Disukai
2
Dilihat
512
Royadi dan Jin Ifrit dari dalam Kendi
Slice of Life

Bulir-bulir keringat menetes dari jidat seorang penggali tanah yang tengah mengayunkan paculnya. Berulang kali tanah yang dipaculnya ia letakkan pada pengki, untuk diserok hingga terbentuk lubang. “Sedikit lagi cukup, lah, buat menanam pohon kelapa gading,” pikirnya.

Beberapa saat sebelumnya ia juga memotong rumput di sekitar lubang tersebut. Dirinya kini tengah disuruh menggali dan merapikan sebuah taman milik seorang warga kompleks Kebun Asri.

Saat mulai menggali lagi, paculnya terantuk pada sebuah benda keras. Perlahan ia singkirkan tanah yang menutupi benda tersebut, tampak sekilas material tanah liat. Dengan hati-hati kemudian digalinya tanah di sekeliling benda itu, takut-takut mengenai dan memecahkannya. Akhirnya, tampak jelaslah kalau itu adalah sebuah kendi. Kendi biasa, tempat air menyimpan minum sebelum dituangkan ke dalam gelas, seperti yang dulu sering digunakan oleh orang-orang di desa.

Setelah kendi tersebut berhasil dikeluarkan dari dalam tanah, ia letakkan di atas lembar karung plastik yang selalu dibawanya dari rumah. Dia perhatikan sejenak kendi tersebut dari atas, kemudian sekelilingnya, dan diangkatnya agak tinggi buat memeriksa bagian bawahnya.

Diperhatikannya, bagian bagian moncong kendi terbungkus secarik kain sutra yang diikat oleh kawat tembaga. Ia lepaskan ikatan tembaga yang masih cukup mengilap itu, membuka bungkus kainnya, lantas memeragakan gerakan menuang air menggunakan kendi tersebut.

Tiba-tiba sesuatu keluar dari moncong kendi. Bukan air tapi kabut. Sontak kaget, si penggali tanah refleks bergerak mundur cepat, hingga kendi itu terlepas dari tangannya. Tidak seberapa lama, kabut yang membumbung kemudian memudar, menampakkan sosok jin ifrit yang tinggi besar dan berwarna hitam.

“Horeee akhirnya aku keluar juga dari kendi sialan ini!” tutur jin ifrit di antara tawanya yang menggelegar.

Melihat orang di hadapannya mengkerut ketakutan, jin ifrit berkata, “Silakan kalau kau ingin takut, dari dulu manusia menganggapku seram, licik, dan kejam.”

“Tapi emang gitu, kan?” timpal si penggali tanah.

“Terserah kamu sajalah,” jawab jin ifrit. “Siapa namamu?”

“Aye Royadi.”

“Nah, Royadi, karena kau telah membebaskanku dari kurungan kendi itu, silakan ajukan tiga permintaan kepadaku,” jin ifrit menawarkan, “niscaya akan kukabulkan.”

“Serius lu, Jin? Mirip di cerita Aladin, ya.”

“Pssstt, justru cerita Aladin yang niru-niru gue,” sergah jin ifrit yang ketularan logat Betawi sambil menempelkan jari telunjuk pada bibirnya.

Mendengar gaya bicara yang akrab dengan kesehariannya, juga diiringi selera humor, rasa takut dalam diri Royadi pun berangsur sirna. “Kalau begitu, jadiin gue orang kaya, dong,” pinta Royadi standar, “udah pegel gue dari lahir hidup susah.”

“Gampil,” jin ifrit mengiyakan, “lagian permintaan itu udah gue antisipasi dari komuk (muka) lu.”

“Sialan,” umpat Royadi.

Jin ifrit memutar-mutarkan jari telunjuknya di udara seraya bermantra, “simsalabim!”

Setelah beberapa saat menunggu dengan rasa penasaran, Royadi bertanya, “Mana, Jin, kok, kagak ada perubahan? Pakaian dan penampilan gue tetep kucel gini. Seenggaknya duit ada di tangan gue, lah.”

Jin menjawab, “Selow, gue emang nggak ujug-ujug ngasih duit biar lu jadi orang kaya, khawatir lu kagak siap mental, terus malah foya-foya. Tapi, gue udah bikinin lu kantor di Jl. Niaga No. 7, lengkap dengan bisnis yang udah running, udah jalan, dengan cashflow yang oke punya.”

“Apaan, tuh, kesplo?”

“Oiyak, artinya keluar masuknya duit. Pokoknya aman. Dan di rekening lu nggak ketinggalan gue sediain duit juga, kok, buat lu beli baju kerja yang bagus dan nyalon dikit biar tampang lu nggak kucel lagi.”

“Terakhir,” sambung Jin, “Gue juga beliin lu rumah di pinggir kota, di kawasan Bumi Kampung Damai, lengkap dengan perabotan dan mobil ama motor. Lu pindah ke situ, dah, biar tetangga-tetangga lu sekarang kagak curiga lu kaya mendadak.”

“Siap,” Royadi menyetujui.

Esoknya Royadi mulai ngantor di perusahaan itu. Ternyata ia sebenarnya menyimpan jiwa entrepreneurship yang lumayan gacor. Perusahaan itu dibawanya tambah berkembang, selangkah demi selangkah. Seiring waktu, skil dan pengalaman Royadi kian terasah. Rekanan bisnisnya makin banyak serta pundi keuntungannya makin tambun.

Tapi sejak saat itu juga mulai timbul masalah. Di tengah putaran uang yang kian besar dan makin banyak orang yang terlibat di dalamnya, gesekan mulai terjadi. Mulai dari seorang yang merasa lebih banyak bekerja dibanding yang lain, hingga syahwat kekayaan yang kian hari kian memuncak: tidak mau kalah tajir dibanding yang lain dan tidak pernah merasa cukup akan apa pun.

Pada dasarnya, kita tahu bahwa kemiskinan adalah ujian, namun begitu pula dengan kekayaan. Itu bentuk ujian juga.

Di satu malam selepas meeting dengan klien penting hingga larut, Royadi membuka brankas di rumahnya, mengeluarkan kendi ajaib yang dulu ditemukannya saat masih menjadi tukang gali tanah, dan berlagak menuangkan air dari kendi tersebut sehingga jin ifrit keluar lagi setelah sekian lama.

“Halo Yadi, apa kabar?” sapa jin ifrit.

“Mulai sekarang panggil gue ‘Roy’,” kata Royadi. “Langsung aja, nih, gue males basa-basi, capek banget habis kerja sampe malem gini. Gue punya permintaan lagi.”

Tanpa pikir panjang jin ifrit menebak, “Mau minta istri, ya?”

“Tau aja lu, Jin.”

Jin ifrit mengangkat alisnya dua kali sambil nyengir.

“Gue minta bini yang lebih cantik daripada bininya partner-partner bisnis gue,” lanjut Royadi.

"Lah, terus istri lu yang sekarang mau dikemanain?"

"Gampang, lah, gue cerai aja. Lagi pula, gue nggak dapet anak juga dari dia. Sekarang waktunya upgrade."

“86, siap laksanakan, Juragan Roy,” jin ifrit mengamini permintaan tersebut sambil kembali memutar-mutarkan jari telunjuknya di udara sambil bermantra, “simsalabim!”

Beberapa bulan kemudian Royadi bercerai, kemudian tak lama setelahnya menikah dengan seorang wanita bernama Nirmala. Dilihat dari angle mana pun, ia adalah wanita yang supercantik, dan pastinya lebih cantik daripada istri semua rekan bisnis Royadi. Dengan penuh percaya diri, sekaligus dipantik oleh kesombongan, Royadi kerap mengajak Nirmala hadir di meeting-meeting urusan kantor, selain acara-acara yang wajar untuk mengajak pasangan seperti gala dinner dan sejenisnya.

Lama-kelamaan, para rekan bisnis menjadi tidak nyaman akan keberadaan istri Royadi. Ada yang merasa iri, ada juga yang misuh-misuh dalam hati dengan pertanyaan logis, “buat apa juga dia ada di tengah-tengah meeting serius? Nggak penting banget!" Bagi mereka, jika dibandingkan, sama nggak pentingnya dengan keberadaan Yoko Ono di tengah-tengah The Beatles saat mereka lagi latihan di dalam Abbey Road Studio.

