Angin berhembus kencang hingga berhasil membuatku merinding ditambah suhu dingin yang terasa di kulitku. Aku Echa, seorang mahasiswa seni yang memiliki kekasih bak malaikat. Dia anak jurusan teknik yang memiliki hobi begadang namun ketampanan dia yang tak pernah hilang, Yuan. Salah satu fakta yang menurutku adalah kelemahan dia yaitu memiliki sifat friendly kepada siapa saja. Awalnya aku merasa kesal mengetahui hal itu, namun satu hal yang tidak ia lakukan pada yang lain dan bisa melakukannya hanya kepadaku yaitu bersentuhan.
Seperti sekarang, dia mengusap punggung tanganku dan mulai menggenggam tanganku. Aku melihat wajah tampannya. Terlihat dia sedang memikirkan sesuatu dan nampak khawatir. Aku memegang telinganya yang mulai memerah karena merasa malu.
“Aku hanya sebentar, nanti kalau sudah selesai bakal aku kabari.” pamit aku yang hendak keluar dari mobilnya yang dominan putih.
“Baiklah, jaga diri ya.” Ia mulai memandangku dengan lekat. Setelah melihatnya, aku jadi tidak tega. Namun aku harus pergi karena tugas penting.
Beberapa saat kemudian aku keluar dari mobil dan meninggalkannya yang hendak pulang ke rumah. Aku memasuki rumah temanku yang bernama Hani yang sebelumnya disambut olehnya. Di dalam ruang tamu sudah terdapat beberapa temanku yang sudah hadir salah satunya ada laki-laki yang dulu pernah aku sukai, Ren.
Ren memandangku dari ambang pintu hingga duduk di hadapannya. Aku tak tahu apa yang ada dipikirannya, namun yang jelas dia terkejut melihat versiku yang sekarang karena aku sudah berubah. Dulu aku aku tidak pernah memakai riasan dan memakai baju sederhana yang pasti terlihat rapi bagiku. Namun sekarang bisa dibilang riasan dan pakaian ku harus sempurna berkat Yuan yang mau ikut membantu aku untuk memperbaiki diri.
“Jadi, tadi siapa yang mengantarmu kesini?” Tanya Hani yang membuat semua orang menoleh kepadaku. “rahasia” Aku menggoda Hani.
“Ini, aku sudah meringkas materi yang mungkin bakal kita butuhkan. Jadi, maaf kalau terlihat kurang memuaskan.” Aku mengeluarkan catatanku yang sudah aku print dari tas. Hani dan lainnya melihat catatanku dengan teliti.
“Memuaskan banget, terima kasih ya.” Hani tampak senang. Aku melirik sebentar ke arah Ren yang ada di hadapanku. Terlihat ia masih membaca dan mencoba memahami materi dengan cermat.
“Kalau begitu, kita buat PPT supaya mudah dipahami. Nanti aku coba hubungi senior untuk kelanjutannya.” Ren mulai bicara kemudian mencoba menghubungi senior kita tentang kelanjutan acara yang kita rencanakan.
“Gimana kalau kita melanjutkan rapatnya di kafe terdekat? Kata ibuku, sebentar lagi bakal ada tamu jumlahnya banyak. Nanti aku traktir apa yang kalian pesan.” kata Hani tiba-tiba.
“Dengan senang hati.” ucap temanku yang berambut keriting, Vian. Dia itu anak kost. Jadi, jika ada yang menawarkan untuk mentraktirnya maka dia berada di paling depan untuk menyetujuinya.
Beberapa menit kemudian, kami pergi ke kafe terdekat dengan arahan Hani menggunakan sepeda motor. Aku dengan Hani sedangkan Ren dengan Vian. Hani mengantisipasi jikalau Yuan mengetahui Ren ikut rapat dengan kita. Kita berdua sebenarnya takut jika Yuan marah dan tidak ingin hal itu terjadi. Ini pertengkaran 5 bulan yang lalu.
Aku mengatakan yang sebenarnya bahwa aku pernah menyukai laki-laki bernama Ren dan tidak mengetahui akan bertemu lagi. Saat itu hubungan kami masih baru beberapa bulan dan belum mengenali satu sama lain dengan dekat. Jadi, aku pikir untuk melupakan yang lama harus memulai yang baru. Aku tidak tahu bahwa Yuan terus mengingat perkataanku tentang betapa sukanya aku pada Ren dulu.
Beberapa hari kemudian, dia menjadi sangat lengket padaku dan terlihat manja. Awalnya aku bingung dan sedikit risih karena belum terbiasa. Disaat aku sedang mengobrol dengan seorang teman laki-laki, Yuan menarik tanganku secara tiba-tiba dan membawaku ke mobilnya.
“Kenapa kamu tiba-tiba kayak gini?” Aku menahan amarah karena Yuan memotong pembicaraanku dengan temanku yang sedang membahas materi dosen.
“Akhir-akhir ini kamu dekat dengannya. Serasi ya.” Yuan menatapku dengan tajam. Aku merasa merinding karena raut wajah menyeramkan Yuan yang tak pernah aku lihat sebelumnya. Apakah ia marah?
“Aku ada tugas proyek dengannya. Wajar dong kami dekat karena rencana dari dosen kita satu kelompok untuk tampil nanti.” Aku menjelaskan semuanya dengan jujur. Yuan terlihat tidak puas akan jawaban yang aku berikan padanya. Dia menatapku lama dan membuatku mulai merasa khawatir.
“Baru rencana kan?” Tanya Yuan membuatku semakin khawatir. Aku menganggukkan kepalaku dengan pelan.
“Baiklah. Aku beli minuman segar dulu, kamu disini saja. Aku bakal kembali.” Yuan pergi meninggalkanku di mobil sendirian. Awalnya aku merasa tenang karena aku pikir dia sudah paham dan tidak terlihat marah. Namun aku merasa cemas karena Yuan tak kunjung datang.
Dua jam telah berlalu, Yuan tak kunjung datang. Aku pun mulai bertindak dan pergi mencarinya ke kedai seperti yang ia katakan kepadaku sebelumnya. Pemilik kedai yang mengenal Yuan berkata bahwa ia sudah pergi satu jam yang lalu bersama temannya. Tak seperti biasanya walaupun ia bertemu dengan temannya di jalan, ia tak pernah meninggalkanku terlalu lama.
“Perempuan atau laki-laki?”
“Tenang saja, bocah ayu. Yuan pergi dengan laki-laki.” Perkataan sang pemilik kedai membuatku tambah khawatir.
“Dia pergi ke arah mana?”
“Kalau tidak salah, ke arah bangunan kosong lewat gang sempit itu.” Sang pemilik kedai berbaik hati menunjukkan arah jalan. Aku berterima kasih padanya dan langsung berlari menuju kesana.
Baru saja sampai di ambang pintu besar bangunan kosong, aku sangat terkejut dengan pemandangan baru ini. Sosok punggung Yuan yang terlihat besar dengan tangannya yang bersimbah darah. Di sampingnya terlihat temanku yang sudah tergeletak di lantai kotor dan berdebu.
“Yuan?” Aku mendekatinya dengan pelan dan merasa takut. Yuan menoleh ke belakang dan menemukan aku sudah berada tepat di belakangnya.
Yuan tampak terkejut akan kehadiranku dan berusaha memberi penjelasan. Aku tidak mendengar apa yang ia katakan. Pandanganku tertuju tangannya yang lecet dan terdapat darah. Aku memegang tangannya dengan gemetar. Seketika pandanganku mulai kabur dan tidak sadar.
Semenjak hari itu, Yuan terlihat berbeda. Sosok misterius yang penuh akan rahasia kini mulai terbuka. Yuan memang orang yang ekspresif namun entah kenapa sekarang ia lebih berbeda. Seperti Yuan yang terasa semakin menyukaiku dengan tulus, mungkin.
Berbeda dari bayanganku, ternyata kafe yang ku kunjungi sekarang terlihat ramai. Banyak anak muda yang sedang bercengkrama dan terlihat gembira. Kami harus menyelesaikan proposal acara hari ini dengan disandingi makanan dan minuman yang terlihat indah. Tentu saja, Hani sudah membayar itu semua.
Setelah aku pikir-pikir, sebenarnya apa alasan aku dulu menyukai laki-laki di hadapanku ini? Ren anak pintar dan baik. Namun Yuan lebih ramah dan tampan dibanding Ren. Hanya saja dari ketiga pria yang pernah aku sukai, Ren adalah laki-laki yang pernah aku sukai sampai bertahun-tahun. Mungkin karena hal itu Yuan terus mengawasiku. Tanpa ia bilang kepadaku, rasa curiganya kepadaku terus meningkat. Dan hal itu juga membuatku enggan mengatakan aku bersama dengan siapa saja hari ini. Apalagi jika aku mengatakan yang sebenarnya bahwa Ren bukan cinta pertamaku melainkan laki-laki bernama Ali.
“Jangan bengong.” Ren mengetuk meja sambil menatapku dengan penuh kebingungan.
“Maaf.” Aku terbangun dari lamunan dan mencoba menulis kembali.
“Ren, jangan keras sama Echa. Dia mungkin ada masalah sampai ia kebingungan. Semangat!” Vian membelaku.
“Sudah, jangan ambil pusing. Lagipula kamu kan sudah punya pacar.” Hani keceplosan yang membuatku berdecak sebal. Aku menghela nafas dan harus berkata apa lagi.
“Sumpah?! Siapa?” Vian terlihat semangat sekaligus penasaran.
“Yuan … anak teknik.” Perkataan Ren membuat kami bertiga terkejut terutama aku karena aku tidak pernah bercerita kepada siapapun kecuali pada keluarga dan Hani. Lalu dari siapa ia mengetahui ini? Kapan? Bagaimana?
“Kapan?” Aku bertanya pada Ren. Menatapnya dengan lekat sekaligus canggung karena masa lalu kami. Ren pun menatapku dengan lama seakan harusnya ia tidak boleh mengatakannya.
“5 bulan yang lalu”
Hani langsung mencairkan suasana dengan cara bergurau bersama Vian. Suasana menjadi canggung karena aku tidak merespon kembali perkataan Ren. Aku pergi ke toilet mencegah bertambahnya pertanyaan yang berada di pikiranku. Kenapa dia tahu? Bagaimana bisa? Aku tidak pernah hal ini terpikirkan karena 5 bulan yang lalu yang berarti kenangan buruk itu Ren mengetahuinya. Dari sudut pandang mana dia menilai bahwa Yuan adalah pacarku. Padahal waktu itu jujur aku masih menyukainya.
Setelah menata perasaanku dan disaat aku hendak pergi dari toilet, aku mendengar suara yang tak asing di telingaku. Aku mengintip di balik tembok ambang pintu. Aku melihat sosok Ali berada di depan pintu toilet pria sedang menunggu seseorang. Sebenarnya aku ragu menyapanya karena akhir cerita kami yang tak baik, tapi disaat aku mencobanya laki-laki yang tak asing menghampirinya.
Kenapa Yuan ada disini? Sejak kapan mereka saling mengenal?
Aku mencoba menguping pembicaraan mereka walaupun aku tahu ini tidak sopan tapi aku penasaran karena raut wajah Yuan yang membara. Dari yang aku rangkum, Ali sedang menagih janji kepada Yuan. Sepertinya mereka sedang taruhan akan sesuatu. Apakah Yuan baik-baik saja? Dia terlihat akan marah.
“Kan gua sudah bilang, taruhan itu sudah tidak berlaku lagi.” ucap Yuan menatap tajam pada Ali.
“Ayolah, yang namanya taruhan tetap taruhan. Jangan seenaknya membatalkannya. Jangan bilang lu serius sama dia?” Ali tidak menyangka sekaligus membuatku bertanya-tanya. Sebenarnya mereka taruhan tentang apa. Aku melihat dengan jelas, Yuan tidak menjawabnya kembali dan terlihat bingung bagaimana ia harus menjelaskannya.
“Ini sudah mau satu tahun lu sama dia. Yuan katakan dengan jelas, kalau lu beneran suka sama dia berarti sesuai kesepakatan kita tahun lalu. Lu bayar ke gue seharga 5 juta.” Perkataan Ali benar-benar membuatku tambah bingung.
Sebenarnya dia membicarakan siapa. Apakah mereka membicarakan keluarga Yuan? Tidak, ada kata ‘suka’ di dalamnya. Apakah Yuan suka pada gadis lain dan menyuruhku untuk putus dengannya? Tapi Ali bilang kalau hubungan antara Yuan dan orang itu sudah satu tahun. Tunggu, hubunganku dengan Yuan juga akan satu tahun. Hei, tidak mungkin kan?
Aku menunggu jawaban Yuan di balik tembok. Aku harus fokus supaya dapat mendengar jawabannya dengan jelas. Ali yang terlihat tidak sabaran terus memojokkan Yuan hingga Yuan mengatakan sepatah kata.
“Gue tidak pernah suka sama Echa dan itu berarti gue yang menang. Setelah satu tahun yang berarti taruhan kita habis, gue bakal putusin dia dan lu harus bayar dengan bayaran yang sudah kita sepakati dari awal.” Jawab Yuan dengan menatap Ali serius.
Tanpa sadar aku melangkahkan kakiku keluar dan berlari menuju Yuan. Mereka terkejut akan kehadiranku. Aku meneteskan air mata karena tidak menyangka bahwa aku akan menjadi bahan taruhan mereka. Aku menampar pipi Yuan dengan keras. Aku tidak tahu harus berkata apa lagi. Aku menatap Yuan dengan perasaan kecewa. Karena kini aku sudah dapat membuka hatiku dan mulai menyukainya.
“Echa … “ Yuan terlihat bingung harus mengatakan apa. Ali yang berada di dekat kami hanya termenung.
“Oh iya, karena Echa sudah tahu sosok sebenarnya Yuan, jadi biar gue beritahu ke Yuan sosok Echa sebenarnya.” Ucap Ali tiba-tiba.
“Ini semua gara-gara lu. Lu diam saja atau pergi dari sini!” ancam Yuan dengan mencengkeram kerah baju putih Ali. Ali hanya menyeringai.
“Gue cuman mau nyelamatin lu dari manusia bahaya ini. Dia penguntit handal, saking handalnya sampai dulu berhasil bikin gue merinding.” Aku melihat Ali sedang memandangku dengan jijik.
“Lu daritadi ngomong gak jelas.”
“Sebenarnya kalian serasi juga. Stalker dan monster.” Ali masih sempat tertawa setelah mengatakan hal demikian. Yuan mengepalkan tangannya dan bersiap melayangkannya pada Ali namun aku berusaha mencegahnya.
“Echa … Kenapa?” tanya Yuan padaku dengan pelan. Matanya kembali sayu setelah menatapku yang berada di hadapannya.
“Kamu yang kenapa? Aku tidak akan memusingkan apa yang dikatakan Kak Ali tentangku tapi tentang sebelumnya. Kamu pikir aku apa? Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi.” Aku menyukai Yuan dengan tulus karena perlakuannya padaku yang begitu lembut dan berhasil membuatku merasakan kasih sayang kembali. Namun hatiku hancur mendengar bahwa semuanya adalah akting belaka.
“Jangan marah, aku bisa jelasin. Tolong, Echa.” Yuan tampak gelisah dan memegang kedua tanganku. Namun aku segera menepisnya.
“Aku tidak paham apa yang kamu katakan karena aku bukan manusia melainkan suatu bahan ‘taruhan’ kalian.” Aku menatapnya dengan tajam dan pergi meninggalkannya.
Aku mengharapkan Yuan mengejarku dan segera meminta maaf. Namun yang kulihat ia hanya terdiam mematung dan menyesali perbuatannya. Baru saja beberapa langkah pergi, aku berpapasan dengan Ren yang hampir menabrakku dari depan. Ren terlihat terkejut setelah melihat air mataku yang membasahi pipiku.
Aku segera pergi mengambil tasku yang berada di sebelah kursi Hani. Hani dan Vian yang sedang menikmati makanan mereka langsung kebingungan dan berusaha mencoba supaya aku bercerita padanya. Namun aku langsung pulang menggunakan ojek online dari aplikasi handphone. Di rumah aku hanya mengunci kamar, untung saja keluarga sedang pergi dan baru pulang besok. Aku terus menangis dan menyesali perasaanku yang telah mencoba membuka hati pada laki-laki seperti Yuan.
Beberapa jam kemudian, handphone-ku berbunyi yang menandakan sebuah pesan masuk. Aku melihat layar handphone-ku, ternyata Yuan yang mengirimkannya. Dia berkata bahwa sekarang dia berada di depan rumahku dan meminta izin padaku dia ingin masuk ke rumahku. Aku langsung menghampirinya dengan keadaanku yang berantakan. Aku membuka pintu rumahku dan benar, dia berada di depan rumahku.
“Bolehkah aku masuk?” tanya Yuan dengan hati-hati. Aku mempersilahkannya dengan perasaan tak acuh. Lagipula jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam, aku jadi tidak enak membiarkannya berada di depan rumahku terus menerus.
“Aku buatkan minum kamu duduk dahulu”. Aku hendak pergi ke dapur namun Yuan mencekal tanganku hingga aku tidak bisa bergerak. Yuan mendekatiku dan mencoba memojokkanku ke arah tembok.
“Tunggu, aku mau bilang sesuatu ke kamu sekarang.” Yuan menatapku dengan lekat kemudian menghembuskan nafas bersiap untuk mengatakan sesuatu yang sepertinya telah dipersiapkan sebelumnya. Aku berusaha menunggunya, memberi kesempatan padanya untuk berinisiatif.
“Aku tahu kalau apa yang aku lakukan tidak benar dan tidak sopan tapi tidak sepenuhnya benar.” Yuan berusaha menjelaskan semuanya padaku.
“Tidak sepenuhnya benar?"
“Dan dengar Echa! Orang yang menerima aku apa adanya hanya kamu. Kamu sudah melihatku yang sebenarnya tapi kamu tidak pernah menjauh dariku. Kamu terus melangkah maju kepadaku perlahan-lahan membuatku tersadar bahwa aku pun menyukaimu juga. Aku minta maaf sebelumnya dan terima kasih kamu mau menerimaku. Tolong jangan marah padaku, Echa.” Mata Yuan terlihat sangat dekat dan terasa sangat tulus.
“Apa maksudmu yang sebenarnya? Yuan adalah laki-laki baik, ramah dan tampan. Apalagi yang membuatmu khawatir hingga berpikir aku akan meninggalkanmu?” Aku merasa lega ia akhirnya mengatakan yang ia sembunyikan padaku sendiri. Aku tersenyum dan memandangi gerakan tanganku yang sedang mengusap wajahnya dengan perlahan.
“Jadi kau menyukaiku karena parasku?”
“Hmm, iya. Lagian aku akan marah lagi jika kamu terus melakukan kebiasaanmu yang tidak bisa menjelaskan suatu hal dengan mudah. Saya harap Anda dapat memperbaikinya, Senior." Kami pun tertawa dan saling mengusap rambut dengan lembut.
Aku pikir aku juga bersalah karena tidak dapat memberitahu bahwa aku dulu masih menyukai Ren padahal aku berhubungan dengan Yuan. Namun aku akan tetap memandangnya terus dengan tatapan tulus. Memberi perlakuan yang lebih dan menjaganya supaya agar tetap bersama. Tunggu, perlakuan lebih? Tidak, jangan berpikir untuk melakukannya. Namun setelah kupikir kembali, kami hanya berpegangan tangan. Memeluk pun tidak pernah.
Aku memandang mata Yuan dengan lekat kemudian pandanganku turun ke bawah menuju bibir merah mudanya yang terlihat indah. Tanpa sadar aku mengusap bibirnya dengan ibu jariku. Untung saja Yuan membuatku tersadar dengan menahan tanganku.
Yuan terlihat memandangku dengan serius. Aku langsung terkejut melihat dia langsung mengambil tindakan. Bibir kami menempel satu sama lain. Terasa lembut dan hawa panas yang menyelimutiku setelah ia melakukannya dengan dalam. Tidak, aku harus menyadarkannya juga. Aku mendorongnya dan mengelap bibirku dengan tanganku.
“Yuan bodoh! Jika aku tidak menghentikannya, itu bakal fatal.” Aku marah dan menatapnya dengan tajam.
“Maaf. Lagian, kamu yang memulainya.” Yuan mendekat kembali. Dia pun memelukku dan berkata, “Kalau seperti tidak apa-apa, kan?”
"Dasar bodoh! Kamu jangan melakukannya kembali. Lagipula kamu seperti ahli dalam bidang itu, itu bukan yang pertama kan?" Aku menatapnya curiga.
"Jangan ngawur, referensinya kan banyak. Kamu juga pernah melakukannya kan sebelumnya?" Yuan menudingku seperti aku memang pernah melakukannya padahal kan belum.
"Itu yang pertama tahu!" Aku marah dan mencoba melepaskan pelukannya.
Namun karena perbandingan tenagaku yang kalah besar daripada Yuan, akhirnya aku tetap dipelukannya hingga waktu memisahkan kami dan Yuan harus pulang karena sudah larut malam. Aku juga harus menyiapkan apa saja yang harus dibawa untuk besok namun aku tidak bisa fokus karena terus memikirkan Yuan.
Keesokan harinya aku menceritakan semuanya pada Hani dan Vian. Reaksi mereka heboh hingga aku malu sendiri. Untung saja aku tidak menceritakan pada mereka bahwa Yuan telah menciumku, mau seheboh apa reaksi mereka nanti. Mereka berjanji untuk tidak mengatakan pada siapapun kejadian kemarin dan Vian bisa mencegah kebocoran jika Hani mengatakannya tidak sengaja.
“Oh iya, aku tidak tahu kamu sudah tahu atau belum. Tapi kemarin, Ren yang menyuruh Kak Yuan mengejarmu. Katanya kamu bakal terlarut dalam pikiran dan jika dibiarkan terlalu lama, Kak Yuan bakal menyesalinya. Jadi, Kak Yuan pergi ke rumahmu seperti yang kamu ceritakan.” jelas Vian padaku. Aku terkejut karena tidak tahu apa yang terjadi kemarin setelah kepergianku.
“Kok aku gak tahu? Kejadiannya pas aku lagi dimana si?” Hani terkejut.
“Aku baru tahu kalau kamu dan Ren dekat sampai bisa tahu tentang kamu hingga seperti itu.” Vian melanjutkan makannya. Aku dan Hani saling bertatapan mata karena yang mengetahui masa laluku hanya Hani. Kemudian terpaksa tertawa mengubah suasana.
Sebenarnya aku juga tidak tahu sedekat apa aku dengan Ren. Dulu aku hanya menyukainya dengan diam. Seperti kepada Ali, aku hanya menyukai Ren dari jauh. Namun karena kami seumuran, interaksi kami lebih banyak daripada Ali. Bagiku akhir dari perasaanku pada Ren berakhir dengan baik. Walaupun lama untuk melupakannya, namun ia menolakku dengan baik. Kami pun masih berteman. Benar, teman. Aku saja yang bodoh karena dulu menganggapnya lebih dari teman hingga suasana kami menjadi canggung.
“Aku pergi dulu ya.” Aku pergi menuju sanggar yang hanya terdapat beberapa anak seni saja.
Mereka terlihat sibuk dengan latihan mereka. Aku menaruh tasku dan mengikat rambutku. Beberapa saat kemudian, Ren datang menghampiriku. Aku yang hendak berlatih langsung berhenti melihat Ren.
“Kamu tidak apa-apa?”
“Iya, lagian aku harus melupakan masalah yang sudah berlalu. Dan aku juga berterima kasih padamu, Ren.” Aku tersenyum pada Ren dan terlihat ia tengah kebingungan.
“Terima kasih untuk apa?”
“Ren, aku terima kasih karena kamu sudah menyuruhnya datang padaku dan ia pun berani jujur kepadaku. Aku tahu ini sedikit egois, tapi aku hanya percaya jika ia mengatakan yang sebenarnya sendiri. Maka dari itu, katakan padaku jika kau ingin makanan atau minuman yang enak, akan aku traktir.”
“Kapan-kapan saja.” jawab Ren dengan senyuman indahnya.
Ren memberiku sebuah minuman jus buah yang biasa aku minum. Ia pun pergi tanpa mengatakan sepatah kata pun lagi. Aku melihat punggung yang pernah aku sukai itu semakin menjauh dariku. Aku rasa aku sudah bisa melepaskannya dan bersiap menambah lembaran kisah cintaku yang baru. Sepertinya aku membutuhkan kertas banyak karena kisahku dengan Yuan akan panjang serta mungkin hingga akhir hayat kami.
Dari arah berseberangan, Yuan melambaikan tangannya dengan senyuman. Ia pun berjalan ke arahku dengan santai. Aku merasa senang karena akhirnya aku mengetahui ternyata terdapat laki-laki yang lebih menyukaiku dengan tulus dibandingkan aku sendiri. Aku yang sebelumnya selalu mengejar dan memikat, kini aku bisa berdiam diri di tempat dan menunggu kumbang mendekat padaku.
“Aku lama ya? maaf.” Yuan menyesal.
“Enggak kok. Yuan, yuk ke restoran dekat perempatan! Katanya ada menu baru yang enak banget.” ajak Aku dengan antusias.
“Panggil aku kakak dulu!”
“Dih, kok gitu?” Aku mengerutkan alis setelah mendengar perkataan Yuan yang tidak seperti biasanya.
“Aku kan lebih tua dari kamu. Lagian saat di kampus, kamu pantasnya memanggilku dengan ‘senior’, paham?”
“Iya, deh. Si paling senior” Aku mencolek dagunya membuatnya terkejut. Aku tidak memikirkan lingkungan sekitar kembali. Apapun yang dikatakan orang-orang yang penting Yuan kini menjadi milikku.