Disukai
0
Dilihat
647
Secret Heart
Drama

Tanah kering tersiram deras hujan sesorean. Bau yang paling aku suka. Ponselku bergetar beberapa kali, nomor yang tidak aku kenali. Biasanya akan aku abaikan, kali ini entah mengapa aku ingin mengangkatnya. “Halo,” suara wanita di ujung sana. Hanya perlu lima menit bercakap dengan suara asing itu. Seketika aku membenci bau tanah kering tersiram hujan deras.

 

Satu setengah tahun yang lalu, perusahaan tempatku bekerja sedang menggarap sebuah iklan besar. Client-ku sudah wanti-wanti, ia ingin musiknya ditangani dengan serius. Aku bersama Lintang, teman kerjaku seharian sibuk mencari penata musik yang bersedia bekerja dalam tenggat waktu yang mepet. “Nihil,” keluh Lintang. “Bisa mati kita di tangan Pak Edo.” Tambahnya dengan cemas. “Aku malah tidak terlalu khawatir dengan Pak Edo, justru Ibu Camila.” Aku mengingatkan Lintang tentang client kami yang judes, Ibu Camila. Pak Edo adalah bos kami. Keduanya tidak akan suka kalau mendengar berita ini. Aku dan Lintang pasrah dengan nasib karier kami. Ponsel Lintang berbunyi kencang sekali, mengagetkan lamunan kami. “Iya Mas, iya. Bisa diatur. Baik. Baik. Tidak masalah. Berarti bisa ya, Mas?” Lintang menutup ponselnya, melirik ke arahku. Senyumnya mengembang lebar. “YES!” teriaknya girang. Aku masih mencari tahu apa yang terjadi. Gilda menenangkanku, katanya akan ada pahlawan datang menyelamatkan proyek kami. Aku masih bingung dengan maksud kalimatnya. Sampai satu hari ia benar-benar mengenalkan aku dengan seorang lelaki yang langsung mencuri perhatianku. Bukan karena aku jatuh cinta pada pandangan pertama, tapi karena lelaki ini bagaikan bunga di musim kering. Di antara para lelaki di kantor yang setiap hari berbaju hitam-hitam, lelaki ini memilih celana cream dengan kemeja berwarna putih. Mataku segar dibuatnya.

 

“Kenalkan, ini Sutan.” Lintang menarik tanganku untuk bersalaman dengan lelaki di hadapan kami. “Gilda.” Jawabku pendek. Aku masih menerka, siapa Sutan ini? Menurut Lintang, Sutan adalah the next best thing di dunia penata musik. Aku sedikit ragu. Penampakan luar Sutan tidak seperti seniman lainnya. Ia cenderung ekstrover dengan penampilan perlente. Aku memang suka menghakimi manusia dari penampilannya. Penata musik yang sudah biasa bekerja sama denganku biasanya introver, tidak banyak bicara, penampilan bersahaja bahkan ala kadarnya. Berbeda sekali dengan Sutan yang katanya lulusan The Julliard School. Sekolah seni yang terletak di Lincoln Center for the Performing Arts di New York City, Amerika Serikat.

 

Aku tidak punya waktu berlama-lama mencari tahu tentang Sutan karena proyek iklan kami harus segera selesai. Ternyata Sutan orang yang mudah diajak bekerja sama. Ia tidak banyak mengeluh meskipun kerja sampai larut malam. Termasuk ketika Ibu Camila rewel bolak balik meminta revisi di sana sini. Sutan dengan tabah mengerjakan bagiannya. Aku salut.

Proyek Ibu Camila selesai dalam waktu tiga bulan. Pak Edo puas dengan hasilnya. Ia bahkan menawarkan Sutan untuk bekerja di perusahaan kami. Lintang senang sekali. Ia memang mengaku ada perasaan spesial pada Sutan. “Di dunia kita, kalau mau yang pintar, ya harus terima yang culun, pendiam, dan iya iya saja. Pilihan lainnya, yang keren, banyak bicara, sok pintar tapi otaknya kosong.” Lintang sedang mempresentasikan perasaannya saat kami makan siang bersama. “Sutan adalah maha karya sempurna!” demikian pujinya. Sedikit berlebihan, meskipun aku tidak menyangkal pujiannya.

