SERIGALA ADALAH DOMBA
Aku sama sekali tidak tinggal di lingkungan baru. Tapi orang-orang yang tinggal di sini menjadi tua dan asing karena begitu lama tidak bertemu. Aku sendiri ikut kakek nenekku selama 17 tahun dan tinggal bersama mereka. Tapi setelah berusia 25 tahun dan dewasa serta mereka sudah tiada, aku kembali ke rumah orang tuaku yang juga jauh lebih dulu pergi dari kakek nenekku. Sekarang aku adalah piatu. Tetapi piatu yang sudah dewasa dan mandiri. Aku sudah cukup kuat untuk mengarungi kehidupanku seorang diri. Bekal dari kakek nenekku akan menjadi arahan terbaik aku untuk menjalani kehidupan ini.
Sunyi. Lingkungan tempat tinggalku terasa sunyi. Hampir tidak ada anak-anak muda dan anak-anak usia seusiaku. Tetangga-tetanggaku disini rata-rata adalah orang tua paruh baya yang hidup seorang diri. Seperti nenek cerewet bernama Cinta. Ia berjualan masakannya sendiri. Soto Cinta namanya. Hampir semua tetanggaku menjadi pelanggannya. Meski pun terkenal cerewet, tapi soto buatan nenek Cinta rasanya sangat lezat. Aku sendiri adalah penggemar berat soto Cinta! Usut punya usut, selama aku jadi pelanggan soto Cinta, nenek cinta ini hanya cerewet saja. Tapi sebenarnya ia orang yang humoris, aysik, dan cukup baik diajak ngobrol. Selebihnya tidak ada masalah denganku sama nenek cinta. Kami mulai berteman baik dan juga nyambung dalam obrolan kami.
"Nek... ajarin aku masak soto seenak ini dong!" Kataku pada suatu pagi saat sarapan di kedai nenek Cinta, di depan rumah beliau.
"Kalau kukasih resep soto Cintaku ke kau, bisa rugi aku!.. kau masak enak terus jualan juga!... tersaingi aku dan pelanggan-pelangganku bisa lari karena penjualnya jauh lebih muda dan lebih cantik dariku!" Kata nenek Cinta menolak mengajariku masak Soto Cinta dengan alasan yang panjang lebar. Nenek Cinta memang asli orang Medan. Jadi bicaranya agak khas dengan logat bataknya itu.
"Tapi kalau aku sudah jadi cucu nenek bisa kan dapat warisan resepnya?" Gurauku nakal. Nenek cinta hampir saja mencubitku,
"Kau ini anak gadis tapi ceplas-ceplos terus kau ini! Tersinggung aku ini dengan ucapan kau itu!" Nenek Cinta gemas.
"Nenek sendiri lo yang pernah bilang kalau udah anggap aku cucu nenek sendiri!... jadi, nanti nenek warisin resep nenek ke aku!" Aku masih bandel. Sengaja bikin nenek Cinta gemas. Beliau tertawa setelah melotot geram.
"Cucu macam apa yang berkata macam itu sama neneknya!" Cibirnya berlagak galak.
"Kalau aku mau, pasti kuwariskan juga resep Soto Cintaku sama kau!" Kata nenek Cinta lagi. Aku tertawa riang.
"Terima kasih untuk sarapannya!... aku pergi kerja dulu!" Aku buru-buru pamit dan mencium pipi nenek itu. Kemudian berlari sambil tertawa riang dan melambai-lambaikan tanganku pada nenek Cinta sebelum benar-benar pergi dari kedainya.
Pagi yang manis bersama nenek Cinta, aku tidak menyangka pada akhirnya bisa jadi seperti keluarga dengan nenek Cinta. Nenek cerewet yang agak galak itu ternyata bisa semanis ini padaku. Aku benar-benar merasa punya seorang nenek lagi setelah aku kehilangan semua orang yang menyayangiku dalam hidupku.
Jika pagi hari bersama nenek Cinta adalah rutinitasku, maka sepulang dari tempat kerjaku aku akan mampir dulu ke toko beras. Pemilik toko beras ini juga tetanggaku. Rumah kami berseberangan. Sementara nenek Cinta tinggal di depan gang kami. Tapi tetap lah tetangga terdekatku. Aku sudah sering membeli beras di kios beras ini. Pemiliknya adalah seorang laki-laki paruh baya. Mulanya aku mengira laki-laki itu bisu. Tapi ternyata ia hanya tidak suka bicara. Ia lebih banyak diam dan sangat sedikit bicara. Meski pun begitu, ia berwajah ramah, dan baik. Namun ia mengasingkan dirinya dengan tidak bicara dengan orang lain. Ia juga tidak pernah pergi keluar rumah dan meninggalkan toko berasnya. Hampir seluruh waktunya ia habiskan dengan tinggal di rumah. Dan jika ia berbicara itu pun hanya sedikit sekali dan hanya datang pelanggannya saja . Jadi lah aku sengaja sering datang mengunjunginya untuk membeli beras.
"Kek besok kita sarapan pagi ke kedai soto Cinta yuk!" Ajakku pada sikakek berwajah ramah. Walau udia beliau baru 53 tahun, tapi aku senang sekali memanggil beliau dengan panggilan kakek daripada bapak. Laki-laki berwajah ramah itu tersenyum.
"Kakek tidak biasa sarapan soto!... sarapan kakek mah kopi sama pisang goreng." Sikakek mengatakan sesuatu untuk menolak secara tidak langsung ajakanku sarapan bareng dengannya.
"Nah itu kek! Kebetulan sekali aku sudah lama tidak ngopi dan makan pisang goreng!" Kataku masih semangat mengajak beliau sarapan bareng.
"Aku yang traktir kek!" Kataku lagi. Beliau tersenyum ramah.
"Tapi cu... kakek sarapan sendiri... kopi sama pisangnya kakek sendiri yang buat!" Beritahu si kakek.
"Malah bagus itu kek! Pokoknya besok aku sarapan bareng sama kakek!" Kataku tidak mau ajakanku ditolak beliau lagi. Buru-buru aku pamit dan salim sama beliau lalu kabur. Beliau memaklumi dan kelihatannya kakek senang ada yang akan datang pagi-pagi dan ikut sarapan pisang goreng sama ngopi. Aku jadi tidak sabar sarapan sarapan sama kakek Pradipta besok pagi. Yudha Pradipta adalah nama kakek yang berusia 53 tahun itu. Beliau orang yang misterius, sangat pendiam, namun berwajah ramah dan sopan dengan tutur yang lembut. Bagiku ia hanya lah seorang penyendiri yang tidak suka bicara. Ia tidak bergaul di luar rumah karena ia bukan lah orang yang mudah akrab sama banyak orang. Sulit buat menjelaskannya. Beliau bukan orang aneh tapi orangnya agak privat aja. Soalnya beliau sangat baik dan ramah kepada siapa saja. Hanya saja beliau tidak mau bergaul dengan orang lain. Karena itu beliau tidak punya teman. Apalagi beliau hidup sendirian. Mungkin juga istri beliau sudah lama meninggal. Begitu juga dengan nenek Cinta. Beliau juga hidup sendirian. Jadi mereka-mereka jauh di dalam hatinya pasti kesepian dan membutuhkan teman. Jadi, aku rasa aku bisa menjadi teman spesial mereka. Bukan itu saja! Aku tidak hanya akan menjadi teman mereka. Tapi juga seorang cucu bagi mereka, yang bisa berbagi suka dan duka. Dengan begitu hidup kami pasti lebih berarti dengan saling mengisi.
Aku bangun pagi sekali. Bersiap untuk sarapan bareng kakek Pradipta. Meski pukul tujuh kios beras beliau sudah buka, aku tidak lagi datang untuk membeli beras melainkan menjadi tamunya. Pukul tujuh lewat lima menit, aku datang ke rumah kakek Pradipta. Permisi ke dapur dan ikut goreng pisang. Saat itu sikakek baru saja menggoreng pisangnya.
"Ya ampun kek! Banyak sekali pisang gorengnya!" Seruku agak kaget melihat wajan penuh dengan pisang yang di goreng.
"Iya cu. Kakek agak banyak bikin pisang gorengnya karena kamu mau sarapan disini!" Jawab kakek Pradipta. Sambil menunggu pisang goreng matang. Kakek pun hendak membuat kopi.
"Udah kek. biar aku aja!" Kataku dan membuat 2 gelas kopi hitam. Walau nggak suka kopi hitam, tapi demi bisa sarapan bareng kakek Pradipta, aku bela-belain deh minum kopi hitam hari ini. Dengan begitu aku dan kakek akan lebih sering sarapan bareng dan akan menjadi teman baik. Itulah yang aku inginkan!
"Enak banget kek pisang gorengnya!" Kataku makan dengan lahap. Kakek Pradipta tersenyum melihatku. Beliau bahkan sedang tersenyum riang.
"Makan saja yang banyak!... kakek buat banyak!" Beliau memintaku makan dengan banyak pisang goreng di atas meja makan yang memenuhi piring-piring disana.
"Bagaimana rasanya kopi buatan Ranila kek?" Tanyaku penasaran pada rasa kopi hitam yang baru diseruput kakek Pradipta.
"Agak kemanisan!" Jawabnya kakek Pradipta jujur.
"Maafin ya kek!... aku kebanyakan kasih gulanya ya?" Kataku agak menyesal.
"Tidak spa-apa!... jarang-jarang kakek bisa minum kopi hitam semanis ini! Rasanya enak kok!" Kata kakek Pradipta tersenyum lagi. Kakek ini selain ramah juga murah senyum. Itulah yang keren darinya dan membuat aku menyukai kakek ini. Ia benar-benar mirif dengan sosok kakek kandungku yang telah tiada.
"Kalau suka pisang gorengnya, kamu besok boleh kesini lagi cu!" Sangat mengejutkan dan buat aku surpraise. Kakek Pradipta ternyata tidak keberatan aku sering-sering sarapan di rumahnya. Wah... pertanda aku bakalan jadi cucu kesayangan nih!
"Bukan besok saja! Tiap hari aku bakalan kesini buat sarapan!" Kataku senang.
Sudah puku 8 lewat, pukul 9 aku baru masuk kerja. Aku datang dengan perut sangat kenyang ke kedai sotonya nenek Cinta.
"Tumben kau baru datang jam segini?" Sambut nenek Cinta dengan pertanyaannya.
"Aku kesini sebenarnya tidak untuk makan soto... aku hanya datang berkunjung!" Beritahuku.
"Tumben sekali! Apa kau tidak punya uang?... kalau memang tidak punya uang, kau boleh makan gratis!" Kata nenek Cinta karena terlalu penasaran dan tidak sabaran oleh rasa ingin tahunya. Aku menggeleng. Tampangku yang mengandung kemisteriusan akhirnya terendus nenek Cinta. Beliau menatapku penuh selidik.
"Pasti terjadi sesuatu?" Ia berkata penuh selidik pula.
"Aku hanya kekenyangan pagi ini!" Jawabku namun sebenarnya aku ingin memberitahu nenek Cinta tentang pertemananku dengan kakek Pradipta.
"Aku percaya kau kenyang karena itu kau tidak makan! Apa jangan-jangan kau sudah bosan makan sotoku?" Tuding nenek Cinta seyakin wajah super seriusnya itu.
"Mana mungkin lah aku bosan! Soto Cinta sangat enak dan tak tertandingi!" Jawabku tak kalah serius.
"Terus apa yang membuatmu tidak makan sotoku hari ini?" Tanya nenek Cinta lagi padaku.
"Baik lah... aku akan beritahu, tapi janji nenek tidak akan protes!" Kataku bersyarat untuk memberitahukannya. Aku tahu dari roman-romannya nenek Cinta, ia tidak mau berjanji. Ia diam saja dengan wajah yang tampak galak. Khas dia yang membuat orang yang tidak mengenalinya dengan baik menganggap dia orang yang tidak ramah. Lalu aku menceritakan tentang sarapanku pagi ini bersama kakek Pradipta.
"Sekarang kami sudah berteman!" Kataku senang meski bisa kutebak nenek Cinta tidak tertarik. Wajahnya menunjukkan rasa tidak simpatik. Bukan kepadaku sih tapi kepada kakek Pradipta.
"Untuk apa kau berteman dengan si aliien itu?" Tanya nenek Cinta. Ia terdengar ketus dengan ucapannya itu.
"Alien?... dia hanya seorang kakek nek!" Kataku tidak sampai hati mendengar nenek Cinta menyebut kakek Pradipta dengan sebutan alien begitu.
"Tidak! Dia alien!!" Kata nenek Cinta lagi tampak gusar. Tapi ia tidak melarangku berteman dengan kakek Pradipta. Ia hanya cemberut sampai aku meninggalkan kedainya. Meski pun aku mencium pipi nenek itu, dia tetap acuh dan cemberut. Nenek Cinta aneh. Kenapa ia mengatakan kakek Pradipta alien? Aku jadi bingung dan heran. Apa karena dulu waktu muda, mereka musuhan?... sepertinya begitu.
Hari minggu yang panjang. Selain berkunjung ke rumah kakek Pradipta untuk sarapan seperti biasanya, aku juga mengunjungi nenek Cinta. Tapi hari ini aku mau pergi ke rumah seorang ibu tua yang tidak kalah misteriusnya dari kakek Pradipta. Ibu tua itu sangat miskin dan kurus. Ia tinggal seorang diri dan tidak ada seorang pun yang tampak peduli padanya. Aku rasa aku akan membawa banyak makanan selain beras kesana. Aku akan pergi ke kios roti dan biskuit. Ibu tua itu pasti sangat senang aku berkunjung. Walau ini kunjungan pertamaku, pasti akan diterima dengan manis. Ibu tua itu pasti bisa menjadi temanku lagi seperti nenek Cinta.
Nenek Cinta, kakek Pradipta adalah tetangga tertua dan terakrabku. Saat ini kami sudah seperti keluarga. Lalu dengan ibu tua itu?... aku rasa hubungan spesial juga akan terjadi kepada kami. Aku sangat peduli dan menyayangi orang tua itu. Dan aku jatuh hati juga pada ibu tua itu. Ibu tua yang dikucilkan itu. Entah apa yang membuat mereka semua tidak peduli padanya.
"Hei nak! Kalau mau kasih makanan, taruh saja di depan pintu!" Seorang ibu-ibu yang hampir sebaya dengan nenek Cinta melihatku datang membawa makanan, menyuruhku menaruh makanan di depan pintu. Kenapa harus begitu?
"Maaf bu.. saya sebenarnya datang untuk berkunjung!" Kataku menjelaskan maksud kedatanganku. Mendengar yang aku katakan reaksi si ibu bertubuh gemuk itu lebih aneh lagi.
"Biar ibu temani!" Katanya dan seperti seorang jagoan ia menggandengku untuk menuju pintu dan mengetuknya dengan keras.
"Ibu Tarta... buka pintu ada yang datang mengunjungi ibu!" Katanya berteriak keras dan tidak sabaran ibu tua yang ternyata bernama ibu Tarta itu membukakan pintu untuk kami. Tidak berapa lama pintu pun dibuka. Ibu tua yang kurus, pucat, dan punya tatapan tajam itu membuka pintu.
"Ada apa?" Tanyanya pada tetangga disebelah rumahnya itu. Ia bicara tana basa-basi dan terkesan tidak peduli pada kehadiran siapa pun.
"Maaf ibu... saya punya sedikit makanan untuk ibu!" Kataku sopan dan ramah lalu memberikan semua barang yang kubawa. Tanpa banyak bicara ibu tua itu mengambilnya.
"Silah kan pergi! Aku sudah mengambilnya. Kata ibu tua itu, membuatku sangat terkejut. Sambutannya ternyata tidak seperti yang aku harapkan. Aku langsung diminta pergi. Tidak apa-apa. Aku tidsk boleh menyerah.
"Iya bu. Semoga ibu suka makanannya!... tapi apa boleh kalau saya akan sering berkunjung kesini?" Tanyaku pada sang ibu tua yang belum kelihatan bersahabat denganku.
"Kau akan bawa banyak makanan lagi?" Tanyanya spontan dan membuatku kembali terkejut.
"Tentu saja... saya akan bawakan ibu makanan yang enak-enak... bagaimana kalau kita makan bareng kalau saya boleh berkunjung lagi?" Kataku senang karena dapat kesempatan untuk berkunjung lagi dengan membawa makanan.
"Benar kah kau akan bawa makanan enak?" Ibu tua itu tampak dipenuhi dengan harapan. Membuat hatiku iba pada keadaannya yang buruk dan malang.
"Ibu suka makan apa?" Tanyaku buru-buru menanyakan makanan kesukaannya.
"Aku suka sekali bubur ayam!" Jawabnya menyebutkan makanan kesukaannya dengan penuh harap lagi bersemangat.
"Kalau begitu nanti sore saya kesini lagi dan bawa bubur ayam buat ibu!" Kataku tidak kalah bersemangat. Lalu sorenya aku datang ke rumah ibu Tarta lagi dengan membawa banyak sekali bubur ayam yang spesial sekali dengan topingnya yang berlimpah. Ibu tua itu senang sekali. Ia makan dengan lahap dan wajahnya terlihat begitu bahagia. Membuat aku sangat terharu dan benar-benar bahagia. Aku juga makan dengan lahap. Memperlihatkan rasa senang yang sama dengannya. Tidak sekedar untuk menemani ibu tua yang sebatang kara itu makan.
"Kau pasti belum tahu siapa sku?" Katanya ketika kami baru selesai makan. Aku terdiam bahkan tidak sempat mengangguk.
"Aku baru satu tahun keluar dari rumah sakit jiwa!" Beritahunya tanpa neko-neko. Aku sedikit terkejut mengetahuinya. Selebihnya aku tidak merasa takut apalagi cemas.
"Waktu itu aku tidak dipenjarakan karena aku dianggap gila!... gara-gara si gemuk kurang ajar itu terbukti hampir mati keracunan aku dikirim kesana!" Beritahunya lagi. Kali ini aku mulai ngeri mendengarnya. Tapi aku harus tahu apa yang membuat ibu tua itu melakukannya.
"Apa orang itu akhirnya meninggal?" Tanyaku sehati-hati mungkin. Ibu tua itu menggeleng.
"Dia malah hidup senang setelah aku masuk Rumah Sakit Jiwa... dan setahun ini hidupnya bertambah senang!" Ceritanya lagi tentang orang yang ia sebut si gemuk.
"Kenapa ia melakukan itu pada ibu, padahal ibu ini orang baik?" Tanyaku penasaran dan tidak mengerti apa masalahnya. Mendengar yang aku katakan, ibu tua itu tertawa dengan nada ironis.
"Hanya kau yang mengatakan itu padaku!... apa kau benar-benar tidak tahu orang-orang mengucilkanku?... dan semua itu gara-gara sigemuk itu!" Menyebutkan kata si gemuk, ibu tua itu menjadi berang. Sepertinya ia sangat membencinya. Tapi aku tetap tenang. Aku sendiri merasa heran. Aku sama sekali tidak takut pada di ibu tua yang aneh ini. Entah kenapa hatiku sangat yakin kalau sebenarnya ibu tua aneh ini adalah orang baik dan tidak pernah gila.
"Si gemuk... siapa orang yang ibu makdud itu?" Tanyaku menanyakan siapa si gemuk padanya.
"Itu perempuan gemuk yang bersamamu tadi!" Jawab si ibu tua. Matanya berkilat penuh dengan kemarahan, tapi sebenarnya kemarahan yang mengandung kesedihan yang dalam. Ada rahasia yang belum aku ketahui tentang si ibu tua dengan si ibu gemuk tadi. Mereka pasti bermasalah. Sebaiknya aku harus mencari tahu tanpa menyinggung perasaan ibu tua yang malang itu. Maka aku pun bermaksud menanyakan hal itu langsung kepada ibu gemuk itu.
"Ibu tahu apa yang menyebabkan ibu Tarta pernah tinggal di Rumah Sakit Jiwa?" Tanyaku pada si ibu gemuk hanya untuk mendapatkan informasi darinya.
"Kau ini anak aneh! Buat apa baik-baik sama dia?... aku itu hampir dibunuh sama dia!... dulu itu setiap orang yang bertemu dan dekat dengan dia akan diracun oleh perempuan gila itu!" Ceritanya seheboh tampang judes menyebalkannya itu.
"Maksud ibu?" Kataku lagi sengaja bertanya dan tampak begitu kebingungan.
"Aku korban yang hampir meninggal dan membuat kejahatan perempuan tua itu terbongkar! Ternyata ia itu benar-benar gila! Akhirnya semua orang mengirimnya ke Rumah Sakit Jiwa!" Cerita si ibu gemuk itu memberitahukan padaku semuanya. Ia bercerita dengan berapi-api. Dari caranya bercerita ia sangat tidak suka pada ibu Tarta dan berharap semua orang menjauhinya termasuk aku. Tapi aku tidak mau seperti itu. Aku sudah terlanjur jatuh hati pada ibu tua malang itu. Aku tetap tidak percaya ia sejahat itu. Aku harus membuktikan kebenarannya. Aku akan menyelidikinya sendiri.
"Aku minta demi keselamatanmu kau tidak usah mengunjungi perempuan tua itu lagi!... kalau pun kau kasihan padanya, kau bawa makanan dan taruh di pinti itu saja!" Katanya terdengar menakut-nakuti dan memaksaku. Aku mengangguk untuk berpura-pura percaya. Kemudian di hari-hari selanjutnya, aku memang melakukannya. Hanya datang untuk menaruh makanan di depan pintu. Lalu dari jauh aku mengintip, aku tidak akan pergi sebelum ibu Tarta keluar dan mengambil makanannya. Dengan sabar aku menunggu ibu Tarta keluar. Tetapi... si ibu gemuk diam-diam dan begitu hati-hati mendekati makanan di depan pintu lalu buru-buru mengambilnya. Ia pun kabur membawa makanan dariku. Kenapa ibu gemuk itu melakukannya? Padahal ia tahu kalau makanan itu untuk ibu Tarta. Untuk apa ia mencurinya? Pikiranku terus tertuju pada si ibu gemuk itu. Aku bertanya-tanya tentang keaneha darinya. Apa karena bertubuh gemuk ia menjadi begitu rakus?... kenapa ia setega itu pada si ibu tua yang sebatang kara itu? Aku mulai kesal saat memikirkan kalau selama ini makanan yang ditaruh di depan pintu dari orang-orang yang bersimpati pada ibu tua itu diambil si ibu gemuk itu. Tentu si ibu tua yang dikucilkan itu hidup kekurangan dan menderita. Aku benar-benar menjadi geram. Akhirnya aku datang berkunjung terang-terangan. Aku harus membuktikan kalau ibu tua itu tidak bersalah dan harus dibebaskan dari prasangka buruk semua orang selama ini. Ia tidak bolehdikucilkan lagi. Aku sudah punya rencana untuk membongkar kejahatan si ibu gemuk itu.
Aku tidak sekedar datang bertamu, tapi aku meminta si ibu gemuk itu memasak di rumahnya.
"Ibu pasti pandai memasak! Aku ingin membuatkan makanan buat ibu Tarta. Kalau makanannya sudah matang, kita makan disana ya?" Ajakku meminta bantuannya untuk memasak. Karena sulit buat menolak, si ibu gemuk terpaksa melakukannya. Ia benar-benar memasak dan membantuku membuat semua makanan. Lalu kami makan bersama. Sepanjang waktu si ibu gemuk bersikap aneh. Ia sekalu melirik piring makananku. Ada apa dengannya? Pasti ada yang tidak beres. Aku mulai waspada. Tapi baru satu sendok makan, aku langsung berhenti. Reaksiku diluar dugaan siapa pun. Aku segera melakukan akting. Untung saja aku tidak menelannya dan segera memuntahkan makanan itu karena makanan itu memang beracun.
"Siapa yang menaruh racun di makanan ini?" Teriakku marah dan berpura-pura tampak kesakitan di depan mereka. Seketika si ibu tua terhenti makan dan si ibu gemuk yang makan dengan lahap itu terhenti dengan sangat tenang. Ia segera menunjuk pada si ibu tua.
"Sudah ku bilang kau masih tidak percaya padaku!" Teriaknya dan menuduh ibu tua itu melakukannya.
"Ibu Tarta tidak mungkin melakukannya!" Teriakku marah dan masih berakting kesakitan. Aku membela ibu tua itu karena aku memang tahu ia tidak bersalah.
"Sudah diracun begitu masih saja kau membelanya!" Kata si ibu gemuk geram.
"Makanan saya tidak diracuni ibu Tarta!... kalau diracun ibu pasti juga keracunan!... tapi kenapa ibu baik-baik saja?... dan kenapa hanya saya yang keracunan?" Cecarku dengan pertanyaan-pertanyaan.
"Sebelum kau semakin memburuk, aku antar kau ke Rumah Sakit!" Si ibu gemuk mengalihkan pembicaraan dan buru-buru hendak membawaku ke Rumah Sakit. Aku hampir menangkap basah dia, tapi perempuan gemuk ini pandai berkelit.
"Tidak perlu ke Rumah Sakit bu! Aku baik-baik saja!... sebenarnya aku tahu makanan itu beracun, jadi aku tidak memakannya!" Kataku seketika membuat si ibu gemuk itu terbelalak kaget.
"Maksudmu... racun tapi kau..." ia terbata-bata. Ia menjadi gelisah dan cemas sekali. Matanya menatap ketakutan.
"Waktu ibu menyiapkan makanan, aku pura-pura mau pergi ke belakang dan sengaja meminta ibu Tarta mengantarku... aku memastikan dia ada bersamaku! Saat itu setelah ibu Tarta mengantarku, beliau masuk ke kamarnya dan aku diam-diam keluar untuk mengintip. Ternyata ibu lah pelakunya! Ibu yang selama ini telah berbuat jahat kepada ibu Tarta!" Kataku sangat geram dan kecewa pada perbuatan keji perempuan itu. Akhirnya ibu Tarta tidak lagi dikucilkan oleh warga penghuni perumahan kami, yang rata-rata adalah orang-orang tua paruh baya dan hampir kakek nenek itu. Semua orang telah menerima kembali ibu tua yang malang itu. Kami semua menjadi seperti keluarga. Tidak terkecuali si ibu gemuk itu. Dia semakin membenci ibu Tarta dan memusuhinya terang-terangan. Sementara itu nenek Cinta dan ibu Tarta mulai berteman karena kini setiap hari di pagi hari aku datang bersama ibu Tarta ke kedai Soto Cinta untuk sarapan. Begitu juga dengan kakek Pradipta. Akhirnya beliau berhasil diajak keluar rumah dengan alasan aku bosan sekali sarapan pisang goreng. Karena sering bertemu kakek Pradipta, hati nenek Cinta mulai melunak. Ia tak sesinis hari pertama bertemu kakek Pradipta. Usut punya usut, di waktu muda mereka adalah sepasang kekasih dan putus. Keduanya sama-sama tidak menikah. Mungkin mereka masih saling mencintai.
Akhirnya hidupku berlanjut bersama orang-orang spesial. Aku tidak sendiri lagi. Begitu juga dengan nenek Cinta, kakek Pradipta, dan ibu Tarta. Kami saling melengkapi layaknya sebuah keluarga. Tapi tentang si ibu gemuk itu, aku menyadari ada satu hal yang paling penting dari apa yang aku alami kemarin. Semua orang berhasil dibuat si ibu gemuk beranggapan ibu Tarta gila dan berbahaya. Padahal semua kejahatan itu sudah direncanakannya agar ibu Tarta dikucilkan. Ternyata si ibu gemuk itu sangat jahat. Ia berpura-pura menjadi korban dan menjadikan ibu Tarta penjahatnya. Dengan geram hatiku pun berkata tentang si ibu gemuk itu. Domba adalah serigala!