Disukai
1
Dilihat
5,811
SEKOLAH NERAKA
Drama

Sekolah Neraka

Dear reader,

Apa yang akan kalian baca dalam beberapa baris berikutnya bukanlah sebuah cerita pendek belaka. Tapi, merupakan sebuah cacatan singkat dari sekilas kehidupanku saat memulai hidup baru di Bali. Ini adalah curahan hatiku secara pribadi. Terima kasih dan selamat membaca.

…………….

Juni 2021, Tabanan, Bali

Selesai!

Setelah kurang lebih 90 menit, jari-jariku menari lincah di atas keyboard laptop, aku bisa menghela nafas lega. Kurang lebih ada sekitar 30 lamaran pekerjaan yang kukirim ke semua sekolah yang ada di area Denpasar dan Tabanan. Sambil aku juga berdoa dan berharap cemas dalam hati. Semoga untuk sekian banyak lowongan pekerjaan yang kukirim barusan, mungkin ada sekitar satu atau dua yang nyantol dan menghubungiku segera untuk proses wawancara di tahap berikutnya.

Tuhan, aku butuh uang…

Tepat seminggu yang lalu, aku baru saja sampai di Bali. Salah satu pulau terindah di Indonesia. Sayangnya, aku datang bukan sebagai turis. Tepatnya, sebagai pelarian.

Alasannya?

Karena mantan suamiku masih tak terima kalau ia kalah di pengadilan dan dua minggu sebelumnya, ia hampir saja membawa paksa kedua anak kami saat kami bertiga sedang bermain di salah satu mall di Kota Bandung. Entah siapa yang berani membocorkan keberadaanku di sana.

Akibatnya, aku terpaksa harus berteriak-teriak histeris di mall sampai petugas keamaan datang dan menyeret paksa mantan suamiku saat itu. Lalu, untuk mencegah insiden berikutnya, aku memutuskan untuk pindah ke Bali bersama anak-anak.

Nekat? Ya!  

Posisiku saat itu dalam keadaan bangkrut total setelah pengadilan memberikanku hak asuh penuh atas kedua anakku. Itu pun aku harus bertarung habis-habisan dengan mantan suamiku di pengadilan. Biaya pengacara tentu tak murah. Belum lain ditambah biaya-biaya lainnya. Kurang lebih setahun lamanya aku berjuang keras untuk status baruku sebagai seorang single parent yang kini harus berdiri mandiri di atas kedua kakiku tanpa sokongan siapapun.

Aku harus kuat…

Aku harus kuat…

Itulah mantra yang kuucapkan berulang-ulang di dalam hati sebagai motivasi pribadi dan penyemangat diri. Apalagi begitu sampai, aku hanya memiliki dana minimal yang hanya cukup untuk bertahan hidup selama 3 bulan dan bayar kontrakan rumah secara bulanan.    

Aku menghela nafas panjang dengan lelah sekali lagi.

Entah kenapa, aku tiba-tiba teringat lagi di saat aku tengah berada di dalam perjalanan menuju ke pulau ini.

………………………………………………………………..

Surabaya, Pelabuhan Ketapang, Mei 2021

Aku bisa mendengar bunyi dengungan mesin suara kapal ferry di bawah sementara kedua anakku asyik berlarian di atas dak kapal. Tidak banyak penumpang yang menaiki kapal tersebut malam itu. Hanya beberapa belas orang saja. Termasuk diantaranya adalah pasangan muda berusia sekitar dua puluh tahunan yang baru saja menikah dua minggu yang lalu dan sang istri mengikuti suaminya untuk kembali ke Bali karena beliau memiliki usaha koperasi kredit simpan pinjam yang sudah dijalankan selama belasan tahun di pulau dewata.

Sebuah usaha warisan dari pamannya yang kemudian diturunkan kepada sang keponakan yang sudah dianggapnya sebagai anak sendiri.

Aku tersenyum kecil. Hanya sebagai respon standar dari sekilas kisah hidup yang mereka ceritakan kepadaku. Setelah beberapa saat, aku kembali ke tempat dudukku sambil mengawasi kedua anakku yang masih sibuk berlarian dan tertawa cekikikan satu sama lain.

“Kamu di Bali harus bisa bertahan ya? Ingat, kamu sendirian loh. Tidak ada dari kerabat kita ada di sana.”

“Kamu harus betul-betul jaga anak-anak…”

“Kamu itu akan memulai hidup baru. Jadi, jangan macam-macam…”

Tanpa sadar, aku tersenyum miris sekali lagi. Nasihat macam apa itu?

Kerennya lagi, semua rentetan kalimat itu keluar dari mulut ibuku.

Wanita yang sama yang melahirkanku puluhan tahun silam.

……………………………………………………………

Seminggu kemudian, Juni 2021, Tabanan, Bali

“CLING!”

Eh?

Aku hampir saja melompat-lompat gembira seperti seorang idiot ketika sebuah email masuk ke dalam inbox-ku! Wow!!

Ini adalah salah satu jawaban dari sekian banyak surat lamaran yang kukirimkan secara digital. Tanpa menunggu lagi, aku cepat-cepat membuka email tersebut. Lalu, seperti sebuah jawaban doa, aku hampir menangis bahagia karena isinya adalah sebuah panggilan resmi untuk mengikuti proses wawancara dari sebuah sekolah nasional plus di Denpasar!

Tidak lama setelahnya, aku langsung dihubungi oleh sebuah nomor tak dikenal yang memberitahukanku seputar jadwal wawancara dalam waktu tiga hari ini, pihak mana yang bertugas sebagai PIC serta alamat sekolah yang harus kedatangi nanti.

Baiklah. Sekarang masalah berikutnya adalah…

Aku sama sekali tak tahu dimana letak sekolah itu. Aku tahu lokasinya berada di Denpasar. Tapi yang aku tak tahu adalah di sebelah mananya Denpasar?

Denpasar Barat? Denpasar Timur? Denpasar Utara? Atau, Denpasar Selatan?

Pelan, kubaca lagi nama dan alamat sekolah tersebut. Jalan Bypass Ngurah Rai…

Banjar Suwung Kendal? Sesetan? Denpasar Selatan?

Ok, Denpasar Selatan…

Alamak!

Dimana pula itu? Dan, berapa jauh area itu dari tempat tinggalku sekarang? Haduh… kepalaku langsung cekot-cekot melihat kondisi dompet yang semakin merana dan sekaligus dilema karena aku takut terlambat untuk sampai tepat waktu di lokasi interview nanti. Datang terlambat di saat kau akan diwawancara pastilah tidak akan membuat kesan pertama yang baik. Begitu kan?

Dengan uang pas-pasan di tangan, hanya sekitar lima puluh ribu, aku lalu mencari-cari informasi dari para tetangga mengenai jenis transportasi yang paling murah dan kalau bisa, gratis, untuk bisa sampai di lokasi sekolah.

Setelah sibuk tanya-tanya, akhirnya aku memutuskan untuk naik bus umum sampai ke central station alias Terminal Ubung, lalu berikutnya, langsung menyambung dengan transportasi online. Tapi, fakta ternyata memang tak selalu berbanding lurus dengan harapan. Saat ojek online-ku datang, aku berpikir kalau lokasinya tak terlalu jauh dari terminal. Tapi, pada kenyataannya, aku menghabiskan hampir empat puluh lima menit di jalanan!

Terbayang kan sejauh apa lokasinya?

Baiklah…

Berikutnya, aku sampai di tujuan dengan selamat. Tapi, tak sampai semenit, aku langsung meminta pulang. Beliau sampai terbengong-bengong kaget.

Mbok, ga salah? Tiang baru saja antar mbok ke sini loh. Masa mbok mau langsung pulang lagi?” tanyanya dengan logat Bali yang super kental dan mendayu-dayu walaupun supir ojekku berjenis kelamin laki-laki. (Tiang adalah Bahasa Bali yang artinya saya).

“Iya, Pak. Kan saya cuma survei lokasi aja biar nanti ga terlambat pas diwawancara kerja di sini.”

Aku menjawab polos apa adanya dengan nada sungkan dan tak enak hati.

“Oalah, mbok…” balas supirku lagi sambil menepuk jidatnya dan menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Iya, Pak. Maaf ya?”

“Bukannya maksud ngerjain bapak loh..”

Trus, satu lagi…”

Aku berjalan mendekat dan sambil menahan malu sekuat-kuatnya, aku berbisik pelan di telinganya.

“Boleh bapak antar saya ke halte bus terdekat?”

“Kenapa lagi, Mbok?” tanya sang supir dengan nada berbisik juga dengan wajah kepo-nya.

“Mmm… uang ongkos saya habis, Pak. Maaf ya?”

Sekali lagi aku meminta maaf dengan wajah merah padam bak kepiting rebus.

Serius…

Seumur-umur aku belum pernah berada dalam kondisi paling memalukan seperti ini…

Mbok, kayaknya Mbok baru sampai di Bali ya?” tanya sang supir lagi sambil memicingkan mata dengan curiga dan mengangkat sebelah alisnya. Ekspresi wajahnya persis mbah dukun yang baru saja menemukan rahasia tergelap yang disembunyikan oleh kliennya.

Aku mengangguk pasrah.

“Baru berapa lama di Bali, Mbok?”

“Seminggu, Pak..”

Sang supir lalu menyalakan mesin motornya dengan muka kecut. Wajahku semakin memelas sambil meneguk ludah dengan gugup. Aku sudah yakin kalau bapak ini pasti tidak akan mau membawaku sekarang. Dalam waktu sepersekian detik, di dalam otakku langsung bermunculan berbagai cara alternatif untuk bisa kembali pulang ke rumah dengan cara semurah mungkin.

Naik ojek online? Coret.

Naik bus umum? Baiklah. Cari halte terdekat dari lokasi. Tanya-tanya orang sekitar. Tunggu bus datang dan duduk manis. Beres.

Tapi, tunggu…

Bagaimana jika orang-orang sini juga tak tahu rute bus umum?

Setahuku, di Bali, orang-orang lokal lebih suka dan mudah untuk bepergian ke tempat-tempat lain dengan menggunakan sepeda motor daripada angkutan umum. Bus merupakan satu-satunya transportasi umum yang cukup familiar di sini. Tapi, tetap saja, ketika aku sempat bertanya kepada beberapa orang di Terminal Ubung sebelumnya, mayoritas orang local banyak juga yang sama sekali tidak mengenal area ini. Bahkan ketika aku menanyakan seputar halte bus terdekat ke area sekolah, beberapa supir bus dan petugas dari Dinas Perhubungan, malah bertanya balik kepadaku.

“Jalan Bypass Ngurah Rai itu panjang sekali loh, Bu. Lokasi sekolah ibu ada di sebelah mananya?”

Haduh… Mari kita kembali ke kondisi sekarang…

Kepalaku mulai terasa berkedut-kedut lagi. Bagaimana ini? Hitch hiking?

Atau pilihan terakhir yang paling buruk dan tak masuk akal..

Jalan kaki sampai ke rumah… ugh!

Kalau boleh diibaratkan, jarak rumah sampai ke sekolah ini kurang lebih sama seperti jarak dari Jakarta ke Bogor. Dua setengah jam untuk sekali jalan. Oh Tuhannn…

Aku mulai meratap pilu dalam hati sekarang.

“Naik saja, Mbok…”

Eh? Aku spontan memalingkan wajah. Aku merasa seperti baru saja salah dengar barusan.

“Maksudnya, Pak?”

“Mbok naik saja motor tiang. Tidak usah bayar. Gratis…” kata abang ojek dengan wajah sumringah serasa baru memenangkan undian satu miliar rupiah.

Astaga! Ini beneran? Aku tidak mimpi kan?

Sedetik itu juga, wajah sang supir ojek online langsung berubah setampan Denzel Washington di mataku. Tanpa menunggu lagi, aku langsung menaiki motornya dan sepanjang perjalanan, sang supir menanyakan beberapa detail seputar lokasi tempat tinggalku sekarang dan alasan mengapa aku pindah ke Bali. Dengan singkat, aku menceritakan semuanya dan tak lama setelahnya, beliau pun menurunkanku di area Cineplex.

Mbok tunggu di sini ya? Nanti ada bus yang akan lewat ke arah Tabanan. Mbok tinggal naik bus itu saja.”

“Jangan menyerah ya, Mbok. Berjuang terus untuk anak-anak. Tetap semangat…” kata sang supir ojek sambil terus tersenyum lebar dan sebelah tangannya mengepal ke udara. Memberi kekuatan baru untukku.

Tanpa sengaja, aku menitikkan airmata haru dan mengangguk tegas kepadanya. Sesaat sebelum beliau pergi untuk mengambil orderan lain.

Bali. Pulau ini tidak hanya cantik dan mempesona. Tapi juga ramah dan bersahabat. Dan, semesta dengan caranya yang ajaib, turut menjagaku di sini.

….

Hari wawancara, tiga hari kemudian, Juni 2021, Denpasar, Bali

Aku duduk di seberang meja oval besar itu dengan jantung berdebar keras. Sementara di depanku, sang kepala sekolah tengah duduk santai sambil terus membaca CV-ku. Setelah beberapa saat, barulah beliau mengangkat kepalanya dan menatapku dengan sangat serius.

Ms. Mala : “So, Ms. Nana, tell me what are you doing in Tabanan?

