Itu sebuah hari bajingan di malam Senin. Jalan Daan Mogot padat kendaraan yang merayap, hendak kembali ke garasi masing-masing. Lalu lintas adalah hal yang paling kubenci di dunia ini setelah tukang parkir. Khususnya lalu lintas jalanan di Jakarta. Dari semua jalanan di Jakarta yang kulewati untuk kembali pulang, aku paling benci jalanan bernama Daan Mogot. Jalanan itu bak neraka. Siapa saja yang lewat jalan itu seolah tidak punya tenggang rasa. Mereka semua punya hasrat ingin membunuh, hanya untuk bisa sampai di tempat tujuan. Tak terkecuali aku.
Malam itu, malam yang gelap. Pemerintah di kota ini tidak menyediakan lampu jalan walau ini sudah mendekati waktu Pilkada. Kendaraan saling menyalip untuk bisa mencapai tempat tujuan. Aku mengemudikan sepeda motor matic yang baru saja kulunasi dari cicilan tiap bulan yang cukup mencekik saat kau punya upah di bawah UMR. Motor matic itu memang masih baru, tapi pengalamannya sudah banyak. Setidaknya sudah ratusan ribu kilometer ditempuhnya hanya karena setiap hari ia menyeterika jalanan Jakarta-Tangerang.
Motorku melaju agak cepat. Mungkin kecepatan rata-rata mencapai 60 Km/jam saat itu. Aku adalah manusia paling waspada di jalanan. Sepanjang aku mengemudi, aku punya rekor bersih tak pernah kena tilang dan tabrakan terlepas dari hinggapnya rasa penat pada diri setiap kali pulang-pergi ke kantor tempatku bekerja. Tapi malam itu, anjing memang. Apesnya orang, tidak ada yang tahu.
Sebuah mobil sedan tua berwarna hijau tua mengerem mendadak di area pertigaan dekat dengan bengkel tambal ban. Sialnya, lampu belakangnya matot alias mati total. Aku baru menyadari di depanku ada mobil berhenti saat jarak di antara motorku dan pantat mobilnya tinggal delapan meter saja. Aku sudah menarik tuas rem. Refleksku berjalan cukup baik. Andai saja jaraknya lebih lengang sedikit, pasti kecelakaan itu bisa terhindarkan. Namun tidak dengan yang ini.
Dengan suatu bunyi keras, muka motorku menabrak bemper belakang mobilnya. Aku terlonjak ke depan, nyaris terpelanting dari motor. Lampu depanku retak, sedangkan lampu belakang mobil itu pecah. Ditambah lagi dengan bempernya yang melekuk ke dalam. Si pengemudi keluar dari pintu depan.
Satu hal yang kupelajari dari jalan raya di Jakarta: kau harus merasa manusia paling benar sejagad raya. Ketika kecelakaan terjadi, kesalahan selalu ada pada orang lain.
Kupandangi sopir dengan melotot. Ia mengenakan baju polo berwarna hitam dan celana pendek berwarna coklat tua. Ia berkacamata. Tampangnya seperti orang-orang chindo usia 20 tahunan.
Ini orang yang layak dipukul. Pengemudi semberono, suka-suka sendiri, chindo, pasti orang kaya. Kupastikan untuk meminta uang ganti rugi.
"Bangsat! Lu punya mata nggak!" teriak si sopir menyerang duluan.
"Lu yang tolol! Lampu belakang tuh dinyalain!" aku balas mencaci galak.
Kami sudah berdiri berhadapan sekarang. Hening. Semua mata menatap kami. Orang di belakang menatap kami. Montir-montir bengkel menatap kami juga. Bahkan pedagang asongan yang biasanya menjual minuman juga berhenti, menatap.
"Lu ganti nggak kerusakan mobil gua?! Gua laporin polisi lu!"
"Lu ada juga ganti lampu motor gua! Brengsek lu. Lampu lu sendiri yang gelap, lu salahin orang. Gimana coba gua mau liat kalau lampu belakang lu mati?"
"Anjing!”
Dan dengan itu, perkelahian tidak terhindarkan. Ia mencoba memukul terlebih dahulu. Tapi pukulan semacam itu tidak ada gunanya. Aku menunduk dan menyerang balik. Kubidik perutnya. Sebuah pukulan lurus telak mengenainya. Namun ia tidak merasa sedikit pun terluka.
"Mati lu!" dia lanjut menyerang balik.
Kali ini kakinya bergerak. Sebuah serangan dengan lututnya. Aku mencoba menghindar, namun gagal. Serangan itu mengenai dahiku. Aku terpelanting ke belakang.
Si sopir yang masih emosi menerjangku. Dengan refleks aku memberikan pukulan ke arah dagu sampingnya. Ia terjerembab langsung ke tanah.
Lampu sekarang berubah hijau. Orang-orang di belakang kami yang tadinya menonton memainkan klakson, sebuah bel pertandingan yang meminta kami berhenti berkelahi.
Namun mataku masih mengunci matanya. Ia pun begitu. Ternyata ia masih sadar. Aku lanjut menyerangnya.
Perkelahian itu berubah jadi begitu buruk, sehingga kami berakhir dengan babak belur, baju compang-camping, serta darah yang menetes di beberapa tempat di wajah. Perkelahian baru bisa dihentikan saat akhirnya aku melihat seorang emak-emak yang tidak sabaran turun dari motornya. Entah apa yang merasuki lawan tandingku, ia pun juga langsung lari terbirit-birit masuk ke mobil dan melaju dengan kencang.
"Haduh, kamu abis darimana? Kenapa babak belur begini sih?" tanya Adinda, istriku saat ia melihat wajahku yang acak adut ini.
"Tadi ada tabrakan," jelasku. Singkat, padat, dan jelas. Kukira aku tidak harus menjelaskan terlalu detil soal perkelahiannya.
Dengan itu saja, sudah cukup untuk membuatnya tidak banyak tanya dan buru-buru mengobatiku.
Saat akhirnya aku sudah mandi, makan malam, dan sudah lebih tenang; akhirnya kuceritakan pengalaman seru itu.
"Tadi aku berantem sama orang yang kutabrak. Bego tuh orang! Masa lampunya nggak dinyalain! Tahu 'kan jalanan Daan Mogot, gelapnya kayak apa?! Dia bukannya minta maaf malah ngajak berantem! Akhirnya tadi ribut dulu sama orang itu. Chindo sialan!" aku meluapkan segala kekesalan.
"Tapi kamu ada luka parah nggak? Abis ini periksa ke dokter aja apa? Kita bisa pakai BPJS."
"Enggak usah. Ini pasti akan sembuh. Paling juga seminggu," ujarku acuh.
------------------
Begitu pikirku, setidaknya untuk hari itu. Tepat seminggu kemudian, pada hari Senin, dan kurang lebih di jam yang sama; mobil gaib itu muncul lagi. Tidak ada yang beda. Lampunya masih mati. Body mobilnya kotor seperti kena tulah. Lagi-lagi, ia pun juga muncul tidak diprediksi.
"Masyallah!"
Motorku menungging agak tinggi. Suara gedebum terdengar cukup jelas sehingga sempat membisukan jalanan. Aku terpaut pada plat nomor yang tertera pada bagian belakang mobil itu. Aku memang tidak ingat jelas angka-angkanya, tapi plat itu adalah plat B dengan akhiran huruf KON kapital. Memang perilaku dan mobilnya sama-sama mirip KON yang itu.
Aku mengambil ancang-ancang. Ini orang yang sama yang kutabrak minggu lalu. Betul saja, si chindo Kon itu turun dan membanting pintu depan dengan keras.
"Lah anjir! Lu lagi? Brengsek! Lu tuh bisa nyetir nggak sih?!" ia muncul lengkap dengan bekas luka lebam dan gores di sekujur wajah.
"Eh! Gua udah kasih tahu ke lu ya! Matiin aja terus tuh lampu belakang! Nggak pernah lu belajar lalu lintas ya? Lu miskin? Kagak ada duit buat ganti lampu?!"
Sebuah bogem mentah menyusur. Kepalan tanganku mengenai pelipisnya. Ia langsung berdarah. Bisa kuperhatikan wajahnya yang masih segar dengan babak belur bekas pertempuran minggu lalu. Kini mulai berdarah lagi.
Perkelahian kami yang kedua berlangsung. Semua orang hening dan melihat. Montir bengkel langsung diam. Kali ini, mereka duduk berjongkok dan melemparkan beberapa lembar uang di tengah. Bahkan ada yang melempar dompetnya juga. Pedagan asongan ikut merapat. Ada juga seorang sopir ojek online yang duduk manis, ikut melemparkan rokok ke tengah sambil menunjuk ke arahku.
"Bangke!"
Perkelahian berlangsung cukup sengit. Motorku baret sedangkan kaca belakang mobilnya pecah setelah pertempuran yang melibatkan properti kendaraan masing-masing.
Wajahnya kujedotkan ke kaca mobilnya sendiri. Setelah itu, kusikut punggungnya. Tahu Rasa!
Tapi si bajingan itu memang lawan yang tangguh. Ia balas pukul hingga aku terhuyung ke belakang. Pukulan itu cukup membuatku linglung sejenak. Dengan satu kali meludah, dan tarikan napas, aku lanjutkan pertempuran itu.
Lampu lalu lintas berubah menjadi hijau, tanda untuk menghentikan pertandingan ini. Namun kami masih terlibat baku hantam sampai tidur-tiduran di tanah. Gertak gigi dan darah mendidih menjadi sumbu utama yang terus memantik kemarahan kami. Sampai akhirnya klakson dari seorang emak-emak kembali menyudahi perkelahian kami. Uang ganti rugi kembali tidak terselesaikan. Ia masuk lagi ke dalam mobilnya yang sudah hancur itu. Aku mengemudikan motor tanpa spion itu. Sepanjang jalan aku meringis sakit. Darah dari ujung mulut sudah menetes terus daritadi.
"Astaga! Kamu kenapa lagi?"
Sesampainya di rumah, istriku sontak menyapaku tanpa walaikumsalam.
"Berantem lagi," ucapku sambil membuka tali sepatu di depan rumah.
"Masyallah, mas. Kamu kenapa berantem terus di jalanan?"
Aku terdiam sejenak. Laki-laki kalau baru pulang ke rumah itu justru pusing kalau ditanya-tanya.
"Aku mandi dulu ya, nanti baru cerita," ujarku padanya.
Setelah mandi dan mulai duduk di meja makan, aku sudah lebih baik.
"Tadi itu, si chindo kon yang kemarin kutabrak, dateng lagi! Berhenti di titik yang sama. Lampu belakangnya masih rusak. Ya aku mana lihat ada mobil di situ, orang udah malam. Beli mobil bisa tapi lampu nggak bisa. Otaknya rusak apa tuh orang!" aku mengepalkan tangan kesal.
"Sabar mas, haduh. Kamu ini, ya hati-hati lain kali. Namanya lalu lintas, berbagai macam orang pasti ada. Kita harus hati-hati dan waspada. Lain kali kalau lewat sana, jangan ngebut lagi," ia mengusap bahuku pelan.
Aku lanjut makan sop bayam dan tempe goreng yang disajikan. Buatku, menu sederhana seperti ini sudah enak.
-----------
Hari-hariku di kantor berjalan tidak begitu enak. Lebih tepatnya memang tidak pernah enak juga sih. Tapi tabrakan membuat semuanya lebih menyebalkan. Kalau saja setidaknya aku tabrakan hari Jumat, mungkin setidaknya aku tidak sekesal ini karena Sabtu dan Minggu liburan. Tapi karena ini terjadi di hari Senin, jadilah kondisiku meratap, meringis, mengepalkan tangan kesal di belakang monitor kantor seharian. Tugasku di kantor adalah menjadi admin, di sebuah usaha yang berjibaku dengan barang sembako. Bosku ini orang paling pelit sejagad. Gaji kami ditarik sedikit-sedikit, meja kantor yang sudah reyot tidak pernah diganti sejak pertama kali ada, komputernya ngadat parah karena masih pentium. Entah mengapa komputer seperti ini masih bisa diajak kerja. Kadang aku bahkan lebih memilih kerja pakai smartphone daripada komputer kantor. Situasi makin lengkap karena bosku ini Chindo. Ya, ras yang belakangan ini sangat kubenci setelah pertempuran di jalan Daan Mogot. Aku makin merasa terkungkung sama penjajah Chindo ini yang begitu mengesalkan.
"Woi, Ari! Lu bisa kerja yang bener nggak? Kenapa main hape terus? Lu udah bosan kerja, hah?!" bentak bosku si paling sok kerja itu.
"Iya koh, ini juga lagi kerja," jawabku takut-takut.
"Gua tahu lu lagi main hape 'kan?! Udah gua bilang 'kan pake komputer aja kalau lagi kerja. Lu kenapa malah kerja pake hape terus?"
"Pake komputer ngadat, koh," jawabku mulai tidak peduli.
"Yaudah terserah. Ini ada kerjaan baru lagi," si bos memberikanku seabrek kertas. Kertas-kertas itu bahkan tidak tersusun rapi, melainkan terbentuk seperti bola kertas yang begitu besar.
"Nanti tolong dicek ini semua. Kalau sudah, masukin juga ke dalam sini ya," si engkoh menunjuk ke arah komputer.
Aku menghela napas panjang, hendak protes. Tapi Engkoh sudah meninggalkanku duluan dan pergi ke ruangannya.
Orang-orang di kantor banyak juga yang menanyaiku. Sekadar apa kabar? Atau kenapa lagi? Yang nanya juga hanya mau tahu saja. Tidak ada yang benar-benar serius peduli. Karena setelah kujawab, mereka melengos begitu saja. Bos chindoku tentu tidak peduli mau aku tertabrak mobil kek, tertabrak tronton kek, atau tank sekalipun, ia tidak akan memberikan kompensasi.
Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, berlalu dengan begitu cepat. Tahu-tahu ini sudah akhir minggu. Kuputuskan untuk setidaknya ke klinik dekat rumah agar luka-lukaku cepat mengering.
"Ini kendalanya apa, pak?" tanya si dokter berkacamata tebal itu.
"Saya nabrak mobil, pak." aku masuk ke dalam ruangan pemeriksaan. Belum genap alas kaki tercopot semua, si dokter sudah berdiri dan menyeringai.
"Ini mah, berantem, pak," ucap si dokter sok tahu itu. Ia pun juga chindo.
Lama-lama dunia ini akan dikuasai chindo-chindo tidak tahu diri.
Dengan wajah masam aku duduk di kursi pasien. Ia menyalakan senter dan sesekali memegang dagu untuk memutar-mutar wajahku ibarat mainan. Kepalanya manggut-manggut.
--------------
Malamnya pada hari Sabtu, aku dan istriku dikunjungi oleh ayah dan ibunya. Memang mau mengadakan makan kecil-kecilan saja. Kami sudah nikah tiga tahun lamanya. Aku tidak suka bertemu dengan mereka. Tapi apa daya, mereka orang tua istriku. Jadilah malam itu kami makan bersama.
"Sudah isi?" tanya ibu mertuaku pada istriku.
"Belum bu. Ini sedang proses tanya-tanya ke dokter. Kata dokter memang harus bersabar. Nggak semua pasangan bisa cepat punya momongan," ucap istriku sambil menyendok kuah sayur lodeh.
"Kamu kalau umur segini belum punya anak, nanti keburu tua dan capek."
Sisanya adalah adegan menahan diri untuk tidak mengusir mereka dari rumahku. Berapa kali kuingatkan diri untuk bisa mengendalikan emosi. Menahan semuanya. Setelah mereka pulang, istriku juga menghabiskan malam dengan keluhan-keluhan tentang orang tuanya sendiri. Entah apa sebenarnya maunya. Tapi sebagai lelaki, aku pun cuma bisa mendengarkan saja bacotan dari semua orang tanpa boleh menanggapi, mengompori. Bagaimanapun aku kepala keluarga, harus berpikir paling waras di rumah ini.
Hari Minggu aku betul-betul ingin istirahat dari semua kelelahan fisik. Tapi hujan deras hari itu membuatku mengutuki diri. Saluran pembuangan air di rumah memang sudah lama tidak dikuras. Sehingga saat hujan sederas itu turun, lantai rumah mengalami kebanjiran sampai semata kaki. Lagi dan lagi, istriku mengometari. Ini sudah kesekian kali memang, aku menunda pengerjaannya. Aku bisa membetulkannya tapi ketika ada waktu di rumah sudah pasti mau istirahat.
Pekerjaan itu memakan waktu seharian. Aku hanya ingin tidur. Tapi hujan hari itu berlangsung dari pagi hingga sore. Alhasil, sambil berbanjir-banjir ria, aku bekerja sama berdua dengan istriku untuk memindahkan barang ke tempat yang lebih aman. Khususnya barang-barang elektronik yang sama sekali tidak boleh terendam banjir. Aku mengurus saluran pembuangan air itu dengan bertelanjang kaki. Setelah mengerjakan itu dari pagi sampai sore, aku memutuskan untuk memanggil tukang saja. Barulah ketika malam tiba, suasana rumah bisa lebih baik. Air surut dan lantai rumah menjadi kering. Aku mandi sore, makan malam, dan langsung tertidur. Tapi istriku masih ingin berkeluh kesah soal keadaan rumah, yang mau tidak mau harus kudengarkan. Sesi-sesi itu berubah menjadi pertengkaran yang sulit dihindarkan. Aku mendengarkan keluh kesahnya. Aku mencoba menenangkannya. Aku berkali-kali mengelus kepalanya mengatakan padanya agar bisa bersabar. Bagaimanapun hal baik akan datang akhirnya. Aku meyakinkannya bahwa ada orang-orang lain yang kondisinya lebih kasihan ketimbang kami. Tidurku berakhir larut. Tapi setidaknya malam itu berakhir baik.
Senin pagi datang tanpa diinginkan. Aku ingin menghiraukan jam alarm yang berdering menghantam gendang telinga di pagi hari. Istriku juga enggan sekali bangun karena kelelahan di akhir pekan. Pun begitu, siapa yang punya pilihan? Senin pagi, aku bangun pukul lima subuh. Mandi pagi dengan mata masih sayup. Tubuhku pegal-pegal. Penderitaan lengkap ketika aku sadar bahwa kakiku mulai gatal-gatal. Sepertinya kena mata ikan karena acara bersih-bersih kemarin. Gas di rumah habis. Kami kelupaan membeli karena kebanjiran. Alamat aku tidak mendapatkan sarapan. Istriku menyuruh supaya aku bisa membeli saja makanan di luar.
Pergi ke kantor, aku sama sekali tidak bersemangat. Hujan gerimis di pagi hari menambah rasa stress. Sesekali aku menguap. Mata berkunang-kunang karena kurang tidur. Jalanan Daan Mogot seperti biasa pasti macet. Terutama jika sudah ada truk yang malang melintang di tengah jalan karena mogok. Aneh memang perusahaan-perusahaan besar itu. Mereka bisa membeli berbagai macam barang produksi, tapi tidak dengan maintenance truk-truk yang mengangkut barang jualan mereka.
Aku sampai di kantor, tidak sempat membeli makanan apa-apa. Sampai siang, aku kelaparan. Kerjaan banyak menumpuk. Kelelahan dan stress bercampur menjadi satu. Aku lelah secara mental dan fisik. Tapi tidak ada yang bisa aku jadikan tempat mengeluh. Aku menggunakan ponsel lagi untuk memasukan data-data terkait barang-barang di toko. Bosku yang Chindo itu berkomentar lagi. Satu hari lagi untuk dilewati. Semua rasanya seperti neraka.
Hari di kantor berlalu. Aku kelaparan, karena cuma dapat makan siang. Itu pun hanya makan ketoprak di pinggir jalan. Dengan segala beban pikiran, aku cuma mau sampai di rumah dan tidur. Itu saja yang ada di benakku. Sampai tahu-tahu sebelum aku berangkat kembali pulang, aku menerima sebuah pesan. Ini dari istriku. Ia mengatakan sesuatu lewat pesan singkat itu. Perasaanku bercampur aduk. Dengan kabar ini, aku tidak bisa fokus untuk menyetir. Aku mengemudikan sepeda motorku itu dengan napas seadanya, fokus yang dipaksakan. Mata berat, pikiran juga sama beratnya. Asap kendaraan mmenuhi rongga paru-paru, seakan-akan asap itu bisa membunuhku kapan saja. Langit gelap, temaram. Beberapa kali aku menghela napas. Mengapa hidup jadi seperti ini? Apa sebenarnya yang ingin kucapai dengan hidup yang begini-begini saja? Melakukan hal yang sama berulang kali dan tidak benar-benar merasakan hasil dari jerih payahku. Semuanya untuk keluarga kecil yang kubangun ini, bermodalkan uang pas-pasan hasil dimarah-marahi oleh bosku di kantor. Apa selamanya aku ditakdirkan untuk menjadi karyawan seperti ini?
Lampu merah di depan, mataku awas mendapatkan penglihatan dari kilatan lampu lalu lintas yang jaraknya beberapa meter di depan. Refleks, aku menarik tuas rem. Kuperhatikan jalan raya dengan seksama. Hujan gerimis masih terus mengguyur jalanan sejak kemarin. Aspalnya yang basah membuatku harus awas dengan genangan-genangan air di sana-sini. Jalanan kotor, berlubang. Jakarta ramai dengan pengendara yang mau pulang juga. Mungkin sama penat dan lelahnya denganku. Di sana, mataku mendapatkan sesuatu. Ah.... orang ini lagi.
Mobil dengan plat akhiran KON.
Aku menghela napas panjang. Bisa kulihat dengan baik bahwa orang itu masih tidak memperbaiki mobilnya. Namun ada lambang segitiga merah yang bisa memantulkan cahaya jika ia terkena cahaya lampu. Ia sedikit belajar dari yang pernah terjadi sudah-sudah. Tapi orang ini masih belum mengganti rugi kerusakan yang ia sebabkan padaku sejak dua minggu lalu.
Motorku berhenti terpaku di sana. Kaca helm penuh dengan gelembung-gelembung air. Hujan terus menetes. Semakin malam, semakin deras pula turunnya. Tidak ada waktu untuk memakai jas hujan. Meski begitu, mataku masih menatap mobil sedan berwarna hijau tua itu di depanku. Kupikir, cukuplah sudah persoalan di hari ini. Apapun itu, aku ingin tertidur saja. Aku sudah penat dengan banyak hal. Begitulah pikiranku terus mengingatkanku.
Tapi memang, manusia itu mahkluk aneh. Ada sesuatu yang begitu purba dalam diriku. Sebuah perasaan berdasarkan insting yang terus meraung-raung. Ini adalah kebutuhan yang aneh. Karena tanpa banyak bicara dan perdebatan, tangan kananku menarik gas. Sontak motor itu melaju dengan kecepatan 40 kilo, menombak keramaian jalan yang dipadati kendaraan-kendaraan yang sedang berhenti menunggu lampu hijau menyala. Sekonyong-konyong, motorku menghasilkan suara gedebum yang cukup keras. Oh tentu semua orang melihat. Oh tentu para tukang ojek langsung memarkirkan motor di pinggir jalan. Tidak lupa juga para montir di bengkel dekat pertigaan itu. Mereka sudah duduk berkeliling, melempar-lempar uang kertas.
Si sopir mobil turun dari dalam mobil. Mukanya pucat. Matanya sembab, seperti baru menangis. Tangannya diperban bekas adu jotos di minggu lalu. Sama denganku yang juga demikian adanya. Matanya menatap kosong, pada awalnya. Kami berdua saling berhadap-hadapan. Jarak di antara kami semakin dekat. Ini dia. Aku mengucap dalam hati.
"Goblok! Masih aja dimatiin itu lampu! Lu punya otak nggak sih?!" aku menyalak lebih dulu.
"Eh bangsat! Lu yang buta! Perlu gua beliin lu kacamata biar lu bisa nyetir?!" ia balas menyalak. Dahi sudah mendekat, saling menyentuh.
Mataku menatap energi yang baru dari orang ini. Beberapa detik lalu ia seperti ikan mati. Sekarang ia menyeringai lebar. Jantungku berdegup cepat. Ini dia.
Tanpa banyak bicara lagi, aku mendorongnya menjauh untuk kemudian menjotosnya di pipi kiri. Aku tersenyum menang. Ia mengusap pipinya yang berdarah itu. Wajah bonyoknya sudah tidak ia perdulikan. Ia menerjangku. Satu tendangan luar biasa ia berikan pada perutku. Aku tersungkur jatuh. Ia sekarang yang tertawa-tawa.
Kami berdua saling memukul satu sama lain. Tidak ada emak-emak yang menghentikan, karena memang sedang hujan. Satu jam kami habiskan saling menyalak, memukul, tertawa, menyeringai, membanting, mencaci. Mataku yang berkunang-kunang sekarang jadi segar, terlepas dari sulitnya ia membuka sekarang karena luka lebam. Si Chindo sipit itu, apalagi.
Pertarungan itu berakhir saat kami memutuskan meminggirkan terlebih dulu kendaraan. Setelah lelah bertarung, aku dan dia terbaring di lantai bengkel dekat sana yang banyak bekas olinya. Napas kami terengah-engah. Orang-orang di bengkel memberikan tepuk tangan. Uang mereka kembali ke saku masing-masing. Karena bisa dilihat, tidak ada yang menang atau kalah dalam pertempuran barusan. Aku menatap ke arah si Chindo di sebelahku. Ia tersenyum begitu lebar. Seolah ia manusia paling bahagia di muka bumi. Aneh memang bagiku juga. Karena saat melihat wajahnya, aku jadi tertawa terbahak-bahak.
"Nama lu siapa, sih?" aku bertanya lebih dulu.
"Ray. Lu?"
"Abdurahman Wahid."
"Kayak presiden?"
"Iya. Kayak nama presiden."
"Heh, sifat lu sama sekali nggak kayak tuh presiden," ucap Ray. Ia terkekeh-kekeh sambil meringis kesakitan.
"Nama panjang lu siapa?"
"Ray Bans Suwandi."
"Kayak merk kacamata? Ironis banget. Karena lu bahkan sebuta itu buat nyadar kalau lampu belakang lu mati," aku menyeringai lebar.
Kami berdua tertawa cekikikan seperti bocah.
Ponselku masih berdering terus menerus. Pesan dari istriku ditampilkan pada layar. Rasanya aneh memang. Sebelum bertemu si Chindo ini, aku tidak siap menghadapi dunia dengan kekhawatiran yang ada. Namun sekarang, pesan tersebut tidak terlalu menakutkan. Kuusap ponsel dari cipratan air kotor. Kubaca lagi pesan yang dikirimkan istriku itu.
Aku udah tes berulang-ulang dan hasilnya tetap sama. Positif! Alhamdulillah ya, mas!
Aku mencium ponsel tersebut. Pulang ke rumah, aku tidak akan menjadi orang yang sama lagi. Kutengok si chindo yang berbaring di sebelahku itu.
"Gua bagi nomor lu."
"Buat apaan kocak?!"
"Kita butuh arena yang lebih besar."
"Lu betul. Besok kita ketemu di tempat yang akan gua kasih tahu lu."
"Seminggu ajalah kayak biasa."
"Oke."
Kami berjabat tangan.
Sesudah itu kami pulang ke rumah masing-masing.
Wajahku babak belur. Bonyok di sana-sini. Tapi mulutku tidak bisa berhenti tersenyum. Ini fenomena macam apa? Aku sampai di rumah. Di tangan kiriku, aku menenteng martabak telor kesukaan istriku. Aku memeluknya, walau tubuhku kotor dan penuh darah. Ia awalnya ingin bertanya, karena begitu syok melihat rupa diriku. Tapi ketika aku tersenyum riang, tidak ada yang menggubris hal itu.
Malam tidak pernah serasa lebih khusuk dari saat itu. Setelah mandi dan makan malam, aku dan istri bermesraan dalam cinta kasih yang begitu nikmat sampai fajar menyingsing. Esok harinya, aku memutuskan untuk mencari pekerjaan lain.
Nekad, memang. Tapi aku percaya suatu hal. Bahwa hal baik bisa datang. Selama ini, aku terlalu takut untuk mengambil keputusan tersebut. Istriku mendukungku. Ia tahu bahwa aku akan bertanggung jawab. Aku melamar pekerjaan di berbagai tempat yang lain. Entah keberuntungan macam apa yang menimpaku. Hari itu juga, aku langsung dapat pekerjaan sebagai seorang admin di perusahaan kecil-kecilan bernama Oatgood. Mereka menjual biskuit, croffle, dan kopi-kopi ala kafe. Yang punya Chindo juga, masih muda. Tapi Chindo yang ini baik.
Tahu-tahu seminggu setelah itu, Ray mengirimkan pesan singkat. Ia mengirimkan sebuah lokasi. Itu adalah gedung sasana tinju. Di sana, ia menungguku. Manusia tengik, buta, dan sipit itu. Dia yang berkelahinya seperti perempuan. Aku akan menyusulnya.
Dengan tekad untuk mengalahkannya, aku memasuki sasana tinju dan melihatnya duduk di atas kursi kecil di salah satu ring tersebut.
"Heh, ternyata lu bisa nyetir buat sampai ke sini. Gua udah sangsi, takutnya lu nabrak atau nyasar!" ia meledek.
"Tempat ini sebenarnya kebagusan kalau cuma untuk dijadiin tempat lu buat tiduran. Lu yakin nggak mau di jalanan aja? Hasilnya juga sama aja," aku naik ke atas ring.
Ia melemparkan sarung tinju. Ia juga sudah siap dengan sarung tinjunya.
"Kak, nggak pakai pengaman?"
"Enggak!" kami berdua menjawab lantang.
------------------