Di sisi lain, Royadi tidak takut sedikit pun istrinya bakal digoda oleh rekan bisnisnya. Toh ia merasa di antara mereka dirinyalah yang paling sukses, sehingga tipis kemungkinan Nirmala bakal termakan rayuan gombal buaya tanggung.

Namun tanpa ia pernah duga sama sekali, istrinya itu malah diam-diam ada main dengan ayahnya selaku mertua Nirmala. Skandal keduanya ibarat cerita viral Norma dalam dimensi yang berbeda. Merasa harga dirinya tercoreng, Royadi pun segera menceraikan Nirmala.

Apesnya, persoalan tidak selesai di situ. Rumah tangga yang berantakan, ditambah rasa malu yang sampai ke ubun-ubun gara-gara istri ditikung sama bokap sendiri, Royadi susah fokus sama pekerjaannya. Perlahan tapi pasti, bisnisnya menukik dan hancur lebur dengan sukses. Tidak butuh waktu lama untuk Royadi menjadi orang miskin lagi.

Di tengah kegalauan, Royadi teringat ia masih punya jatah satu permintaan lagi kepada jin ifrit. Dipanggilnya kembali makhluk tersebut dan curhits soal kondisi dirinya.

“Sebenernya gue bingung, Jin, mau minta apa lagi,” tutur Royadi di ujung curhatnya. “Intinya gue cuma mau hidup gue membaik.”

Menyaksikan air muka dan kondisi manusia di depannya yang menyedihkan, jin ifrit tidak tega, terlepas dari kenyataan bahwa ia memang masih punya satu kewajiban lagi untuk mengabulkan permintaan orang yang telah membebaskannya itu.

Seperti biasa, aku diam tak bicara… eh, bukan. Maaf, Bang Iwan. Seperti biasa, jin ifrit memutar-mutarkan jari telunjuknya di udara sambil bermantra, “simsalabim!” Hanya saja, kali ini di tangannya muncul sebuah pena dan secarik kertas. Kemudian ia mencatatkan sebuah alamat yang berlokasi di Pasar Tanah None.

“Datanglah ke sini,” perintahnya sambil menjulurkan kertas bertuliskan alamat tersebut kepada Royadi.

“Untuk apa?” tanya pria di hadapannya itu.

“Sudahlah, nanti lu juga paham,” jawab jin ifrit. “Dan ini ada uang. Nggak seberapa, sih, tapi kira-kira cukup, lah.”

Masih dengan raut penasaran, Royadi menerima pemberian jin ifrit dan bergegas menuju alamat yang dimaksud.

Hari menjelang sore ketika Royadi turun dari angkot yang lumayan kosong karena kalah saing dengan ojol. Sempat pusing berputar-putar di dalam gedung pasar, plus selepas tamasya naik-turun elevator, akhirnya pandangan Royadi tertuju kepada sebuah plang toko. Tulisannya tepat seperti yang dimaksud oleh catatan dari jin ifrit:

Los 66A

Toko Ringgo (bukan drummer)

Sejak 1996 

Seiring langkahnya mendekat, Royadi dapat membaca tulisan lain di bagian bawah plang tersebut: Perbaiki salatmu, maka Allah akan memperbaiki hidupmu.

“Silakan, Bang, mau cari sarung, sajadah, atau kopiah?” sapa pemilik toko ketika Royadi sudah berada tepat di depan tokonya. Dari kejauhan sayup-sayup terdengar kumandang azan.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (1)
love its, keren banget ceritanya ada pesannya ;), salut!!
Balas
1 minggu 1 hari lalu
Wah, lagi2 terima kasih. Siap ✌️
1 minggu 3 hari lalu
padahal keren lho, semangat Ryan!!
1 minggu 3 hari lalu
Terima kasih mas 🙏 saya mau share ke socmed malah nggak pede 😂
Rekomendasi dari Slice of Life
Rekomendasi