~Tidak ada perbuataan baik yang sia-sia. Sekecil apa pun itu. Sama halnya seperti tetesan air yang mampu menumbuhkan benih, ia akan menunjukkan nilainya di kemudian hari.~
***
Tepat pada pertengahan musim dingin tahun itu, badai salju turun di Kota Lin'an. Bukan hanya aktivitas di luar rumah sehari-sehari saja yang terhenti, tetapi pesan dari kerajaan pun tidak sampai ke tangan Bai Lian, putri salah satu selir Kaisar Jiang yang tinggal di sana.
Bai Lian dikenal begitu luar biasa akan ide-idenya untuk membantu pembangunan negara. Selain itu, ia juga seorang yang sangat bijak dalam berpikir dan mengambil keputusan. Tidak heran, meski ia hanya perempuan yang juga terlahir dari seorang selir, tetapi Kaisar sangat sayang dan selalu meminta pendapat darinya dalam berbagai hal.
Beberapa utusan yang diperintahkan mengantarkan pesan tersebut berhenti di sebuah desa yang berdekatan dengan perbatasan Kota Lin'an. Namun sayang, di saat yang bersamaan itu terdengar cerita buruk tentang Bai Lian. Dalam berita tersebut dijelaskan bahwa putri kaisar mereka itu tidak lagi menerima siapa pun berkunjung ke rumahnya, bahkan menolak untuk menerima pesan ataupun memberikan saran.
Tanpa berniat mencari tahu kebenarannya, para utusan itu membatalkan untuk meneruskan perjalanan mereka. Namun sayang, utusan itu tidak ada yang kembali menghadap Kaisar dan pergi entah ke mana dengan membawa pesan yang belum disampaikan.
"Mohon maaf, Yang Mulia. Waktu kita tidak banyak. Kita harus segera mempersiapkan semuanya," ucap penasihat kerajaan saat Kaisar mengadakan rapat.
"Tapi putriku belum membalas pesanku, Paman Ruan. Bahkan, orang-orang yang kuutus pun belum kembali," jawab Kaisar.
"Mohon maaf, Yang Mulia. Tapi ini adalah hari terakhir kita menunggu. Jika kita tidak segera bersiap, maka tidak akan ada waktu lagi nanti," ucap panglima kerajaan ikut menjelaskan.
Kaisar terdiam. Ia membenarkan apa yang dikatakan oleh panglima dan penasihatnya. Jika tidak dari sekarang, lalu kapan lagi? Meski saran yang akan diberikan bisa saja memiliki potensi besar untuk mencegah terjadinya perang, tetapi menunggu balasan pesan dari Bai Lian bukanlah satu-satunya solusi.
"Baiklah. Tidak ada jalan lain lagi," jawab Kaisar menyetujui saran-saran dalam rapat istana hari itu.
Begitulah. Rencana perdamaian dengan kerajaan lain yang sudah disusun itu akhirnya kembali gagal dilakukan. Satu-satunya harapan terakhir kerajaan tetap tidak memberikan balasan apa pun atas pesan yang sudah dikirimkan hingga hari itu berakhir. Maka, mau tidak mau, Kaisar harus membatalkan niatnya dan memilih saran yang tersisa.
Perang pun tidak bisa dicegah. Bahkan, meskipun kerajaan yang diperintah oleh Kaisar begitu kuat, tetapi tetap saja banyak korban berjatuhan. Selain itu, biaya perang yang dikeluarkan oleh negara juga tidak sedikit. Pada akhirnya, hal itu menyebabkan kerugian yang begitu besar.
Berita duka menyebar ke seluruh penjuru negeri. Bahkan, banyak yang mengecam Bai Lian sebagai penyebab utama terjadinya perang karena tidak membalas pesan dari Kaisar. Hampir tidak ada lagi yang percaya bahwa Bai Lian masih seorang putri yang mendedikasikan serta mengabdikan hidupnya untuk negara. Semua kebaikan yang pernah dilakukannya seolah menguap begitu saja hingga tepat pada saat ia berkunjung ke istana untuk menyampaikan bela sungkawa, peristiwa itu pun terjadi.
"Katakan padaku, apa hukuman yang pantas bagi orang yang menentang dan merugikan negara?" ucap Kaisar sambil berdiri di hadapan seluruh punggawa kerajaan.
"Hukum mati saja!" teriak orang-orang yang hadir di sana. Bahkan, sumpah serapah dan kalimat-kalimat menyakitkan lainnya terdengar di mana-mana. Semua hanya berisi penghakiman untuk Bai Lian saja. Tidak ada yang lain.
"Mohon maaf, Yang Mulia. Jika saya boleh memberi saran, sebaiknya Tuan Putri tidak dihukum mati," ucap penasihat kerajaan.
Semua orang terlihat kesal mendengar kalimat yang diutarakan oleh penasihat kerajaan tersebut. Sebagian besar langsung menolak usulannya yang dianggap tidak masuk akal dan membela kejahatan, tetapi sebagian lainnya hanya diam menunggu jawaban dari Kaisar.
"Lalu hukuman apa yang pantas untuk penghianat sepertinya, selain mati? Apa kau tidak melihat apa yang sudah dilakukannya pada negeri ini, Paman Ruan?"
"Hamba mengetahuinya, Yang Mulia. Tapi sebelum itu, apakah kita semua lupa apa yang sudah Tuan Putri berikan untuk negara selama ini? Apakah kita juga punya bukti bahwa Tuan Putri benar-benar bersalah dalam hal ini? Sudahkah kita bertanya pada Tuan Putri, apakah pesan Yang Mulia sampaikan sudah sampai padanya atau tidak? Seseorang mungkin bisa saja berbohong untuk membela dirinya, Yang Mulia. Tapi bagaimana dengan para utusan yang diminta untuk menyampaikan pesan itu? Apakah mereka sudah kembali? Bahkan, jika pesan itu benar-benar sudah sampai pada Tuan Putri, seharusnya merekalah yang lebih dulu datang menghadap Yang Mulia untuk menyampaikan bahwa tugas tersebut sudah dilakukan dengan baik."
Mendengar kalimat yang diucapkan oleh penasihatnya itu Kaisar pun terdiam. Apa yang disampaikan oleh laki-laki di depannya itu lebih masuk akal dibandingkan pendapat banyak orang.
Kaisar bimbang. Di satu sisi, seluruh kerajaan menuntut agar Bai Lian dihukum, tetapi di sisi lain, kebenaran memang harus dibuktikan terlebih dahulu sebelum mengambil tindakan.
"Panggil Bai Lian kemari!" perintahnya.
Beberapa pengawal pun segera menemui Bai Lian yang sedang ditahan di penjara istana, lalu membawanya ke hadapan Kaisar.
"Salam hormat saya, Yang Mulia. Mohon maaf atas semua masalah yang terjadi karena saya," ucap Bai Lian sesaat setelah tiba di ruang rapat istana.
"Berdirilah," ucap Kaisar.
"Seperti saran dari Paman Ruan selaku penasihat kerajaan, aku berikan kau kesempatan untuk menjelaskan semuanya," lanjutnya.
Bai Lian masih belum berdiri, tetapi mendengar ucapan Kaisar, ia pun berkata, "Mohon maaf, Yang Mulia. Saya sudah menjelaskan semuanya sejak awal, tetapi tidak ada satu pun yang percaya. Lalu, apa gunanya saya menjelaskan hal yang sama itu lagi sekarang?"
"Ya, baiklah, jika memang itu keputusanmu," jawab Kaisar. Ia pun segera berbalik dan meminta petugas hukum kerajaan untuk membuatkan surat pernyataan pembebasan Bai Lian dari hukuman.
Setelah surat pernyataan itu keluar, Bai Lian kembali diminta untuk menemui Kaisar di ruang rapat istana.
"Dengan disaksikan oleh seluruh pembesar kerajaan, maka aku umumkan bahwa Bai Lian resmi bebas dari hukuman."
Kaisar segera mengambil surat pernyataan yang dibawa oleh penasihat kerajaan, lalu memberikannya pada Bai Lian.
"Aku sangat menyesal atas kejadian ini. Bagaimanapun juga, kau adalah putriku. Aku tahu mungkin ini tidak adil, tapi aku tidak punya pilihan. Kau memang telah dibebaskan, tapi kau harus tetap pergi dari kerajaan ini. Mungkin itu akan lebih baik bagimu daripada kau tetap tinggal," ucap Kaisar.
"Terima kasih, Yang Mulia. Sekali lagi saya mohon maaf atas semua yang sudah terjadi. Tapi jika memang hukuman mati bisa membuktikan semuanya, saya akan tetap bersedia menerimanya," jawab Bai Lian.
Tidak lama kemudian, Kaisar pun meraih tubuh Bai Lian dan memintanya untuk berdiri.
"Saya mohon pamit, Yang Mulia. Salam untuk Yang Mulia, Kakek Ruan, dan semuanya."
"Pergilah. Jaga dirimu dengan baik," ucap Kaisar.
***
Waktu terus berlalu. Kini, Bai Lian bukan lagi seorang putri kerajaan. Tidak ada lagi fasilitas yang bisa tinggal ia nikmati seperti sebelumnya. Bahkan, kali ini ia juga harus berjuang sendiri.
Keahliannya dalam berbagai hal memang tidak membuat Bai Lian kesulitan dalam mendapatkan pekerjaan dan tempat tinggal baru di luar kerajaan. Namun, peristiwa hari itu telah mengubah hampir seluruh hidupnya.
Seringkali hati Bai Lian merasa hancur jika mengingatnya. Tidak jarang, ia jadi lebih sering menyendiri dan tertutup pada banyak hal di masyarakat. Namun, ternyata hal itu tidak berlangsung lama karena pada suatu hari, Bai Lian bertemu dengan seorang biksu di sebuah kuil, lalu memutuskan untuk berguru padanya.
"Apa kau ingin menghabiskan sisa hidupmu untuk menyesali masa lalu?" tanya biksu tersebut saat Bai Lian menceritakan kisah hidupnya.
"Aku tidak menyesalinya, tapi aku memang tidak bisa melupakannya," jawab Bai Lian.
"Kau benar. Sampai kapan pun, kau memang tidak akan pernah bisa melupakannya. Berbanding terbalik dengan semua kebaikan yang sudah kau lakukan. Kebaikan-kebaikan itu akan sangat mudah dilupakan, bahkan karena satu kesalahan saja," ucap sang biksu.
"Tapi bagaimana jika aku tidak melakukan kesalahan itu?" tanya Bai Lian.
Biksu itu pun tersenyum. Lalu, tidak lama kemudian, ia pun mengajak Bai Lian untuk pergi bersamanya ke pusat kota.
"Untuk apa kita ke sini?" tanya Bai Lian.
"Perhatikanlah apa yang kulakukan," jawab biksu tersebut.
Bai Lian mengikuti apa yang biksu tersebut katakan. Namun, setelah semua yang sang biksu lakukan selesai, ia masih tidak mengerti apa pun. Bahkan, ketika dirinya bertanya, jawaban yang didapat hanyalah: "Kau tidak akan bisa mendapatkan jawaban itu sekarang. Ikut saja denganku ke sini setiap hari dan perhatikan apa yang aku lakukan, maka nanti kau akan mengetahuinya."
Bai Lian kembali menurut. Ia akan ikut dengan biksu tersebut pergi ke tengah kota setiap hari dan memperhatikan apa yang dilakukannya hingga tepat di hari ke sepuluh, terlihatlah biksu itu diusir oleh orang-orang dari kerumunan.
"Apa yang sudah Guru lakukan? Mengapa Guru berbuat seperti itu?" tanya Bai Lian kesal. Namun, ia tetap membantu mengobati luka di tubuh sang biksu.
"Apa kau tidak tahu?" Bukannya menjawab pertanyaan Bai Lian, biksu tersebut justru balik bertanya.
"Apa yang harus aku ketahui dari perbuataan seperti itu? Bahkan, siapa pun tentu akan marah jika melihatnya," jawab Bai Lian.
"Tepat sekali! Tapi bagaimana dengan kebaikan yang sudah kulakukan sembilan hari sebelumnya?"
"Maksud, Guru?"
Sang biksu tersenyum. Lalu, ia pun menjelaskan sebuah pelajaran berharga dari apa yang sudah dilakukannya selama sepuluh hari itu kepada Bai Lian.
"Ketahuilah, Nak. Satu kesalahan yang terjadi akan menghapus sembilan kebaikan yang sudah kau lakukan sebelumnya. Tidak peduli seberapa besar kecilnya kesalahan itu, bahkan sekalipun bukan kau yang melakukannya. Tidak peduli seberapa banyak dan lama kau berbuat kebaikan, tapi ketika sebuah kesalahan menghampirimu, maka semuanya akan hilang begitu saja. Tidak akan ada lagi yang diingat dan juga mengingat seperti apa kau sebelumnya," jelas sang biksu.
"Tapi bukankah ini tidak adil, Guru? Mengapa satu kesalahan bisa menghapus semua kebaikan yang pernah dilakukan?" tanya Bai Lian.
"Terkadang, segala sesuatu bukan tentang adil dan tidak adilnya. Lihatlah ini," ucap sang biksu sembari menunjukkan segelas air kepada Bai Lian.
"Bukankah jika air itu dihabiskan begitu saja, maka yang meminumnya pun akan tetap baik-baik saja?" lanjutnya.
Bai Lian mengangguk. Lalu, biksu tersebut mengeluarkan sebuah botol kecil dan memberikannya pada Bai Lian.
"Sekarang coba masukan racun itu ke dalam air di gelas. Tidak perlu banyak. Cukup setetes saja," ucap sang biksu.
"Lalu air di dalam gelas menjadi beracun dan tidak bisa diminum," lirih Bai Lian.
"Tepat sekali!"
"Kebaikan ibarat air di gelas sebelum diberi racun. Walau sederhana, tetapi bisa diminum. Sama halnya seperti kebaikan yang dilakukan sebelumnya. Lalu, racun yang dituangkan ibarat kesalahan. Meski tidak banyak, tetapi memiliki akibat yang luar biasa untuk menjadikan kebaikan lainnya tidak berarti lagi. Sama seperti air yang kemudian tidak bisa lagi diminum, begitu juga kebaikan-kebaikan sebelumnya, semuanya akan lenyap begitu saja," jelas Bai Lian.
"Syukurlah. Akhirnya kau mengerti," ucap sang biksu.
"Dengar, Nak. Seberat dan sesulit apa pun masalahmu, jangan pernah berpikir bahwa itu adalah satu-satunya akhir dari perjuangan. Kau mungkin telah kehilangan banyak hal, tetapi selama kau masih hidup, masih ada ribuan kesempatan yang menantimu di depan sana. Sama halnya seperti tetesan air yang ditampung dalam sebuah wadah, ia pasti akan memenuhinya jika tidak pernah lelah dan berhenti untuk meneteskannya. Begitu juga dengan air yang disiramkan di sebuah pohon yang kekeringan, meski ia tidak lagi tampak di permukaan, tetapi pohon yang disiram itu kelak akan kembali bertunas, berbunga, dan bahkan berbuah. Tidak ada perbuataan baik yang sia-sia. Bersemangatlah dan jangan pernah berputus asa," lanjutnya.