 

Sutan menerima tawaran Pak Edo. Sudah tentu Lintang semakin semangat bekerja. Sutan sering mengajak kami berdiskusi. Entah perkara apalah. Kadang teman-teman yang lain juga ikut terlibat. Bahkan untuk sebuah proyek kecil saja, Sutan sering meminta pendapat dari banyak orang. Keramahannya mencuri perhatian orang-orang di kantorku. “Dia suka sama kamu.” Tiba-tiba Lintang muncul dari belakangku. “Siapa?” aku bingung.”Itu.” Lintang mengangkat alisnya sambil melihat ke arah ruangan Pak Edo. Aku semakin bingung. Yang benar saja, Pak Edo sudah seperti ayahku sendiri. Lintang terbahak keras begitu tahu aku mengira Pak Edo yang menyukaiku. “Payah kamu. Itu maksudku!” kali bukan hanya alisnya yang menunjuk, tapi juga tangannya. “Itu.” Sekali lagi Lintang meyakinkanku. Sutan?

 

Semenjak Sutan satu kantor denganku memang banyak proyek yang kami garap bersama. Sebagai Executive Producer tentu aku tidak terlalu terlibat banyak dengan tim di lapangan. Berbeda dengan Lintang, produser yang harus mengejar tenggat waktu masing-masing divisi, termasuk divisi musik. Aku tidak terlalu tahu tentang Sutan. Selain itu aku juga menjaga reputasiku di perusahaan ini. “Bukannya kamu yang suka dengan Sutan?” tanyaku pada Lintang ketika untuk kesekian kalinya ia menjodohkanku dengan Sutan. “Gilda, di dunia ini tidak semua yang kita suka harus kita miliki. Seperti aku dan Sutan. Kamu ingat Can Erdem kan?” Lintang memaksaku mengingat lelaki Turki yang ia kenal beberapa waktu lalu. “Apa hubungannya?” tanyaku malas-malasan. “Aku tidak akan mengorbankan Can Erdem demi Sutan. Iya Sutan memang tampan mempesona, pintar bergaya, dan berkata-kata. Mataku segar setiap kali melihatnya. Otakku encer setiap selesai bertukar pikiran dengannya. Di balik semua itu, ada yang harus kamu ingat, Can Erdem adalah masa depanku.” Tangan Lintang membentang lebar. Ia menutup kalimatnya dengan percaya diri, “ Sutan adalah masa depanmu.” Aku melengos. Ada-ada saja.

 

Lintang tidak membual. Sutan memang selalu mencari cara mendekatiku. Tentu dengan cara yang elegan. Bukan cara murahan yang biasanya dilakukan oleh lelaki yang sedang mendekati wanita incarannya. Tidak ada pertanyaan, sudah makan atau belum. Sutan langsung datang dengan makanan kesukaanku. Ia tidak pernah rewel menanyakan dengan siapa aku pergi, sedang di mana, berbuat apa, dan sebagainya. Sutan membebaskanku menjadi aku. Sebuah perbuatan yang jarang aku dapatkan dari banyak laki-laki yang mendekatiku. Lintang bukan satu-satunya yang menjodohkan kami. Pak Edo ikut serta. Bahkan sebagian besar karyawan setuju kalau Sutan adalah pendamping yang cocok untukku. Aku tidak mau gegabah. Aku mengulur waktu. Sutan tidak mudah menyerah. Ia tahu aku suka wangi tanah kering terkena air hujan. Satu waktu aku stress sekali karena ideku berkali-kali ditolak Ibu Camila. Sutan dengan sengaja mengajakku ke taman kantor yang kering. Ia mengambil ember berisi air, disiramkannya di tanah kering. Wangi khasnya menyeruak di udara. “Semoga kamu tidak stress lagi.” Katanya dengan peluh bercucuran. Aku kehilangan kata-kata.

 

Beberapa kali aku dan Sutan terlibat perdebatan sengit. Ia selalu tahu cara memenangkan hatiku. Sekaligus memenangkan perdebatan itu. Ia suka sekali menggangguku. Ia akan mencari hal apa saja untuk diperdebatkan denganku. Ia mempertanyakan talent yang aku pilih, mulai dari sutradara sampai modelnya, atau sekadar mengomentari cara aku mempresentasikan ide di depan Ibu Camila. Caranya mengangguku justru membuat aku merasa semakin pintar. Berdebat dengannya sangat menyenangkan. Selesai perdebatan biasanya Sutan akan mengomentari jawaban-jawabanku. Ia akan mencela atau memuji dengan tulus. Ujungnya kami akan makan malam bersama, tentu dengan menu pilihanku. Aku mulai terbiasa dengan perhatiannya yang ajaib. Aku mulai kehilangan kalau ia belum menggangguku seharian.

