"Assalamualaikum ...."
............
"Waalikumsalam ...."
Elina yang sedang bersiap untuk berangkat bekerja, bergegas menuju ruang tamu saat terdengar suara wanita yang mengucapkan salam di depan pintu rumahnya yang tengah terbuka.
Elina tersenyum ke arahnya. Terlihat wanita yang masih terbilang cukup muda, dengan usia sekitar 30 tahunan telah berdiri di ambang pintu. Sebagai tetangga baru, Elina mencoba untuk berbuat baik kepada tetangga sekitar tanpa menaruh kecurigaan apapun; berharap mereka juga akan melakukan hal yang sama terhadap keluarganya yang berstatus sebagai pendatang.
"Maaf Mba, mas Dodinya ada?" tanyanya menyelidik.
"Mas Dodi, udah berangkat mba Sari ... ada perlu apa ya?"
Wanita itu mendekati Elina, dengan suara berbisik ia mengutarakan maksud dan tujuannya.
"Mau pinjam 1 juta ada?"
Elina mengernyitkan dahi sambil menyipitkan matanya.
"1 juta???"
Sebagai orang baru, membuat Elina bingung untuk mengambil keputusan; karena ia belum tahu karakter-karakter para tetangganya lantaran ia dan suami sama-sama sibuk bekerja dan hanya bertemu para tetangga pada saat-saat tertentu saja.
"Iya 1 juta saja, nanti selasa pagi aku kembalikan," ujarnya meyakinkan, dengan memperlihatkan deretan giginya yang berjejer.
Elina berpikir kembali sambil menghitung jarinya sesekali ia memandang ke arah gigi Sari yang masih terbuka, barangkali ada sesuatu yang masih terselip diantara celah giginya; entah sayur kangkung atau cabai merah yang masih menempel.
Ini hari kamis, abis itu jumat, sabtu, minggu, senin, selasa. Gak sampe 1 minggu si ....
Elina meminta Sari untuk menunggunya sebentar, lantas Elina menghubungi suaminya lewat telepon untuk meminta persetujuan.
Selang beberapa waktu, Elina kembali ke depan rumahnya dengan membawa lembaran merah dengan nominal 1 juta.
"Ini mba 1 juta, dihitung lagi ya ... tapi nanti selasa jangan lupa dikembalikan. Mau buat tambahan biaya pasang pagar. Tadi hari selasa harus apa???" Elina bertanya, mengulang kalimat yang telah disampaikan untuk memastikan kembali jawabannya, sebelum akhirnya ia memberikan uangnya ke Sari.
"Di kembalikan! Baik mba Elina ... makasih banyak ya mba, sampaikan makasih juga ke mas Dodi."
Terlihat Sari sumringah, dengan lembaran merahnya yang berjumlah 10 lembar, kemudian dikipas-kipasanya terlebih dahulu di depan wajahnya sebelum ia masukkan ke dalam dompet.
Elina yang melihat tingkah laku Sari hanya tersenyum menatapnya.
****
"Bun, mba Sari belum ke sini?"
Sepulang kerja Dodi duduk di teras depan, menunggu kedatangan Sari. Uang 1 juta yang dipinjamkannya akan segera ia pakai untuk DP pemasangan pagar.
"Hemmm, iya nih Yah ... katanya selasa pagi, tapi ini juga udah sore belum datang juga, udah mau maghrib lagi ...," Elina berkata dari dalam rumahnya seraya menghampiri suaminya.
Mata Dodi dan Elina berulangkali menuju ke jalan desa sambil duduk di teras depan menunggu adzan maghrib, berharap Sari juga akan segera datang.
Tapi ternyata nihil, sepotong tubuhnya pun tidak mereka temui.
****
Seperti biasa keseharian mereka berdua dengan rutinitas kerjanya berangkat pagi, pulang sore.
Rabu pagi, Dodi telah berangkat kerja terlebih dahulu dengan mengendarai motor giginya. Sementara Elina yang bekerja sebagai karyawan swasta, ia berangkat kerja sekitar jam 8 pagi. Saat sedang bersiap, kembali Elina mendengar suara wanita yang sepertinya ia kenal. Sebuah senyuman kini mengembang di bibirnya, segera ia menghampirinya. Berharap kabar baik akan segera ia temui.
Elina berjalan menuju depan rumahnya. Terlihat Sari nyengir ke arahnya, seperti biasa ia memperlihatkan deretan giginya; dengan berbisik ia segera menyodorkan uang yang di lipat-lipatnya sambil menyelipkannya di tangan kanan Elina.
"Aku bayar segini dulu ya, nanti sisanya selasa depan. Makasih ya mba ...," ucapnya lirih sambil segera pergi dari hadapan Elina, sebelum Elina sempat berkata-kata.
Elina hanya terdiam sambil memandangi Sari yang berjalan terburu-buru meninggalkan halaman rumahnya.
Perasaan ada yang gak beres nih ....
Dibukanya uang yang kini telah berada digenggaman tangannya.
Elina mencoba menghitung uang yang di lipat Sari, ternyata hanya 10 ribuan dengan nominal dua ratus ribu.
Tuh kan bener!!!
Elina hanya berdecak sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
Ciri-ciri orang munafik ada tiga :
Apabila berkata ia dusta
Apabila berjanji ia mengingkari dan
Apabila dipercaya ia berkhianat
Kata-kata itu kembali teringat di benak Elina. Cukup dengan uang, mudah buat Elina untuk segera mengetahui sifat seseorang.
Tak terasa hari selasa telah terlewati hingga tak terhitung entah sudah ke berapa kalinya, membuat Elina semakin geram dengan tingkah laku Sari. Sisa hutangnya yang masih delapan ratus ribu belum juga dikembalikannya.
Dengan perasaan dongkol, Elina segera menuju ke rumah Sari yang tidak begitu jauh.
Terlihat ibunya sedang duduk bersantai di teras depan.
"Assalamualaikum, Bu ... mba Sarinya ada?"
"Walikumsalam, Sarinya lagi pergi El? Ada apa ya?"
"Owh ... ya udah deh nanti aja."
Elina tak mau berurusan dengan ibunya yang sudah tua, yang ia cari Sari yang bersangkutan dengannya.
Elina segera pamit, tapi kemudian ibu Sari menghentikan langkahnya.
"El ... Sari pinjam uang di kamu?"
Elina menoleh ke arahnya dan mengangguk pelan.
"Kalau nanti ada uang, Insya Allah akan ibu bayar ya ...," sambungannya.
Elina hanya tersenyum ke arahnya, dan kembali melangkahkan kakinya meninggalkan halaman rumah Sari.
Sari yang melihat Elina telah pergi meninggalkan rumahnya, segera menghampiri ibunya yang sedang duduk di teras depan.
"Lain kali, gak usah basa-basi Bu, bilang aja aku ndak ada! Biar Elina cepet pulang! Pake janji segala lagi kalau ada uang mau bayar. Darimana duitnya? Darimana? Ibu gak bisa jawabkan?" sarkas Sari pada ibunya, kemudian ia berlalu begitu saja.
Ibu sari hanya beristighfar melihat tingkah laku anaknya yang telah lama menjanda.
Hari berganti hari, minggu silih berganti, bulan telah berubah, tahun telah bertambah tak habis pikir dengan Sari yang telah melupakan hutangnya begitu saja; membuat Elina dan Dodi enggan untuk menagihnya. Beberapa kali Elina dan Dodi telah mencoba menagih, beribu alasan pula jawaban yang diberikannya.
Setiap hampir berpapasan di jalan, Sari memilih berbelok mencari jalan lain untuk menghindari.
Elina dan Dodi hanya saling berpandangan saat melihat tingkah Sari.
****
Sari kini berjualan nasi ponggol dan ketupat sayur di pinggir jalan desa setiap sore, yang semakin hari semakin ramai. Elina dan Dodi yang dapat melihatnya dari jarak jauh, masih berharap suatu saat Sari akan segera mengembalikan uang yang dipinjamnya.
Tapi pada kenyataanya tidak ada yang Sari lakukan untuk berusaha menyicil hutangnya, ataupun sekedar berujar jika ia belum bisa melunasinya.
Hal yang sama masih terus dilakukan, menghindar saat akan bertemu Elina dan Dodi.
Sampai pada suatu ketika, Elina ingin membeli nasi ponggol yang Sari jualnya. Sepulang kerja, Elina menghentikan laju motornya tepat di depan jualan Sari, bukan untuk menagihnya; melainkan untuk membeli dagangannya.
"Nanti ya mba Elina, nanti aku bayar ...," tuturnya saat baru saja Elina turun dari motor.
"Owh iya! Beli nasi dua bungkus!" cetus Elina singkat.
Terlihat Sari gugup sambil mulai membungkuskan dua bungkus nasi.
Segera Elina membayarnya dengan uang pas.
"Makasih mba Elina ...,"
Elina hanya mengangguk, dengan segera ia mengendarai motornya.
Dibukanya dua buah nasi hangat yang berbungkus daun pisang; berlauk sambel goreng, telor dadar yang diirisnya tipis-tipis, dan kacang panjang yang dipotongnya kecil-kecil bercampur kelapa parut pedas dengan sedikit aroma kencur yang sering di sebutnya 'langgi', tak lupa juga bawang goreng sebagai taburan di atasnya. Aroma dan rasanya begitu sedap, apalagi di nikmati sebelum maghrib. Itulah yang membuat dagangan Sari ramai. Tapi entah kemana hasil uang dagangannya selama ini, sampai-sampai ia tak bisa untuk mencicil hutangnya. Beberapa tetangga lain juga mengeluhkan uangnya yang dipinjam Sari, tetapi belum juga dikembalikan.
Lambat laun, membuat Elina dan Dodi semakin malas untuk sekedar mengingat kembali hutang Sari. Mereka telah membiarkan Sari dengan hutangnya yang masih belum dibayarkan.
Hingga semua kembali berjalan seperti biasanya. Elina dan Dodi yang sering membeli nasi ponggolnya, membuat Sari besar kepala. Sari sudah tidak lagi menghindar, ia seakan-akan telah selesai melunasi hutangnya. Sari juga kerap menyapa Elina dan Dodi saat mereka bertemu tanpa rasa malu, walau dibalasnya hanya dengan sebuah senyuman kecil oleh mereka. Semakin hari, Sari semakin lupa akan hutangnya yang masih menggantung sampai saat ini.
Suatu ketika terdengar sebuah keributan di jalan desa, saat Elina dan Dodi sedang berada di ruang tamu menikmati sore dengan suguhan kopi panas dan singkong rebus, mereka segera bergegas keluar dari dalam rumahnya.
Brak!
Brak!
Terdengar juga suara keras gebrakan meja, yang membuat tetangga sekitar juga ikut keluar dari dalam rumahnya.
"Cepetan lunasi hutangmu sekarang!!!"
"Iya Pak, nanti ya ...."
"Enak aja nanti-nanti! Gue acak-acak dagangan Lo! Emang Lo pikir duit nenek Lo? Main seenaknya aja ga bayar-bayar!" bentak kedua lelaki itu secara bergantian.
Terlihat dua orang lelaki berbadan tinggi besar masih mengacak-acak dagangan Sari, sepertinya penagih hutang jika dilihat dari perawakan dan juga percakapannya yang terdengar.
Elina dan Dodi yang melihatnya merasa iba. Beberapa warga sekitar juga terlihat diam, hanya sekedar menontonnya saja. Semua itu buah dari tingkah lakunya sendiri yang kerap berbuat tidak menyenangkan terhadap tetangga-tetangganya. Amarah warga yang uangnya belum juga di kembalikan, terwakili oleh mereka berdua. Sehingga mereka enggan untuk menolong.
****
Tok tok tok
"Assalamualaikum ...."
Krekk
"Waalikumsalam, mba Sari? Ada apa ya?"
"Agar silaturahmi kita tidak terputus, pinjam dulu lima ratus."
Sari kembali nyengir, memperlihatkan deretan giginya yang kini telah berkawat.
Elina menatap tajam ke arahnya.
Brag!
Elina dengan keras membanting pintu rumahnya.
"Lunasin dulu yang kemarin!!!" serunya dari dalam rumah.
Sari terlihat memanyunkan bibirnya, saat Elina tak mau lagi meminjamkan uang untuknya, dengan segera ia berpindah ke rumah yang lain; mencari tetangga sekitar yang mau meminjamkan uang untuknya.
Saat ia sedang berjalan mencari target, terlihat sepasang pengantin baru yang merupakan tetangga desanya, sedang beberes rumah yang akan segera di tempatinya. Pandangannya kini tertuju pada mereka berdua.
"Sasaran empuk ni ...," gumamnya.