(Jadi, Ms. Nana, beritahu saya apa yang Anda lakukan di Tabanan?)

Astaga! Aku spontan meneguk ludah karena gugup. Ini pertanyaan atau interogasi?

Aku menegakkan tubuh dan berkata, “I’m starting a new life here, Ms. Mala (bukan nama sebenarnya).”

(Saya memulai hidup baru di sini, Ms. Mala.)

“My husband passed away in 2020 because of COVID and he also left us a huge sum of debt that need to be paid off. That’s why I decided to sell our house in Bandung to pay the debt collectors and move here with my kids.”

(Suamiku meninggal dunia di tahun 20202 karena COVID dan ia juga meninggalkan sejumlah besar hutang yang harus dibayar. Itulah sebabnya saya memutuskan untuk menjual rumah kami di Bandung untuk membayar para penagih hutang dan pindah ke sini dengan anak-anakku.”

Ms. Mala hanya mengangguk-angguk dengan ekspresi wajah penuh simpati setelah mendengar penjelasanku.

Ms. Mala : “You’re an outsider, but most people will choose Denpasar as their starting point and not Tabanan.”

(Kau adalah seorang pendatang, tapi kebanyakan orang akan memilih Denpasar sebagai titik mula dan bukan Tabanan.)

“So, again. Ms. Nana, is there any specific reason why you choose Tabanan rather than Denpasar?”

(Jadi, sekali lagi, Ms. Nana, apakah ada alasan khusus kenapa kau memilih Tabanan daripada Denpasar?)

Astaga! Ini serisan nih?

Di alam bawah sadarku, aku sudah garuk-garuk kepala karena frustasi.

Baiklah, pertanyaan beliau cukup masuk akan karena semua pendatang dari luar pulau pasti akan langsung memilih Denpasar sebagai langkah awal mereka untuk mencari kerja atau membuka usaha dan bukan Tabanan yang notabene bukanlah kota besar atau termasuk dalam daftar lokasi wisata seperti Canggu, Kuta, Sanur, dsb. Tapi, aku sendiri memiliki pertimbangan lain dengan keputusanku ini.

“I choose Tabanan because of the living cost, Ms. Mala. It’s cheaper than Denpasar and any other areas in Bali,” jawabku tegas tanpa ada terbersit keraguan di dalam nada bicaraku.

(Aku memilih Tabanan kerena biaya hidupnya, Ms. Mala. Di dini jauh lebih murah daripada Denpasar dan area lainnya di Bali.)

Satu lagi, alasan keduaku adalah lokasi Tabanan yang terletak di tengah pulau. Persis seperti kota Salatiga di Jawa Tengah sehingga akan memudahkanku untuk bepergian ke Canggu, Denpasar, dan sekitarnya.

Ms. Mala lalu terdiam sejenak dan kembali membolak-balik lembar CV dan surat lamaran kerjaku.

Berikutnya, Ms. Mala hanya menanyakan beberapa pertanyaan standar kepadaku dan termasuk latar belakang keluargaku. Aku menjawab semuanya dengan jujur dan apa adanya. Syukurnya semua obrolan kami berlangsung lancar dan hangat. Setelah kurang lebih satu jam, ia lalu berdiri, menjabat tanganku sambil tersenyum lebar, merangkulku erat, dan berkata.

“Our school values family as our prime virtues, Ms. Nana. You come to the right place.”

(Sekolah kami menghargai keluarga sebagai nilai moral utama, Ms. Nana. Kau datang ke tempat yang tepat.)

“Thank you for coming, Ms. Nana. I’ll inform you about the updates soon.”

(Terima kasih karena sudah datang, Ms. Nana. Aku akan mengabarimu lagi nanti.)

Aku menganggukkan kepala dengan sopan dan tersenyum ramah pada beliau.

Seminggu berikutnya, aku kembali dipanggil untuk menghadap ketua dan wakil ketua yayasan.

Dua minggu kemudian, aku lalu dipanggil untuk micro teaching bersama para guru lainnya dan setelahnya, tiga hari berikutnya, aku mendapat surat panggilan resmi untuk mulai bekerja di sekolah tersebut.

Yes!

Yes! Yes! Yes!

Aku melompat-lompat gembira setelah memperoleh kabar tersebut. Saat itu, berita tersebut terdengar seperti sebuah dream come true untukku.

Sayangnya, aku tak tahu kalau semua itu merupakan awal dari mimpi burukku berikutnya.

………………………………………………..

KEANEHAN YANG MULAI TERJADI

Sekolah dimulai, masa orientasi…

Untuk satu minggu ke depan, sekolah kami mengadakan orientasi untuk para siswa dan orangtua murid. Sebuah kegiatan standar yang biasanya dilakukan oleh pihak yayasan untuk mengenalkan visi dan misi sekolah, tata tertib, dan formasi guru yang akan mengajar di tahun ajaran baru tersebut. Aku termasuk di dalam susunan tim pengajar yang akan mengajar mata pelajaran Bahasa Inggris untuk listening, speaking, grammar, writing, dan vocabulary dari kelas 4 sampai 6. Salah satu guru senior, Ms. Erna juga ditunjuk sebagai supervisor-ku selama masa percobaanku untuk 3 bulan ini. Kesan pertamaku tentang beliau juga cukup baik. Orangnya terlihat ramah dan menyenangkan. Tapi, anehnya, beliau sama sekali tak pernah memberiku instruksi apa-apa supaya aku bisa mulai mempersiapkan bahan-bahan mengajar untuk minggu depan.

Berikutnya, seperti biasa, acara orientasi dilanjutkan dengan school tour dan pengenalan ruang kelas, toilet, dan sebagainya. Sampai sejauh ini, aku sama sekali tidak memiliki masalah untuk beradaptasi dengan sekolah baru ini. Segala sesuatunya berlangsung dengan baik tanpa ada masalah apapun. Kejanggalan berikutnya, aku sama sekali tidak diperbolehkan untuk membawa buku-buku materi pelajaran yang akan kupakai untuk mengajar ke rumah dengan alasan confidentiality. Alias super rahasia karena semua materi pelajaran yang digunakan di sekolah ini tidak ada yang berasal dari Indonesia sehingga sangat dijaga kerahasiaannya.

Terus terang, sku mulai bingung nih

Lha? Terus cara aku persiapan bahan mengajarnya bagaimana?

…..

SILABUS ALA SANGKURIANG

Seminggu kemudian, tepat setelah masa orientasi berakhir…

“Miss Nana, sudah buat buat silabusnya?” tanya supervisorku, Ms. Erna (Bukan nama sebenarnya)

Kedua mataku spontan bekerjapan gugup. Silabus?

Astaga! Kenapa aku tidak disuruh membuatnya dari kemarin-kemarin?

“Silabus, Miss?”

“Iya, silabus untuk vocabulary, listening, speaking, dan grammar. Miss sudah buat?”

Nada suaranya ketika sedang bertanya padaku terdengar santai dan riang tapi melihat dari sorot matanya, aku tahu ia tidak sedang main-main.

“Apa ada contohnya, Miss?” Aku tanya beliau balik. Bukan bermaksud untuk menentang otoritas. Hanya sekedar ingin tahu karena aku sangat memahami kalau setiap sekolah pasti memiliki pola silabus yang berbeda-beda.

Dengan santai, Ms. Erna lalu mengeluarkan selembar kertas dan menyodorkannya kepadaku sambil tersenyum lebar. Senyum culas yang tak sampai ke matanya.

“Ini ya, Miss?”

“Saya mau semua silabus untuk mata pelajaran yang miss harus ajarkan ke anak-anak sudah siap besok.”

Kedua mataku spontan melotot kaget. Alamak! Kau sangka aku punya pasukan jin apa?

Sebagai informasi, aku harus mengajar 6 kelas speaking dan listening untuk kelas 1 sampai 6, 3 kelas grammar untuk kelas 4 sampai 6, 3 kelas vocabulary untuk kelas 4 sampai 6. 3 kelas writing untuk kelas 4 sampai 6. Totalnya ada 18 kelas yang harus aku siapkan silabusnya dalam waktu 1x24 jam!

Astaga!

“Bisa ya, Miss?” tanya Ms. Erna sekali lagi sambil tersenyum lebar.

“I…Iya…”

Aku tersenyum juga. Senyum terpaksa.

….

KURIKULUM SEKOLAH SEKAKU KANEBO KERING

Di hari berikutnya, aku mulai dijadwalkan untuk masuk ke dalam kelas dan memperhatikan bagaimana cara supervisorku mengajar di kelas seputar materi-materi yang harus kuajarkan nanti. Kebetulan di hari itu, aku kebagian untuk mengajar kelas writing untuk siswa kelas 4. Aku menganggukkan kepala dan menurut ketika beliau mulai mengenalkanku kepada anak-anak kelas 4 secara formal di dalam kelas. Malam sebelumnya, Ms. Erna memang sudah menghubungiku secara pribadi melalui panggilan telepon dan mengatakan kalau untuk minggu ini, tugasku tidak terlalu banyak. Hanya sebatas observasi saja di dalam kelas sambil mengingat nama para siswa.

Tapi kalimat berikutnya yang keluar dari mulutnya hari itu saat kami berdua tengah berada di dalam kelas, langsung membuatku tercekat kaget sejadi-jadinya.

“So, Ms. Nana is here and she’s going to teach you about expository paragraph from your grammar book…”

(Jadi, Ms. Nana ada di sini dan ia akan mengajarkanmu tentang paragraf eksposisi dari buku grammar…)

Berikutnya dengan satu lirikan maut, ia tersenyum dan menyilakan aku untuk mengambil posisinya di depan kelas. Aku yang saat itu sedang berada di belakang kelas, langsung gelagapan setengah mati. Astaga,,, kenapa begini?

Dalam hati, aku langsung protes berat. Tapi, di luar, aku berusaha untuk tetap santai dan melangkah maju ke depan walau sebenarnya kedua tanganku sudah sedingin es dan aku gugup setengah mati. Aku harus mengajar apa?! Jeritku frustasi di dalam kepala.

But, the show must go on. So, here I am.

Good morning, everyone.” Aku menyapa para siswa yang kini menatapku dengan setengah tatapan bingung dan ingin tahu.

(Selamat pagi, semuanya.)

Dengan penuh percaya diri, aku mencoba menerangkan berbagai jenis paragraf, sebelum aku akan masuk ke materi paragraph eksposisi, tapi, belum selesai aku bicara, aku tiba-tiba diinterupsi di depan kelas oleh supervisor-ku. Alhasil, selama 30 menit berikutnya, aku hanya bisa duduk termangu di belakang kelas seperti orang bodoh tanpa bisa melakukan apapun.

Tapi, masalah berikutnya langsung muncul.

“Miss Nana, where is the draft?”

(Miss Nana, formatnya mana?)

Kedua alisku spontan berkerut bingung. Draft? What kind of draft?

(Format? Format apa)

“The draft where the students should write about the writing topic today, Ms. Nana.”

(Format kertas dimana para siswa harus menulis topik mereka hari ini, Ms. Nana)

Tapi, belum sempat aku menjawab, supervisor-ku langsung mengacungkan tumpukan kertas yang kini tengah dipegangnya sambil setengah berteriak dengan raut wajah penuh kemenangan.

“This is the draft, kids. Don’t worry. You may start your assignment now. The teacher should prepare everything before the class begun, right?”

(Ini adalah format kertasnya. Jangan kuatir. Kau bisa mulai mengerjakan tugasmu sekarang. Guru seharusnya sudah menyiapkan semua materi sebelum kelas dimulai, benar kan?”

Ms. Erna tersenyum culas penuh kemenangan sekali lagi sambil membagikan lembar kertas tugas dan melihat ke arah wajahku yang tengah terbengong-bengong kaget dengan tatapan mengejek. Saat itu juga, aku sibuk menyumpah-nyumpah dalam hati.

Ini hari pertamaku mengajar di dalam kelas dan semuanya hancur berantakan. Sebagai supervisorku, dengan santainya, Ms. Erna lalu mengisi laporan hasil kerjaku di hari tersebut dengan nilai O besar dan melaporkannya kepada Ms. Mala.

Dalam hati, aku sudah menampar wajahnya bolak-balik. Tapi, di luar, aku memaksakan senyum dan kembali menundukkan kepala kepadanya.

“Baik, Miss. Saya mohon maaf untuk hari ini. Berikunya, saya pastikan kalau hal yang sama tidak akan terjadi lagi.”

Dan, itulah yang aku lakukan.

Mencegah kebodohan dan kesalahan yang sama terulang kembali.

Tapi, seusai kelas berakhir, omelan sang supervisor belum usai juga. Di dalam ruang guru, di depan mata semua rekan pengajar, aku dibentak habis-habisan karena dianggap melenceng dari kurikulum yang sudah ditetapkan.

Sebagai “anak bawang”, aku hanya bisa menunduk diam tanpa bisa mengatakan apapun. Berikutnya, sang supervisor lalu menyerahkan sebuah buku tebal mirip kamus KBBI dan menyuruhku mempelajari isinya dengan seksama. Pelan, aku melakukan instruksinya. Baru beberapa halaman, kepalaku langsung pening tujuh keliling. Ada berbagai macam istilah yang terus terang sebagai guru bahasa, aku baru tahu sekarang. Complete Subject, Subject Noun, Complete Predicate, dll . Percaya atau tidak, bahkan di buku tersebut tercatat dengan jelas setiap kalimat yang harus diucapkan oleh sang guru saat mengajar materi grammar di dalam kelas kepada para siswa.

Busyet!

Ini buku panduan mengajar atau kanebo kering?   

…………………………………

HOMEWORK. HOMEWORK. HOMEWORK.

Masih dalam minggu yang sama, aku kembali kena semprot supervisor-ku karena dalam minggu pertama bersekolah setelah masa orientasi, aku sama sekali belum memberikan PR untuk para siswa.

Aku bingung.

Bukannya minggu ini masih minggu pertama dimana para siswa baru resmi belajar? Kenapa harus ada PR?

Begitu aku mencoba untuk berargumen, semprotan berikutnya langsung keluar dari mulutnya yang sepedas cabe jeletot.

Miss Nana, miss ini ngajar di sekolah negeri ya?”

Kebetulan sebagai seorang guru paruh waktu, aku memang sedang mengajar di 2 sekolah saat itu. Tapi, sekolahku yang satu lagi bukanlah sekolah negeri yang seperti dia bilang!

“Kalau sekolah negeri memang setahu saya jarang kasih PR sih, miss…”

“Tolong jangan sampai dengan kehadiran miss di sekolah ini jadi membuat standar sekolah kami jatuh ya?”

Masya Allah…

Sebegitu parahkah diriku di mata mereka?

Lambe-mu ya, Mbok. Turah tenan

………………………………………..

Aku selesaikan seluruh silabus yang diminta dalam waktu yang ditentukan dan aku juga memaksa diri untuk menghafal seluruh jadwal pelajaran yang merupakan tanggung jawabku. Kejadian tempo hari hanya mengajarkanku satu hal. Persaingan dan kompetisi selalu ada di manapun kau ada. Apapun yng terjadi, kau harus berjuang keras untuk bisa diterima dan menyesuaikan diri dengan lingkungan barumu. Di sini, bosku bukanlah Ms. Mala, sang kepala sekolah. Tapi, supervisor-ku, Ms. Erna. Dialah penentu hidup dan matiku di sini. Keberlangsungan dan eksistensiku sebagai calon pengajar tetap ditentukan olehnya. Jika aku secara konstan terus mendapat rapor merah, maka bisa dipastikan kalau dalam waktu 3 bulan, aku pasti didepak keluar dari sekolah ini.

…………

BUKU KOMUNIKASI. THE SOURCE OF ALL MY TROUBLES.

Di Bandung, aku menyebutnya sebagai buku tugas atau agenda siswa. Tapi di sini, semua orang (baca: guru dan orangtua) menyebutnya sebagai buku komunikasi.

Tidak ada yang memberitahukanku tentang masalah ini sebelumnya. Di Bandung, memang ada istilah “buku komunikasi” dan siswa diwajibkan untuk membawa buku tersebut setiap hari di dalam tas sekolahnya. Tapi, guru kelas hanya menulis di dalam buku tersebut kalau siswa yang bersangkutan kebetulan bermasalah di dalam kelas di hari itu atau jika guru menjadwalkan panggilan orangtua untuk membicarakan suatu hal yang berhubungan dengan kegiatan akademis atau masalah khusus di sekolah.

Sementara di sekolah ini, “buku komunikasi” merupakan buku agensiswa yang berisi catatan tugas, quiz, serta ulangan maple setiap harinya.

Baiklah…

Hebatnya lagi, semua guru mata pelajaran diwajibkan untuk mencatat materi pelajaran yang mereka pelajari hari tersebut, PR, serta jadwal kuis dan ulangan satu persatu setiap hari di atas whiteboard dan semua siswa diwajibkan untuk menyalinnya ke dalam buku komunikasi mereka satu persatu.

Aku menghela nafas panjang…

Sungguh sangat tidak efektif..

Untuk para siswa dari kelas 3 dan seterusnya, hal tersebut bukanlah masalah besar karena para siswa sanggup untuk menyalin apa yang para guru sudah catat di whiteboard dengan cepat. Tapi hal ini sangat berbeda jauh dengan para siswa dari kelas 1 yang baru saja lulus TK serta masih beradaptasi dengan masa transisi mereka di jenjang dasar. Kemampuan menulis mereka masih sangat lambat dan aku harus betulbetul memperhatikan kemajuan setiap siswa di kelas serta tak lupa mengecek apakah tulisan mereka sudah sesuai dengan apa yang tercatat di whiteboard atau belum.

Alhasil, karena masalah ini…

Anak-anak kelas 1 sempat terlambat pulang beberapa kali dari sekolah karena aku juga harus memebantu mereka mengecek perlengkapan sekolah agar jangan sampai ada yang tertinggal.

Akibatnya?

Seperti yang kalian bisa duga. Aku kena semprot lagi oleh Ms. Erna.

“Ms. Nana lambat sekali ya?”

“Sebenarnya class management-mu bagaimana sih, Miss?”

“Kenapa miss tidak print saja materi untuk buku komunikasi siswa kelas 1?”

Omaigot

Kenapa tidak pernah bilang sebelumnya sih?

……

 

GREEN LIGHT. RED LIGHT.

Tahu arti kata “terlambat”?  

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, terlambat berarti “lewat dari waktu yang ditentukan”.

Tahu konsekuensinya bagi karyawan atau pegawai? Potong gaji, bro.

Kalau guru adalah karyawan maka sampai di sekolah sebelum pk 07.30 adalah wajib dan mutlak hukumnya. Aku rasa peraturan ini sudah sangat jelas bagi semua orang.

Upss..

Maaf…

Aku salah lagi.

Bagi guru baru alias "anak bawang" seperti aku maksudnya.

Sebagai pegawai yang masih berstatus sebagai “karyawan percobaan”, datang terlambat adalah hukum haram bagiku. Selama tiga kali dalam seminggu, aku memaksa diriku untuk bangun subuh jam 03.00 untuk memasak sarapan, menyiapkan bekal, serta membuat makan siang untukku sendiri sehingga aku tak perlu keluar uang lebih untuk beli cemilan atau belanja makan siang di kantin sekolah.

Ritual subuhku biasanya selesai pada pukul 05.00 dan setelahnya, aku harus bergegas ke halte terdekat untuk menunggu bus datang serta mengangkutku ke sekolah.

Yah, kurang lebih dua setengah jam berikutnya, aku sampai di depan gerbang sekolah.

Pukul 07.30, kurang lima menit. Pas.

Aku tidak terlambat.

Tapi aturan yang sama tidak berlaku bagi para guru senior di sana. Umumnya, di pukul 07.50 dimana para siswa dan hampir semua staf sekolah sudah bersiap di dalam ruangan aula untuk morning devotion, beberapa guru malah baru saja datang dan melenggang masuk ke dalam ruangan aula dengan sangat santainya tanpa ada perasaan bersalah sama sekali. Gilanya lagi, hal itu terjadi hampir setiap hari.

Aku hanya bisa terlongo bingung serta tertawa getir.

Aturan potong gaji kalau guru terlambat datang…

Yeah…

Green light for me… (Berlaku untukku…)

Red light for them… (Tidak berlaku untuk mereka…)

…………..

BIRTHDAY PARTY ALL DAY LONG DAN UPACARA BENDERA YANG…. YA UDAH DEH

Coba aku mau tanya…

Kalau ada guru ulang tahun di sekolah…

Biasanya apa sih yang dilakukan oleh para koleganya?

Pertama, mereka akan menyanyikan lagu “Happy Birthday” di pagi hari secara bersama-sama sebelum sekolah dimulai. Lalu, yang kedua, entah ada acara makan siang bersama atau potong kue ulang tahun yang disantap secara berbarengan seusai para siswa pulang.

Biasanya begitu kan?

Tapi untuk acara ulang tahun guru di sekolah ini, agak sedikit berbeda. Oh, mungkin bukan sedikit, tapi cukup berbeda. Oh, tepatnya, sangat berbeda.

Kenapa?

Karena para guru dan siswa akan merayakan hari ulang tahun kolega mereka secara berjilid-jild selama satu hari penuh.

Apakah aku cemburu dengan kebiasaan ini?

Ck! Please don’t get me wrong. I don’t mind really. Instead of, I feel happy for them indeed.

(Ck! Tolong jangan salah paham. Aku sama sekali tak keberatan. Malah sebaliknya, aku merasa senang untuk mereka.)

Tapi, masalahnya acara selebrasi berjilid-jilid ini memngganggu dinamika aktivitas belajar mengajar dan dinamika semua mata pelajaran di hari tersebut. Lalu, masalah kedua, bagaimana caraku bisa mengejar materi pelajaran jika dalam setiap 45 menit jam pelajaran, waktu mengajarku terpotong sebanyak 20 menit untuk acara selebrasi ulang tahun yang tidak jelas kapan selesainya?

Oh, God! Please help me!

(Ya Tuhan! Tolong aku!)

Satu hal lagi yang merupakan keajaiban dunia kedelapan yang terjadi di dalam sekolah ini. Kerennya lagi, hal ini terjadi saat pelaksaan upacara bendera yang dilakukan untuk pertama kalinya dilakukan setelah dua tahun vakum akibat pandemic COVID 19.

Selama persiapan dilakukan, aku sama sekali tidak menemukan kejanggalan atau keanehan yang berarti. Tapi, raut wajahku berubah drastis ketika upacara bendera dilaksanakan di lapangan sekolah dan Pembina upacara mulai berpidato.

Aku tidak mengeluhkan lamanya pidato yang dilakukan oleh beliau walau sebenarnya ia sudah molor dari waktu yang ditetapkan. Tapi yang membuatku betul-betul bingung adalah ketika pembina upacara meminta semua peserta upacara untuk bergoyang sebagai penutup dari pidatonya tersebut.

Terus terang, sebagai slah satu generasi yang dibesarkan dengan aturan untuk bersikap hormat dan khidmat sepanjang upacara bendera berlangsung, menurutku, goyangan tersebut kurang pantas dan sama sekali tidak etis untuk dilakukan di saat upacara yang notabene merupakan salah satu kegiatan formal yang diwajibkan di negara ini.

Tapi, sekali lagi, aku hanya seorang “anak bawang.”

Apa hakku untuk bicara di sini?

……………………………………..

THE SCHOOL ADMINISTRATOR IS A NEW QUEEN BEE

Tinta bolpen habis? Silakan minta ke Ms. Dista.

Tinta spidol untuk menulis di whiteboard sudah menipis alias minta diisi ulang? Silakan hubungi Ms. Dista.

Butuh proyektor? Harap lapor dulu ke Ms. Dista.

Butuh pinjam ruangan kelas? Ijin dulu ke Ms. Dista.

Mau merubah temperature ruangan ber-AC di kelas? Silakan ambil dulu remote-nya ke Ms. Dista.

Mau print soal untuk lembar kerja siswa karena antrian printer di kantor guru penuh? Silakan bilang ke Ms. Dista.

Oia, aku lupa bilang…

Bahkan untuk jadwal pengaturan kapan siswa masuk sekolah setiap harinya serta jadwal UTS serta PAS untuk semua mata pelajaran, itu semuanya ada dibawah otoritas beliau dan bukan kepala sekolah.

Setelah mengetahui kenyataan ini, aku hanya bisa bilang satu kata…

Wow!

Siapa sih Ms. Dista?

Dia cuma staf administrasi sekolah. Tapi, jangan tanya seberapa powerful-nya mamak satu ini di sekolah tersebut.

Hebatnya lagi, di saat aku “membutuhkan” bantuannya untuk mengisi tinta spidol seusai jam pelajaran selesai, dengan wajah juteknya, ia bilang kalau ia sedang sibuk dan tak bisa diganggu.

Oia?

Diam-diam, lewat sudut mataku, aku sengaja mengintip “kesibukannya.”

Alamak!

Ia sibuk update status di IG-nya sambil tertawa cekikikan saat membaca berbagai komentar dari para followernya.

……………………………….

WE ARE FAMILY, AREN’T WE? REALLY?

Aku pernah menonton sebuah film animasi dari Disney berjudul Lilo and Stitch. Ceritanya adalah tentang seorang alien yang dicap sebagai salah satu kriminal paling berbahaya di galaksi dan alien tersebut lalu dihukum serta diasingkan ke sebuah planet untuk kurun waktu yang sangat lama. Tapi, kemudian, di tengah perjalanan, alien tersebut berhasil kabur dan melarikan diri ke bumi. Secara kebetulan, ia mendarat di Hawaii. Pada akhirnya, ia bertemu dengan seorang anak perempuan bernama Lilo yang kemudian menjadi sahabat dan keluarga barunya.

Ada sebuah kata yang menarik perhatianku di sana.

Ohana

Dalam Bahasa Waikiki, kata tersebut berarti keluarga. Dengan kata lain, tak ada seorangpun yang merasa ditinggalkan atau dikucilkan.  

“In this school, we are family and family backs up each other. Teachers, parents, and students are stand equally in a unity.”

(Di dalam sekolah ini, kita adalah keluarga dan keluarga saling mendukung satu sama lain. Para guru, orangtua, dan siswa memiliki posisi yang sama di dalam satu kesatuan.)

Aku masih ingat ucapan sang kepala sekolah tempo hari ketika aku dan semua rekan guru lainnya tengah mengikuti masa-masa orientasi. Di hari itu, aku masih naif dan tersenyum dengan bangga. Aku masih merasa kalau aku sudah berada di dalam sekolah yang tepat. Sekolah yang akan segera menjadi keluarga baruku di Bali.  

Tapi kenyataannya?

Semua yang beliau katakan hanyalah sebuah kebohongan belaka. Sebuah kemunafikan yang tertutupi dengan sangat rapi dengan senyumnya yang manis dan sikapnya yang lemah lembut.

“We are against bullying at all cost. We make sure that our students always feel safe and secure in this school.”

(Kita melawan perundungan dengan segala cara. Kita memastikan kalau siswa kami merasa aman dan nyaman di sekolah ini.)

Bulls*t!

(Bohong!)

Di sini, aku dirundung setiap hari. Di sini, aku sama sekali tidak merasa aman dan nyaman selayaknya berada di dalam sekolah. Setiap kali aku bangun tidur, aku selalu merasa mual luar biasa.

Lalu, hal pertama yang akan muncul di dalam kepalaku adalah…

Wajah sang supervisor-ku…

Ms. Erna.

Kesalahan apa lagi yang akan dia cari dariku hari ini?

Kesalahan apa yang akan kubuat hari ini nanti?

……

Sikap Ms. Erna kepadaku juga masih sama. Bahkan semakin lama, aura intimidasinya semakin kuat kepadaku. Terutama ketika kami berdua tengah berada di dalam kelas. Beberapa kali dengan sengaja, beliau menginterupsiku secara langsung di depan para siswa ketika aku sedang mengajar. Membuat para siswa bingung setengah mati dengan kelakuannya yang terlihat sangat sentimen kepadaku tanpa alasan yang jelas seperti nenek-nenek bawel yang tengah kebakaran bulu ketiak. Rasa-rasanya setiap hal yang aku lakukan semuanya salah di matanya…

Para siswa mungkin tidak mengalami perundungan. Tapi, aku dirundung setiap hari. Aku dikucilkan oleh teman-teman kolegaku sendiri. Aku dibentak-bentak setiap hari di dalam ruang guru. Di hadapan semua orang. Dan, tak ada satu pun yang berani untuk membelaku. Seakan-akan semua orang mengesahkan kalau perlakuan kasar dan semena-mena yang tengah aku terima adalah sebuah perbuatan wajar yang manusiawi di sekolah tersebut.

Setelah kurang lebih sebulan berada di dalam lingkungan sekolah tersebut, aku mulai mempertanyakan kewarasanku sendiri. Aku semakin lama semakin sering melakukan kesalahan. Pola kehidupanku berantakan setengah mati. Sepulang dari sekolah, aku selalu marah-marah pada kedua anakku. Aku tak sadar kalau sudah mulai sakit mental.

Dan, aku juga tak lagi tersenyum.

Setiap hari yang kuhabiskan di dalam sekolah terasa sangat menyiksa serta menyakitkan untukku. Di sini, aku bukanlah keluarga bagi mereka. Aku hanyalah orang asing.

…………………………………………..

WAR AT SCHOOL

Pernah nonton film Hunger Games? Tahu Catniss Everdeen? Sang tokoh wanita yang mati-matian berjuang untuk mempertahankan diri di tengah –tengah para competitor lainnya dan bertahan hidup hari demi hari sampai sang pemenang tunggal ditentukan di akhir permainan.

Yah, kurang lebih itulah gambaran sistem sekolah ini…

Gambaran mengenai sebuah sekolah ideal dimana kami, para guru, bisa bersikap nyaman dan mengajar para siswa sebaik yang kami bisa tapi, pada kenyataannya, tidaklah seperti itu.

Ketika aku menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di sekolah ini, aku punya mimpi. Aku memiliki sebuah ekspetasi kalau aku akan bisa mengajar secara maksimal seperti yang selama ini aku lakukan pada semua siswaku di Bandung.

Aku menyangka kalau aku akan bisa membangun sebuah hubungan yang sehat dan harmonis dengan para siswaku di sini serta membantu untuk mengembangkan bakat serta potensi mereka secara maksimal.

Bodohnya aku.

Ternyata aku salah besar.

Each playground has different rules. And, this place is not a school. This is a war zone. A battle

field.

(Setiap taman bermain memiliki peraturannya sendiri. Dan, tempat ini bukanlah sekolah. Tempat ini adalah zona perang. Sebuah tempat pertempuran.).

Setelah kurang lebih beberapa lama, aku mulai bisa mengenal dan menghafal nama para siswa serta mengingat wajah mereka. Satu hal yang aku perlu adaptasi dari sekolah ini adalah sistem kerjanya yang terlampau cepat dan sikap dari para guru yang sangat individualis. Jika dibandingkan dengan kultur sistem sekolah-sekolah yang pernah aku ajar di Bandung dulu, suasana belajar mengajar terlihat jauh lebih kaku dan formal. Budaya “senggol bacok” juga sangat terasa di sini. Belum lagi gaya bicara dari rekan kerjaku yang terkenal ceplas-ceplos tanpa memikirkan perasaan lawan bicara sama sekali. Selain itu, sebagai salah satu sekolah nasional plus yang konon katanya sudah berusia belasan tahun, jumlah siswa di sekolah ini sangat minim. Hanya kurang lebih seratus siswa dari jenjang TK sampai SMU. Belum lagi fasilitasnya yang serba kurang. Percaya atau tidak, sekolah ini sama sekali tidak memiliki mesin fotocopy dan hanya memiliki satu printer berwarna di kantor untuk semua guru mencetak lembar tugas siswa kalau-kalau diperlukan secara mendadak. Sisanya, kami harus mengantri untuk mencetak lembar tugas dan memberikannya kepada pihak administrasi sekolah untuk diperbanyak sesuai dengan jumlah siswa.

Sebagai guru, sekolah tidak memberikanku fasilitas apapun sama sekali. Hanya sepasang bolpen warna merah untuk mengoreksi dan memberi nilai anak-anak dan satu bolpen hitam. Yah, hanya itu.

Tidak ada double tape. Tidak ada pembolong kertas. Tidak ada paper clip. Bahkan box folder untuk mengumpulkan lembar kerja siswa saja, aku harus membeli sendiri tanpa adanya reimbursement alias penggantian dari sekolah. Bisa kau bayangkan itu?

Bahkan speaker untuk keperluan belajar dan mengajar siswa di kelas saja, semuanya dalam keadaan rusak total. Aku hanya bisa geleng-gelang kepala tanpa bisa bilang apa-apa.

Sekolah macam apa ini?

Dan, aku sama sekali tidak boleh protes. Sekalinya aku mengajukan keluhan kepada supervisor-ku seputar masalah sarana dan prasarana sekolah, besoknya aku langsung dipanggil oleh kepala sekolah dan diceramahi habis-habisan karena masalah fasilitas yang menurutku sangat tidak memadai.

Tobat dah.

……………………………………

THE WALL HAS EARS AND SPIES ARE EVERYWHERE

Nama supervisorku Ms. Erna secara resminya menurut sistem dan peraturan sekolah ini. Tapi, pada kenyataannya, di setiap mata pelajaran dimana aku mengajar, tanpa sepengetahuanku, “the saint” Ms. Mala ternyata menugaskan 2 sampai 3 guru senior untuk terus memantau kinerjaku di sekolah setiap saat Ms. Erna berhalangan untuk masuk kelas yang sama denganku.

Entah apa yang dikatakan oleh sang supervisor sehingga Ms. Mala memberikan mandat khusus kepada para anak buahnya yang lain (baca: para guru) untuk terus memonitor semua gerak gerikku di dalam kelas.

Lebih parahnya lagi, sepanjang aku mengajar di dalam kelas, aku direkam melalui video tanpa seijinku. Bayangkan!

Minggu itu, seusai pulang sekolah, aku hanya bisa terus menggeleng-gelengkan kepala sambil terus mengelus dada.

Ya Tuhan…

Dosa apa yang sebenarnya kulakukan di masa lalu sampai aku menerima perlakuan seperti ini?

Seminggu pertama, aku masih betah…

Dua minggu kemudian, aku mulai merasa lelah. Baik secara fisik maupun emosional.

Tiga minggu kemudian, penyakit insomniaku mulai kambuh…

Di minggu keempat, wajahku mulai breakout karena stress yang berlebihan…

Tapi, malam itu, aku tak kuat lagi…

Tangisku langsung pecah sejadi-jadinya.

…………………………                                                                                                                                                                                                              

I QUIT…

Aku memang bukan guru baru. Aku memang memiliki pengalaman rekam jejak mengajar yang jelas di CV-ku. Dan, dari semua sekolah yang pernah kumasuki sebagai seorang pengajar, belum pernah ada satu sekolah pun yang membuat aku benar-benar merasa frustasi dan depresi seperti ini.

Aku diawasi. Semua pergerakanku dibatasi. Aku tidak diperbolehkan untuk berkomunikasi dengan pihak orangtua. Bahkan hanya untuk membicarakan progress dan hasil perkembangan siswa pun aku dilarang. Aku juga diasingkan dan dikucilkan karena dianggap sebagai “ancaman” bagi sistem sekolah yang sudah berjalan selama ini.

Masa percobaanku selama 3 bulan terasa begitu panjang dan menyakitkan. Sebenarnya, aku suka mengajar.Aku suka menjadi guru. Aku suka membantu para siswaku untuk berkembang ke arah yang lebih baik.

But, you should know your boundaries. When you already giving your hardest effort and the school keeps not trusting you as one of their teachers, you only need to do one last thing.

Just stop trying and quit.

(Tapi, kau harus tahu batasanmu. Ketika kau sudah memberikan yang sangat terbaik dan sekolah masih tetap untuk tidak percaya padamu sebagai bagian dari mereka, kau hanya perlu untuk melakukan satu hal terakhir.)

(Berhentilah mencoba dan keluar.)

Ya, berhenti saja.

Diriku lebih penting. Kesehatan mentalku adalah prioritas utama. Sebuah langkah nyata untuk menyelamatkan kewarasanku dan memproteksi diriku sendiri.

Ketika kau mencoba sebuah sepatu dan sepatu tersebut tidak pas di kakimu, apakah kau akan marah-marah dan menyalahkan kakimu sendiri? Atau kau akan mencoba sepatu lain yang terasa lebih pas dan nyaman di kakimu?

Bukan masalah siapa atasanmu karena ia pun bagian dari sistem sekolah. Bukan masalah siapa supervisor atau rekan sekerjamu karena mereka pun bagian dari ekosistem yang sudah lama terbentuk. Kau punya idealismemu sendiri dan mereka juga memiliki prinsipnya sendiri.

There’s a real difference between working hard and work too hard.

(Ada sebuah perbedaan nyata dimana bekerja keras atau berusaha terlalu keras.)

You just don’t fit in there. I just don’t fit in there.

(Kau cuma tak cocok di sana. Aku cuma tak cocok di sana.)

……… 

 CLOSURE

Hari UTS

Aku membuka mata di pagi itu dan menghela nafas panjang dalam-dalam. Akhirnya…

Hari itu akhirnya tiba juga. Hari dimana aku akhirnya dengan sangat terpaksa mengucapkan selamat tinggal. Aku datang ke sekolah hari itu dengan langkah berat. Perasaanku campur aduk tak keruan. God! I love the kids at this school.

They’re wonderful.

Tapi, di sisi yang lain, aku juga harus menghadapi realita kalau aku tak sanggup untuk bisa bertahan lebih lama lagi di sekolah ini. Apalagi di tengah tekanan dan intimidasi yang luar biasa dari lingkungan dimana aku bekerja sekarang.  

Tidak dihormati dan dihargai sebagai seorang pribadi. Tidak didukung sebagai seorang teman sekerja. Tidak dikasihi sebagai seorang bawahan dan karyawan. Dengan berbagai alasan di atas, apa alasanku untuk bertahan?

Apalagi sebagai seorang guru yang masih berada di dalam masa percobaan, besaran gajiku sangat minim. Tak sampai dua juta. Bahkan tak mencapai kisaran UMR yang disyaratkan oleh pemerintah Provinsi Bali.

Terkadang kita harus tahu posisi kita. Bertahan dengan kondisi menguras emosi tak selalu berarti baik. Menyerah dan memilih untuk mencari tempat kerja yang mampu menghargai kita sebagai seorang pekerja bukanlah berarti pengecut dan tak punya nyali.

Ada begitu banyak pertimbangan yang harus aku pikirkan sebelum akhirnya aku mengambil sebuah keputusan akhir.

Bagiku, meninggalkan sekolah tersebut, bukanlah sebuah titik, melainkan hanya sebuah tanda koma sebagai salah satu tempat perlintasan untuk kembali melanjutkan perjalanan hidup. Tugasku sebagai seorang pendidik masih panjang. Masih banyak siswa-siswa lain yang membutuhkan bantuan dan tenagaku sebagai pengajar. Dengan nafas hidup yang masih ada, aku akan terus melanjutkan amanat ini sampai nanti Tuhan kembali memanggilku pulang ke pangkuan-Nya.  

Selamat tinggal..

 

 

 

 

 

 

 

 

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar