Disukai
1
Dilihat
1,722
Sebuah Halo yang Melukai
Drama

Setelah kupikir-pikir lagi, sebaiknya hari itu memang harusnya tak usah saja kuhubungi nomor lelaki itu. Satu dari kesalahan terkonyol yang memalukan di sepanjang hidupku adalah dengan sengaja melupakan fakta bahwa sebuah “Halo” yang manis juga punya kemampuan untuk menjelma menjadi “Goodbye” yang sadis. Menjengkelkan!

***

Aku sedang berada di pinggir jalan, di halaman rumahku, saat lelaki itu menyapa. Katanya, sepeda motornya mogok dan dia membutuhkan sedikit pertolongan untuk membeli bensin. Dia lelaki jangkung bermata bulat besar dengan senyum semanis madu. Kilau gigi putihnya yang menawan benar-benar menyita seluruh perhatianku, membuatku sulit berkata ‘tidak’.

“Ooh. Silakan, asal jangan dibawa lari,” kataku.

Setelah tertawa kecil, dia menghilang dan meninggalkanku bersama sepeda motor mogoknya di halaman rumah. Tak lama, ibuku keluar, lalu menanyakan dengan siapa aku berbicara.

“Sekarang ke mana anak itu?” tanya Ibu.

“Ke sana. Katanya mau beli bensin.”

Ibu tak membalas ucapanku. Matanya awas menatap sampah-sampah yang belum selesai kubereskan.

Jujur saja, entah siapa dan dari mana lelaki itu aku tak peduli. Caranya tersenyum dan berbicara benar-benar memikatku. Dia juga tak menatapku lama-lama dengan pandangan nakal khas lelaki. Maka, bohong sekali jika aku tak terpikat. Aku malah berharap kalau-kalau dia menoleh, melihatku sekali lagi bahkan setelah motornya menjauh.

“Kenapa senyam-senyum?” tanya ibuku.

“Enggak, Bu.”

Kupikir, sebaiknya tak perlu memberi tahu ibuku bahwa aku tertarik kepada lelaki itu. Sebagai perempuan yang masih normal, bisa memandang lelaki tampan secara langsung adalah sebuah anugerah yang tak boleh dilewatkan. Kurasa, ibuku pun paham akan hal itu.

Tak sampai di situ, kesenanganku pagi itu rupanya masih berlanjut. Sebelum lelaki itu pergi melanjutkan perjalanan, sempat aku mengobrol dan meminta nomor ponselnya. Pokoknya, aku berminat mengenal dia lebih jauh dan harus berhasil mendapatkan hatinya. Sebagai perempuan yang hidup di zaman modern, meminta nomor ponsel lelaki lebih dulu bukan lagi jadi hal yang memalukan.

*

Kata orang-orang, cinta tumbuh karena kebersamaan. Benar saja, makin aku sering terlibat obrolan dengan lelaki itu, mengenal kepribadiannya, makin aku jatuh hati. Ujung-ujungnya, apalagi … aku makin sering merindui kehadirannya di sisiku, setiap saat. Nyaris tak ada malam terlewatkan tanpa bersenda gurau dengannya. Receh, memang. Namun, kehadirannya di hidupku berhasil mengubah banyak hal, salah satunya rutinitas waktu tidur jam sembilanku.

Dia lelaki baik dengan gagasan yang memukau, berwawasan luas, dan banyak memberiku pemahaman baru tentang dunia. Dia lelaki pekerja keras dan penyuka perempuan cerdas. Katanya lagi, aku adalah tipe perempuan ideal: tak terlalu manja dan tak suka bersolek. Sebaliknya, menurutku dia pun adalah tipe lelaki idaman. Dibanding lelaki yang suka menebar puji dan rayuan, aku lebih menyukai lelaki pandai menasihati seperti dirinya.

“Hati-hati. Jangan terlalu dalam terlibat sama orang yang belum jelas,” ucap ibuku pagi itu sementara aku bersiap-siap memilih pakaian yang bagus. Ibu duduk di tepi ranjang sembari memperhatikanku yang mondar-mandir dengan wajah semringah. Rencananya, sesuai kesepakatan, beberapa jam lagi aku akan bertemu dengan lelaki itu.

“Yang ini gimana, Bu? Kayaknya cocok.” Dengan percaya diri, kutempelkan sehelai baju ke tubuh lalu kuamati bayanganku di depan sebuah cermin besar.

“Kulitmu itu putih. Pakai baju apa saja bagus.”

Aku tersenyum mendengar ucapan itu. Ibuku benar.

“Yang biru ini saja. Kelihatan rapi dan sopan,” kata Ibu lagi.

Akhirnya, setelah mengenakan sebuah tunik biru muda yang dipilihkan ibuku pagi itu, aku berangkat dengan perasaan was-was sekaligus berbunga-bunga. Deru sepeda motorku pagi itu pun rasanya tak mampu mengimbangi degup jantungku yang berdetak gegap-gempita.

Aku gugup. Meski telah lumayan lama kami mengobrol di telepon, berjumpa secara langsung dengannya tetap saja menghadirkan canggung bagiku. Apalagi, dia terlihat rapi sekali pagi itu. Kemeja lengan pendek berwarna maroon membuat dirinya makin berwibawa. Dengan sebuah senyum simpul, aku duduk di hadapannya, menyaksikan pemilik wajah teduh itu memilih minuman yang akan kami pesan.

Udara pagi itu sangat bagus, tak terlalu panas dan tak terlalu berangin. Duduk berhadapan di sepasang kursi di bawah pohon-pohon pinus yang rindang adalah pilihan tepat agar otakku tetap adem, tak kekurangan asupan oksigen karena dilanda rasa grogi. Sesekali sehelai daun pinus jatuh ke meja, membuat pikiranku berkelana membayangkan musim-musim gugur.

“Kamu yakin suka sama saya?” tanyanya hati-hati.

Aku yang mendengar pertanyaan itu secara tiba-tiba berubah menjadi tegang sekaligus gagap.

“Hmm. Iya. Maaf, ya,” kataku, gugup.

“Kenapa minta maaf?”

“Karena sudah bilang suka.”

“Justru itu saya ajak kamu ke sini.”

“Buat?”

“Biar lebih jelas. Saya maunya kamu ngomong di hadapan saya.”

“Malu.” Aku tertunduk mengulum senyum.

“Kenapa? Saya suka perempuan yang berani jujur.”

“Jadi, apa jawabanmu?” tanyaku penasaran.

“Tak ada. Belum," ucap lelaki itu datar sambil menyeruput sebotol minuman.

“Kenapa?” tanyaku lagi hati-hati. Detak jantungku makin tak karuan.

“Sejujurnya, saya sudah bertunangan,” jawabnya sambil menunjukkan sebuah cincin berwarna silver yang melingkari jari manisnya.

Bagai tersambar truk yang sedang melaju kencang, tubuhku serasa remuk: dihantam dengan sangat keras lalu hancur menjadi butiran kecil. Telapak tanganku berubah dingin. Jangan tanya bagaimana otakku bereaksi terhadap hal mencengangkan yang baru kudengar itu.

“Kenapa enggak bilang dari kemarin-kemarin?” Suaraku mulai parau.

“Maaf. Saya bingung. Di satu sisi, saya juga punya perasaan lebih sama kamu. Saya enggak mau kehilangan kamu,” ucap lelaki itu. Wajahnya mulai memerah karena panik.

“Terus apa bedanya sama sekarang? Kamu bilang statusmu sekarang itu malah lebih nyakitin aku, tau?!”

“Dengarkan dulu. Tadinya saya ingin menyembunyikan status itu. Tapi, setelah melihatmu secara langsung, saya malu. Perempuan polos dan baik sepertimu tak pantas untuk ditipu.”

Aku berusaha mencerna perkataannya dengan tenang. Namun, bukannya menunggu, kakiku malah memutuskan untuk pergi, menjauh dari lelaki yang telah mengobrak-abrik isi kepalaku. Kejujurannya membuatku kesal dan kecewa. Segera aku bangkit lalu menuju tempat sepeda motorku terparkir. Aku melaju dan meninggalkannya yang berteriak memanggilku.

Sepanjang jalan, semua jenis sumpah serapah berloncatan dari bibirku. Bohong sekali jika aku tak marah. Lelaki itu telah mematah-matahkan hatiku dalam sekali waktu.

***

Aku sedang berada di pinggir jalan saat lelaki itu menyapaku. Katanya, ban sepeda motornya bocor dan dia meminta izin duduk sebentar di bawah pohon mangga, di halaman rumahku. Dia lelaki rembunai dengan visual wajah mirip Korea. Kedua matanya yang sipit berubah semirip garis saat tersenyum kepadaku. Tak lupa, bibir semerah kelopak mawar itu tersungging amat indah ketika dia mengucapkan kata ‘terima kasih’. Ibuku berada di teras rumah dan sedang menyetek bunga-bunga mawar. Seperti biasa, Ibu takkan lupa akan pertanyaan pamungkasnya: Dengan siapa aku berbicara?

“Sekarang ke mana anak itu?” tanya ibuku.

“Enggak tau,” jawabku.

“Apa dia butuh bantuan?” tanya Ibu lagi.

“Enggak tau.”

Segera aku berlalu melewati Ibu, menenteng sapu dan pengki di tanganku. Sampah-sampah di halaman rumah sudah selesai kubereskan.

(*)

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar