Dinda terpaku memandangi sebuah botol yang mana di badannya tertulis racun tikus. Dinda sudah cukup lama memandangi botol tersebut. Awalnya botol tersebut ia gunakan sebagai mana petunjuk yang ada di kemasan nya. Namun, beberapa jam lalu pikiran liar nya mengatakan agar menggunakan botol itu untuk hal lain. Dinda masih menimbang-nimbang. Ia ingin lenyap tapi ia juga ingin ada. Perasaan aneh yang membingungkan ini telah bersamanya 6 bulan terakhir. Perasaan yang tidak bisa dimengerti orang lain. Perasaan yang hanya ia yang mengerti betapa tidak mengenakannya perasaan ini. Dinda memutar-memutar badan botol itu di atas meja lalu membuangnya ke tempat sampah. Ia beranjak dan memilih untuk tidur berharap pikirannya bisa jernih setelah bangun nanti.
Ini bukan pertama kalinya pikiran liar itu mendatangi Dinda, sebelumnya ia datang saat dinda hendak menyeberang jalan, memasak, akan tidur, bahkan saat ia sedang bersama siswa nya di sekolah. Tidak ada yang tahu pasti kapan pikiran liar itu datang dan cara apa yang ia gunakan untuk memengaruhi dinda. Sepersekian detik dinda terkecoh dan di detik lainnya dinda sekeras mungkin meyakinkan dirinya itu bukan hal yang benar untuk dilakukan. Begitulah dinda harus berperang setiap kali pikiran itu datang. Seperti sebelumnya kali ini ia menang. Setelah bangun tidur ia lapar lalu merebus mi instan karena perang di kepalanya ternyata sangat menguras energi. Kemudian ia akan menyiapkan materi mengajar, mandi dan pergi ke sekolah seperti biasanya.
Tidak ada yang spesial dari kehidupannya menjadi shadow teacher selain bertemu dengan anak spesial. Mungkin sebagian orang asing dengan pekerjaan ini, seperti namanya guru bayangan. Ia membantu anak spesial atau bisa disebut dengan anak berkebutuhan khusus dalam belajar di sekolah reguler. Seperti yang kita tahu beberapa tahun lalu pemerintah menggala kan sekolah inklusi di mana anak berkebutuhan khusus dan anak lainnya dapat belajar bersama di satu kelas. Karena hal itu banyak sekolah ditunjuk menjadi sekolah inklusi. Singkatnya anak berkebutuhan khusus membutuhkan guru bayangan untuk membantunya dalam memahami pelajaran yang diberikan di sekolah reguler.
Sebenarnya ia tidak pernah menyukai pekerjaan ini. Pekerjaan ini jauh dari cita-citanya. Namun, bagaimana pun ia harus melakukan pekerjaan ini. Ia harus menghasilkan uang dan bertahan hidup. Bukankah hidup tidak selalu tentang apa yang kita sukai? Hidup juga tentang apa yang tidak kita sukai. Ia terdengar kuat tapi tetap menangis setiap kali kata-kata pedas orangtua siswa mengkritik nya. Kadang ia membatin “ah, membosankan sekali hidupmu din. Sepertinya dinda yang hebat waktu sekolah dulu telah digantikan dengan dinda yang rela di caci maki demi uang. Ah, kenyataan untuk bertahan hidup lebih menakutkan daripada dilabrak kakak kelas ya din,” batinnya.
Dinda dulunya adalah gadis yang ceria, siapa pun akan senang saat melihatnya hingga suatu kejadian mengubahnya menjadi gadis yang dingin tak berperasaan. Anehnya gadis yang dingin itu menjadi seorang guru yang harus ceria bertemu dengan anak-anak. Kelas nya berakhir jam 12 siang. Sepulang sekolah ia tak langsung pulang, kadang ia berjalan di tengah terik matahari tanpa tujuan. Menyeberang dari satu lampu merah ke lampu merah lainnya. Setelah kakinya lelah, ia baru menuju kamar kos nya yang pengap tanpa jendela dan ventilasi udara yang baik. Tempat ter nyaman dan sekaligus yang ia benci.
Kadang di suatu hari ia ingin sekali menangis tanpa sebab. Hari lainnya ia ingin tidur saja. Lalu hari selanjutnya ia hanya Ingin teriak sekerasnya. Tidak ada yang bisa menduga bagaimana suasana hati Dinda bekerja. Bahkan Dinda sendiri juga bingung dengan suasana hatinya yang tak menentu.
27 tahun hidupnya, ia telah 5 tahun menarik diri dari teman-temannya. 5 tahun juga ia menjomlo. Dan setiap kali orang tuanya menelepon untuk mendesaknya menikah, ia selalu berkilah. Ia bukannya tidak ke pikiran untuk menikah, hanya saja untuk bangun setiap pagi saja baginya sudah sangat berat, apalagi untuk membangun sebuah rumah tangga. Ini jelas hal yang sangat tidak mungkin terjadi. Setidaknya begitu lah yang Dinda yakini hingga di minggu pagi seseorang mengetok pintu kosan nya. Dinda sangat kesal dengan fakta ada orang yang berani mengganggu kesempurnaan hari yang paling disukainya ini. Dinda sangat menyukai hari minggu karena ia tidak perlu mengeluarkan tenaga untuk berbincang dengan siapa pun.
Dinda membuka pintu dengan kesal, dan ternyata orang yang berani itu adalah tetangganya sendiri. Memang mereka tidak akrab, tapi mereka juga bukan orang asing. Mereka beberapa kali pernah saling menegur sapa ketika berpapasan di lorong menuju kamar masing-masing. Mbak Dwi, adalah nama yang Dinda dengar saat beliau memperkenalkan namanya. Dinda yang tidak begitu peduli dengan lingkungan sekitarnya tidak tahu apa pun tentang mbak Dwi selain namanya. Begitu pun dengan mbak Dwi yang tidak banyak bertanya tentang kehidupan Dinda membuat mereka nyaman dengan hubungan seperti itu.
Hari itu untuk pertama kalinya Dinda tahu jika mbak Dwi telah memiliki seorang bayi. Bayi perempuan mungil itu berusia 7 bulan, mbak Dwi memberinya nama Dewi. Mbak Dwi berniat menitipkan nya sebentar karena harus mengurus orangtuanya yang baru saja masuk rumah sakit. Mbak Dwi tidak punya banyak kenalan yang bisa menjaga anaknya. Karena ia tahu Dinda hari ini libur, ia pikir Dinda bisa menjaga Dewi hingga semua urusan rumah sakit selesai. Dinda yang kasihan menyanggupi hal tersebut, karena pekerjaan yang ia geluti membuatnya tidak keberatan untuk dititipkan bayi tersebut.
Dewi tidak rewel. Entah karena Dinda yang telaten mengurusnya atau Dewi yang sudah terbiasa dipaksa memaklumi keadaan ibunya yang harus bekerja sembari mengurusnya. Setelah minum susu dewi tertidur pulas sambil menggenggam telunjuk Dinda. Seolah ingin memastikan bahwa selama ia tidur ada seseorang yang bersamanya.Dinda tak berniat melepaskan jarinya, ia menikmati jari-jari mungil itu menggenggam erat telunjuknya. Tiba-tiba air mata Dinda jatuh membasahi pipinya. Ada rasa hangat yang memenuhi setiap sudut hati Dinda. Dinda menangis cukup lama tanpa tahu alasannya.
Dinda tertidur di samping Dewi dan terbangun karena tangisan Dewi yang merasa tidak nyaman karena popoknya yang harus segera diganti. Buru buru Dinda mengambil popok yang baru dan mengganti popok Dewi. Selesai mengganti popok, Dinda baru sadar ia tertidur cukup lama dan segera membuatkan susu untuk Dewi. Setelah memberikan susu yang ia buat untuk Dewi. Mbak Dwi datang dan membawa Dwi bersamanya.
Setelah sedikit basa basi dengan mbak Dwi lalu mbak Dwi pamit barulah Dewi bisa menelaah apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya. Ia membuka buku hariannya dan menuliskan semua yang ter lintas di pikirannya saat ia menangis tadi. Kenapa ia menangis sebegitu nya hanya karena jarinya di genggam seorang bayi yang berusia tujuh bulan. Dan yang ter lintas di pikiran Dinda waktu itu adalah bayangan kedua orangtuanya. Ia membayangkan bagaimana perasaan orangtuanya ketika ia lahir, usaha apa saja yang orangtuanya lakukan agar ia tetap hidup hingga sekarang. Semua berkecamuk dalam pikiran Dinda. Bagaimana pun sulitnya hidup, ia pernah menjadi alasan kebahagiaan kedua orangtuanya dan sebenarnya tidak ada alasan untuknya berpikir mengakhiri hidupnya. Satu hal yang pasti mulai hari itu Dinda bertekad untuk tidak mendahului takdir nya sendiri.