Kata orang, kalau Ayah itu pahlawan pertama untuk anak-anaknya. Awalnya aku meyakini hal itu, aku percaya kalau Bapak memang pahlawan di keluarga kami. Bapak pergi untuk mencari uang, dengan alasan supaya bisa merenovasi rumah jadi lebih bagus dan membeli sepeda baru untukku. Tapi sampai sekarang, Bapak belum kunjung pulang.
Aku menatap layar ponselku yang menunjukan beberapa pesan yang belum terbalas. Mencoba menelpon, namun tak ada jawaban sama sekali.
Aku terlarut dalam pikiranku, seraya masih menatap kosong layar ponsel yang masih menyala. Namun teriakan nyaring berhasil menarik ku kembali ke alam sadar. Suara nyaring milik Bu Retno, tetanggaku.
"DAMAARR."
Aku bergegas keluar rumah saat suaraa Bu Retno kembali terdengar.
Aku membuka pagar rumah yang langsung menampilkan Bu Retno yang sedang berdiri sambil bersidekap dada.
Keningku berkerut saat melihat Ibu yang juga sedang berdiri di pinggir halaman. Kepalaku mulai menduga-duga, sepertinya terjadi sesuatu antara Ibu dan Bu Retno.
Bukannya apa, hanya saja aku tahu seperti apa Bu Retno. Bu Retno adalah salah satu tetanggaku yang memiliki sifat julid. Tiada hari tanpa nyinyirin orang.
Yang kutahu, Bu Retno tidak terlalu suka pada keluargaku. Aku bukan sembarangan bicara, namun sudah sering terbukti. Contohnya saat aku tak sengaja bertemu atau berpapasan dengan Bu Retno, beliau selalu saja masang wajah judesnya. Terkadang aku heran, ada masalah apa sebenarnya dengan Bu Retno? Tak jarang juga warga lain yang membicarakan tentang sifat buruk Bu Retno yang seperti itu.
"Ada apa, Bu?" tanyaku.
"Damar. Sebaiknya kamu bawa Ibu kamu masuk ke dalam. Ganggu jalanan saya aja." Bu Retno menjawab dengan nada sinis.
Aku memperhatikan jalanan. Sepertinya jalannya masih cukup luas untuk Bu Retno lewat dengan motornya. Lagipula Ibu tidak menghalangi jalan, kok. Ibu berdiri di pinggir pagar rumah kami.
Ingin rasanya aku menjawab, namun aku tahu, jika aku melakukan itu maka urusannya akan semakin panjang. Oleh karena itu aku lebih memilih untuk mengalah dan membawa Ibu masuk ke dalam rumah.
"Ibu nunggu Bapak, Mar," ucap Ibu. Sontak aku menghentikan langkah, lalu menatap Ibu. Ibu memandangku. "Bapak kamu kapan pulang, Mar? Katanya nggak bakalan lama," ucap Ibu lagi.
Sebenarnya, semenjak Bapak tidak pulang-pulang, kesehatan mental Ibu sedikit terganggu. Tak jarang juga Ibu selalu melamun, dan berbicara sendiri. Bahkan kerap kali aku sering melihat Ibu menangis diam-diam di dalam kamar.
Itu wajar, 10 tahun bukanlah waktu yang singkat.
10 tahun seorang istri ditinggalkan suaminya tanpa kabar yang jelas. Apalagi ditambah mendengar gosipan para tetangga yang belum tentu benar adanya. Mereka bilang, mungkin saja Bapak nikah lagi.
"Bapak pasti pulang," jawabku berusaha menenangkan.
"Tapi kapan?" Ibu bertanya lirih.
Aku menghela napas pelan lalu tersenyum. "Sebentar lagi."
Sebentar lagi? Aku bahkan tidak yakin dengan ucapanku barusan.
Aku mengusap pelan tangan Ibu. Mati-matian aku berusaha menahan tangis. Melihat Ibu seperti ini membuat dadaku sesak.
Dulu, saat Bapak masih bersama kita, aku jarang melihat Ibu merenung dan berakhir menangis. Dulu Ibu lebih sering tertawa dan mengomel. Apalagi saat Bapak keseringan minum kopi. Dari pagi, siang, sore, hingga malam. Bahkan Ibu pernah menyembunyikan stok kopi milik Bapak, supaya Bapak tidak sering minum kopi.
Meskipun waktu itu umurku masih 6 tahun, namu rasanya, kenangan itu sudah sangat melekat di ingatanku. Tentang Bapak yang selalu memelas saat Ibu tak membuatkannya kopi di pagi hari. Tentang aku yang sibuk mencari dasi karena lupa menaruh. Dan tentang Ibu yang selalu mengomel saat barang-barang berserakan di ruang tamu.
Kini semua momen itu seakan lenyap termakan waktu. Tidak ada lagi Ibu yang selalu marah-marah saat pagi. Tidak ada lagi Ibu yang selalu menjawab perkataan julid Bu Retno dengan sabar.
"Ibu masuk, ya. Istirahat." Pada akhirnya aku menuntun Ibu masuk ke dalam rumah. Karena jika terus membicarakan Bapak, maka tidak akan ada habisnya.
Setelah melihat Ibu masuk ke dalam kamar, aku memilih duduk di kursi sofa ruang tamu. Aku menutup wajahku dengan kedua telapak tanganku.
Di lubuk hatiku yang paling dalam, aku sangat merindukan Bapak. Sangat.
Setiap hari selalu ada harapan kalau Bapak akan berdiri di depan pintu sambil membawa sepeda yang dulu sangat aku inginkan.
Dulu Bapak bilang, jika Bapak sudah punya banyak uang, maka Bapak akan membelikanku sepeda seperti anak-anak lain. Meskipun aku tidak bisa menggoes sepeda, tapi Bapak berjanji, kalau Bapak akan mengajariku naik sepeda sampai akhirnya aku bisa balapan sepeda dengan temanku.
Tapi sampai saat ini, Bapak belum kunjung datang untuk menepati janjinya.
"Pak, Damar kangen...." Aku berucap lirih, dengan sesekali isakan yang keluar.
Aku mengangkat pandanganku, mengedarkannya meneliti penjuru rumah. Sepi.
Sesaat aku teringat dengan perkataan Pak RT satu minggu yang lalu. Beliau bilang, jika beliau akan membantuku untuk mencari Bapak. Entah bagaimana aku harus berterima kasih kepada Pak RT. Aku sangat bersyukur ada orang yang dengan tulus bersedia mencari Bapak yang sudah bertahun-tahun hilang tanpa kabar.
Tiga hari lalu aku sempat menemui Pak RT. Namun katanya, masih belum ada perkembangan apapun. Dan sekarang aku akan kembali menemui Pak RT, dan menanyakan apakah Bapak sudah ditemukan ataukah belum.
Meskipun kecil kemungkinan harapanku itu terwujud.
Karena beberapa waktu lalu Pak RT pernah bilang, bahwa sejak sembilan tahun terakhir, Bapak telah memutuskan semua kontaknya. Jadi akan cukup sulit untuk bisa melacak keberadaan Bapak.
Sebenarnya Ibu tidak tahu perihal ini. Hanya aku yang mengetahui jikalau Pak RT mau membantuku dan Ibu untuk mencari Bapak.
Saat itu aku baru pulang dari sekolah, namun dengan tiba-tiba Pak RT menghentikan ku. Beliau bilang, bahwa beliau akan berusaha membantu untuk mencari Bapak. Beliau merasa Iba saat melihatku berusaha menemukan Bapak seorang diri, yang hanya bermodalkan sosial media dan foto Bapak.
Tentu aku sangat bersyukur akan hal itu.
Aku berdiri di halaman rumah Pak RT. Melihat beliau yang masih fokus membaca koran sehingga belum menyadari kehadiranku.
"Assalamu'alaikum." Pak RT menengok saat mendengar salam ku. Pak RT langsung berdiri dan menghampiriku.
"Wa'alaikumsalam. Eh, Damar. Gimana, Mar, sehat?" tanya Pak RT. Mungkin sekadar berbasa-basi.
"Alhamdulillah, sehat, Pak RT."
Pak RT menganggukan kepalanya. Setelahnya kembali bertanya, "Ibu kamu gimana?"
Aku menghela napas pelan. "Alhamdulillah, sehat juga, Pak RT."
Sebenarnya aku tidak tahu harus menjawab apa saat Pak RT menanyakan kabar Ibu. Namun rasanya tak enak jika harus selalu berterus terang mengenai kesehatan mental Ibu yang tidak ada perubahan. Lagian aku yakin, kalau ucapan itu doa. Semoga saja dengan aku mengatakan kalau Ibu sehat, itu juga akan menjadi doa dan membuat Ibu benar-benar sehat.
"Alhamdulillah kalau gitu."
"Pak, saya ke sini mau nanya. Kalau untuk perkembangan pencarian Bapak, gimana, ya, Pak?" tanyaku to the point.
Pak RT tampak terdiam. Ia menatapku dengan pandangan yang sulit diartikan.
"Mari duduk dulu, Mar," ajak Pak RT seraya menuntunku untuk duduk di kursi kayu depan rumah.
Setelah mendudukkan bokongku di kursi milik keluarga Pak RT tersebut, aku kembali melihat Pak RT yang sedang menyeruput tehnya lalu kembali menyimpan gelasnya di atas meja.
Pak RT menatapku dengan tatapan prihatin. Benakku bertanya-tanya. Apakah terjadi sesuatu dengan Bapak? Ataukah Bapak belum ditemukan sama sekali.
"Gimana, Pak?" tanyaku lagi.
Yang kulihat Pak RT menghela napas berat. Kemudian beliau menepuk pundakku.
"Sebenarnya saya bingung gimana cara bilangnya sama kamu. Saya sudah mendapatkan kabar Bapak kamu dari kemarin lusa. Saya dapat informasi dari teman saya yang ada di Kalimantan. Dia bilang, kalau Bapak kamu sekarang lagi ada di sana," ujar Pak RT.
Perkataan Pak RT barusan membuatku merekahkan senyuman. Akhirnya setelah sekian lama, aku tahu di mana Bapak sekarang. Meskipun pikiranku bertanya, sedang apa Bapak di Kalimantan? Karena dulu Bapak bilangnya bahwa beliau akan pergi ke Jakarta. Bapak bilang, temannya yang merantau di Jakarta mempunyai pekerjaan.
"Tapi, Bapak lagi apa di Kalimantan? Bukannya Bapak pergi ke Jakarta? Apa Bapak pindah kerja?" tanyaku.
Pak RT menggelang pelan. Hal tersebut membuat keningku berkerut. Rasa penasaran memenuhi.
Pak RT menatapku dengan pandangan sendu. "Bapak kamu nikah lagi."
Sederet kalimat yang diucapkan Pak RT berhasil membuat raut penasaranku pudar, digantikan dengan tatapan kosong. Tak percaya dengan yang baru saja Pak RT katakan.
"Pak RT bercanda, kan?" tanyaku masih berusaha berdenial.
Pak RT menggelangkan kepalanya. "Saya serius, Mar. Saya tahu ini berat buat kamu, terkhususnya Ibu kamu. Tapi ini kenyataannya. Alasan Bapak kamu nggak pulang-pulang, karena Bapak kamu nikah lagi dan pindah ke Kalimantan bersama istri barunya."
"Saya tahu hal tersebut, pun, dari teman saya. Beliau satu pekerjaan sama Bapak kamu. Dia juga ngirimin foto Bapak kamu sama istri barunya," lanjut Pak RT seraya memperlihatkan foto Bapak yang sedang bergandengan tangan dengan wanita lain. Dan yang lebih menyakitkan lagi, Bapa tengah menggendong seorang anak kecil.
Melihat hal tersebut, dan penjelasan dari Pak RT membuatku menitikan air mata. Bertahun-tahun aku menunggu kabar tentang Bapak, namun sekalinya aku mendapatkan kabar, justru kabar buruk yang aku terima.
"Bilang sama Ibu kamu pelan-pelan. Ini pasti sangat berat buat Ibu kamu," tutur Pak RT lalu menepuk pundakku sebanyak dua kali.
Aku mengusap pipiku yang sudah basah dengan air mata. Aku memaksakan senyum untuk melihat Pak RT. Demi Tuhan, ini sungguh menyakitkan. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana sakitnya Ibu saat tahu berita ini.
"Terima kasih, Pak RT, karena sudah membantu saya. Walau pada akhirnya, kabar buruk yang saya dapatkan." Aku berkata dengan suara gemetar. Aku berdiri dari duduk. "Kalau begitu, saya permisi, Pak," pamitku. Pak RT ikut berdiri, kemudian kembali mengusap pundakku seakan menguatkan ku.
"Yang sabar, ya," kata Pak RT.
Aku pamit pergi dari rumah Pak RT. Pikiranku berkecamuk. Aku berjalan dengan tatapan kosong. Benar-benar tidak menyangka dengan fakta yang baru saja aku terima.
Rupanya perkataan warga bukan hanya gosip belaka, melainkan sebuah fakta.
Aku benar-benar takut saat harus bicara dengan Ibu perihal ini. Takut memikirkan reaksi yang akan Ibu berikan. Aku belum siap melihat Ibu semakin terpuruk.
"Bu, meskipun tanpa Bapak. Tapi aku akan berusaha buat Ibu bahagia. Aku akan berusaha bikin Ibu buat lupain Bapak."
Aku mengeraskan rahangku menghalau air mata yang siap turun kapan saja. Kini tidak ada lagi Bapak. Sekarang hanya ada aku, dan Ibu.