Hujan turun dengan deras di sore itu, membasahi trotoar yang mengarah ke halte bus di ujung jalan sekolah SMA Negeri 2. Di bawah langit yang kelabu, Mikhayla Rasati berdiri sambil merapatkan sweaternya, mencoba melawan dinginnya udara. Suara gemericik air yang jatuh dari atap halte terasa menenangkan, meskipun di satu sisi, ia berharap bus segera datang. Namun, sore ini, bus seolah enggan tiba, dan Mikhayla hanya bisa berdiri diam, ditemani suara hujan.
Tak lama kemudian, Aksa Naren tiba dengan langkah cepat, seragamnya sedikit basah terkena gerimis yang mulai turun sejak beberapa menit lalu. Dengan napas yang sedikit tersengal, Aksa menatap Mikhayla dan tersenyum, menyapa dengan nada yang ceria.
"Hai, Mikhayla! Selalu kamu yang pertama di sini ya?" Aksa mengelap rambut basahnya dengan tangan.
Mikhayla tersenyum tipis sambil sedikit merapatkan tasnya. "Iya, seperti biasa. Busnya selalu telat kalau hujan."
Aksa tertawa kecil. "Mungkin mereka juga suka nunggu hujan reda dulu."
Mikhayla tersenyum, sedikit menoleh ke arah Aksa. Meski mereka tidak saling mengenal sebelumnya, pertemuan di halte ini sudah menjadi kebiasaan baru mereka. Setiap hujan turun, mereka selalu berakhir menunggu di tempat yang sama. Mikhayla awalnya hanya melihat Aksa sebagai teman sekolah biasa, tetapi kebiasaan ini membuat mereka sedikit demi sedikit mulai berbagi cerita.
Hari-hari berlalu, dan tanpa disadari, hujan menjadi bagian tak terpisahkan dari hubungan Aksa dan Mikhayla. Setiap sore sepulang sekolah, mereka bertemu di halte yang sama, menunggu bus bersama, berbagi tawa, dan menikmati kebersamaan di bawah rintik hujan.
Suatu sore, hujan turun lebih deras dari biasanya. Mikhayla sedang berdiri sendirian di halte, kali ini tak membawa payung. Hujan yang begitu lebat membuatnya tak bisa berbuat banyak selain menunggu. Sementara itu, Aksa datang dengan payung hitam kecil di tangannya. Begitu melihat Mikhayla yang basah kuyup, ia langsung bergegas menghampiri.
"Kamu nggak bawa payung?" tanya Aksa, seraya membuka payungnya lebih lebar.
Mikhayla tersenyum canggung. "Lupa bawa. Hujannya juga tiba-tiba deras."
Tanpa berpikir panjang, Aksa melangkah mendekat dan memayungi Mikhayla. "Sudah, kita tunggu di sini bareng. Lagipula, lebih asyik kalau ada teman ngobrol."
Mikhayla tersenyum, merasa sedikit canggung tapi juga nyaman. Mereka berdiri berdua di bawah payung yang sama, sementara hujan semakin deras. Dari balik payung, mereka bisa melihat tetesan air jatuh membasahi jalanan yang lengang.
"Sering hujan kayak gini, ya?" gumam Aksa, memulai percakapan sambil menatap tetesan hujan yang menari di udara.
"Iya," balas Mikhayla sambil menoleh sedikit ke arah Aksa. "Hujan itu bikin tenang, ya."
Aksa mengangguk pelan. "Bikin kita bisa berhenti sebentar. Hujan selalu memaksa kita untuk memperlambat langkah, nunggu sampai reda."
"Atau, bikin kita lebih dekat," kata Mikhayla tiba-tiba, sambil menatap payung kecil yang menutupi mereka berdua. Seketika suasana menjadi sedikit canggung, namun Mikhayla hanya tersenyum tipis, mencoba meredakan suasana.
Aksa terkekeh, sedikit menggaruk kepalanya yang basah. "Iya juga sih. Kalau hujan, kita jadi bisa saling numpang payung."
Mereka tertawa kecil bersama, dan suasana yang awalnya kaku mulai mencair. Ada sesuatu dalam kesederhanaan momen itu yang terasa begitu manis bagi keduanya. Meski hanya berdiri bersama di bawah payung, Aksa dan Mikhayla merasakan kehangatan yang berbeda.
Sejak saat itu, setiap kali hujan turun, Aksa selalu memastikan ia membawa payung. Bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk Mikhayla. Dan Mikhayla pun mulai merasa lebih nyaman ketika tahu bahwa ia tak akan pernah sendiri saat hujan turun.
Sore itu, setelah hujan deras, Mikhayla dan Aksa berjalan pulang bersama, seperti biasanya. Jalan di sekitar rumah mereka cukup lengang, dan udara setelah hujan terasa sangat segar. Di antara rumah mereka, ada sebidang tanah kosong yang tak terurus. Tanah itu sering kali mereka lewati dalam perjalanan pulang, tetapi hari itu, Aksa tiba-tiba berhenti di depan tanah tersebut.
"Mikhayla, gimana kalau kita tanam sesuatu di sini?" tanya Aksa tiba-tiba.
Mikhayla menatapnya bingung. "Tanam sesuatu? Maksudmu apa?"
Aksa tersenyum, menunjuk tanah kosong di depan mereka. "Kita bisa tanam pohon di sini. Biar nanti, setiap kali kita lewat, kita bisa lihat pohonnya tumbuh besar. Kayak kita."
Mikhayla tersenyum mendengar ide itu. "Tapi kenapa pohon?"
Aksa terdiam sejenak, kemudian berkata, "Karena pohon itu bisa jadi simbol. Kita tanam bareng, kita rawat bareng, dan nanti saat kita dewasa, pohon ini jadi kenangan perjalanan kita."
Mikhayla terdiam, merenungi kata-kata Aksa. Meski terdengar sederhana, ada makna mendalam di baliknya. Ia pun akhirnya mengangguk setuju. "Oke, kita tanam pohon apa?"
"Pohon mangga," jawab Aksa mantap. "Biar nanti kalau udah besar, kita bisa makan buahnya bareng-bareng."
Mereka tertawa bersama, dan rencana itu pun mulai terbentuk. Beberapa hari kemudian, setelah sekolah, mereka berdua membeli bibit pohon mangga dari tukang tanaman di pasar. Dengan cangkul kecil yang dipinjam dari tetangga, mereka mulai menggali tanah dan menanam pohon itu bersama.
"Aku berharap pohon ini cepat besar," kata Mikhayla sambil menatap bibit pohon yang masih kecil dan rapuh.
Aksa tersenyum sambil menepuk bahunya. "Sama seperti kita. Pohon ini akan tumbuh, dan kita akan lihat dia besar, sama seperti kita yang terus tumbuh bersama."
Pohon itu menjadi simbol kebersamaan mereka, sebuah janji tak terucap bahwa mereka akan terus bersama, meski waktu dan keadaan mungkin berubah.
Masa-masa SMA berlalu begitu cepat. Tanpa terasa, Aksa yang satu tahun lebih tua dari Mikhayla kini sudah berada di tahun terakhirnya. Ujian kelulusan semakin dekat, dan Aksa harus mulai memikirkan masa depannya. Meskipun ia merasa berat, ia akhirnya memutuskan untuk melanjutkan kuliah di kota lain.
Sore itu, setelah hari terakhir ujian Aksa, mereka duduk di bawah pohon mangga yang mulai tumbuh lebih besar. Daun-daun hijau mulai rimbun, meski batangnya masih kurus. Mereka duduk berdua, menikmati udara sore yang sejuk setelah hujan reda.
"Aku udah keterima di universitas di luar kota," kata Aksa pelan, menatap lurus ke depan.
Mikhayla terdiam. Ia sudah menduga hal ini akan terjadi, tetapi mendengar langsung dari Aksa membuat perasaannya sedikit berat. "Jadi, kamu bakal pergi?"
Aksa menoleh ke arahnya dan tersenyum. "Cuma sementara. Kita masih bisa ketemu waktu liburan, dan aku janji bakal pulang sesering mungkin."
Mikhayla menunduk, merasa campur aduk. "Aku tahu, tapi rasanya pasti beda. Kita nggak bakal bisa ketemu tiap hari lagi."
Aksa terdiam sejenak, lalu meraih tangan Mikhayla. "Tapi kita masih punya ini." Ia menunjuk pohon mangga di depan mereka. "Pohon ini akan terus tumbuh, sama seperti perasaan kita. Dan aku janji, meskipun aku jauh, aku selalu ada buat kamu."
Mikhayla tersenyum tipis, merasakan genggaman hangat dari tangan Aksa. "Aku percaya sama kamu."
Dan saat itu, di bawah naungan pohon mangga yang mereka tanam bersama, mereka saling berjanji untuk tetap bersama meskipun jarak memisahkan. Hujan sore itu mulai reda, tetapi perasaan mereka tetap tenang, seperti rintik-rintik yang perlahan berhenti jatuh.
Tahun demi tahun berlalu, Aksa dan Mikhayla menjalani hubungan jarak jauh. Meskipun tidak mudah, mereka selalu berusaha untuk tetap terhubung. Setiap kali Aksa pulang ke rumah, mereka selalu menyempatkan diri untuk duduk di bawah pohon mangga yang kini semakin besar. Pohon itu menjadi saksi setiap cerita yang mereka bagikan, setiap tawa, dan setiap kecemasan.
Suatu hari, ketika Aksa pulang untuk liburan, mereka duduk di bawah pohon seperti biasa. Hujan gerimis mulai turun, tetapi mereka tetap diam, menikmati kebersamaan mereka.
"Kamu tahu nggak, pohon ini udah mulai berbuah," kata Mikhayla sambil tersenyum, menunjuk beberapa buah mangga kecil yang mulai tumbuh di dahan.
Aksa tersenyum lebar. "Tuh kan, kita udah besar. Pohonnya juga."
Mikhayla tertawa kecil. "Iya. Dan kita masih di sini, di bawah pohon ini, sama seperti dulu."
Aksa menatapnya dengan lembut. "Dan aku harap kita selalu di sini, bareng-bareng."
Mikhayla menoleh, menatap Aksa dalam-dalam. "Aku juga berharap begitu."
Mereka duduk berdua di bawah hujan gerimis, sambil menatap pohon yang tumbuh bersama dengan cinta mereka. Ada keheningan yang indah di antara mereka, seolah-olah dunia hanya milik mereka berdua. Dan meskipun hujan turun dengan lembut, mereka merasa hangat dalam kebersamaan.
Setelah beberapa tahun menjalin hubungan, akhirnya Aksa melamar Mikhayla. Mereka memutuskan untuk menikah di kampung halaman, di bawah pohon mangga yang telah menjadi saksi cinta mereka selama ini. Pada hari pernikahan, hujan turun dengan lembut, seolah alam ikut merayakan kebahagiaan mereka.
Di bawah naungan pohon mangga yang rimbun, Aksa dan Mikhayla mengucap janji setia. Mereka saling berjanji untuk terus bersama, dalam suka dan duka, dalam hujan maupun cerah, seperti yang telah mereka lakukan selama ini.
Hujan sore itu menjadi saksi cinta mereka, seperti yang selalu terjadi sejak mereka pertama kali bertemu di halte bus. Dan pohon mangga itu, yang dulu kecil dan rapuh, kini berdiri tegak, menjadi simbol dari cinta yang tumbuh kuat seiring waktu.
Tahun-tahun berlalu, Aksa dan Mikhayla menjalani kehidupan pernikahan yang bahagia. Mereka tinggal di rumah yang tak jauh dari pohon mangga itu, dan setiap kali hujan turun, mereka selalu berjalan ke sana, mengingat masa-masa indah ketika mereka masih remaja.
Pohon itu terus tumbuh, semakin tinggi dan kuat, menjadi saksi bisu dari perjalanan cinta mereka. Hujan yang dulu selalu mempertemukan mereka, kini menjadi bagian tak terpisahkan dari hidup mereka. Dan setiap kali mereka melihat pohon itu, mereka teringat akan janji yang pernah mereka buat di bawah payung kecil di halte bus, saat cinta mereka mulai bersemi di tengah rintik hujan.