Disukai
0
Dilihat
272
Pukul 11 Malam di Peron Stasiun (POV 2)
Drama

Kau baru saja duduk di salah satu bangku besi yang ada di sepanjang peron saat kereta itu berhenti di depanmu. Kau duduk, meraih ponsel dari saku dan menengok jam di sana, “Belum waktunya,” batinmu. Kereta yang kau tunggu baru akan datang pukul 23.50 dan berangkat pada 23.58, sekarang baru pukul 23.01.

    Tak ada yang turun dari kereta itu, tak pula ada yang menaikinya. Sekian menit lewat, kereta itu bergerak lagi. Matamu terpaku pada salah satu pintu kereta yang belum tertutup sempurna tapi bunyi gesekan besi yang menghampar panjang di bawah sana semakin berisik. Walaupun basah, batangan rel itu pasti sedang panas digiling roda kereta.

    Hujan baru saja mengguyur kota, masih menyisa tetes gerimis di ujung kerahmu, hasil kau berlari menuju pintu stasiun. Sementara kereta bergerak, kau menyentuh kerahmu, kau melakukannya tanpa berharap kerahmu akan kering. Berisik suara gesekan besi di rel dan gelegar mesin sudah menutupi suara di sekitarmu. Kau amati bokong kereta sampai benda besar itu hilang dari jangkauan matamu.

    Tiba-tiba sunyi, tak ada kereta lagi di hadapanmu, kau menyapu pandang ke sekeliling. Dekat tengah malam, wajah stasiun ini layu. Cuma kalian enam di stasiun tengah malam ini. Sepuluh meter dari tempatmu duduk, seorang pria paruh baya sedang berdiri, memegang janggutnya dengan tangan kiri dan tangan kanannya memegang payung warna biru. Di samping pria itu, seorang wanita yang mungkin sebaya denganmu, duduk di bangku besi, menunduk, terpaku pada ponselnya. Jauh di sana, seorang pria dewasa mengenakan jaket hitam juga duduk di bangku besi sedang menatap lurus ke depan, entah apa yang ia pikirkan. Kau amati tiga orang yang berbagi peron denganmu seraya menebak pikiran tiga orang itu.

    Puas dengan mereka, matamu menyeberang ke peron sebelah, cuma ada dua orang ibu-ibu paruh baya yang sedang mengobrol. “Apa yang mereka bicarakan?” Kata hatimu ketika melihat ibu yang yang sebelah kiri menyentuh paha kanan kawan bicaranya. Sekian detik kau mengamati mereka, dua wanita itu tertawa. “Apa yang mereka tertawakan?” Kata hatimu lagi.

    Lelah bertanya-tanya isi pikiran orang sekitar, kau meraih ponsel lagi, menyentuhnya, layar menyala, 23.11. Baru sepuluh menit lewat sejak terakhir kalinya kau memastikan waktu. Seterusnya, matamu malah sibuk dengan ponselmu. Kau terus-terusan menggosok ujung ibu jarimu di atas layar ponsel, entah untuk apa, kau melihat-lihat saja apa yang tampak. Kau tahu ini tak ada gunanya tapi kau lakukan saja. Di tengah kegiatanmu, sementara kepalamu tertunduk, mata terpaku pada ponsel, dan ibu jarimu bergerak seenaknya saja. Perlahan-lahan muncul sesuatu di pikiranmu. Sesuatu yang sudah ribuan kali kau pikirkan, khayalkan, dan pertimbangkan; sesuatu yang terus-terusan mengganggumu saat kau menahbiskan diri sebagai orang dewasa, sesuatu yang kau sendiri tak tahu mengapa selalu ada dalam pikiranmu. 

    Kau tahu, sesuatu yang kau pikirkan ini menakutkan, membingungkan, sekaligus menyenangkan pada saat yang sama. Kau sering bertanya saat sendiri, “Apakah aku harus melakukannya?” Tak ada jawaban. Hatimu tak punya jawaban untuk dirimu sendiri.

    Amat sering kau berandai-andai seperti saat ini, kau membuat sebuah skenario tentang hal itu, dan kau merasa seolah-olah bahagia hanya dengan memikirkannya saja. Kadang sebaliknya, kalaupun kau tak melakukannya, kau juga mungkin akan bahagia. Namun, kau pernah menyesal, ada beberapa hal yang masih kau sayangkan tak pernah kau lakukan, dan kau takut hal itu juga ada membentuk bongkahan penyesalan baru suatu hari nanti.

    Begitu jelas penyesalan itu muncul di kepalamu, sampai-sampai kau menyesalinya lagi untuk kesekian ribu kalinya, tapi satu menit kemudian kau merasa bahagia, dan satu menit berikutnya kau menyesal lagi. Berulang terus, sampai kau sadar, malam ini, kau merasa kesepian di stasiun ini.

    Belum lama kau menangisi kesepianmu, muncul pertanyaan lagi dalam hatimu: “Apakah aku bahagia?” Dan tanpa jeda, hatimu juga yang menjawabnya, “Mungkin aku bahagia dan aku tidak kesepian malam ini. Kebahagiaan bukan materi, bukan bentuk, kau tak bisa menakarnya, kau hanya berurusan sekali-sekali dengannya.” Kata-kata ini datang dari dalam dirimu, untuk menguatkan dirimu. Sering terjadi.

    Sedang matamu sibuk dengan ponsel tapi pikiranmu malah sibuk dengan kebahagiaan dan kesepian, tiba-tiba seseorang duduk di sampingmu. Matamu lepas dari ponsel dan sejurus menatap orang itu. Pria keriput dengan rambut beruban memberi senyum untukmu. Kau membalas senyum itu. Pria ini mungkin seusia kakekmu, dan persis kakekmu, pria ini juga agak bungkuk saat duduk.

    “Ke mana, Dek?” Pria bungkuk ini menyapamu.

    Kau menyebut tempat tujuanmu.

    “O, kereta terakhir?”

    “Iya, Kek.”

    “O, berarti sesudah kereta saya. Kereta saya mungkin sebentar lagi baru tiba.” Tampaknya kakek ini suka bicara, padahal kau belum sempat bertanya ke mana tujuannya.

    “Sering naik kereta tengah malam begini?”

    Kau mengangguk.

    “Kerja?”

    Kau mengangguk lagi.

    “Di usia tua saya, saya jarang naik kereta. Baru akhir-akhir ini saya sering datang ke sini, jadi saya harus naik kereta seperti dulu. Kakak perempuan saya lagi sakit. Tadi saya menjenguknya. Usianya 80 tahun. Wajar.” Si Kakek bicara dengan senyum tak berputus.

    Baru saja kau ingin bertanya tentang kakak perempuannya, Si Kakek bicara lagi. “Dia satu-satunya saudara kandung saya yang masih hidup. Tujuh saudara saya yang lain sudah meninggal. Barangkali kakak saya itu akan meninggal dekat-dekat ini.” Kakek ini diam sebentar, membunyikan satu dua batuk dari mulutnya, dan bicara lagi, “Saya bangga pada diri saya. Ternyata saya yang hidup lebih lama daripada saudara-saudara saya yang lain.” Si Kakek terbatuk-batuk lagi. Kamu menghitungnya. Tujuh batuk ia bunyikan.     

    Agar kau punya kesempatan bicara, saat Si Kakek mengeluarkan sapu tangannya, kau sigap buka mulut, “Kenapa kakek pulang sendiri naik kereta tengah malam begini?”

    “Ya, ya. Itu.” Si Kakek terbatuk lagi tiga kali. “Saya ini tinggal sendiri. Saya punya burung yang harus dikasih makan tiap pagi. Lagi pula, saat saya berangkat tadi, saya lupa masukkan dia ke dalam rumah. O, ya, seharusnya saya pulang dari jam 9 tadi. Tapi, kakak perempuan saya itu ingin bicara banyak dengan saya. Orang yang mau meninggal memang aneh. Tadi kami ‘ngobrol soal masa kecil di kampung. Kakak perempuan saya senang. Kakak saya itu—.” Kalimatnya belum habis, kakek itu terbatuk-batuk lagi.

    Kau biarkan saja Si Kakek memecahkan dahak-dahak di dalam tenggorokannya. Beberapa detik, ia kembali menyeka mulutnya dengan sapu tangan, melegakan suara tenggorokannya dengan satu dua bunyi, dan tersenyum kepadamu. "Saya suka naik kereta karena saya bertemu Ning, istri saya, di kereta.”

    Seterusnya Si Kakek bercerita tentang kisahnya bersama Ning. Kala itu, Si Kakek bekerja di sebuah pabrik gula di pinggiran kota sehingga ia harus naik kereta setiap pagi menuju tempat kerjanya. Ia melakukannya setiap hari, tujuh hari dalam seminggu. Ia bekerja keras karena ia merasa sudah waktunya untuk menikahi kekasih yang dipilihkan kakaknya. Sampai pada suatu hari Kamis, di gerbong 3, Si Kakek melihat seorang wanita yang ia yakini akan menjadi istrinya. "Saya tidak tahu bagaimana perasaan itu muncul, yang pasti pertama kali saya melihat Ning, saya langsung yakin, wanita ini akan jadi istri saya. Barangkali itu yang orang bilang cinta jumpa pertama."

    Hari itu Si Kakek belum berani mengajak wanita itu berkenalan, tapi sekian pekan setelahnya Si Kakek terus memikirkan wanita ini. Ia sampai sulit tidur dan keinginan makannya pun sedikit-sedikit saja. "Saya tidak tahu apa yang terjadi pada saya saat itu, saya hanya terus memikirkan Ning sepanjang waktu. Padahal, saya sudah punya calon istri saat itu. Dan berani-beraninya saya putuskan untuk meninggalkan calon istri pilihan kakak saya waktu itu untuk seorang gadis yang baru satu kali saya lihat rupanya dan bahkan namanya pun entah apa.” Si Kakek menertawakan ceritanya sendiri.

    Singkat cerita, Si Kakek dan Ning akhirnya bisa berkenalan dan berpacaran beberapa pekan setelah berkenalan. Lantaran Ning juga menaiki kereta yang sama untuk pergi ke pabrik tepung tempatnya bekerja, setiap pagi Si Kakek dan Ning bertemu di gerbong yang sama, gerbong 3. "Kalau saya ingat-ingat lagi, masa-masa itu adalah masa-masa paling indah dalam hidup saya," kata Si Kakek dengan senyum tanpa putus di atas bibirnya.

    “Bagaimana calon istri pilihan kakaknya Kakek waktu itu?” Kau menyela cerita Si Kakek.

    "Hancur. Semua sumpah serapah paling menyakitkan yang pernah saya dengar, keluar dari mulutnya. Kata dia saya mempermalukannya, sebab keluarga besarnya sudah mengetahui rencana pernikahan kami. Setelah tahu bahwa saya bersama Ning, dia juga menyumpahi Ning. Katanya Ning tidak akan punya anak seumur hidupnya."

    “Dan itu terjadi, Kek?” Kau bertanya, penasaran.

    “Lebih parah,” Si Kakek tersenyum. “Saat saya bertemu Ning, Ning sebenarnya sedang menderita penyakit paru-paru akut. Saya menemaninya sampai tiga tahun kemudian. Kami sempat menikah. Tetapi, di bulan ketiga pernikahan kami. Tepat hari Kamis Jam 11 pagi. Ning meninggal di tangan saya.” Si Kakek tersenyum lagi.

    Kau bingung harus bersikap seperti apa. Kau baru saja mendengar sebuah tragedi. Dan akhirnya, tanpa sadar, kau menyentuh lutut Si Kakek.

    Senyum di bibir Si Kakek semakin lebar melihat kau bersimpati padanya dan saat itu juga ia menganggukkan kepanya. “Ada banyak hal yang Ning kasih untuk saya, tapi satu hal yang tak bisa saya lupakan adalah kata-katanya di ranjang kematiannya sebelum Ning putus napas. Waktu itu Ning ingin saya mengikhlaskannya, Ning bilang: ‘Mas, saya ingat pertemuan pertama kita. Saya ingin itu terulang lagi di kereta yang sama, di gerbong 3.’ Dan saya menjawabnya, ‘Iya, kita akan pergi naik kereta kalau Ning lebih sehat sedikit.’ Saat itu, Ning diam cukup lama, lalu Ning mengatakan sesuatu yang tak bisa saya lupakan sampai saat ini. ‘Saya mencintai Mas dengan sepenuh hati saya. Tapi tolong ikhlaskan saya.’ Saat itu, saya marah, saya tidak suka Ning putus asa, saya bilang, ‘Ning jangan bicara seperti itu, Ning akan sehat.’ Kemudian Ning menatap saya lalu tersenyum, senyum yang masih sering saya ingat sampai detik ini, Ning bilang, ‘Mas, jangan ngoyo, masing-masing kita punya rel. Jika rel itu ada di sepanjang pulau Jawa, kereta kita tak akan sampai di Sumatera. Memang, kita bisa memilih, tapi kita cuma bisa memilih, belok kiri atau kanan, berhenti atau maju.’ Itu kata Ning kepada saya.” Si Kakek diam sebentar, tatapannya terpaku pada batangan rel di bawah sana. Sekian detik, Si Kakek bicara lagi, “Kadang di rel sendiri saja, kita tak bisa memilih, kita ingin maju tapi kita terpaksa berhenti.” Saat mengatakan kalimat itu, kamu melihat senyum Si Kakek pudar perlahan-lahan. “Ning jadi malaikat setelah tersenyum kepada saya.”

    Kau dan Si Kakek diam sejenak, hening sampai suara pembaca pengumuman terdengar. Dengan suara serak yang terdengar seperti radio rusak, si pembaca pengumuman bilang bahwa akan ada kereta yang tiba. Kereta Si Kakek. Kau menatap pengeras suara itu selama si pembaca pengumuman bicara.

    Saat kau memalingkan wajah, Si Kakek telah berdiri. Walaupun keretanya belum kelihatan batang hidungnya, Si Kakek tampak telah siap-siap.

    Kau berdiri. Kalian bersisian. “Apakah Kakek merindukan—.”

    “Tiga tahun hidup bersama Ning cukup untuk menjadi kenangan yang menemani 30 tahun kesepian saya.” Si Kakek menjawab sebelum pertanyaanmu selesai. “Saya tidak pernah menikah lagi setelah Ning pergi.”

    Kau bingung harus jawab apa, dan kau juga merasa bersalah sebab air muka Si Kakek tampak tak nyaman. Kau menyesal, seharusnya kau tak bertanya begitu, ini pertemuan pertama kalian.

    Namun, saat kereta Si Kakek ada di hadapan kalian, pintunya terbuka, pada langkah pertama Si Kakek, kau mencegahnya dengan satu pertanyaan terakhir, “Apakah Kakek pernah menyesal?”

    Si Kakek balik badan menatapmu. “Dek, selama saya bercerita tadi, apakah saya kelihatan menyesal? Memang, sangat munafik jika saya bilang saya tak pernah menyesali sesuatu di dalam hidup ini. Tapi, di antara ribuan penyesalan saya, nama Ning tak ada di sana.” Si Kakek tersenyum, balik badan lagi, dan masuk ke dalam kereta. Pintu kereta tertutup. Kau memperhatikan kereta itu sampai bokong besinya hilang dari jangkauan matamu. Déjà vu.

    Tepat pukul 23.50, keretamu tiba; 23.51 kau masuk ke dalamnya, duduk, dan menaruh kepalamu di jendela kaca itu tanpa memikirkan apa-apa; dan pada 23.58, keretamu berangkat. Kereta bergerak perlahan, kau menatap keluar menembus jendela kaca seberang, menuju para pencakar langit yang megah. Saat itu pikiranmu terisi kembali oleh cerita Si Kakek sampai matamu tertutup dan terlelap begitu saja. Di dalam mimpimu, kau bermimpi sedang berdiri di halte bus, menunggu kedatangan bus yang rasanya sudah bertahun-tahun tak kunjung sampai.

 

 

 

Selesai.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Drama
Rekomendasi