dari pintu yang sama menjulur pula dua kaki lain pun terlihat sudah termakan usia namun lebih mungil, langkahnya lebih cepat, ia mengejar sepasang kaki sebelumnya seperti sangat khawatir akan terjadi apa-apa.

Sesaat kemudian dua pasang kaki keriput tersebut sudah terlihat diam berdampingan karena tubuh yang ditopangnya duduk di sebuah kursi besi panjang berwarna biru muda. Sesekali jari-jari kakinya bergerak, bergeser mendekat, sedikit menjauh, kemudian mendekat lagi, begitu berulang-ulang namun tidak pernah berpisah.

“Masih ada sisa uang kita Buk?”.

“Ada Pak, Alhamdulillah”

“Wah, kita bisa makan dulu, ampera di depan?”

“Sepertinya enak Pak, ayok”.

“Ayok Buk”.

Adalah sebuah pemandangan yang sangat istimewa lengkap dengan perbincangan sederhana namun dalam menusuk dari sepasang kakek dan nenek yang membuat si pemuda 30 tahunan itu tiba-tiba tertegun dengan rasa sedih campur aduk. Si kakek dan si nenek itu baru saja keluar dari sebuah klinik praktek dokter spesialis penyakit dalam dan duduk sebentar di kursi tunggu untuk mendiskusikan sesuatu, makan malam romantis! Si kakek memegang plastik putih yang bisa ditebak isinya adalah obat-obatan. Sementara tangan satunya lagi masih dengan cukup kokoh mencengkram tongkat dan menghentak-hentakkannya ke lantai ketika berjalan. Di sisi lain Si nenek menggandeng mesra lengan suaminya itu sambil sesekali mengusap keringat dingin yang mengalir cukup deras. Orang setua mereka tentu saja wajar sakit-sakitan, tapi si pemuda sama sekali tidak peduli tentang penyakit apa yang sedang diderita si kakek, ia melainkan fokus kepada sebuah pertanyaan yang timbul, “apakah benar-benar ada hubungan cinta yang seperti baru saja kulihat ini?”.

“Tuan…tuan! Sedari tadi kita berbincang, matamu tidak pernah benar-benar menatapku, hanya sesekali kemudian kembali fokus kepada kedua orang tua itu. Dan sekarang ketika mereka sudah pergi kau malah melamun”.

Si Pemuda 30 tahunan itu tidak sendirian, ia bersama pemuda lain yang seprofesi, tidak saling mengenal sebelumnya tapi agak cepat akrab karena kesamaan jaket yang dipakai, kesamaan warna helm, logo yang terpampang jelas dan tentu saja kesamaan tujuan. Menunggu orderan masuk! 

“Maaf, sebenarnya bagiku yang terlihat lebih ke bukan sebuah pemandangan penuh cinta, melainkan sesuatu yang sangat menusuk hati”.

“Kau membiarkan tubuh dan pikiranmu hanyut terkulai dalam kesedihan meratapi, ku tebak ini untuk kesekian ribu kali?”.

“Ya, dengan melakukan itu kuharap kesedihan, kepahitan hidup berlalu namun dari dulu tetap saja hal itu hanyalah sebuah harapan.

“Cinta yang kau lihat barusan begitu megah, berbanding terbalik dengan yang kau alami sekarang, begitukah?”.

“Ya, ternyata mudah tertebak, kau liat kan tadi, mereka sudah sangat tua, benar-benar tua, bungkuk, ringkih, tapi masih saling mengingat, masih saling mencintai”.

“Kau iri?”.

“Tentu, aku sangat iri, atau bahkan adakah kata yang lebih tinggi dari iri? itu lebih cocok.

“kenapa?”.

“Karena aku dan istriku tidak akan pernah bisa seperti itu”.

“Kau terlalu pesimis, bukankah semua masih bisa diperbaiki? Kau juga bahkan tidak tau, bisa jadi apa yang pernah si kakek dan si nenek itu alami dulu jauh lebih pahit darimu”.

“Aku tidak yakin, trauma! Bagaimana cara menghilangkannya? Tidak ada, itu akan membekas seumur hidupmu.

“Benarkah? Separah itu? Apa yang sebenarnya terjadi?

“Ah, sebaiknya kau jangan mencoba melakukan apa yang kulakukan, menikah dalam waktu dan orang yang tidak tepat. Pernikahanku mengerikan, aku bahkan tidak bisa mendeskribsikannya agar kau memahami. Andai waktu bisa diputar kembali, hanya itu satu-satunya keinginanku disisa hidup ini. Cinta, aku telah salah mendefenisikannya”.

“Tapi, ahhh…ini sudah sedari tadi yang kedua, bahkan aku belum tau namamu, Tuan?”.

“Azrael”

“kau si pencabut nyawa?”.

“itu nama alias, tapi lebih kusukai, aku malu menyebut namaku sendiri”.

“Oh, bukan nama asli rupanya, namun tak mengapa, paling tidak aku tau harus memanggilmu apa, tuan Azrael. Ngomong-ngomong aku punya termos berisi beberapa cangkir kopi, aku ingin kau meminumnya, setauku kopi memiliki manfaat mengurangi kerontokan rambut”.

“Sial, kau membuatku merasa sudah sangat tua, ide bagus! Tapi bolehkah sekalian kuminta rokokmu, Ri?. Benarkan tadi kau memperkenalkan dirimu sebagai Ari? Atau aku salah? Ah, tapi apalah arti sebuah nama. kau terlihat seperti seorang pemuda optimis, matamu begitu menyala-nyala. Sama sepertiku dulu, kunasehati, jangan pernah salah langkah!

“Jangan berlebihan tuan Azrael, aku tidak seistimewa itu. kuamati kau tidak terlihat seperti seorang perokok, Tuan”.

“Memang tidak, aku hanya tiba-tiba saja sangat ingin mencobanya”.

“Alasanmu membuatku tidak ikhlas untuk berbagi, maaf. Lalu setelah ini kau akan pulang?”.

“Ya”.

“Tapi tadi kau bilang benci rumah?”.

“Setelah melihat adegan tadi tiba-tiba aku butuh pelukan anakku, paling tidak untuk saat ini dia belum membenciku”.

“Apa maksudmu dengan kata belum?”.

“Suatu saat ketika dia sudah besar, dia akan tahu kalau ayahnya adalah seorang pria gagal, manusia bedebah, kemudian mulai membenciku”.

“Kau memang begitu pesimis”.

“Tidak wahai pemuda tampan, hanya saja memang benar akan berjalan seperti itu, tinggal menunggu waktu saja. Dan jika saatnya tiba, itulah akhir hidupku”.

“Segampang itu?”

“Ya, bukankah defenisi kematian itu sebenarnya adalah ketika manusia sudah tidak dihargai?”.

“Terserah apa katamu saja Tuan Azrael”.

Hanya saling tersenyum kecut sebagai akhir dari dialog mereka sore itu. Si Pemuda yang lebih muda mencoba untuk tidak menyanggah lagi karena tidak mau sok tahu. Dia belum menjalani apa yang lawan bicaranya itu telah alami. Umurnya baru awal 20 an, masih kuliah, masih bau kencur! Pekerjaan jalanan ini baginya hanyalah sementara, sebagai penyangga hidup hingga kelak gelar sarjana tertambah diakhir nama kemudian mencari pekerjaan yang lebih layak.

Sementara dari kejauhan sepasang kakek dan nenek tadi sangat khidmat menikmati makan malam sambil sesekali tersenyum beradu pandang.

"Ah, andai waktu bisa diputar kembali".

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar