Ketika semua hanya sebatas bercanda
Dapatkah hati hanya sekedar ikut bercanda?
Bercanda tanpa melibatkan rasa
Ketika semua hanya sebatas bercanda
Mampukah rasa yang datang segera pergi?
Ketika semua hanya sebatas bercanda
Ketika semua yang terjadi hanya sebatas bercanda di matamu
Tidak kau lihat perasaanku tidaklah sebatas bercanda
Aku menyukaimu
Menyukaimu bukanlah sebatas bercanda
---------------------------------------------------------------------------
Rambut dikuncir satu terlihat seperti ekor kuda menggunakan ikat rambut warna putih dibalik topi warna putihnya. Gadis itu sedang berkumpul bersama teman-teman seangkatannya, anak-anak maba yang datang pagi-pagi buta untuk kegiatan ospek yang diadakan fakultasnya. Pakaian yang mereka semua seragam menggunakan kemeja putih dan rok panjang hitam bagi perempuan dan celana bahan berwarna hitam bagi laki-laki. Bahkan topi dan tas kain putih yang mereka gunakan hari itu juga dibuat seragam demi menjunjung tinggi kata sejawat.
Seorang laki-laki tampak mencolok diantara mereka. Laki-laki itu tidak ikut ospek beberapa hari karena kesalahan informasi yang diterimanya. Ia bahkan menggunakan dasi mencolok berwarna gold, sedangkan teman-temannya menggunakan seragam dengan dasi hitam. Perlengkapan ospek laki-laki itu pun tidak sebanyak maba yang lain di sekitarnya.
“Ellie!”
“Ya?!” Jawab gadis itu dengan senyum mengembang.
“Ada anak baru, dia nggak datang pas ospek sebelum-sebelumnya.”
“Mana?” Tanya Eliandra, gadis itu terlanjur kepo dengan ucapan teman yang dekat dengannya sejak tes kesehatan di salah satu tempat praktik dosennya yang merupakan dokter spesialis kejiwaan.
“Di sana, yang sendiri itu.”
“Yang itu?” Tunjuk gadis itu ke arah seorang laki-laki yang sedang membelakangi mereka.
Erland dan Eliandra berjalan mendekat dengan antusias menyambut penghuni baru yang ada di antara mereka. Gadis itu selalu bersemangat jika berkenalan dengan orang baru, orang baru yang setidaknya tidak memberikan tatapan menilai atau mengintimidasi padanya.
“Hai!” Sapa gadis itu menatap laki-laki di hadapannya yang wajahnya menunduk, mungkin sedikit cemas dan gugup pada saat ospek apalagi perlengkapannya belum siap semua.
“Oh, hai!”
“Kenalin nama gue Eliandra,” gadis itu memperkenalkan diri, mengulurkan tangannya dengan senyum yang terus menghiasi wajahnya sejak tadi.
“Farhan,” jawab laki-laki itu membalas uluran tangan antusias dari gadis di depannya.
“Kok gue baru liat lu yah?” Tanya gadis itu.
“Ah, itu…,” laki-laki itu menggaruk bagian belakang kepalanya yang tidak gatal, “gue salah informasi, gue kira ospek belum dimulai, ternyata udah beberapa hari dimulai.”
“Owalah, pantes gue gapernah liat lu selama ospek. Emang orang sini atau bukan?” Tanya gadis itu lagi.
“Bukan, gue aslinya orang Medan tapi lulusan SMA di Semarang.”
“Owh…” gadis itu membulatkan mulutnya.
“Udah kenalan sama dia belum?” Tanya gadis itu sambil menunjuk Erland yang ada di sampingnya.
“Tadi udah,” kata Farhan yang dibalas Eliandra dengan mengangguk-nganggukan kepalanya tanda mengerti.
Eliandra berbincang-bincang dengan Farhan dan Erland sebelum mereka menyusul maba yang lain masuk ke dalam gedung untuk mengikuti ospek fakultas. Ospek fakultas dan universitas sendiri dilaksanakan bersamaan di fakultasnya, berbeda dengan fakultas lain di kampus itu.
***
Hari-hari ospek telah terlewati. Gadis itu sedang berdiam diri menatap laki-laki yang selalu ia usili tiap hari karena menyukai ekspresi tegang dan terganggu yang dilemparkan laki-laki itu. Gadis yang suka mengusili lawan jenisnya dengan tingkah centil diangkatannya mungkin hanya dia, yang tiap hari mengusili satu orang dengan cara yang sama.
Gadis itu memperhatikan sekitarnya yang mulai sepi dan laki-laki itu masih di tempatnya, belum beranjak sama sekali. Dengan lompatan-lompatan kecil dan centil ia melangkahkan kakinya kea rah gadis itu. Teman-teman seangkatanya yang sudah terbiasa dengan tingkahnya tetap saja tertawa melihat kecentilan gadis itu.
“Faarrrhhhhaaannnnnn…!!” Panggil gadis itu dengan centil.
Laki-laki itu menatapnya risih dan meletakkan kepalanya di atas meja, mungkin ingin tertidur di siang yang terik itu. Walaupun biaya kuliah mereka paling mahal dari semua jurusan di kampus itu, tapi kelas mereka belum memiliki AC satupun. Salah satu alasan udara panas yang masuk dengan bebas di ruang kelasnya yang jendelanya semua di buka siang itu.
“Faarrhhaannnn…!” panggilnya lagi dengan nada centil khasnya.
“Ellie, farhan itu nggak suka lu gangguin,” kata laki-laki di pojok kelas yang tertawa melihat tingkah centil gadis itu.
“Bodo amat,” balas gadis itu.
“Farhan!” gadis itu merengek ingin melihat wajah laki-laki yang ada di depannya.
Gadis itu centil? Memang, apalagi untuk hal yang menarik perhatiannya. Walaupun laki-laki itu tidak menyambut aksi centilnya, gadis itu tetap melakukannya dengan senang hati. Setidaknya menurutnya dia adalah tipikal gadis limited edition di angkatannya.
***
“Gue suka sama Kristian,” kata temannya siang itu.
“Owh, yang pernah ngajakin gue kenalan sama minta kontak itu?” Kata Eliandra. “Pas itu hape gue mati jadi nggak ngasih, gue udah nyuruh ambil kontaknya Ayana aja.”
“Tenang, ntar gue bantuin kalian deket,” kata Ayana.
Siti, teman asramanya yang menyatakan rasa sukanya pada teman seangkatan mereka siang itu percaya saja dengan apa yang dikatakan Ayana padanya. Eliandra juga mempercayainya sebab ia tau Ayana sudah memiliki kekasih. Lagipula mereka semua teman, bukan teman namanya kalau membuat harapan palsu bagi temannya dengan kata-kata akan dibuat dekat tapi malah jadian dengan orang yang bersangkutan.
***
“Nggak ada yang ganteng kayaknya di angkatan kita deh, eh kecuali Erland,” kata Eliandra menginterupsi pembicaraan temannya mengenai visual laki-laki di angkatan mereka.
“Nggak, yang ganteng cuma Kristian,” kata Ayana.
Eliandra memperhatikan Siti yang diam mendengar perkataan Ayana seakan-akan telah terjadi sesuatu yang tidak ia ketahi. ‘Mungkin perasaanku saja,’ batinnya.
“Tapi kok lu malah caper sama Farhan tiap hari?”
“Iya dong, kalo capernya sama Erland gue malu,” kata Eliandra.
Gadis itu memang tertarik dengan Erland sejak pertama bertemu apalagi logat daerah yang mereka gunakan sama. Tapi kalau kalau suka dia juga masih bingung, perasaannya berbeda dengan perasaan yang ia rasakan seperti pada Alendra atau Bryan.
“Owh, jadi lu caper sama Farhan cuma pengalihan. Lu aneh sukanya sama siapa capernya sama siapa,” kata Ayana.
“Gapapa,” kata Eliandra membela diri.
***
“Ellie lu sebenarnya suka beneran apa nggak sih sama Farhan,” Tanya Erland pada gadis di depan mereka.
Ellie seperti sedang diinterogasi terkait perasaannya pada laki-laki yang berada di tengah-tengah mereka. Ia duduk di seberang meja, berhadapan dengan Farhan yang diapit oleh Erland dan Jay.
“Iya lu sebenernya naksir beneran nggak sih sama dia?” Tanya Jay dengan wajah tersenyum penuh arti seperti Erland.
Farhan yang duduk di depan gadis yang bersangkutan sedang menatap gadis itu menanti jawaban apa yang akan dikeluarkan gadis itu dari mulutnya. Selama ini ia tidak pernah melarang gadis itu untuk berbuat seenaknya padanya. Ia tidak akan menyangkal kalau ada sedikit perasaan yang timbul karena perlakuan centil dan manja gadis itu padanya.
Eliandra yang bingung ditanya secara tiba-tiba seperti itu hanya menatap mereka sebentar sebelum membuka mulutnya mengeluarkan kata-kata yang menurutnya benar. Tapi tidak dengan hatinya.
“Nggak kok, cuma bercanda aja.”
“Masa sih?” Tanya Erland dengan senyum penuh arti yang tidak menghilang dari wajahnyasebelum akhirnya menyenggol Farhan pelan, “cuma bercanda katanya,” katanya menggoda, menggoda entah siapa di sana tapi gadis itu merasa.
Farhan menatap Eliandra, kecewa dengan apa yang baru saja gadis itu katakana. Ia merasa dipermainkan dengan tingakah centil dan manja gadis itu padanya selama ini. Gadis itu tidak seperti itu pada laki-laki lain termasuk kepada kakak-kakak tingkat yang mencoba mendekati gadis itu. Gadis itu bahkan terkesan tidak terlalu peduli. Laki-laki itu sempat merasa istimewa atas apa yang dilakukan gadis di depannya selama ini. Tapi perasaan itu harus dijatuhkan dengan satu kata yang keluar dari mulutnya, bercanda katanya.
***
“Lu beneran suka sama temen gue nggak sih?” Tanya Gerald pada gadis di depannya.
“Siapa?”
“Farhan,” kata Gerald tersenyum penuh arti.
“Nggak kok, bercanda doing.”
“Wah, parah lu, temen gue lu mainin aja selama ini dong?”
“Nggaklah, dia pasti tau itu cuma bercanda,” kata gadis di depannya kekeuh bahwa semua hanya sekedar bercanda baginya.
Gerald melihatnya dan menghentikan senyum di wajahnya. Ia melangkah meninggalkan gadis itu yang kini menyesali kata-katanya. Ia merasa ada sesuatu yang salah tapi ia tidak tahu itu apa.
***
Siang itu mereka duduk bersama kakak-kakak tingkatnya yang baru saja mengadakan kegiatan latihan pemeriksaan tekanan darah bersama. Mereka berkumpul membentuk lingkaran dan berbincang-bincang satu sama lain untuk membangun keakraban. Satu persatu maba yang ada di angkatan itu sedang memperkenalkan dirinya masing-masing.
“Satu kata tentang cinta!” kata kakak tingkatnya pada semua maba yang ada di ruangan itu.
Laki-laki yang ditanya tiba-tiba seperti itu terdiam cukup lama.
“Dilla,” kata kakak tingkatnya menggoda laki-laki itu.
Jantung Eliandra seakan berhenti kemudian berdenyut dengan nyeri yang menyertai ketika godaan itu dilempar pada sosok yang ada di depannya itu. Laki-laki itu bahkan tidak menyanggah perkataan kakak tingkatnya itu.
“Selalu ada,” kata laki-laki itu.
Eliandra yang masih merasakan rasa sakit di dadanya hanya bisa terdiam. Ia bahkan menjaga jarak dengan laki-laki yang ada di depannya itu karena pertanyaan-pertanyaan yang dilemparkan temannya tentang perasaannya pada sosok itu, sosok yang baru ia sadari membawa arti penting baginya. Sesuatu yang ia awali dengan bercanda telah membuat hatinya hancur lebur.
“Menghargai,” kata gadis itu sambil menatap laki-laki di depannya.
Ia menyesal, seharusnya ia tidak pernah membuat candaan seperti itu. Hatinya terlalu lemah bahkan hanya untuk sekedar diajak bercanda.
Teman-temannya bahkan sempat menyorakinya menyebut nama laki-laki yang selalu ia ganggu selama hampir dua semester itu. Kakak tingkat yang tadi menggoda laki-laki itu heran dengan sorakan yang ia dengar.
***
Gadis itu berbaring terlentang di dalam kamarnya. Bayangan-bayangan pertemuan dengan kakak-kakak tingkatnya siang itu terus melintas di dalam pikirannya. Rasa nyeri yang menyalar di dalam rongga dadanya membuatnya merasa aneh. Ia bahkan ragu apakah selama ini ia hanya sekedar bercanda atau candaannya telah turut serta bersama perasaannya, perasaan yang mengkhianati niatnya yang hanya ingin sekedar bercanda.
Ia mengakui laki-laki itu memang menarik, sangat menarik malah. Tapi ia mengira rasa tertarik yang ia miliki telah ia tumpahkan pada sosok yang dekat dengan laki-laki itu. Ia berdalih semuanya agar tidak terlihat jelas ketika ia mendekati sosok itu. Tapi perasaannya seakan berkhianat.
Ia berencana mengungkapka perasaannya pada laki-laki itu besok. Malam ini gadis itu hanya ingin sekedar memastikan perasaannya saja.
Tidak dipungkiri bahwa ia merasa insecure saat nama Dilla melintas di benaknya, gadis itu merupakan gadis tercantik diangkatannya. Ia bahkan tidak berani menunjukkan wajahnya kalau memeng yang laki-laki itu menyukai Dilla walaupun gadis itu sudah memiliki pacar.
***
Gadis itu melangkahkan kakinya masuk ke dalam kelasnya. Ia memantapkan niatnya yang ingin mengungkapkan perasaannya pada laki-laki itu hari ini.
Satu jam, dua jam berlalu, laki-laki itu tak kunjung muncul ke dalam kelasnya. Laki-laki itu bahkan melewatkan satu mata kuliah yang baru saja selesai diberikan oleh dosen tua dan botak yang baru saja meninggalkan ruang kelas mereka.
Ia bingung, laki-laki itu bukanlah tipe pemalas sampai membolos kuliah. Tidak hadir dalam satu kali pertemuan bahkan bisa saja langsung diberi nilai E oleh dosen bersangkutan di kelasnya karena aturan yang ditetapkan pihak fakultas.
Rasa gelisah menghampiri benak gadis itu. Ia benar-benar ingin mengutarakan perasaannya pada laki-laki yang sering ia usili sepanjang hampir satu tahun itu.
Hingga seluruh mata kuliah yang terjadwal pada hari itu selesai, sosok itu tidak kunjung memunculkan dirinya. Kecewa? Gadis itu kecewa. Tapi ia merasa laki-laki itu tentu memiliki alasan tidak hadir hari itu.
***
Satu minggu berlalu, sosok itu tak kunjung memunculkan dirinya.. Gadis itu masih mengharapkan kedatangan sosok yang ia ingin jadikan target untuk mengutarakan perasaannya itu.
Suara notifikasi ponselnya yang sangat bising memasuki indera gadis itu. Ia merasa teman-temannya mulai lagi membicarakan hal-hal yang tidak terlalu penting lagi. Group chat angkatan mereka sering sekali berisik dengan candaan tidak jelas yang dilemparkan teman-temannya.
Ia menyalakan ponselnya, mengarahkan jarinya pada aplikasi chatting yang terdapat group chat milik angkatannya. Gadis it uterus menggulirkan layarnya ke bawah tidak terlalu peduli dengan isi chat itu, tidak terlalu peduli sampai satu bubble chat serasa menghentikan napasnya.
Teman-teman seangkatannya sedang membahas kepindahan sosok yang selama ini ia cari karena tak kunjung datang ke kampus. Gadis itu tidak pernah menghubungi laki-laki itu karena sejak awal mereka tidak pernah sekedar bertukar kontak karena gadis itu merasa semuanya hanya sekedar candaan.
Laki-laki yang menjadi bahan pembicaraan mereka malam itu muncul di dalam group chat tersebut untuk sekedar mengonfirmasi kebenaran informasi yang telah didengar teman-temannya sekaligus mengucapkan selamat tinggal. Lalau meninggalkan group chat tersebut.
Gadis itu hanya menatap layar ponselnya dengan sendu. Ia belum mengungkapkan perasaannya tapi laki-laki itu sudah pergi.
***
Gadis itu duduk di depan layar komputernya mengetik beberapa chapter dari novel karangannya. Ia melanjutkan hobi menulisnya yang lama terhenti karena keambisiusannya ingin masuk jurusan yang selalu ia impikan.
Mengenai farhan, mereka saling follow pada akun media sosial mereka setelah laki-laki itu membenarkan kepindahannya ke salah satu kampus di luar kota yang sangat jauh dengan kampus mereka kala itu. Walaupun demikian, gadis itu tetap tidak pernah mengungkapkan perasaannya pada laki-laki itu.
Mereka berdua hanyalah orang asing yang awalnya saling mengenal, berteman dan kembali menjadi orang asing. Walaupun gadis itu pernah mengucapkan semua yang ia lakukan pada laki-laki itu hanya sekedar bercanda, sampai sekarang kadang ia menyesalinya, karena perasaannya ternyata bukan hanya sekedar bercanda.
***SELESAI***