"The struggles they bear are unseen by you, just as your suffering remains unseen by them."
---
“Rasanya hari ini panjang sekali, ya,” ujar Dina, suaranya pelan sambil menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi taman. Di sampingnya, Raka hanya tersenyum kecil.
“Iya, hari-hari memang terasa makin berat,” sahut Raka sambil menghela napas panjang. Mata mereka menatap kosong ke depan, ke arah taman yang mulai sepi. Mereka sering duduk di taman ini setelah pulang kerja, berbagi cerita. Namun, belakangan, obrolan mereka lebih sering diisi dengan keheningan.
“Aku lihat kamu sering banget ada yang telepon belakangan ini,” Dina mengarahkan pandangannya pada ponsel Raka yang sering berbunyi di sela-sela pertemuan mereka, “Siapa sih yang telepon terus?”
Raka terlihat gelisah sejenak sebelum menjawab, “Ah, nggak ada apa-apa, Din. Cuma kerjaan aja. Biasa.”
“Kerjaan? Serius? Mukamu nggak kelihatan kayak orang lagi mikirin kerjaan,” balas Dina, setengah bercanda, “Kamu bohong, kan?”
Raka tertawa kecil, tapi jelas ada ketidakjujuran di balik senyumnya. Dia menunduk, seolah ingin menghindari tatapan Dina, “Iya, kerjaan,” katanya lagi, kali ini lebih pelan, “Cuma lagi banyak pikiran aja.”
Dina merasa ada sesuatu yang salah, tapi dia tak ingin menekan Raka lebih jauh. Lagi pula, siapa dirinya untuk menuntut Raka terbuka? Bukankah dia sendiri juga sering menyembunyikan banyak hal? Di tempat kerja, bosnya memperlakukannya dengan buruk, tapi Dina memilih untuk tidak bercerita. Mengapa? Karena dia tidak ingin menambah beban orang lain, terutama Raka, sahabat terdekatnya.
Di satu sisi, Raka juga merasa bersalah. Setiap kali telepon itu datang, ia tahu bahwa ada masalah besar yang ia sembunyikan dari Dina. Masalah yang lebih dari sekadar pekerjaan. Namun, bagaimana mungkin ia bisa menceritakan semuanya? Ia tak ingin terlihat lemah di depan Dina.
—
Hari berikutnya, saat di kantor, Dina kembali mengalami perlakuan kasar dari bosnya. Di tengah rapat, bosnya memarahi Dina di depan rekan-rekan kerjanya karena kesalahan kecil yang sebenarnya tidak seberapa. Dina hanya bisa menunduk, berusaha menahan air mata yang hampir tumpah.
Setelah rapat selesai, Dina duduk sendirian di mejanya, gemetar. Ia ingin menangis, tapi tidak ada gunanya. Kalau dia keluar, bagaimana dengan keuangannya? Dina tak punya pilihan selain bertahan. Namun, rasa hancur itu terus menggerogoti hatinya, menambah beban yang semakin berat untuk dipikul sendirian.
Saat malam tiba, Dina pulang dengan hati yang penuh luka. Dia ingin menghubungi Raka, tapi dia tahu sahabatnya juga sedang menghadapi masalah. Raka terlihat semakin tertutup belakangan ini. Dina merasa, dia harus menjaga jarak agar tidak menambah beban sahabatnya.
—
Beberapa hari kemudian, Dina menerima telepon dari Raka.
“Din, kamu bisa ke rumah sakit sekarang? Aku butuh kamu,” suara Raka terdengar panik.
Dina langsung bergegas tanpa bertanya lebih lanjut. Sesampainya di rumah sakit, ia menemukan Raka duduk di ruang tunggu dengan wajah yang lesu. Raka tampak sangat terpukul, dan ini adalah pertama kalinya Dina melihat sahabatnya dalam keadaan seperti ini.
“Raka, ada apa?” Tanya Dina, duduk di sampingnya.
“Ibuku, Din. Penyakitnya kambuh lagi. Dokter bilang keadaannya semakin memburuk. Aku nggak tahu harus bagaimana…” Suara Raka terdengar bergetar.
Dina terkejut. Selama ini, Raka tidak pernah bercerita tentang ibunya yang sakit. Dina merasa bersalah karena selama ini, ia tidak menyadari masalah besar yang dihadapi sahabatnya. Bagaimana mungkin ia tidak tahu? Mengapa Raka tidak pernah bercerita?
“Kenapa kamu nggak pernah cerita? Aku sahabatmu. Kamu nggak perlu menghadapi semua ini sendirian,” ujar Dina dengan suara lembut, mencoba menenangkan Raka.
“Aku nggak mau kamu khawatir,” jawab Raka pelan, “Aku pikir aku bisa mengatasi semuanya sendiri.”
Dina menggenggam tangan Raka, mencoba memberikan dukungan. Namun, di dalam hatinya, Dina menyadari bahwa dirinya pun sama. Dia juga memilih untuk diam tentang masalahnya sendiri. Bagaimana mungkin dia bisa marah pada Raka karena menyembunyikan sesuatu, sementara dia sendiri pun melakukan hal yang sama?
—
Hari-hari berlalu, hubungan mereka semakin erat setelah malam di rumah sakit itu. Mereka lebih sering berbagi, namun ada satu hal yang masih Dina simpan rapat-rapat. Pikirannya terus dihantui oleh perlakuan bosnya di kantor, dan dia merasa semakin terjebak dalam situasi yang tidak ada jalan keluarnya.
Suatu siang, Raka tanpa sengaja datang ke kantor Dina untuk menjemputnya makan siang. Saat Raka menunggu di luar, dia mendengar suara keras dari dalam ruangan. Raka mengintip dan melihat bos Dina sedang memarahi Dina habis-habisan di depan banyak orang.
Hati Raka mendidih, tapi dia tidak segera masuk. Setelah bos itu pergi, Raka baru bergegas menghampiri Dina.
“Apa-apaan tadi itu, Din? Kenapa dia ngomong kayak gitu sama kamu? Kenapa kamu nggak pernah cerita?” Raka menatap Dina dengan marah dan kecewa.
Dina terdiam. Ia tak tahu harus menjawab apa. Semua kata-kata yang ingin ia ucapkan terasa hilang, tenggelam dalam rasa malu dan takut.
“Aku nggak mau bikin kamu khawatir. Kamu udah punya banyak masalah dengan ibumu,” akhirnya Dina menjawab, suaranya pelan.
Raka menatapnya lama, lalu menghela napas panjang, “Kita sahabat, Din. Harusnya kita saling dukung. Tapi kenapa kamu memilih menyimpan semuanya sendiri?”
Dina tersenyum pahit, “Kita berdua sama aja. Kamu juga nggak pernah cerita soal ibumu. Aku nggak mau bikin kamu tambah susah.”
Raka terdiam. Mereka berdua tersadar, bahwa masing-masing dari mereka lebih memilih untuk memikul beban sendirian daripada saling berbagi.
—
Meski kini mereka sudah saling terbuka tentang beberapa hal, ada satu rahasia besar yang masih Dina simpan. Ia sudah memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya dan pindah ke luar kota, namun belum sempat memberi tahu Raka. Dina merasa takut, takut bahwa keputusan ini akan membuat mereka semakin jauh.
Namun, ketika ia sedang memikirkan cara untuk memberi tahu Raka, tiba-tiba Raka yang lebih dulu berbicara.
“Din, aku mungkin harus pindah,” kata Raka pelan, sambil menatap langit biru di atas mereka. “Setelah ibuku sembuh, aku berencana untuk merawatnya di kampung halaman. Aku nggak tahu kapan bisa kembali ke sini.”
Dina tertegun. Ia tidak menyangka bahwa Raka juga berencana pergi, pada saat yang sama dengan dirinya.
“Pindah?” Ulang Dina, mencoba menyembunyikan keterkejutannya, “Kamu serius?”
“Iya, Din. Ibuku butuh perawatan jangka panjang. Aku nggak bisa biarkan dia sendirian,” jawab Raka, suaranya berat.
Dina merasa dadanya sesak. Bagaimana mungkin semuanya terjadi seperti ini? Setelah sekian lama mereka saling menyembunyikan, kini mereka malah akan berpisah tanpa sempat benar-benar memahami perasaan masing-masing.
“Jadi, kita berdua akan pergi?” Dina akhirnya berkata, suaranya pelan.
Raka menoleh, menatap Dina dalam-dalam, “Pergi?”
Dina mengangguk, air matanya mulai menggenang di pelupuk mata, “Aku juga mau pindah. Aku udah nggak tahan di tempat kerjaku. Aku nggak pernah cerita karena aku pikir aku bisa bertahan, tapi aku salah.”
Untuk beberapa detik, mereka saling menatap, terkejut dengan keputusan masing-masing. Keheningan menyelimuti mereka, dan keduanya merasa ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang tak akan pernah bisa kembali.
Namun di balik kesedihan itu, ada perasaan lega. Meskipun terlambat, mereka akhirnya saling mengerti bahwa beban yang mereka pikul selama ini tidak pernah benar-benar terlihat oleh masing-masing dari mereka. Kini, meskipun mereka harus berpisah, setidaknya mereka tahu bahwa mereka tidak sendirian.
–TAMAT–
Pesan moral:
Cerita ini mengajarkan bahwa pentingnya kejujuran dan keterbukaan dalam hubungan, baik persahabatan maupun hubungan lainnya. Ketika kita menyembunyikan kesulitan atau rasa sakit dari orang-orang terdekat, kita tidak hanya membebani diri sendiri, tetapi juga menciptakan jarak yang bisa menghancurkan hubungan. Setiap orang memiliki perjuangan yang tidak terlihat oleh orang lain, dan hanya dengan saling berbagi serta memahami, kita dapat benar-benar mendukung dan memberi kekuatan satu sama lain. Jangan takut terlihat lemah atau membebani orang lain dengan masalah kita, karena orang-orang yang peduli akan lebih memilih mendengarkan daripada ditinggalkan dalam ketidaktahuan.