Semburat orange tutupi langit. Kicuan burung-burung sudah tidak terdengar lagi, berganti dengan suara jangkrik dan serangga malam lainnya. Angin berubah dingin dan daun-daun gugur di tanah berubah menjadi lebih coklat gelap. Kemarin juga seperti ini. Kemarinnya lagi dan lagi. Hari ini pun akan menjadi "Kemarin ". Di setiap sisi "Kemarin" ada cerita yang dibentuk oleh penghuni semesta ini. Terkadang disisipkan oleh semesta untuk mengubah atau pun memperbaiki. Tergantung apa yang akan di lakukan oleh si empunya firasat.
Sepasang kekasih bejalan sedikit berjauhan di sepanjang pinggir jalan yang dibatasi dengan pagar kayu dari pasir pantai. Rerumputan di dalam pekarangan pagar itu terlihat mendongak tidak mempedulikan mereka. Timpaan cahaya matahari membuat rumput-rumput itu semakin angkuh.
Mereka berdua tidak berbicara sedikit pun dan hanya berjalan lambat. Suasana yang romantis tidak mengurangi kekacauan yang timbul dari aura mereka berdua. Yang satu memasukkan tangannya ke dalam kantong ceananya, tanda tak acuh. Satu lagi mengeratkan jaket di depan dada agar tidak terpengaruh akan dingin sore, termasuk dingin yang dipancarkan pria disampingnya.
"Besok aku sudah harus pergi ke dermaga, menunggu kapal untuk pergi merantau. Kau tidak usah menghalangi lagi, Rinjani."
"Mas Rangga, kita tidak bisa berakhir seperti ini. Harus ada yang mengalah dan aku sudah cukup mengalah selama ini. Bukankah di sini juga sangat nyaman. Di sini kan impian kita."
"Pembahasan ini tidak akan habis. Tidak ada ujungnya. Kita harus berhenti berdebat dan cobalah mengalah sekali lagi, Rinjani."
"Persaaanku tidak enak. Aku yakin itu."
"Berhentilah mengutamakan instingmu."
"Instingku selalu benar!" Rinjani berteriak.
Dia sungguh sudah tidak bisa bersabar lagi pada kekasihnya itu. Selalu meremehkan instingnya. Kemarin dia tertipu oleh seorang pria parlente berdasi biru dan berjas hitam yang menawarkan investasi villa di pulau Sodong, pulau tak berpenghuni di seberang sana. Padahal sebelumnya, Rinjani sudah menangkap gelagat tidak beres dari pria parlente itu. Namun, Rangga telah terlena akan hitung-hitungan keuntungan investasi yang tidak masuk akal.
Mereka berdua berhenti sebentar saling bertatapan. Yang satu sedikit kesal karna cerita itu diungkit lagi. Yang satu hampir menangis karna insiden itu tidak bisa dia lupakan. Kisah penipuan itu masih menyakitkan dan masih sangat jelas. Tabungan untuk pernikahan mereka lenyap seketika. Rencana tahun depan yang penuh bahagia pun tertunda entah sampai kapan.
Rangga menatap sedih kekasihnya yang menangis sesunggukan. Dia membujuk lagi dengan lembut, utarakan tekadnya yang sudah bulat . Dia akan menebus kesalahannya itu dengan merantau untuk cari kehidupan yang lebih baik. Setelah keadaan membaik, dia akan menjemput kekasihnya itu agar bisa menemani sampai akhir hidupnya.
"Kau berhentilah menangis dan berikan sumpahmu untuk menunggguku."
Rangga menjulurkan tangannya, tetapi Rinjani pergi berlari meninggalkan kekasihnya bersama luka hati. Bagaimanapun cara Rinjani membujuk, tidak akan bisa buat kekasihnya luluh untuk batalkan niat merantau. Pantai ini saja yang menjadi tempat impian mereka tidak bisa menahan, apalagi diri yang tidak berdaya.
Mereka dulunya berdua bertemu pertama kali di panti asuhan. Oleh cinta dan percaya, mereka putuskan untuk melarikan diri, setelah tidak betah dengan panti asuhan yang tidak layak ditinggali. Mereka hidup bahagia di pinggir pantai, di rumah sahabat Rangga yang sudah sukses, sekaligus berikan amanat menjaga pulau.
Seharusnya kehidupan mereka cukup sampai hidup bersama dalam ikatan, karena tidak ada kekurangan apa pun harta dan sumber kebahagiaan di sana. Lalu, timbullah rasa ingin tentukan masa depan sendiri, di tempat sendiri, oleh pride lelaki yang ingin pimpin arah keluarga. Hingga tidak menyadari apa yang di tangan adalah berlian dengan segala keindahannya.
Rinjani berlari dan berlari hingga ke pekarangan rumah setelah lewati turunan yang sedikit landai. Ia sempat terjatuh hingga lututnya berdarah. Tapi Rinjani tetap berlari, membuang semua tenaga agar bisa langsung tertidur saja oleh lelah, berharap tidak akan bagun lagi. Sungguh tidak ingin lagi ada perpisahan sepihak. Ia hanya ingin bahagia di pulau yang penuh kebahagiaan.
Di dalam rumah, ia teringat kekasihnya pinta bersumpah menunggu. Di tengah-tengah ruang tamu Rinjani berhenti, berdiri masih kalut oleh pinta itu. Maka, oleh cinta dan impian, ia harus menunggu. Tidak ada pilihan lain.
Dia tertidur dalam kamarnya kemudian, di tengah-tengah rasa gelisah, kesal bercampur aduk. Rinjani sungguh tidak berdaya dalam lelapnya.
***
"Khrisna jangan dulu. Tunggu sebentar."
"Tapi, bu, teh Jani harus tahu," paksa pemuda berpakaian kutang putih dan celana pantai kepada ibunya yang memasang wajah khawatir.
"Biar sebentar, dia harus siap dulu."
"Lebih baik kita beritahu sekarang, Bu."
Khrisna memaksa masuk ke dalam kamar Rinjani. Namun langkahnya terhenti karna majikannya itu sudah bangun dan terduduk di pinggir tempat tidur dengan wajah sembab.
"Teteh udah bangun?" tanyanya sedikit gagap.
Khrisna biasa memanggil Rinjani "Teteh" dan Rangga "Bapak Bos". Mereka sudah akrab sejak ibunya, bibi Kinan, membawanya ke sana.
"Kenapa Khrisna? Kalau masuk ketuk dulu pintunya."
Melihat wajah lesu Rinjani, Khrisna sedikit urung memberitahukan info penting yang sedari tadi sudah ia tahan-tahan.
"Teh, lagi sedih ya?"
"Khrisna, kalau mau ngasih tau sesuatu jangan lama-lama. Langsung aja. Teteh lagi nggak enak badan."
Khrisna hanya terpaku di depan pintu.
"Ini tentang Bapak Bos."
Rinjani langsung menajamkan tatapannya pada Khrisna.
"Kenapa?" tanyanya dingin.
Teringat kemarin dia dan kekasihnya itu bertengkar. Sakit di lutut mulai terasa perih berdenyut.
"Itu, Teh....Kapal yang dinaiki mas Rangga...tadi pagi dini hari...tenggelam. Sekarang lagi dalam pencarian korban..."
Dalam sekejap Rinjani berlari hingga hampir menabrak Khrisna yang berdiri di pinggir pintu. Dia berlari lagi sama kencangnya seperti kemarin, menuju dermaga yang tidak jauh dari rumah. Tangis tidak berhenti temani kaki yang keluarkan darah dari lutut. Berlari membawa kegelisahannya. Berlari membawa insting yang diacuhkan kekasihnya kemarin sore. Dia berlari menatap kabur oleh air mata. Kepalanya pusing berputar-putar seperti hati yang juga kacau.
Rinjani menyesali waktu yang terbuang sia-sia. Menyesali tidak mampunya diri menahan kekasihnya. Dia menyesali pertengkaran itu dan kini....yang terlihat hanya sekerumunan orang menatap kedatangannya. Spontan, kerumunan orang menepi membuka jalan. Semua orang tahu. Semua orang desa tahu apa tujuannya berlari ke situ. Semua orang tau bahwa kekasihnya ada dalam kapal itu. Mereka tahu kekasihnya yang sangat baik itu, yang sangat disegani itu, tadi pagi berangkat merantau.
Tangis Rinjani pecah tak tertahankan. Semburat langit matahari terbit membuat hati semakin pilu. Kekasihnya terbaring di jembatan dermaga, dikelilingi petugas yang sudah menyerah dan tidak bisa berbuat apa-apa. Kekasihnya terbujur kaku buat tangisnya semakin melengking. Semua orang ikut menangis dalam dirinya masing-masing. Mereka sesunggukan.
Rinjani ayunkan langkah kaki tiga langkah dan langsung menyembur memeluk kekasihnya. Berteriak-teriak tidak percaya. Memohon-mohon agar kekasihnya itu bangun, memukul-mukul dadanya agar dia bangkit dan memeluknya kembali. Agar memarahi dirinya lagi dengan bahasa yang kaku seperti kemarin.
Tapi tak ada reaksi. Tinggallah suara tangis yang pecah tak terkendali. Beberapa orang membantunya bangkit sambil membujuk. Khrisna yang sedari awal mengikuti Rinjani berlari di belakang, menariknya dan memeluk. Tangis Rinjani pun teredam meski masih terdengar menyayat hati.
Kekasihnya pergi untuk selamanya. Tanpa dirinya dan tanpa perpisahan. Lalu, apa yang harus dia lakukan selanjutnya? Bagaimana hidup ke depan nanti? Mengapakah harus mengalami kisah ini? Apalah arti hidup nanti tanpa kekasihnya itu?
Tangisan Rinjani lambangkan deritanya. Lambangkan ketidakpercayaannya akan akhir nasib cinta dua insan yang tulus saling menyayangi. Lambangkan betapa tak akan rela kisah cinta dua insan yang ingin bahagia berakhir tidak bahagia. Bagai burung merpati yang kehilangan pasangannya, bagai angin kehilangan arahnya, bagai rumput kehilangan keangkuhannya, mungkin seperti itulah nanti jiwanya.
Sesal tidak berkurang oleh banyaknya air mata yang telah keluar. Ia masih berpikir, harusnya sore itu dia bisa menahan emosi. Harusnya sore itu mereka habiskan waktu bersama meski harus lukai egonya lagi dan lagi. Harusnya masih ada waktu untuk menemani tawa, bersama-sama di tengah dinginnya sore itu.
Rinjani dan jiwanya pun melayang. Pikirannya terhenti di saat ia teringat akan angkuh rerumputan menatap mereka berdua berjalan sedikit menjauh. Langit pun gelap kala rerumputan angkuh itu ucapkan pinta kekasihnya untuk menunggu.
***
Kekasihku pergi tak kembali
Sesal tak mampu kuhadapi
Kekasihku pergi, terpuruk kudisini
Pinta menunggu malah tak kembali
Ia pergi tanpa izin diri ini
Kini....
Kupeluk sumpah menunggui
Tidak guna tangis ini lagi
Berhenti sudah harapkan cahaya pagi
Kekasihku pergi, kuharap bisa temani
Maka, kekasihku....
Kubawa janjiku bersamamu
dalam dekapanku
dan dekapan dingin air laut
Kekasihku....
Tunggu aku....
Kekasihku....
***