 

“Tunggu apalagi?” tanya Lintang melihat kedekatan kami. Aku hanya tersenyum kecil. “Dia belum bilang apa-apa?” Lintang masih penasaran. Aku menggeleng. Lintang menekuk wajahnya tanda tak senang. “Sudah lebih dari satu tahun ‘kan?” lagi-lagi Lintang bersuara. “Lelaki macam apa!” ia semakin geram. Aku salah tingkah. Ingin membela Sutan, tapi hati kecilku juga menanyakan hal yang sama. “Bagaimana kalau kamu yang bertanya?” Lintang mulai kehabisan akal. “Yang benar saja.” Aku menolak. Sutan tidak pernah tahu perasaanku padanya. Aku bahkan tidak berterus terang tentang isi hatiku pada Lintang. Bagaimana pun juga, aku bos mereka setelah Pak Edo.

 

Hari itu Sutan membuat janji denganku. “Ada film bagus?” tanyanya. Ia tahu aku suka menonton. “Tidak tahu, paling seputar Valentine.” Jawabku. “Besok makan dulu atau nonton dulu?” Sutan meminta pendapatku. Aku tidak banyak meminta, terserah, adalah jawaban andalanku. Besok 13 Februari. Menurut Lintang, Sutan pasti akan menyatakan perasaannya tepat jam 00.00 di tanggal 14 Februari. “Romantis sekali….” Lintang melamun sendiri. Aku pun menunggu apa yang akan dilakukan Sutan hari itu.

 

Aku mematut wajahku di cermin. Gaun termanis, riasan wajah istimewa, rambut kutata sedikit bergelombang. Aku menunggu hari ini. Seperti aku menunggu hujan di bulan Februari. Biasanya bahkan banjir melanda Jakarta, tapi kali ini sudah satu bulan belum turun hujan. Hari itu tidak biasa. Langit gelap. Angin dingin menyeruak. Tanda-tanda hujan akan turun. Tanah kering sudah rindu gemericik hujan, seperti aku yang rindu wanginya. Benar saja, hujan turun perlahan. Aku membuka jendela kamarku. Masih menunggu kedatangan Sutan, mungkin terjebak macet. Apalagi hujan sore hari di Jakarta.

 

Ponselku bergetar, mungkin Sutan. Aku siap menjawab dengan manis. “Tidak apa-apa, tidak usah buru-buru.” Begitu dalam khayalku. Kulirik nama yang terpampang di layar ponselku. Nomor yang tidak aku kenali. Biasanya akan aku abaikan, kali ini entah mengapa aku ingin mengangkatnya. “Halo,” suara wanita di ujung sana. “Iya.” Jawabku pendek. “Dengan Gilda Rianda Ibrahim?” Aku iyakan dalam kebingungan. “Aku hanya ingin kamu tahu, aku sudah tahu kalau suamiku sedang mendekatimu. Dia memang seperti itu, ramah dan mudah disukai oleh banyak orang. Semoga kamu cukup tahu diri dan punya harga diri. Kami sudah punya anak, masih tiga tahun. Kami satu kampus di The Julliard dulu. Dia seni musik, aku seni tari. Kalau kamu perlu bukti, aku bisa memperlihatkan surat nikah kami.” Selebihnya aku tidak mendengar apa yang ia bicarakan.

 

Satu yang aku banggakan, aku tidak pernah menyampaikan isi hatiku pada Sutan, atau pada siapa-pun. Hanya lirih kusampaikan pada hujan sore itu. Setidaknya tidak ada satu-pun yang bisa membuktikan kebodohanku karena menyukai Sutan. Sebelumnya, aku pernah sempat menyesal mencintainya dalam diam. Aku pernah geram menunggunya menyatakan isi hati. Aku pernah ingin mengutarakannya lebih dulu, tapi aku tahan. Malam itu semua batal. Aku tidak bisa dihubungi. Aku yakin, ia tidak akan terlalu mencari. Ada yang lain di rumah, menanti. Aku tidak punya kata-kata untuk menjelaskan perasaanku. Hanya perlu lima menit bercakap dengan suara asing itu. Seketika aku membenci bau tanah kering tersiram hujan deras.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar