Revived
Oleh: Kala Embun
Apa kau masih ingat impian masa kecil mu? Jika kau diberi kesempatan untuk mengejarnya, apa kau bersedia dengan segala konsekuensinya?
Kurang lebih seperti itu lah situasi ku saat ini. Di tengah teriknya langit siang Kota Jakarta, di depan zebra cross yang akan membawa ku menuju gedung menjulang di seberang, berdiri lah aku dengan pakaian semi formal beserta tote bag hitam berisi map plastik berukuran A4. Sudah 10 menit lamanya aku terdiam mematung menghadap gedung tempat wawancara dilaksanakan.
Aku menghela napas, dengan miris ku lirik map di tote bag ku. Map itu berisi helaian kertas coretan gambar yang akan menjadi portofolio ku. Merasa sangat tidak yakin dengan apa yang akan ku lakukan.
Ini semua ulah Kak Melia. Kalau saja malam itu aku tak datang ke cafe tempatnya bekerja, mungkin aku tak akan ada di situasi yang menjengkelkan seperti ini.
“Kali ini bukan lagu yang ku tawarkan, tapi kesempatan.” Ucap Kak Melia malam itu dari bilik dapur cafe. Tidak setiap hari, tapi minimal dalam seminggu aku dan Kak Melia pasti bertemu. Entah aku yang mendatanginya atau dia yang mendatangi ku. Tapi kali itu, tanpa ada alasan khusus tubuhku yang lelah setelah bekerja di pabrik seharian justru memilih menghampirinya dibanding kasur yang hangat.
“Kesempatan?” Aku tak mengerti arah pembicaraannya, tapi Kak Melia menghampiri ku dengan anggukan semangat. “Kesempatan apa?”
“Waktu itu kau bilang, kan, lagu tentang meraih mimpi adalah lagu tersedih bagi mereka yang tak memiliki kesempatan?” Ah, aku ingat. Di pertemuan sebelumnya Kak Melia sempat menanyakan rekomendasi lagu tersedih yang cocok didengarkan saat hujan. Dan saat itu aku hanya menjawab lagu tentang meraih mimpi tanpa menyebutkan judulnya. Karena hal itu, Kak Melia jadi bertanya lebih lanjut mengenai jawaban ku. Jadi ke arah sana maksud Kak Melia soal memberikan kesempatan ini?
Tiba-tiba Kak Melia menyodorkan handphone nya pada ku. “Makanya, ini, ku beri kau kesempatan!” serunya.
Untuk sepersekian detik, aku tergoda dengan apa yang tertera di layar handphonenya. Gambar poster lowongan pekerjaan sebagai asisten penulis webtoon yang akan ditutup seminggu lagi. Menarik. Tapi melihat kualifikasi yang tertera tentu saja, aku tak termasuk.
“Apa kau pikir mereka akan menerima ku?” Lulusan SMA dan seorang buruh pabrik yang bahkan tak memiliki pengalaman dibidang terkait. “Apa kau tak lihat kualifikasinya harus berpengalaman?”
“Yah, tidak berpengalaman bukan berarti tak memiliki keahlian, kan?” kata-katanya membuatku tak bisa membalas. “Apa salahnya dicoba? Dari semua orang yang ku kenal, hanya kau yang bisa menggambar seperti pelukis,” sontak aku mendelik sebal, “Itu karena kenalan mu yang bisa menggambar hanya aku,” balas ku, kemudian Kak Melia tertawa.
Apa yang dikatakan Kak Melia memang ada benarnya, apa salahnya dicoba? Ah, tapi memikirkan diriku yang akhirnya kembali jatuh ke gua kegelapan setelah mengobarkan api semangat membuatku trauma. Bukan masalah bangkit atau takut memulai dari awal lagi, tapi aku tak yakin bisa hidup tenang kembali menjalani rutinitas setelah membunuh impian ku untuk kesekian kalinya. Entah apa ini hanya aku yang merasa, tapi berapa kali pun kau membunuh impianmu, kau tetap tak bisa terbiasa dengan rasa sakit itu.
“Kak, aku bahkan hanya bisa menggambar dengan pensil dan sehelai kertas. Untuk menjadi asisten penulis webtoon setidaknya aku harus pernah menggambar di komputer. Itu sama saja memaksa nenek yang buta digital untuk selfie dengan tangannya sendiri.”
Kak Melia terkekeh, “Kenapa kau mendeskripsikannya seperti itu? Nenek yang mendengarnya pasti akan sakit hati,”
“Lalu apa kau tak memikirkan bagaimana aku nanti setelah tertampar realita kesekian kalinya?” Kak Melia terdiam. Aku tahu kata-kata ku keterlaluan, bahkan untuk orang yang berusaha membantu ku. Tapi keputusan ku sudah bulat. Bagaimana pun Kak Melia membujukku, aku tak akan goyah. Kau boleh pantang menyerah untuk mengejar mimpi mu, tapi kau juga perlu melindungi diri dari hal-hal menyakitkan yang tak bisa kau tangani.
Ku kira saat itu aku sudah cukup menekankan padanya kalau aku tak akan terkecoh lagi dengan godaan yang memanfaatkan sisi terlemah ku bernama impian. Tapi rupanya, si Kak Melia itu memprovokasi Ibuku. Lusanya, benar saja sepulang kerja ibu mendatangi kamarku. Begitu masuk, ia memandangi setiap sudut kamar ku yang terlihat kosong.
“Sudah lama aku tak melihat gambar mu. Apa kau menyingkirkan semuanya?” Ah, dulu saat masih sekolah aku suka memajang hasil gambarku di dinding. Aku menempelkan semua impian ku. Tapi setelah kenyataan menghantam, sedikit demi sedikit aku menyingkirkannya dari dinding hingga tak terasa saat ini tak ada satu pun yang tertempel disana.
“Kertasnya sudah lapuk dan aku lebih suka bersih seperti ini.”
“Tapi kau masih menggambar, kan?” Ya, dan cukup sering. Saat menunggu bus, di dalam bus, tiap kali ada waktu tanpa sadar aku selalu mengeluarkan buku kecil yang menjadi kumpulan coretan. “Tidak begitu, aku terlalu lelah menyisakan tenaga hanya untuk menggambar.” Bohong ku. Ada jeda hening beberapa menit sebelum akhirnya ibu bicara lagi.
“Ibu minta maaf,” aku tak menyangka itu yang akan dikatakannya. “Kenapa ibu minta maaf?”
“Karena membuatmu menyerah pada mimpimu.” Itu memang tidak salah, kondisi keluarga atau lebih tepatnya faktor ekonomi lah yang membuatku mengubur dalam-dalam mimpi ku. Tapi itu bukan berarti salah nya. Bagaimana bisa aku menyalahkannya? Pengorbanan yang telah ku lakukan bahkan tak bisa menandinginya. Sejak awal, mimpi memang terlalu mewah untuk ku yang tidak memiliki apa pun.
“Sekarang kau tak perlu melakukannya lagi. Hutang bukan urusanmu, tapi ibu. Jadi jangan kubur mimpimu lagi.”
“Bu, hutang kita bukan hanya sejuta atau dua juta, tapi ratusan. Gaji ku selama 9 tahun bahkan tak bisa melunasinya. Bagaimana aku bisa tenang melihat ibu yang terus bekerja tanpa istirahat?” terlihat ibu mulai terisak, dan aku pun mulai tak mampu membendung air mata yang sejak tadi ku tahan.
Aku membelakanginya, berkedok mengambil handuk dan baju ganti sambil berusaha menyeka air mata ku. Aku merasa harus segera pergi dari ruangan ini sebelum serangan emosional lainnya.
“Impian itu sudah tidak ada. Itu hanya impian masa kecilku. Sekarang aku yang hampir berkepala tiga ini hanya ingin segera melunasi hutang. Jadi ku mohon, jangan dibahas lagi, bu.” Ucap ku sebelum melangkah kaki meninggalkan kamar. Benar, keputusanku sudah benar. Lupakan soal mimpi dan hidup sesuai realita.
“Kalau begitu mulai sekarang itu jadi mimpi ku!” aku yang selangkah lagi melewati meninggalkan pintu, tersentak hingga menghentikan langkah ku. “Melihatmu menggambar lagi. Melihatmu dapat mengekspresikan gambar mu, itu adalah mimpi ibu sekarang,”
“Ikut lah lowongan itu. Diterima atau tidak, aku tak peduli dengan hasilnya, yang penting kau sudah menyalurkan bakat dan impianmu, itu sudah lebih dari cukup,” aku ingin membalas tapi suaraku tertahan seolah ada yang mengikat leherku hingga sesak rasanya. “Ikutlah, anggap saja untuk menyenangkan dirimu. Setidaknya kau bisa lakukan itu kan?” Semua kata-kata itu membuat 50% benteng pertahananku runtuh.
“Kenapa sampai segitunya, sih, bu?” akhirnya suaraku bisa keluar. Namun aku tetap membelakangi ibu. Aku tak ingin wajah dan mata ku yg memerah ini dilihatnya.
“Melihat mu menahan dan atak bisa melakukan yang kau inginkan, itu membuat ku tersiksa. Ibu memang tak bisa bantu mewujudkan mimpimu. Tapi aku tak pernah melarangmu. Kau boleh lakukan apa yang kau mau.”
Hancur. Seketika pertahananku runtuh begitu saja. Air mata yang sekuat tenaga ku tahan mulai mengalir deras. Aku pun tak bisa menyembunyikan diriku yang sesenggukan. Gara-gara Kak Melia, aku mengalami malam yang penuh air mata.
Sekali lagi ku pandangi gedung menjulang tinggi di hadapanku. Ku kepal kedua tangan dan hirup udara banyak-banyak, lalu melepasnya perlahan. Sedang di dalam pikiran ku terputar ingatan yang dikatakan ibu malam itu.
Anggap saja untuk menyenangkan diri.
Benar, mari lakukan untuk bersenang-senang dan jangan pedulikan hasilnya.
Akhirnya dilampu merah berikutnya, ku biarkan kaki ku melangkah di atas zebra cross dan memasuki gedung menjulang tinggi itu.
…
Wawancara itu dilaksanakan di ruangan utama yang berada di lantai tujuh. Tempat yang cukup dekat untuk melihat langit dan awan. Begitu keluar dari lift, aku sangat takjub melihat lekukan awan dan langit cerah. Sepertinya hari ini aku tak perlu khawatir hujan akan turun.
Ternyata orang yang menginginkan pekerjaan ini tak sebanyak yang ku kira. Kurang lebih ada 20 orang yang mengantri termasuk diriku. Pihak perusahaan menyediakan bangku panjang dari besi, tipikal bangku tunggu yang sering ditemui dimana-mana, dan mereka menyusunnya menjadi 2 bagian kanan kiri dan depan belakang. Sedang aku memilih di sebelah kiri nomor 2 paling belakang.
Di sebelah ku seorang lelaki berkaca mata sedang sibuk dengan tab di tangannya. Peserta lainnya pun terlihat sibuk dengan handphone masing-masing dan hampir tak ada yang membawa tas selain pouch kecil yang ditenteng. Sepertinya hanya aku yang membawa tote bag berisi map beserta portofolio kertas disini.
Tak lama, sesi wawancara dimulai. Satu persatu nama kami pun dipanggil. Aku sama sekali tidak mengerti bagaimana urutannya, tapi cukup lama aku menunggu, hingga hanya tersisa 3 orang ketika namaku dipanggil.
“Kaluna Maharani.” Panggil seseorang dari dalam ruangan. Aku pun segera melangkah menghampiri pintu sambil merogoh tasku untuk mengambil map. Namun, begitu aku meraih kenop pintu dan hendak mendorongnya, seseorang ternyata menariknya dari dalam dan membuat tubuhku tertarik hingga menabrak orang tersebut.
Bruk!
Semua isi dalam map pun berserakan. Tanpa melihat siapa yang ku tabrak, aku hanya meminta maaf dan segera memungut kertas-kertas coretan gambar yang akan menjadi portofolio ku. Aku bisa merasakan semua mata tertuju pada ku dan kertas-kertas ini. Tiba-tiba aku merasa malu. Tanpa merapikan susunannya, aku langsung menumpuk helaian kertas ini jadi satu.
Orang yang menabrak ku rupanya adalah seorang pria peserta wawancara yang masuk sebelumnya. Orang itu hanya berdiri sejak tadi, tanpa membantu dan mengucapkan maaf, justru ku dengar ia mendengus kesal.
“Masih jaman, ya, portofolio kertas seperti ini?” kedua alis ku otomatis berkerut mendengar pertanyaannya. “Kenapa tidak pakai link aja?” karena aku sudah selesai menumpuk kembali portofolio ku yang berantakan, aku berdiri menatapnya tajam seolah kata-kata yang ingin ku lontarkan tergambar jelas di mata ku. Kalau saja saat ini aku tidak di perhatikan 3 juri pewawancara, ingin rasanya ku tempeleng kepala pria itu.
Pria itu tak bisa membalas tatapan kekesalan ku. Ia pun pergi begitu saja tanpa mengucapkan apa pun. Dan aku mencoba menghirup napas dalam-dalam lalu mengeluarkannya perlahan. Ku hampiri meja pewawancara, dan mereka mempersilahkan ku duduk.
…
Lagi-lagi Aku menghela napas berat. Wawancara yang sudah kupersiapkan berhari-hari, mengorbankan cuti yang bisa kupakai untuk membantu ibu menjual nasi kuning, berakhir bahkan kurang dari 15 menit. Belum ditambah dengan waktu perjalanan juga ongkos transportasi dari bekasi ke Senayan. Ku rogoh tote bag untuk meraih dompet. Kurang lebih aku sudah menghabiskan 50 ribu untuk berangkat pagi tadi. Jadi untuk pulang setidaknya 50 ribu cukup, itu pun belum dipotong biaya makan malam. Apa lebih baik aku menahannya saja dan makan dirumah, ya?
Haha… tawa ku dalam hati. Bersenang-senang apanya?
Langit mulai menggelap, menunggu antrian wawancara tadi benar-benar menghabiskan banyak waktu. Meski hanya 20 orang, tapi waktu wawancara menghabiskan 20 menit per orang, belum dipotong waktu istirahat sejam lebih. Walaupun sebenarnya hanya bagian ku yang wawancaranya bahkan kurang dari 15 menit. Begitu keluar dari gedung, langit mulai gelap dan terdengar gemuruh-gemuruh tanda hujan. Aku pun memutuskan berjalan dengan cepat agar segera sampai di stasiun sebelum hujan turun.
Ternyata aku pulang di waktu yang tepat.
Waktu yang tepat dimana pegawai kantoran menyelesaikan pekerjaannya dan pulang. Kini mulai terlihat beberapa mobil dan motor yang berhenti karena macet. Tak sedikit pula yang memutuskan berjalan seperti ku menuju stasiun. Beberapa orang secara gantian mulai melewatiku dengan langkah yang cepat. Suara ketukan sepatu heels pun terdengar dimana-mana.
Karena mereka terus melewatiku, aku jadi memperhatikan penampilan orang-orang itu. Semua orang ini berpenampilan menarik, sangat modis dan trendy. Berbeda dengan ku yang hanya memakai kemeja lengan pendek yang ditutupi jaket jeans dan celana bahan berwarna hitam. Aku pun tak memakai sepatu heels, hanya flat shoes berwarna hitam yang sudah usang.
Kalau kau tanya apa aku juga ingin bisa berpenampilan seperti mereka, tentu saja ku ingin. Lalu, apa aku mampu berpenampilan seperti mereka? Dengan gajiku sebagai buruh pabrik, itu lebih dari cukup untuk membeli pakaian, tas, dan sepatu cantik seperti mereka. Tentunya itu bisa dinikmati jika keluarga ku tak terlilit hutang besar.
“Dengan CV seperti ini, apa yang membuatmu percaya diri melamar kesini? Apa kau menganggap dirimu memenuhi kualifikasi?” tiba-tiba pertanyaan saat wawancara tadi berputar di kepalaku.
Percaya diri katanya?
Bagaimana bisa aku percaya diri melihat sainganku yang lebih profesional? Aku yang hanya lulusan SMA dan tak memiliki pengalaman bekerja apa pun selain di pabrik, mana mungkin bisa percaya diri? Orang itu benar-benar tidak tahu atau pura-pura tidak tahu? Kalau orang sepertiku tak punya apa pun selain modal nekat. Meski sejak awal aku memang tak yakin mereka akan menerima ku, tapi aku tak percaya mereka akan menyerangku seperti itu.
Tiba-tiba setetes air mendarat di wajah ku. Aku mendongak, rupanya hujan mulai turun. Orang-orang disekelilingku mulai berlarian kesana-kemari. Dengan kedua tangan yang terangkat melindungi kepala, aku pun berlari mencari tempat berteduh.
Di lampu merah yang berjarak 5 meter dari posisi ku, terlihat sebuah cafe yang bersinar benderang. Orang-orang pun sepertinya banyak berlari ke arah sana karena atap cafe itu yang luas hingga ke trotoar. Tanpa pikir panjang, ku putuskan meneduh disana.
Setidaknya ada belasan orang yang meneduh di tujuan yang sama denganku. Cafe ini memiliki 3 anak tangga untuk mencapai pintu masuk, dan hampir semua yang berteduh disini, menjadikan anak tangga itu sebagai tempat duduk. Kecuali aku dan sepasang kekasih yang berdiri berseberangan denganku.
Ku seka wajah dan baju yang hampir basah kuyup. Tak kusangka hujan akan turun di hari yang sebelumnya sangat terik membakar. Seharusnya aku membawa payung tadi, sayang sekali.
Ah, gambar ku! Tadi aku terlalu panik hingga tak melindungi gambar ku sama sekali. Begitu ku ambil tumpukkan kertas itu, memang tidak semua lembar terkena air hujan, tapi mayoritas gambar yang kusukai kini telah luntur tak berbentuk layaknya impian ku yang tergerus kenyataan.
“Apa kau punya impian?” pertanyaan pewawancara itu kembali terdengar.
“Tentu saja, semua orang punya impian.”
“Jadi, apa mimpi mu?”
Tiba-tiba aku teringat betapa bangganya Ayahku saat melihat lukisanku terpampang di mading sekolah sebagai pemenang lomba lukis saat itu. “Ayah yakin kau akan jadi pelukis sukses, nak!” itu yang selalu dikatakan Ayah, meski aku sendiri pun tak yakin akan ucapannya, tapi kata ‘menjadi pelukis’ terpatri jelas di alam bawah sadar ku.
“Aku … ingin jadi pelukis.”
“Lalu, apa yang kau lakukan selama ini? Kalau kau berniat menjadi pelukis, kenapa baru sekarang memulai? Bahkan orang yang berbakat pun tetap membutuhkan pelatihan. Semua orang yang terjun ke bidang ini bersusah payah sekolah, kuliah, hingga ke luar negeri, atau setidaknya mereka memulai dengan bekerja dibidang seni entah menjadi asisten atau posisi yang lebih rendah lagi. Sedang kau? Apa yang kau lakukan selama ini?”
Pertanyaan itu seolah menusuk tepat di jantungku. Untuk beberapa detik, aku terdiam tak bisa menjawab pertanyaan yang sebenarnya mungkin mereka tahu, tapi sengaja menyerang dengan senjata paling tajam untuk membuatku berhenti keras kepala, menyerah pada impianku dan segera mengakhiri wawancara ini.
“Aku sibuk … mencari nafkah.” Jawabku akhirnya. Dan diantara ketiga pewawancara itu terdengar ada yang menghela napas, menyandarkan punggung di kursi, ada juga yang hanya mengangguk-angguk tak peduli. Terang-terangan menunjukkan rasa lelah mereka.
Ayahku seorang buruh di pabrik yang memproduksi bahan kimia. Bekerja selama puluhan tahun, tanpa sadar membuat tubuhnya terkontaminasi bahan kimia. Sumber masalahnya, pihak pabrik sama sekali tak bertanggung jawab dan berusaha menutupinya. Dari sana lah hutang biaya pengobatan ayahku dimulai. Aku yang saat itu baru lulus sekolah, tak punya pilihan lain selain bekerja menggantikan figur ayah, membantu ibuku melunasi hutang.
Dibanding orang lain, aku bangun lebih pagi untuk membanting tulang seharian. Jangankan kuliah, untuk makan saja aku berusaha mati-matian mengumpulkan uang agar bertahan hidup. Tapi sehelai kertas bernama CV itu seolah telah menggambarkan seluruh garis perjuangan hidupku.
Sangat tidak adil.
Apa yang kulakukan selama ini katanya?
Haruskah ku tulis semua penderitaanku disana?
Semua orang punya impian, tapi tidak semua orang memiliki kesempatan. Dan untuk ku, kesempatan itu baru datang sekarang setelah sekian lama terhantam badai.
Menurutku, kesempatan adalah ketika kau sudah berusaha, lalu semesta membukakan jalan untukmu. Jika semesta memberimu jalan entah itu berupa materi, waktu, situasi dan hal-hal mendukung lainnya, tapi kau tak pernah berusaha, kau tak akan menyadari kesempatan itu. Sebaliknya, mau jungkir balik pun kau berusaha, jika semesta tak membukakan jalan untuk mu, selamanya kau akan terus jungkir balik tanpa menemukan ujung. Itulah yang ku alami selama 9 tahun terakhir ini.
Ku seka air yang membasahi gambar ku dengan ujung kain lengan jaket jeans. Aku tahu mengeringkan kertas yang gambarnya sudah luntur tak akan mengembalikannya ke semula. Tapi aku tak tega membuang, jadi ku putuskan untuk tetap menyimpannya. Aku berniat menggambarnya lagi dari awal nanti. Ku lipat kertas itu menjadi dua lalu kembali menaruhnya ke map dan tote bag ku.
Kulihat langit yang sudah sepenuhnya gelap dengan hujan yang tak kunjung reda. Begitu pun jalan raya tak kalah padat, motor dengan gigih terus berjalan menyalip di antara mobil-mobil yang terjebak macet, sedang mobil-mobil itu hanya terdiam pasrah. Tak sengaja, aku melihat papan iklan besar yang terpampang di gedung tinggi menampilkan video artis yang belakangan ini sedang naik daun.
Karir artis bernama Bitna—yang usianya lebih muda 5 tahun dari ku—itu sangat bersinar seperti namanya. Melihatnya entah kenapa membuatku memikirkan banyak hal. Sebenarnya apa yang telah dilaluinya hingga berhasil meraih mimpi secepat itu? Berapa banyak penderitaan yang sudah dilaluinya? Apa dia lebih menderita hingga keberhasilan datang lebih dulu? Lalu, sejauh mana lagi yang harus aku menderita untuk mencapai keberhasilanku? Apa aku bahkan memiliki kesempatan untuk bisa bersinar sepertinya?
Situasi ini membuatku teringat dengan diriku 9 tahun silam. Diriku yang terlalu polos dan tak tahu apapun tentang dunia. Diriku yang masih berkobar mengejar mimpi, berlarian dari wawancara satu ke wawancara lain. Dari komunitas gambar satu ke komunitas lain. Dari lomba ke lomba, semuanya ku lakukan untuk menjual gambar, bakat, dan keahlian ku. Saat itu aku percaya, gambarku bisa menghasilkan uang untuk membayar pengobatan ayah ku.
Namun, tidak ada yang menginginkan gambar hasil pensil dan krayon murahan. Disaat putus asa seperti itu, seseorang datang menawarkan bantuan. Orang itu bilang akan membeli gambarku. Tapi kenyataan yang terjadi adalah orang itu menipu ku habis-habisan. Mengambil semua gambar ku, mencuri ide ku, menggambarnya ulang dan menjualnya atas nama dirinya sendiri. Aku yang tak memiliki kuasa, tak ada pilihan selain diam memandangi karyaku dari kejauhan.
Setelah ditolak berkali-kali hingga di rampas seperti itu, membuatku tak memiliki keberanian lagi. Ku kubur dalam-dalam mimpiku dan hidup bagai cangkang kosong yang dipecut untuk terus berjalan.
Baru ku sadari ternyata hujan mulai mereda. Orang-orang yang tadinya duduk di anak tangga cafe pun mulai beranjak dan melanjutkan perjalanan. Ku ulurkan tangan kiriku dan menengadah ke udara. Hanya terasa sedikit rintikan hujan. Aku pun memutuskan kembali berjalan menuju stasiun terdekat.
Untuk mencapai rumahku, butuh 3 kali transit kereta dengan tujuan akhir stasiun Kota Bekasi. Dari stasiun aku perlu naik angkot selama 10 menit untuk sampai di depan gang rumah. Terakhir, dari gang rumah butuh 5 menit berjalan kaki untuk sampai di pekarangan rumah. Di hari kerja semua perjalanan itu hanya memakan waktu 1 jam hingga 1 jam 30 menit. Tapi hari ini adalah hari sabtu. Hari dimana jalan lebih ramai dari hari-hari biasanya.
Sampai di stasiun, kereta yang biasa ku naiki ternyata sudah datang, dan tentunya semua kursi telah terisi. Tak ada pilihan selain berdiri jika tak ingin menunggu kereta selanjutnya. Bukannya aku tak mau menunggu, tapi menunggu pun tak menjamin aku akan dapat kursi. Jadi putuskan untuk tetap di kereta dan berdiri hingga tujuan stasiun ke dua.
Ternyata di stasiun kedua dan ketiga pun, penumpang justru semakin banyak, dan tentunya peluang untuk mendapatkan tempat duduk semakin kecil. Pada akhirnya aku terus berdiri dan berdesakkan dengan penumpang lain.
“Kalau kau tidak memiliki pengalaman, bagaimana kami bisa melihat potensi mu?”
“Aku membawa portofolio ku,” jawabku dengan cepat sambil merogoh tote bag mengeluarkan tumpukkan kertas. Namun ku dengar salah satu pewawancara itu tertawa meskipun sedetik kemudian ia menutup mulutnya.
“Bukan portofolio seperti ini yang kami maksud. Kalau menggambar di kertas, semua orang pun bisa,” ucap pewawancara yang tadi tertawa. Tapi pewawancara laki-laki yang duduk di sebelah kiri terlihat serius memperhatikan semua gambaranku.
“Ini benar kau yang menggambarnya sendiri?” aku sudah tak tahan lagi dengan perlakuan mereka. “Apa anda pikir saya mampu membayar orang untuk menggambar ini semua?” ketiga pewawancara itu tiba-tiba terlihat serius memperhatikan gambaran ku di setiap lembar. Segitu tak percayanya kah mereka dengan kemampuan ku menggambar?
“Aku seperti pernah melihat gambar ini di suatu tempat,” gumam pewawancara laki-laki. Aku mengintip dari jauh gambar apa yang dimaksud, kemudian aku mengerti. Sepertinya dia mengenali gambar ku dari pencuri 9 tahun lalu. Aku tak tahu bagaimana pencuri itu mempromosikan karya palsunya, tapi melihat orang-orang di bidang seni mengenali karya itu, ku akui dia cukup berani. Apa orang itu sama sekali tak berpikir bagaimana kalau nanti aku mengungkap rahasia dibalik karya yang dibangga-banggakannya itu?
Lalu ku lihat ketiganya berdiskusi dengan suara yang sangat pelan. Aku berusaha menajamkan indera pendengaranku, tapi sama sekali tak terdengar apapun. Beberapa detik kemudian, mereka justru memintaku menggambar secara langsung pemandangan kota dari atas yang bisa dilihat dari jendela raksasa di ruangan itu.
Butuh sekiranya 5 menitan untuk menyelesaikan gambar ku. Begitu selesai, anehnya mereka meminta gambar yang sejak tadi dipertanyakan. Tapi aku tak mau bermurah hati begitu saja. Mereka sudah menyakitiku, dan aku tak ingin kehilangan hasil jerih payah ku untuk kedua kalinya.
“Jika ku berikan, apa peluang ku untuk di terima akan lebih besar?”
“Kau berpikir gambar ini bisa mengalahkan pengalaman dan kemampuan peserta lainnya?”
Kenapa tidak? Batin ku.
“Kalau begitu, beri aku alasan kenapa kalian harus menyimpannya? Padahal kalian sudah mendapatkan gambar pemandangan kota dari ku.”
Sampai akhir mereka tetap tak memberikan alasan masuk akal agar aku ikhlas memberikan gambar itu. Akhirnya, aku hanya mempersilahkan mereka memotret gambarku. Setelah itu aku dipersilakan keluar.
Rupanya perjalanan menuju keberhasilan ku masih panjang. Bukan sekali atau dua kali aku gagal seperti ini, tapi berkali-kali hingga aku tak menghitungnya lagi. Harusnya aku terbiasa dengan hal ini. Namun, entah kenapa aku masih saja merasa kecewa. Kecewa dengan diri ku, kecewa dengan harapan ku, dengan kondisiku, dan dengan perjalananku yang entah sampai kapan berakhir.
Tiba-tiba ku rasakan gemuruh di perutku. Aku baru ingat belum memakan apapun sejak siang tadi. Terlihat di jam digital milik seseorang yang duduk di depan ku menunjukkan pukul 19.38 pantas saja sejak tadi aku merasa tak bertenaga. Ku lemaskan pergelangan kaki ku untuk meringankan rasa pegal yang kian terasa. Lalu, menoleh kanan kiri memastikan apa ada kursi kosong untukku.
Tidak ada. Seperti yang ku duga, hari ini pun keberuntungan tak berpihak padaku. Kejam sekali. Bahkan sebuah kursi pun enggan menerima ku. Aku jadi bertanya-tanya, sebenarnya di dunia yang besar ini, apa tak ada satu tempat pun untuk ku?
Begitu sampai di stasiun terakhir, aku bergegas menghampiri warung kaki lima, membeli seporsi pecel lele dan teh hangat. Aku merasa segala dahaga ku lenyap begitu teh hangat menuruni setiap relung tenggorokan ku. Dan membuat ku tersadar, setidaknya bangku di warung kaki lima ini, bersedia ku tempati. Satu hal itu cukup membuatku bersyukur hari ini.
Setelah merasa kenyang, akhirnya aku bertenaga kembali. Ku ucapkan terima kasih pada ibu penjual dan melangkah dengan enteng menuju angkot yang akan membawa ku pulang.
Sesampainya dirumah, Ibu menyambutku dengan senyuman. Ibu tak bertanya soal wawancara ku. Ia justru bertanya soal perjalananku hari ini. Pertanyaan seperti; apa kau kehujanan? Apa jalannya ramai? Kau tidak terlalu banyak berjalan kan? Apa kau sudah makan? Mau ibu buatkan minuman hangat? Dan masih banyak pertanyaan lainnya.
Ternyata ada hal yang ku syukuri lagi hari ini. Kasih sayang ibuku yang hangat juga pesan singkat dari Kak Melia yang berbunyi;
Sudah pulang? Baguslah, kau sudah bekerja keras hari ini.
Barusan, bos ku memberi sisahan bubuk kopi terbaik.
Kalau mau coba, mampirlah sebelum berangkat.
Seperti itu lah hari ku berakhir. Hari ini aku memang belum bisa lebih dekat dengan impian ku. Tapi setidaknya aku memiliki Ibu dan Kak Melia yang selalu mendukungku.
…
Keesokan paginya, begitu aku bangun, ku dapati pesan masuk dari nomor yang tak dikenal, isinya;
Selamat pagi,
Apa ini benar Kaluna Maharani?
Terkait lamaran anda pada 3 bulan lalu di Mahardika Gallery, apa kau bersedia berpartisipasi sebagai creator di gallery saya?
Saya tunggu konfirmasi anda secepatnya, terima kasih.
Dan aku hanya bisa terdiam menatap layar handphone ku.
… End …