Disukai
3
Dilihat
5,085
Secangkir Utopia
Drama

Dia mutant! Penuh keganjilan. Rang dalam ingatanku ialah sesosok lelaki merdesa yang memanjakan mata. Maka aku tak tahu harus merespon bagaimana saat didatangi pria bersepah yang mengaku sebagai dirinya.

"Jangan mencariku!” bentaknya seraya menghunuskan katana1 tepat ke depan wajahku.

Selagi aku berusaha mengatasi takut dan kebingungan, ia mulai terbahak dengan bibir membiru dan separuh tubuh tertimbun salju. 

***

"God!"

Semburan dahsyat membuatku terpekik dan terjaga, semerta seringai Bey yang berpagar menyambut. Pelaku serangan air itu membuatku ingin memaki.

“Komputernya mati, tuh!” ia berseru, menunjuk layar monitor datar di tengah ruangan.

"Deadline gue!"

Seketika kadar kesadaranku melonjak naik, setengah gila kuberlari menuju meja kerja, demi tahu nasib rendering2 separuh jalan yang kutinggal tidur. Kunyalakan komputer, bergegas mencari folder bertajuk Kota Utopis dan menemukan tiga image residen bergaya Minka3 terpampang apik.

"Gue kira bakal gagal presentasi dan alamat potong fee..." Aku membuang napas lega, upah pekerjaaku sebagai freelancer 3D artist dalam proyek kali ini selamat.

Sisa kepanikan di wajah kucelku membuat tawa Bey bergemerincing, serapah dalam benak yang tadi hendak meluap, seketika bertransformasi menjadi rasa syukur dan mengalirkan ucapan terimakasih,

“Makasih Bey udah ngelanjutin kerjaan gue. Gak kuat semalem ngantuk berat," tuturku tulus.

Teman sekamar kos yang seprofesi denganku itu mengacungkan jempol, lalu menyodorkan segelas air putih, “Mimpi jelek, Lyn?”

Aku mengangguk. 

“Si Rang? Lagi? Astaga!”

“Iya,” jawabku tak bisa mengelak, beberapa hari ini kerinduan yang membuncah itu membuatku tak henti membicarakan soal Rang pada Bey. Wajar saja ia menerka tema mimpiku dengan tepat.

“Dasar budak cinta. Ketemuan aja sih! Biar damai kuping gue dari curhatan lo yang berkepanjangan.”

Aku terbahak tragis. Kantongku tak mampu menjangkau keberadaan lelaki itu.

"Gimana kalo lo ke rumah dia? Minimal dapet info 'kan dari keluarganya."

"Hhh... Bey, lo masih muda udah pikun. Kan gue udah pernah cerita, waktu gue ke sana, yang ngisi rumahnya ternyata orang lain. Mereka semua udah lama pindah."

"Aneh banget sih, katanya deket tapi kok hal kayak gitu gak dia ceritain ke lo. Jangan-jangan, cuma lo yang nganggap kalian bestie?" cecar Bey, membuatku tertohok.

"Mungkin menurut dia itu gak penting kali," balasku defensif, meski hatiku merasa ngilu.

Jangan-jangan benar kata Bey, kami tidak sedekat yang kukira.

"Lo yakin dia ga punya medsos?" tanyanya lagi.

"Engga tau, dia ngilangnya sebelum android menjamur, Bey!"

***

Aku dan Rang, perempuan dan lelaki, si pemberontak dan si teladan. Aku penikmat band indie dan Rang penggemar soundtrack anime. Aku yang anak pasangan karyawan biasa dan Rang sang putra pemilik klinik kecantikan ternama. Aku yang gemar membuat grafiti di sana sini, dan Rang yang lukisannya membawa trophy ke lemari sekolah kami.

Kami, dua entitas yang tampak kontradiktif ini, justru akrab saling bercerita lewat buku yang kami tulis bergantian. Kebiasaan yang diawali Rang saat mengajak berkenalan pada hari pertama berseragam abu-abu itu terhenti di ambang kelulusan. 

Rang yang berencana memakai pakaian adat berwarna sama denganku tak hadir di acara wisuda, atau mungkin hadir tapi kami tak bersua. Sebab kutemukan buku catatan bersampul kopi kami di atas mejaku, bersama sebuah tumbler yang kutebak berisi Americano double shoot espresso kesukaanku.

Firasatku buruk, nomornya juga tak aktif sejak pagi itu. Kubuka lembar demi lembar, berharap Rang meninggalkan sebuah pesan. Lalu, tatkala menemukan goresan pulpen terbaru, napasku tertahan.

“Terimakasih atas tahun-tahun yang membahagiakan. Tetaplah sehat Lyn. Jangan lupa untuk menghabiskan kopimu. Aku akan berangkat ke negeri Enka, membuat banyak sketsa di sana meski ayah menentangku. Jadi, mari nanti bertemu di bawah salju.”

Tak dinyana, itulah permulaan musim dingin panjang bagiku. Marka titik di ujung cerita beriring henti hadir raganya. 

***

Sementara teman-temanku yang lain bersiap memasuki perkuliahan, bahkan ada yang langsung bekerja karena faktor biaya, aku masih belum bisa menerima kenyataan.

Kenyataan bahwa aku telah ditinggalkan.

Aku yang berstatus pengangguran, sepertinya tak membuat orang tuaku keberatan, justru sepertinya mereka sedikit lega karena tak perlu memikirkan biaya untuk menjadikanku mahasiswa. Setidaknya memberi uang untuk sekedar memfasilitasi hobi tak terlalu membebani, toh aku sudah tak perlu bayar SPP sekolah lagi.

Seiring hari yang berganti bulan, kebiasaanku membuat grafiti berubah haluan. Aku mulai meniru kebiasaan Rang. Masker dan botol-botol cat semprot yang berdesakan dalam ranselku, kini berganti dengan buku sketsa dengan pensil dan aneka drawing pen yang kubeli di lapak stationery.

Dengan ransel itu, juga tak ketinggalan setumbler kopi, aku berkeliaran ke sudut-sudut kota tempat tinggal kami. Kutelusuri kembali ruang-ruang terbuka kota, pasar kaget, pinggiran kali, tepian jalan, dan tempat-tempat lainnya dimana Rang pernah minta kutemani sketching sambil menyesap kopi.

Setelah berkali-kali mencoba memvisualisasikan objek yang kulihat ke atas kertas, sepertinya hasil goresan tanganku ini tetap hanya akan membuat Rang tertawa. Kuakui sepenuh hati, bahwa tembok dan kertas memang berbeda. Meski demikian aku menyukainya. Karena melakukan hal tersebut, membuatku merasakan kehadiran Rang. Setidaknya sampai setiap kopiku habis tak bersisa.

Lalu suatu hari, ketika baru saja membuka mata, aku teringat akan sebuah gubuk di tepi danau yang kami temukan kala bermotor di suatu senja. Tanpa pikir panjang aku mengambil kunci dan mengeluarkan motorku dari garasi. Tak kuhiraukan omelan ibu yang mencegahku keluar rumah di pagi buta,

"Lyn! Ini masih jam tiga!" jeritnya murka.

***

Menelusuri jalanan yang masih sepi, melewati deretan bangunan komersil, perumahan sederhana, juga area pemakaman, hanya segelintir saja kendaraan juga manusia yang terlihat sejauh mata memandang. Ternyata tanpa kemacetan, tak memakan waktu terlalu lama bagiku melintasi sekitar 20 kilometer untuk tiba di lokasi.

Lampu jalanan yang temaram menyambutku di penghujung perkampungan ini. Gelap meski tak terlalu pekat. Kuparkir motorku dan menyalakan flash light pada gawai, semak rimbun menyambut pandangan, kutelusuri semak setinggi lutut itu sambil berdoa semoga tak ada ular menghampiri. Akhirnya, tiba juga aku di tepi danau buatan yang kucari. Kulayangkan sinar dari gawaiku, mencari gubuk kenanganku bersama Rang.

Ketemu! Rupanya terhalang beberapa rumpun bambu. Semakin mendekat, wujud gubuk itu semakin jelas, dadaku disesaki haru.

Bangunan berdinding anyaman bambu dan berlantai semen tanpa pintu itu terbilang kecil untuk disebut rumah. Mungkin tadinya dipakai untuk peristirahatan warga sekitar yang kadang mengolah lahan kosong di sekitar danau, atau mungkin tempat menyimpan hasil panen sementara.

Aku mengarahkan sinar gawai ke dinding-dinding gubuk. Kuraba dinding penuh warna yang mulai kusam dimakan cuaca, memandanginya dengan penuh arti. Karya kami. Dulu aku dan Rang pernah menghabiskan beberapa hari di sini setiap pulang sekolah juga akhir pekan, menguaskan cat aneka warna dengan konsep sesuka hati.

Puas mengitari gubuk sekitar 12 meter persegi itu, aku duduk di batu besar, memandang ke arah danau yang masih samar dalam gelap. Lampu-lampu rumah warga di seberang danau tampak bagai kunang-kunang. Tiba-tiba perutku berbunyi,

"Ah rupanya gue lapar. Oiya... Semalem belom makan," aku menyeletuk sendiri.

Bahkan aku tak ingat kapan terakhir kali makan dengan benar hingga kenyang. Orangtuaku belakangan ini sering berkomentar tentang betapa aku begitu kurus. Aku melipat badan, perutku terasa semakin nyeri, disertai mual dan ingin muntah. Sepertinya aku masuk angin, rasanya sangat tak nyaman. Badanku pegal semua, mungkin karena sepekan ini aku pergi ke beberapa spot untuk membuat sketsa hampir tanpa jeda. Biasanya, saat sedang tak melakukan apapun beginilah tubuh berdemo mengeluarkan keluhannya. Kuputuskan untuk rebahan di lantai gubuk sambil menunggu pagi.

Kuletakkan gawaiku dengan kondisi flash light tetap menyala. Aku menguap dan kelopak mataku berat. Selain rasa kantuk yang mulai menghampiri, berbaring sendirian di tempat penuh kenangan ini, membuat gelenyar kerinduanku pada Rang semakin meronta, menyesakkan dada.

"Gue kangen luar biasa, dasar otaku penghianat," ucapku lamat, seiring air mata yang mengalir hangat dan lambat.

***

Bau obat menusuk hidung, kubuka mata perlahan, namun silau cahaya lampu membuatku menyipit dan terpejam kembali.

"Gue, dimana?" tanyaku lemah, entah pada siapa.

"Lyn! Alhamdulillah. Udah bangun kamu..."

Suara ibu?

"Anak badung! Bikin orangtua susah aja!"

Suara bapak.

"Sudahlah pak, jangan ngomel. Biarin bangun dulu. Nanti dia pingsan lagi gimana?"

Suara ibu lagi.

Kemudian kudengar ibu memanggil seseorang, aku masih berat untuk membuka mata.

"Mbak, bangun. Mbak tahu sekarang ada dimana?"

Orang yang ibu panggil menghalangi cahaya lampu sehingga aku tak silau dan bisa membuka mata, kuamati orang yang bertanya padaku.

"Ibu siapa?"

Sejenak wanita berjilbab itu menghela napas lega, "Saya bidan desa. Mbak sekarang ada di posyandu."

"Kamu ditemukan pingsan Lyn," ucap ibu.

"Pingsan? Ah motor! Motor Lyn dimana, Bu?!" aku bertanya panik.

Lalu sebuah jitakan menghantam batok kepalaku. Jitakan bapak.

**

Kembali pada diriku di masa ini yang tengah mengendarai motor menuju rumah kos setelah menyerahkan tugas dan menerima bayaran. Di tengah perjalanan, hujan turun padahal tadi panas terik sekali. Jas hujan yang tertinggal, memberiku alasan untuk melipir ke kedai kopi.

Aku memasuki kedai kopi sambil memaki cuaca, padahal ibu sering bilang kebiasaaku itu berdosa. Mencium semerbak aroma kopi, aku teringat lagi pada Rang. Kabarnya Hokkaido telah bersalju sejak permulaan November.

Setelah memesan Americano panas, aku menuju meja menghadap jendela, menatap hujan yang dengan lancarnya kembali memanggil kerinduan. Dialog dalam hatiku bersahutan, kukeluarkan buku tulis bersampul kopi dari ransel dan segera menulis,

"Hey Rang. Semalam gue berhasil membuat Naberyōri4 lo pasti tergoda mencicipinya di tengah cuaca dingin begini. Anata wa shite imasuka?5

Kapan lo ajak gue ke Jepang? Pengen nyobain masuk ke rumah tradisionalnya yang asli. Gue masih menantikan saat kita bisa duduk bereng di atas tatami, menyeruput kopi. Saling cerita sambil menikmati Nakaniwa.6"

Aku menghela napas panjang, memasang penutup pena sebelum air mataku luruh dan mengundang tanya pengunjung lainnya. Untunglah berdetik setelahnya customer pager nirkabelku bergetar, sehingga aku bisa beringsut mengambil Americano pesananku sambil mengalihkan duka.

Kebiasaanku menulis di buku bersampul kopi memang terus berlanjut hingga kini. Dalam lima tahun, buku yang tadinya hanya sebuah, kini telah mencapai jilid enam. Semuanya kubalut serupa, dengan namaku dan Rang di covernya. 

Berkat buku-buku itu aku bisa bertahan hidup dalam kewajaran, meski separuh jiwaku terbelenggu dalam winter blues yang panjang.

Puncaknya saat aku pingsan di gubuk tepi danau dan digotong warga ke posyandu dahulu itu. Untunglah aku ditemukan beberapa orang yang hendak memancing di danau. Gawai yang tak kukunci rupanya membawa hikmah, mereka segera bisa menghubungi orangtuaku. Tentu saja karena mereka khawatir, aku segera dilarikan ke rumah sakit.

Hasil tes darah menyatakan aku terkena tifus dan harus menjalani rawat inap. Meski ibu dan bapak sering mengomel, tapi melihat letih di wajah mereka ketika menungguiku dirawat selama beberapa hari, membuatku muak dengan kelakuanku sendiri, belum lagi biaya yang dikeluarkan kuyakin tidaklah sedikit.

"Cukup Lyn! Kehilangan tak mesti begini." Tekadku dalam hati.

Namun, mencari Rang sudah terlanjur tertanam di alam bawah sadarku. Kemanapun kupergi, apapun yang kuhadapi, secara otomatis indraku berusaha mendeteksi keberadaan sosoknya. Maka kini, saat username R.G muncul pada tagar draw Nijō Castle yang kuikuti di sebuah media sosial, instingku langsung bekerja.

R.G? Apakah ini Rang?

“Kau lihat ini Lyn. Ini tanda keaslian karyaku,” tutur Rang bertahun silam. 

Mataku terbeliak mendapati ciri khas Rang pada sketsa itu, kulihat feed miliknya dan seketika aku menggebrak meja.

Rang, ini benar-benar lo!

Ada sensasi menggelenyar dalam dada, aku tertegun seolah ini tak nyata. Jika Rang punya akun media sosial, kenapa tidak pernah mencariku? Padahal aku sengaja menamai akunku dengan nama asli. Ah! Atau benar apa kata Bey, aku salah sangka dengan hubungan kami?

**

Setelah menjadi stalker berhari-hari, kuberanikan diri mengirim pesan pada R.G.

“Hey. Apakah ini Rang sahabat Lyn?” ketikku dengan jari gemetar. Ada setitik keraguan kalau-kalau aku salah orang.

Sedetik, dua detik hingga seminggu berlalu pesanku tak digubris. Barulah di minggu ketiga tampak tanda seen, tanpa balasan. Minggu kelima aku mulai dongkol bahkan membenci sikap Rang. Sungguh, menurutku dia tak punya hak bersikap abai setelah semua hal yang kualami. 

Bagai mimpi, seketika itu ia membalas, “Hai Lyn. Aku rindu. Ayo bertemu. Kau masih ingat jalan ke gubuk danau kan?”

Bibirku rekah seketika. 

Rang di Indonesia!

**

Hari ini, untuk menyenangkan Rang yang lama di Jepang, aku berdandan dan mengenakan yukata7 modern biru muda berpadu celana jeans. Ya, tentu saja pakai jeans! Karena aku harus mengendarai motor kesayanganku, tak mungkin aku memakai kimono panjang.

Semakin dekat, degup jantungku menggila. Kuparkir motor di tempat terakhir kali kemari. Alang-alang di hadapanku rupanya masih saja tinggi dan kini kering karena mentari begitu terik beberapa hari belakangan ini. Aku mengatur napas, kusibak alang-alang setinggi kepala dan melihat tanah botak membelah semak. Sepertinya warga sering menggunakan jalur ini untuk menuju danau, mungkin untuk memancing seperti orang-orang yang menolongku dahulu.

**

Aku tiba di gubuk, cahaya matahari membuat bangunan di hadapanku lebih jelas dibandingkan saat malam itu aku kemari. Lukisan abstrak kami, nama kami yang kubuat besar-besar tampak indah bagiku meski semakin pudar. Mataku terasa panas, tapi kutahan agar air mataku tak meleleh.

Aku ingin menemui Rang dengan tersenyum.

Aku melangkah mendekat, ruangan gubuk yang kukira dalam keadaan kotor, ternyata tampak bersih. Bahkan sebuah tikar digelar menutup lantai semen, dengan dua buah tumbler tersaji di atasnya. Satu tumbler terutup dan satunya lagi terbuka, menebar aroma kopi yang menenangkan.

"Ah... Rang sepertinya bahkan menyiapkan ini semua," tebakku dengan penuh haru.

“Lyn!”

Akhirnya suara yang kurindu memanggil, sekonyong-konyong darahku berdesir.

"Rang!" aku terpekik bahagia.

Dan saat menoleh... Aku terhenyak. 

Rang yang berlari memelukku memang mengejutkan, namun mataku terbelalak oleh latar kobaran api memakan alang-alang kering. Kenapa bisa ada api? Ah. Tadi sempat kucium bau bensin selama berjalan kemari. Ada apa sebenarnya ini?

“Rang! Rang! Ada api!” aku berteriak ngeri. 

Aku mendongak dan mendapati Rang menatapku dengan mata bulat dan seringai jenaka. Ekspresi ganjil itu membuatku bergidik.

“Rang kita harus pergi dari sini!” jeritku. 

Api mulai merambati alang-alang dekat gubuk. Aku berteriak sekuat tenaga sambil meronta, berusaha lepas dari dekapan Rang. Lelaki itu tak bergeming, sedangkan kobaran api kian mendekat, siap melahap kami. 

"Rang! Kenapa lo begini?! Lepasin gue dulu. Ayo pergi!" Aku benar-benar ketakutan setengah mati.

Asap yang semakin tebal membuat napasku kian sesak, mataku perih, kurapal ribuan doa. Sepertinya sesak akibat asap dan dekapan erat Rang membuatku berhalusinasi, kudengar suara ramai orang-orang berbaur dengan suara ilalang dan ranting kering terbakar api.

"Pak! Ada orang, Pak!"

"Tuh kan bener, tadi saya lihat motor di depan."

"Pasti bukan warga sini! Kan sudah saya woro-woro kalau hari ini mau bakar alang-alang."

"Makanya saya bilang juga semprot rumput pakai bahan kimia aja biar mati sendiri. Bahaya kan dibakar begini!"

"Sudah ributnya! Mereka bisa keburu mati! Panggil damkar! Cepat!"

"Sudah Pak! Saya sudah panggil diam-diam sejak tadi bapak sulut api, untuk jaga-jaga! Nah itu! Itu mereka datang!"

Di ambang kesadaranku, raungan khas truk pemadam kebakaran terdengar, kulihat sosok tangkas berlari menembus api yang berseteru dengan foam. Busa-busa putih menyembur menghujani kami, memadamkan kobaran api.

Aku menangis tersedu. Tuhan masih sayang padaku. Lalu samar kudengar Rang berisik dan membuatku kembali dirayapi ngeri,

"Akhirnya Lyn. Aku menepati janjiku. Kita... Kita bertemu di bawah salju.”

***

Footnotes:

1. Pedang panjang khas Jepang.

2. Proses membangun image (gambar)dari bentuk modeling.

3. Rumah tradisional Jepang.

4. Masakan Jepang, disajikan dalam panci.

5. Tahukah kamu?

6. Taman di bagian dalam rumah khas Jepang.

7. Pakaian kasual tradisional Jepang.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar